2

2073 Words
Pagi ini, Raffa bersama sahabat-sahabatnya yang tak lain yaitu Dirga dan Randi bolos pelajaran pertama. Pelajaran yang sangat suntuk dan membosankan. Pelajaran kimia. Bahkan melihat gurunya saja sudah membuat mereka tak ingin berada dikelas lama-lama. Mungkin semua pelajaran bagi mereka membosankan. Tempat andalan mereka saat membolos yaitu rooftop. "Nama Vanna Natasya. Umur 16 tahun. Kelas XI-IPA1. Anak tunggal. Hobi membaca novel, mendengar lagu, dan..." Raffa menoleh karena Randi berhenti membacakan informasi tentang Vanna. Raffa menatap Randi yang berhenti berbicara. Menunggu sahabatnya itu melanjutkan perkataannya. "Suka makan. Yang gue kumpulin tentang ni cewek dari teman sekelasnya, katanya sih dia baik, pintar, anak pindahan. Dan lagi, dia cantik. Pokoknya good girl lah." Raffa tersenyum tipis lalu memejamkan matanya. "Buat apa lo nyari info tentang adik kelas? Cewek lagi." Kata Dirga sambil menyesap dalam rokok yang dari tadi ia pegang. Raffa Farellino. Seorang bad boy. Mempunyai hobi yang sedikit aneh yaitu berkelahi. Menurutnya jika ada luka diwajah atau sudut bibirnya membuatnya bertambah keren. Walaupun bad boy tapi ia tak suka bermain dengan perasaan wanita. Ia lebih memilih mengacuhkan gadis yang menyukainya dari pada memberi harapan pada wanita itu. Tampan, tajir dan keren membuat para wanita yang melihatnya langsung jatuh pada pesonanya. Raffa bangun dari kursi panjang yang ia tiduri dan menuju tempat Dirga yang sedang mengisap rokok. "Penasaran aja. Ga, satu." Seakan tau yang Raffa maksud, Dirga melempar bungkus rokok kearah Raffa dan dengan sigap ditangkap Raffa. Randi memicingkan matanya. "Jangan-jangan lo mau berantem sama tu cewek ya?" Plak Raffa melempar sepatunya kearah Randi. "Gila ya lo. Gue gak serendah itu." Kata Raffa memandang jengkel Randi yang sekarang mengusap kepalanya yang terkena sepatu Raffa dengan sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Raffa mengambil satu batang rokok lalu mengambil korek api ditangan Dirga dan membakar ujung rokok. Ia menghisap rokok itu dan menghembuskannya. "Pelajaran kedua apa?" "Matematika." Kata Dirga dan Randi serempak. "Pelajaran di kelas XI-IPA 1 selanjutnya?" Randi berpikir sebentar "Yang gue liat di roster sih fisika." Raffa mengangguk "Pak Jono gak masuk. Gue denger di ruang guru katanya punya urusan dadakan." "Emang lo mau ngapain?" Raffa menjatuhkan rokoknya lalu menginjaknya. Bibirnya membentuk senyuman tipis "Kunjungan." °°° "Pak Jono lagi berhalangan. Jadi kita free." kata Farik ketua kelas XI-IPA1 dengan disambut dengan senyuman merekah dari seluruh siswa penghuninya. Seluruh kelas disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Sebagian cowok keluar untuk kekantin dan sebagiannya berkumpul dipojokㅡ entah apa yang mereka lakukan. Sedangkan para cewek mulai membuat kelompok masing-masing untuk bergosip ria. Ada yang mengeluarkan buku pelajaran dan ponsel mereka. Dan ada yang keluar untuk ke perpus. Terkecuali Vanna, Lena dan Nadya. Mereka mengeluarkan masing-masing novel yang sempat mereka beli kemarin saat pulang. Dan jangan lupakan Vanna yang diintrogasi oleh Lena dan Nadya karena kejadian kemarin. Perkelahian Raffa menjadi trending topik di sekolah pagi ini. Dan untungnya ia tak terseret dalam kasus tersebut karena mereka hanya melihat Vanna yang disuruh mengobati luka Raffa. Ya walaupun namanya dan beberapa sorot mata menatapnya penasaran karena kejadian kemarin. Vanna memberitahu Lena dan Nadya jika dia hanya mengobati Raffa. Ia tidak memberitahu tentang perjanjian itu. Biarlah mereka tahu dengan sendirinya. Brak Semua yang berada didalam kelas menatap kaget ke arah pintu kelas yang didorong dengan kasar. Dan munculah Raffa and the gang yang membuat kelas tersebut gaduh. "Sekarang kalian keluar. Sebelum gue ijinkan masuk, kalian tetap harus diluar. Bebas deh ngapain." Kata Randi dan menatap seisi kelas. Semua berdiri dari tempat mereka dan beranjak ingin keluar termasuk Vanna. "Kecuali lo yang di pojok." Raffa yang dari tadi diam dan memasang wajah datar mengeluarkan suaranya. Vanna yang mengetahui dirinya yang paling pojok hanya terdiam. Semua mata tertuju pada dirinya dengan tatapan kasihan. Mungkin maksud tatapan mereka karena berurusan dengan Raffa dkk. "Tunggu apa lagi. Cepetan keluar," Semua terburu-buru keluar sebelum Raffa marah. Tak ada yang berani membangunkan amarah Raffa, kecuali yang sama ganasnya dengan cowok itu. Vanna menahan tangan Lena dan Nadya yang ingin keluar juga. "Temen gue disini aja." "Gak. Mereka keluar!" Kata Raffa sengit. Lena dan Nadya menatap Vanna dengan tatapan memelas. Oh, demi apa pun, gue harus apa? Batin Vanna. "Gak bisa gitu dong. Temen lo aja bisa didalem. Kenapa temen gue enggak? Sekarang kita impas dong." Raffa bersedekap d**a. Mempertimbangkan kata-kata Vanna. "Oke. Dir, Ran, lo bawa mereka kedepan." Dirga dan Randi mengangguk dan menyuruh Lena dan Nadya ke bangku paling depan diikuti mereka berdua. Raffa mendekat kearah Vanna. "Duduk." Vanna memutar bola matanya malas dan duduk kembali ke tempatnya. Raffa duduk diatas meja membuat Vanna lagi-lagi memutar bola mata. "Ngapain kesini?" Tanya Vanna jutek. Raffa menoleh menatap Vanna lalu mengeluarkan senyumannya. "Mengunjungi calon pacar." "Idih, ngarep!" Raffa tertawa lalu mengacak rambut Vanna. Mata bulat Vanna melebar. Mulutnya sedikit terbukaㅡtercengang dengan apa yang telah dibuat Raffa kepadanya. Gak. Lo gak boleh jatuh dalam pesonanya Na. Gak boleh. Pikiran Vanna mulai bersuara. Vanna menggelengkan kepalanya lalu memasang wajah datar. "Kalo gak ada urusan balik ke kelas sana. Bikin rusuh aja dateng kesini. Apa lagi ngusir temen-temen gue." Raffa berdiri lalu menarik satu kursi dan duduk disebelah Vanna. "Biar. Mereka pengganggu." Vanna menatap wajah Raffa yang berada disebelahnya. "Mau ngomong apa? Cepetan." Raffa mengusap-ngusap dagunya, memikirkan apa yang harus ia katakan. "Gue buat tiga peraturan. Satu, ke sekolah gue yang antar jemput. Dua, Gue gak suka dibantah. Tiga, Jangan deket-deket cowok lain." Vanna melongo mendengarkan perkataan Raffa. Selain bad boy, dia juga possessif, padahal hubungan mereka saja belum jelas. Teman bukan, gebetan bukan, apa lagi pacar. Hubungan mereka hanya sebatas senior dan junior disini. "Gak bisa gitu dong! Emang lo siapa?" Raffa tersenyum "Gue? Gue calon pacar lo." "Gak bisa. Dan gak mau!" "Ini sudah di sepakati." "Tapi itu sepihak. Gue kan bilang gak mau." Seru Vanna jengkel setengah hidup dengan Raffa. Ia baru mengetahui dua sifatnya lagi. Menyebalkan dan suka ngatur. "Tapi lo gak bisa menolak." Vanna tau ia tak akan bisa melawan apa yang Raffa bilang. "Gini deh. Gue juga buat tiga peraturan. Satu, Jangan modus ke gue. Dua, Jangan deketin gue kecuali lo lagi perlu sama gue. Tiga, Jangan sebut gue calon pacar." Raffa mengangguk-anggukkan kepala mengerti. "Sahabat lo yang disana kan?" Raffa menunjuk Nadya dan Lena yang duduk didepan dengan wajah menunduk. "Hm." "Oke. Kita udah sepakat. Sebentar gue jemput ke kantin." Vanna melebarkan matanya. "Gak! Biar gue sama sahabat gue yang kesana sendiri." Raffa lagi lagi mengagguk. "Gue tunggu di kantin sayang." "Jangan panggil gue kayak gitu. Ngerti gak sih?" Vanna sudah tidak bisa nahan unek-unek yang sedari tadi ditahannya. Dengan watados nya, Raffa menjawab "Kan tadi kamu bilang 'jangan sebut gue calon pacar.' Kan aku gak sebut 'calon pacar'." Oh lord, Vanna sungguh tak tahan dengan cowok menyebalkan ini. Dengan bahasa aku-kamu terlihat menggelikan. "Up to you aja lah." Raffa menyunggingkan senyumannya. "Yaudah. Gue pergi dulu ya? Jangan selingkuh kalo gue gak ada. Bye sayang." Raffa mengedipkan sebelah matanya lalu keluar diikuti dengan Dirga dan Randi. Dengan cepat, Lena dan Nadya mendekati Vanna. "Na, lo gak papa?" Kata mereka bersamaan. Vanna mengangguk lemah. Sungguh, ini sangat menyebalkan. Kenapa ia harus berurusan dengan orang seperti Raffa? "Tadi temennya Raffa buat apa ke kalian?" Tanya Vanna sambil menatap Lena dan Nadya bergantian. "Gak buat apa-apa kok. Ternyata mereka baik loh. Gak nyangka gue." Dan mulai, Lena tersenyum-senyum sendiri. Satu persatu teman-teman kelasnya datang dan langsung bertanya ke Vanna. "Lo gak diapa-apain dengan kak Raffa kan?" Vanna hanya menggeleng. "Tadi wajahnya sangar amat. Takut gue." "Buat apa dia dateng kesini?" "Untung lo selamet." "Gue takut sama mereka. Serem ih. Eh tapi ganteng juga ya." Ck, jika ingin berkomentar, jangan padanya. Ia sudah dipusingkan dengan Raffa, masa sekarang sama teman sekelasnya. "Katanya sih mau ngembaliin kunci kamar gue yang jatoh." Semua melongo kearahnya. "Beneran?" Tanya mereka serempak. Vanna hanya mengidikkan bahunya. °°° "Lo yakin sama tu cewek?" "Kalo dilihat-lihat cantik juga." Sekarang, Raffa, Randi dan Dirga berada di kantin. Seperti biasa mereka mangkal di meja pojok. Tempat mereka jika berada di kantin. "Wait, perasaan gue gak asing sama muka dia. Gue ketemu dimana ya?" Dirga berpikir sebentar lalu menggebrak meja kantin. "Ah, gue tau. Dia yang gue suruh obatin luka lo kan Raf?" Randi melihat Dirga sebentar lalu menatap Raffa. "Beneran Raf? Dih sejak kapan lo tertarik sama cewek. Starlet yang bohay bahenol aja lo gantungin kek BH dijemur. Malahan gue kira lo belok lagi." "Gue penasaran aja sama dia. Dan jangan sebut tu nama. Berasa mau muntah gue." Just info, Starlet adalah salah satu cewek famous di SMA Pelita. Cantik, tinggi, putih dan body yang bisa dibilang seksi membuatnya menarik di mata para lelaki. Tapi tidak menurut Raffa. Menurut Raffa, itu sama saja memamerkan badannya dan ngerendahin dirinya sendiri di mata lelaki. Starlet sangat menyukai Raffa, tapi tetap dengan pendiriannya, ia tak akan membuka hatinya dengan perempuan. Tapi entah mengapa Raffa tidak bisa mengendalikan dirinya saat berbicara dengan Vanna. Seolah otak dan mulutnya yang bekerja sendiri tanpa ia sadari. Seolah ada magnet yang membuat Raffa ingin sekali dekat dengannya. Dirga dan Randi hanya mengangguk acuh. Randi mengeluarkan sebungkus rokok lalu menjepitnya diantara bibirnya. "Mau ngapain lo?" Randi mendongak menatap Dirga. "ngerokok lah." Pak Randi meringis memegangi kepalanya yang ditabok Raffa. "Masih didalem sekolah. Gue gak mau masuk ruang BK." "Yaelah. Biasanya masuk juga." Pak "Sakit tau!" Dirga dan Raffa tidak lagi mengubris perkataan Randi. Mereka sibuk menyesap minuman yang mereka pesan. Raffa mengedarkan pandangannya kepenjuru kantin. "Kapan istirahatnya sih. Lama banget." Dirga melirik arloji merahnya. "Coba lo itung sampe sepuluh." Raffa menaikan satu alisnya. "Lo kira gue g****k gak bisa ngitung gitu?" Sesuai perkataan Dirga, Randi menghitung "Satu, dua, tiga empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, finaly." Kring kring Raffa terkekeh. Kantin yang tadinya sepi mulai ramai. Dan muncullah orang yang ditunggu-tunggu Raffa. Vanna, Lena dan Nadya berjalan memasuki kawasan kantin yang mulai ramai. Saat masuk, pandangannya tertuju keseorang cowok yang juga menatapnya. Raffa tersenyum lalu melambaikan tanggannya. Vanna mendengus lalu menarik pergelangan tangan Lena dan Nadya mendekati meja Raffa. Lena dan Nadya yang tadinya bersikukuh tak mau, akhirnya menyerah karena Vanna mengeluarkan puppy eyes nya untuk membujuk mereka. Bukannya Vanna mau duduk disana. Tapi sama saja, toh jika ia duduk ditempat lain pasti diseret ketempat ini. Vanna, Lena dan Nadya berjalan menuju tempat kediaman Raffa. Sesampainya disana Vanna melipat kedua tangannya didada. "Gue duduk ditempat lain aja." "Gak. Duduk disamping gue. Temen lo duduk disebelah Dirga dan Randi." Vanna mengangguk acuh dan duduk disebelah Raffa. Dirga dan Randi memberi tempat untuk Lena dan Nadya duduk. "Pesen apa?" Tanya Raffa semanis mungkin. "Bakso." Raffa menangguk. "Kita samain semua. Oke?" Semua mengangguk kecuali Vanna. Raffa melihat sekitarnya. "Heh lo! Sini!" Teriak Raffa saat seorang cowok lewat. Dengan ragu-ragu cowok itu mendekat. "Nama lo siapa?" "U-ucup ka-k." Raffa mengeluarkan dua lembar uang seratusan. "Pesenin gue bakso enam sama es jeruk enam. Gak pake lama." Vanna yang melihat itu melebarkan matanya. "Gak bisa gitu! Lo pesen sendiri lah. Lo pergi aja." Raffa menatap Vanna tak terima. "Lho? Kok gue? Gak. Cepetan pesennya." Raffa memberi uangnya dan Ucup langsung meninggalkan mereka untuk memesan. Vanna memicingkan matanya menatap Raffa. "Gue gak mau ya deket sama cowok berandalan plus gak punya hati." Raffa menyunggingkan senyumannya. "Siapa yang gitu? Mereka berdua?" Kata Raffa sambil menunjuk Dirga dan Randi dibalas dengan pelototan mereka. "Ya elo lah." Lena dan Nadya menatap Vanna tak percaya karena berani berbicara kasar dengan Raffa. Sedangkan Raffa hanya tertawa garing. Raffa mengelus rambut Vanna dan tersenyum "Aku bukan temen kamu. Masih ingat? Akukan calon pacar kamu." Lagi-lagi, Vanna terperangkap dalam senyuman Raffa. Dengan cepat Vanna menepis tangan Raffa lalu menatapnya tajam. "Lo ngelanggar dua peraturan. Modus ke gue dan panggilan calon pacar." "Oh gitu ya? Kok gue gak inget sih?" Vanna mendengus mendengarkan perkataan sok polos Raffa. "Gini deh. Sebagai gantinya, nanti kita jalan-jalan gimana?" Vanna menaikan satu alisnya. "Jalan-jalan dengan lo? Sori gak bisa!" Ketus Vanna. "Yaudah kalo gak mau. Padahal gue mau ajak makan-makan." Kata Raffa sambil sesekali melirik Vanna. Vanna terdiam sebentar. Memikirkan tawaran Raffa. "Oke kalo lo memaksa." Raffa tertawa "Siapa yang maksa coba." Vanna hanya terdiam. Tidak menanggapi ucapan Raffa. Vanna melirik sekitarnya yang menatapnya penuh iri. Apalagi kaum hawa. Kalo mereka tau Raffa sangat menyebalkan, gue jamin satu detik lo semua langsung pergi. Umpat Vanna dalam hati. Ucup dan temannya datang dengan membawa pesanan mereka. "I-ini k-kak." "Kembaliannya lo ambil aja." Ucup mengangguk patuh dan pergi. Tanpa bicara apapun Vanna langsung memakan baksonya, beda dengan Lena dan Nadya yang masih menegur Raffa, Dirga dan Randi. Raffa sesekali melirik Vanna yang sedang makan. Manis. Apaan sih nih otak. Raffa menggeleng-geleng kepalanya pelan dan memulai memakan makanannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD