3

1832 Words
Sore ini, Nadya dan adiknya Fira akan menonton film yang akan tayang di bioskop. Nadya menengok kiri dan kanan, mencari sang adik yang sedari tadi tak muncul-muncul. Gadis berkuncir satu itu menatap arloji putihnya kesal. Tadi, Fira mengatakan jika ia akan pergi ke toilet sebentar. Tetapi sudah 20 menit ia menunggu keberadaan Fira. Sebentar lagi film akan diputar, dan dirinya masih menunggu Fira yang sekarang entah lagi buat apa. Disisi lain, Dirga sedang mencari sepupunya. Ia dan sepupunya bernama Gina berencana akan menonton bersama-sama di bioskop. Sebenarnya Dirga sudah menolaknya halus, tapi Gina terus memaksanya membuatnya menyerah. Tadi gadis itu menggunakan sweater berwarna abu-abu dan rambutnya digerai. Gina tadi meminta ijin untuk menerima telepon dan menjauh dari pemuda itu. Mata tajam Dirga menangkap seseorang yang sedang  membelakanginya. Dipikirannya pasti itu Gina. Tapi sejak kapan gadis itu mengikat rambutnya? Masa bodoh dengan hal itu. Dengan langkah besar, Dirga mendekati gadis itu dan langsung merangkulnya "Lo dari mana aja? Gue dari tadi nyari lo." Badan Nadya mematung. Merasakan ada yang merangkulnya dan orang tersebut berkata seperti itu dengan suara beratnya. Gadis itu langsung mengarahkan tas kecilnya memukuli orang yang beraninya mencoba modus kepadanya, "Dasar cowok hidung belang! Modus! Cowok kerdus" Katanya sambil terus melayangkan tas kecil miliknya kewajah sang pelaku. Dirga mencoba menghentikan aksi gadis yang berada didepannya "Lo kenapa Gin? Woy sakit!" Nadya berhenti memukulnya dan menatapnya dengan garang "Siapa lo? Seenaknya ngerangkul gue." Dirga menurunkan tangannya yang sedari tadi digunakanya untuk tameng dari pukulan itu. Nadya membulatkan matanya ketika mengetahui siapa yang sedari tadi dipukulnya. "Lo bukannya temennya Vanna?" Tanya Dirga setengah kaget. Jadi, ia salah orang? Ah sangat memalukan. Dengan sifatnya yang seperti biasa untuk menutupi kekagetannya, Dirga memasang wajah datarnya. "I-iya." Nadya langsung merutuki kebodohannya. Disini, Dirga yang salah, kenapa dirinya yang takut. Ia mengumpulkan semua keberaniannya dan menatap Dirga tajam "Maksud lo apa tadi?" Dirga menaikan satu alisnya. Gadis didepannya ini protes tentang apa yang dibuatnya? Apa cewek itu tak takut? Atau pura-pura tak tau? "Gue salah orang." "Gue gak nanya ya. Lo itu udah melecehkan harga diri gue sebagai cewek tau gak? Dasar cowok modus! Hidung belang!" Dirga lagi-lagi dibuat heran. Gadis dihadapannya ini sangat membesar-besarkan masalah. Ia hanya merangkulnya dan itu disebut melecehkan harga diri? Benar- benar gadis abnormal. "Terus mau lo apa sekarang," Dirga berkata dengan nada datarnya. Nadya terlihat berpikir lalu dengan cepat menggeleng "Gue gak bisa disuap dengan hal apa pun." Dirga mendengus. Baru pertama kali ini ada seseorang yang memarahinya. Dan bertemu gadis yang bisa dikata aneh. "Dirga. Lo gue cariin dari tadi tau gak." Dirga dan Nadya langsung menoleh dan langsung mendapati seorang gadis cantik. "Ini siapanya lo Dir?" Tanya Gina sambil memandang Nadya. "Ini pacar lo? Haha mampus, udah punya pacar masih modus ke orang." Dirga menatap Nadya jengkel. "Heh cewek receh. Kalo gak tau apa-apa lebih baik lo diem. Ayo Gin." Dirga langsung pergi bersama sepupunya meninggalkan Nadya yang masih mencerna perkataan Dirga. "Apa dia bilang? Cewek receh? Ihhh dasar cowok m***m!" Geram Nadya yang masih tetap ditempatnya. °°° 06.45 Vanna sedari tadi berjalan mondar-mandir di ruang tamu dan sesekali melirik arloji putih yang melingkar manis ditangan kirinya. Sumpah serapah terus keluar dari mulutnya mengingat Raffa yang sedari tadi tak muncul-muncul. Lima belas menit lagi gerbang ditutup, dan ia masih dirumah? Jika tidak mengingat janjinya pada cowok itu, mungkin Vanna sedari tadi akan memilih berangkat sediri dengan angkutan umum. Kakinya berhenti melangkah. Ia menghembuskan nafas perlahan untuk menenangi dirinya sendiri dan mengambil tas yang ia taruh di sofa lalu melangkah keluar rumah. Masa bodo dengan Raffa yang akan datang menjemputnya. Siapa suruh datang terlambat. Vanna menutup pagar rumah yang terbuat dari besi tersebut lalu berbalik. Matanya menangkap motor sport merah dengan sang pengemudi yang masih menggunakan helm. Vanna memutar bola matanya malas sambil berdecak. "Lo dari mana sih? Kenapa lo lama banget datengnya? Seharusnya dari tadi gue udah di sekolah. Lo tuh nyeㅡ" "Mau naik gak? Mau terlambat?" Potong Raffa. Diliriknya sekali lagi arloji dan... Shit. Waktu mereka lagi sedikit untuk sampai ke sekolah sebelum gerbang ditutup. Dengan cepat Vanna naik ke jok belakang. "Pegangan. Gue ngebut." Vanna memegang tas Raffa dengan erat. Raffa melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Tak peduli dengan teriakan Vanna yang terus mengumpatnya karena hampir menabrak orang. Sekolah sudah didepan mata, dan Raffa menambah laju motornya melewati satpam yang baru saja akan menutup gerbang sontak membuat satpam tersebut tergelonjak kaget. Vanna turun saat Raffa sudah memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Kepalanya agak sedikit pusing. Dan ini pertama kalinya ia seperti ini. Matanya melotot kearah Raffa yang sedang membuka helm-nya. Ia tak akan melupakan kejadian tadi, dimana polisi sempat mengejar mereka karena Raffa sangat ngebut. Dan untungnya polisi tersebut tak bisa menangkap mereka sehingga Vanna bisa bernapas lega. "Lo mau nyari mati apa? Gimana kalo kita ketangkep tadi?" Raffa menyisir rambutnya menggunakan sisir kecil berwarna pink yang dibawa-nya lalu mengacak rambutnya kembali. Raffa menatap Vanna lalu tersenyum tipis. "Seru kan? Kapan-kapan ulangi lagi ya. Berasa balapan." Kata Raffa enteng sambil berjalan dahulu melewati Vanna yang masih menatapnya tak percaya. "Lo gila." Raffa yang masih bisa mendengar umpatan Vanna lalu ia mengacukan jempolnya tinggi. °°° Mendengar penjelasan guru adalah kewajiban seluruh siswa termasuk Vanna. Dan ini adalah salah satu pelajaran kesukaannya, yaitu kimia. Dan berhubung guru tersebut keluar lebih cepat, Vanna menghidupkan ponselnya lalu mencari tentang sejarah. Ia heran dengan semua orang. Kenapa mereka sangat bosan dengan pelajaran yang satu ini. Sebenarnya dulu ia berharap bisa masuk ke kelas IPS agar dapat menerima pelajaran sejarah terus. Menurutnya ini sangat menarik, dimana perang dunia satu dan dua yang membuat dunia terguncang. Hampir semua negara turut serta masuk dalam peperangan tersebut. Itu sangat seru menurutnya. Dan ia juga sangat tertarik membaca sejarah Yunani, mitologi. Itu sangat keren baginya. Sering kali ia menghabiskan waktunya untuk membaca di mbah google berkaitan tentang sejarah. Menurutnya pelajaran sejarah adalah pelajaran yang tak terlalu menguras otak. Bisa dibilang otaknya mampu menyimpan dan mudah mengingat apa yang ia baca. Tetapi ia masuk kelas IPA, dan ia juga tak mau pindah kelas, karena memang dibanding sejarah, ia lebih suka biologi. Lagi pula ia bisa belajar sendiri tentang sejarah. Lena dan Nadya mendekati Vanna yang masih sibuk menyimpan buku yang sempat dikeluarkannya kedalam tas. "Tadi gue main game sampe badan gue pegel." Kata Nadya sambil merenggangkan ototnya. "Dasar. Udah, ke kantin yuk. Gue laper." Timpal Vanna dan langsung dianggukin Lena dan Nadya. Kaki jenjang mereka menyelusuri koridor sekolah yang menuju kantin. Sambil tertawa ria mereka menceritakan tentang kejadian yang dialami mereka masing-masing belakangan ini. Contohnya Lena yang tak sengaja menumpahkan cat tembok ke lukisan kakaknya saat ingin menutupi noda di tembok kamar kakaknya. Dan bernasib, ia di marahin abis-abisan oleh kakaknya tersebut tanpa jeda. Sedangkan Nadya, ia ingin mencoba hasil praktik yang ia kerjakan disekolah. Yaitu membelah perut katak di rumah, tepatnya ia buat di dapur. Nasib-nya pun juga tak baik karena ia membawa katak sekitar lima dan menaruhnya didekat dapur dan ia tinggal untuk mengganti baju. Alhasil mamanya menjerit ketakutan karena katak-katak yang masih hidup tersebut keluar dari toples yang tak ditutup rapat, dan bernasib ia di ceramahi seharian penuh karena kejadian tersebut. Lain orang lain juga ceritanya. Kejadian yang dialami Vanna yaitu, ia sedang bermain basket didekat komplek rumahnya. Saat akan melempar ke-ring, bolanya memantul kesegala arah lalu berakhir di kepala pak Rajen yang sedang lewat di dekat lapangan basket. Dan ia di ceramahi oleh Mamanya dan bola basketnya disita selama sebulan. Lena dan Nadya ngakak mendengarkan cerita Vanna. Sesampainya di kantin, mereka memilih meja yang berada ditengah dan duduk disana. Vanna mengedarkan pandangannya tetapi tak mendapat seseorang yang ia cari. Ia mencarinya bukan karena ingin duduk dengannya. Tapi Vanna hanya heran karena biasanya Raffa paling cepat datang ke kantin. Vanna mengidikkan bahunya acuh. Toh ia bukan siapa-siapanya Raffa. Buat apa ia mengkhawatirkan Raffa? Ah apakah ia bisa menyebutkan itu kekhawatiran. Itu hanya perasaan heran. Ya hanya heran. Saat sedang menikmati makanannya, seseorang menaruh sebotol air mineral dan handuk kecil membuat penghuni meja tersebut mendongak dan mendapatkan Dirga yang memasang wajah cool-nya seperti biasa. "Samperin Raffa. Dia lagi kena hukuman dari bu Nita." Vanna menaikan satu alisnya. Saat hendak menjawab, seseorang yang terlebih dahulu menjawabnya. "Kenapa harus Vanna?" Vanna melirik Nadya yang membuka suara. "Emang apa urusan lo. Gue ngomong sama temen lo ini, kenapa lo yang sewot?" Nadya hanya mendengus. Vanna menatap Dirga dan Nadya bergantian. Sebenarnya mereka ada apa sih? "Dimana dia?" Tanya Vanna pada akhirnya. "Dilapangan upacara. Lagi hormatin merah putih." Vanna mengangguk lalu mengambil yang Dirga berikan dan berjalan keluar kantin. Sesampainya di lapangan upacara, mata Vanna mendapati Raffa yang masih dengan tegap berdiri sambil hormat didepan bendera merah putih. Semua siswi sedang asik menonton Raffa yang terlihatㅡjika Vanna bisa akui Raffa terlihat keren. Tak hanya itu, beberapa siswi sampai ada yang menjerit karena Raffa mengusap peluhnya yang berada kening menggunakan lengannya. Yang menjadi perusak pemandangan adalah seorang cewek dengan penampilan seragam yang ketat dengan rok pendek yang kekecilan, dan rambut digerai yang berada disamping Raffa sambil melap keringat Raffa tetapi terus ditolak Raffa. Dengan segenap hati, Vanna melangkah mendekati Raffa membuat Raffa dan perempuan tersebut  menoleh. Raffa langsung tersenyum mendapati Vanna yang sekarang berada didepannya. Vanna menyodorkan handuk kecil dan sebotol air mineral yang didapatnya dari Dirga dan dengan senang hati diambil Raffa membuat cewek disampingnya mendelik sebal. Raffa melirik perempuan tersebut lalu mendekat kearah Vanna. "By the way, cewek gue udah ada disini. Mending lo pergi aja." Perempuan tersebut menghentakan kakinya lalu menatap Vanna tajam dan pergi tanpa mengucapkan sepatah dua katapun. Raffa menghembuskan nafas lega. "Untung lo datang." Vanna mengkerutkan keningnya bingung. Seakan mengerti, Raffa menarik lengan Vanna untuk duduk dipohon terdekat. "Tadi tuh namanya Starlet. Cewek yang ngejar gue. Lo liat penampilannya tadi kan? Kek cabe-cabean aja. Untungnya lo dateng nyelamatin gue." Vanna hanya ber'oh saja mendengarkan penjelasan Raffa. Teringat sesuatu, Vanna menatap Raffa lalu bertanya "Kenapa dihukum?" Raffa melap wajahnya yang penuh keringat "Tadi isengin anak orang." Katanya santai. Raffa membuka tutupan air mineral lalu meneguknya hingga tersisa setengah. Siapa pun yang melihat cara minum Raffa pasti tau jika ia sangat haus. "Capek ya?" Raffa tersenyum "Biasa aja. Gue udah sering kek gini. Menurut gue ini yang mewarnai hidup gue." Vanna hanya mendengus mendengarkan jawaban Raffa. Kadang ia aneh dengan Raffa. Kenapa ia sangat suka mencari masalah? Ingin sekali ia bertanya seperti tersebut. Tapi mengingat dirinya yang baru mengenal Raffa dua hari lalu mengurung niatnya. "Sebentar dinner yuk." Vanna menatap Raffa yang tiba-tiba membuka percakapan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka. Membuat rasa panas karena teriknya matahari digantikan dengan kesejukan. "Tumben ngajakin." "Bukannya gue udah janji ya kemaren?" Vanna membulatkan matanya. "Beneran? Gue kira kemaren hanya bercanda." Raffa tertawa lalu mengacak rambut Vanna. "Gue orangnya nepatin janji kok. Gue kalo udah janji gak akan ingkari." Vanna tertegun mendengarkan perkataan Raffa. Ia kira Raffa hanya bercanda soal makan tersebut. Tetapi kenyataannya Raffa sekarang mengajaknya dinner. Ini membuat jantung Vanna ber-irama tak menentu. Entah kenapa rasa gugup menyelimuti dirinya. "Mau gak?" "Iya." "Oke. Gue jemput jam lima. Udah bel masuk. Gue anterin ke kelas lo." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD