1
Dalam perjalanan hidup. Aku adalah lelaki yang terlahir dari kesederhanaan. Aku adalah febri. Gelap malam dan raungan perih adalah ratapku.
Akulah yang terhempas dan terputus. Dari segenap cinta dahulunya, terasing dari segala arah. Tersingkir karena ekonomi lemah.
Jiwa apakah kau ingat, Ada mimpi pertama yang hadir, Semasa aku adalah kanak. Datang menjelang, bertandang gemuruh dalam keinginan jiwa.
Reflesia sebuah nama. Seorang bidari pasti tentunya. Dialah mendobrak arif memakan skala nama. Tapi aku adalah ekonomi lemah. Menatapnya adalah sebuah bahagia.
Itu saat aku masih kanak.
Sisi kisi lain cerita nya. Aku adalah terpintar di sekolah. Tapi hidupku zamanku bukan itulah sebuah mutu.
Hanya uang dan kilauan dunia yang mampu membelenggu.
Kemudian hilang di giling masa dan waktu. hingga...
Rentang waktu berjalan, lewati masa dan tanah. Seakan meretak meribu jari. Remajaku, aku lah sang lika liku katanya. Memendam sukma dalam harap hampa. Mencinta hanya tatapan yang bisa. Ahai kau jiwa, Terlahir dalam kata.
Aku jelas mengingat hampir segala. Saat smp masa-masa. Aku jatuh cinta kepada wanita dia adalah adha.
Jiwa ku terbantai mengeri, Darah tak lagi mengalir dari luka. Asa tak lagi bermakna. Saat dia berkata.
"Aku memilih dia"
"aku cinta" Saat aku bicara.
Habis sudah, ini kali kedua aku terluka. Tertawa lah kemudian aku menangis.
Tak ada bahasa dari sejarah cinta yang patah. Diam adalah mutlak menjadi azanya.
Ekonomi rendah ya ekonomi rendah.
Hanya kata terucap dalam bahasa. Sebuah buku bertulis aksara. Atau berteriak dalam malam-malam buta.
Aku adalah sepi meski ku bukan lah sendiri. Riakan air muka kolam jiwa. Dan bisikan nurani Juga perang skala dalam berlari di benak ku.
Kawan ini bukan lah novel, ini hanya sebuah cerita cinta, yang menari dalam panggung ke pura-puraan. Atau bahasa rindu kepada dahana.
Ini adalah aku, Yang berkata dalam nada-nada. Menukis aksara tanpa harap di baca mengingat diri dalam segala cerita.
PASRAH
by.febri
Diam menuai makna seribu rasa...
Cemburuku menyapa dengan isyarat...
Andai mampu ku gapai...
Kubelah mimpi, ku peluk kecup asaku...
Tak akan ku lepas...
Diam menjadi saksi bisu...
Di diam dinding aku berbisik...
Aku mencintai nya...
Dan di diamku ada luka menganga...
Diam mengakhiri kisah-kisah...
Menjadikan kata sebuah tujuan...
Cinta putih harus memiliki...
Namun azaz diam ku berbisik..
Pasrah...
RUMAH PUISI
Pedih memang, tapi apalah daya. Waktu memihak entah kapan dan dimana.
Hingga waktu menjelang. Datang bertandang di rumah kadang. Seraut wajah mengulum senyum sempurna.
Dia nel lah namanya. Aku tahu aku bukan cinta. Tapi mencoba lari dari rasa-rasa kecewa. Berbagi takdir dalam luka.
Tapi apalah daya, Ekonomi lemah adalah penentu segala arah.
"Jangan cintai aku"
Katanya, saat aku katakan
"Aku jatuh cinta"
Namun jiwa adalah gelora. Sehingga aksara merambah asa. Tulisku.
DOA
by.febri
Di jantung mu jantungku kan berderak...
Mengalir setiap saat darah kecintaan...
mendahar bayang skala di jiwa mu...
yang tinggal hanya aku
Rumah puisi
Dimasa yang sama waktu berbeda. Ayah pergi menuju ilah. menggenggam amal entah lah berapa dosa. Tautan ku dengan nya hanyalah doa.
SELAMAT JALAN AYAH
by.febri
Ajal datang tanpa mengira..
Aku belum berbakti...
Maharaja duka bertakhta...
Kepergian mu tanpa kembali..
Buat ayahku, selamat jalan ayah.
Hanya doa yang ada. Tangan ku lelah gemulai. Tak mampu lagi menulis aksara. Hanya ampun dan maaf saja. Selamat jalan ayah..
Rumah puisi
Air mata apalah makna. Tambah terasing aku adalah ekonomi lemah. Kakek memang veteran. Pahlawan hanya dapat berapa. Tanpa bermakna buat keturunan nya. Hanya gelar pemuda panca marga.
Aku ingin sudahi saja segalanya. Biarlah menjadi sekolah rendah. Usman Gumanti namanya. Guru yang memberikan biaya. Hingga SLTP saja.
Terima kasih disini aku ucap. Untuk pak Usman gumanti yang biayai aku hingga tamat. Terimakasih.
Tapi bukan ini kisah cerita nya. Ini tentang aku. Yang makin di buli tak menentu. Tanpa kenal waktu.
Merajam kataan mereka di jiwa. Saat aku di katakan tak punya harga. Mata memandang hanya sebelah.
Aku lah saat itu tanpa ayah. Jangan di tanya kawan betapa pedih perih nya.
Cinta tak ada lagi bahasa. Makin tersudut jauh, aku makin melemah saja. Meski aku adalah IQ di atas rata2. Sang juara dari sd sampai akhir nya sekolah.
Di raut mereka itu bukan bermakna. Aku menjadi ada jika berguna. Antara adakah menjodohkan satu dengan sesama. Mengerjakan suruhan tanpa upah.
Waktu berlalu enggan kujalani. Berat hidup serasa mati.
Beberapa dara pernah kucinta. Makin jauh saja. Luka semakin dalam. Derita semakin tajam.
Amora namanya, seorang sahabat yang berbeda. Tak melihat harta. penuh jiwa yang ter tata. sang pujangga meja.
Juga seorang kakak tentunya. S.atong begitulah kami memanggil nya. Dia punya cerita, Tentang SIUNG-SIUNG KELANA.
Sebentar hanya sebentar saja. Biarkan aku cerita tentang amora. Dengan puisi nya yang masih ku ingat serta.
Sebelum nya ada yang sama. Membaca buku adalah keseharian tanpa cela. Pendekar dan novel ataupun buku lain nya.
Antara sang pujangga negara
KHAIRIL ANWAR dengan buku AKU BINATANG JALANG NYA. Kami santap segala. Tak percaya kah, akan kutulis beberapa penggalan puisi nya
Aku
Bila sampai waktu ku
ku mau tak seorang pun kan merayu
tidak juga kau.
ini penggelan sepintas. Atau berangkali sajak putih nya.
Bersandar pada tari warna pelangi.
kau depan ku bertudung sutera senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambut mengalun bergelut senda
atau Derai-Derai cemara
Cemara menderai kian jauh
terasa hari akan jadi malam
Begitu lah aku dan amora. Sahabat yang tengah diam disana. Pernah sewaktu, dia menceritakan aku. Dalam segenap aksara beku. Saat aku tak berani lagi berkata cinta. Begini bunyi nya.
Tersirat
by.amora
Berbasa sebagai aku di negeri sana
yang terasa masih itu-itu saja
perindahan majas hanya lukisan
tersirat
Di dalam sana berkata
Menyemburat hingga merona
Di rona mu
Aku tahu..
Pernah juga sekali waktu. Saat aku mengatakan rindu, pada bidari di ujung pilu. Beliau katakan erni begitu kami memanggil nya. Aku tuliskan tulisan pada kertas. tanpa nama dari siapa. Hanya bertuliska Dari sang perasa.
Seperti biasa, sebelum sang bidariku membaca guratan nilai sebuah hati. Hanya satu kata. Maaf.
Hati ku sekarang gelap membuta. Tak tahu lagi mau bicara dimana. Lelah menusuk menghantam segala sisi. Karena melihat kau sang bidadari. Aku rindu tapi terus saja menanti.
Kali ini aku turut cerita. Pada lembut batin ku saja. Menatap bayang mu, kemudian aku cumbu. melihat senyum mu kemudian aku pilu. Di nyata aku sendiri.
Tapi kali ini, aku hampir tak peduli. Kubiarkan tangan ku mengungkapkan rasa. Dalam kertas dalam asa. Aku jatuh cinta
begitulah bunyi nya. Tapi aku berpura menjadi pengantar saja. Dia terdiam membaca. kemudian bertanya dari siapa. Aku hanya tertawa.
Dia tersenyum sipu. Aku terharu. segenap beberapa waktu. sang pria lain melamar nya. Dia terima, aku terluka.
Hingga...
Aku berkumpul sesama setelah dia cerita.
Aku tulis saja dalam rasa marah
Perempuan
by.Febri
Sebenarnya perempuan sebagian adalah apa.
Apakah seorang terombang suara.
Berpindah kemudian bergelut tanpa cinta
Ataukah Seonggok daging dengan pendirian lemah.
Rumah puisi.
Dia membaca dan tanpa bicara, mendaratkan tangan di mukaku. Tanpa bahasa, mungkin saja itu qolbu. Dia menatapku, tetesan air mata mengalir. Seperti sungai-sungai. Aku entah harus bagaimana. Dia pergi.
sebentar kawan kita kembali ke amora.
Masih kisah-Kisah di sana, kampung ku. Amora juga Viora.Seorang gadis yang dia cinta. Berakhir luka baginya.
Luka melahirkan sajak pada putih kertasnya. Namun hanya sekejap saja. Asap berhenti dari bara padam.
Di lain waktu masih alur ku. Aku ingin cepat berlalu. Disini hanya ada rindu. Disini tak berarti sebuah qolbu. Aku muak disini.
Ah, sang waktu, berganti lalu tanpa kembali. Aku berakhir sudah sekolah. SLTP adalah pendidikan sekolah rendah. Hanya begitulah aku mampu, dan tak mungkin jauh menuju. Arah tak tentu.
Aku punya sanak saudara, oom begitulah aku memanggilnya. Nun jauh di kota. Pekanbaru begitulah katanya.
Aku adalah cucu seorang veteran yang di negeri ini mungkin tak bemakna. Ataukah aku yang salah sangka. Entah lah.
Biaya sekolah adalah hutang akan bertambah. Hampir saja, ya hampir saja.
Surat itu datang dari oomku, Menyuruh pergi ke pekanbaru. Belajar tentang pahit hidup. Belajar pengabdian.
Ahai jiwa. Aku terombang ambing dalam suasana fana. Seorang anak desa bisa belajar di kota. Meski setahun sudah tak masalah.
Zahir akhir aku pergi juga..
Bus itu bernyanyi aku tak mengerti. Yang terasa hanyalah pening kemudian aku tidur tanpa mimpi.
Selamat datang kotaku, pekanbaru ku. Aku pertama injakan kaki di kota adalah bumi mu. sesaat lancang kuning mu berkibar bangga, saat itu aku tidak tahu.
Sudah akhirnya sampai juga. Dirumah sanak kadang saudara.
Hanya sementara mungkin ini kata yang terasa bahasa nya. Lima belas hari saja, kemudian aku bekerja.
Diary ku kerap ku bercerita saat itu. Kupikir kebaikan segalanya, akulah anak desa yang tidak tahu. Atau aku yang tak bisa mengerti. Bahwa kota adalah wujudkan mimpi. Bagi saudar pendatang seprti ku adalah musibah. Karena rezeki berbagi sudah.
Delapan bulan masa-masa. Waktu bekerja di toko sepatu tanpa seorang bidada sorga.
Ah aku hampir lupa. Tentang Norma sahabat kecilku di Sumbar sana mengirimkan surat dan kata cerita. Dia akan menikah.
Aku terkejut bukan apa-apa. Itu surat pertama yang pernah aku terima. Terima kasih norma. Tahun 2000 itulah pertengahan itulah kisah nya.
Saat berakhir kerja. Pulang menuju bunda tercinta. Berbagi cerita, ini lah kota.
Dia waktu itu adalah bidadari yang ku puja. Berlari dari jauh ku. Aku sumpah rindu segala. Menarik tangan nya lembut berputar kata. Di Adha itu namanya.
Namun cinta dari sekolah ekonomi rendah apalah daya. Yang ada aku baginya bukanlah sesiapa. Kembali terasa. Selamat datang luka. Terbait puisi saat itu seketika.
AKU JUGA BISA
Akun teriak..
pada siapapun mendengar.
Aku juga bisa
Hentikan pandangan hina mu itu
Aku ini juga manusia
Dari kumpulan cinta sekolah rendah
Bila nanti sampai waktu suksesku
Aku akan buktikan, kulihatkan
Dendam dan perih ku bawa pergi
jauh
Hingga nanti masa kalian tahu dan peduli
Aku takkan berhenti
Hingga sukses menempuh diri
RUMAH PUISI
Begitu lah tulisku waktu itu. Kemudian Aku bawa pergi dendam dan juga pandangan orang-orang disini. Pandangan remeh mereka. Harga sebuah diri adalah materi. Tak lagi bemakna, arti diri di balik diri tak berarti ada dimana.
Memang begitu lah adanya.
Jangan ditanya atau katakan tentang cinta. Hanyalah sandiwara di panggung pura-pura.
Aku bosan disini. Di buai mimpi tak berkesudahan. Di bantai debu-debu kemiskinan. Yang ada hanyalah tertawaan.
Makanya aku pergi
Pekanbaru aku datang lagi. Pulang kerumah sanak kadang, tapi aku nya sendiri apalah arti.
Yang ada aku hanya di tendang di buag. Aku masih kecil lemah tak berdaya. Berkelana di antara rimba batu kota.
Berjalan antara riuh rambah resah jalanan. Bertarung dengan rasa pedih dan kehilangan. Aku sekarang adalah benar adanya. Kata sang pujangga dalam bait sebuah makna. Aku ini binatang jalang. Dari kumpulan yang terbuang.
Sebentar ada sanak kadang ku temui. Meminjam uang untuk semangkuk nasi. Yang ada aku makin parah.
"Aku tak bisa, mendingan tali persaudaraan kita putuskan.
Begitu katanya, Aku harus apa.Selain menyusuri jalan menatap jauh kehidupan.
Dia di panggul lina. Seorang sanak kadang sepermainan pula.
Saat lapar dan resah datang. Aku rindu ibu, ingin menangis di peluk nya.
Kadang aku benci jadi dewasa. Tapi waktu bukan lah kira-kira.
Hanya keinginan yang terngiang dalam hati. nasehat berkata dalam Rasa.
NASEHAT IBU
Nak...
Tantang saja dunia dengan pahit perih mu.
Segala akan berlalu dengan waktu.
Semua kilauan sepertierayu
Kau mesti bisa menyatu.
Kembangkan saja layar mu. Dan lajukan meski dengan perahu.
Hadapi ombak, Badai adalah sahabat mu.
Jika nanti kau berjalan di daratan
Simpang kau temukan.
Kiri merayu kanan menyeru.
Ambil tengah nya dua-dua nya tak terpisah.
Nak...
kembali pulang saat kau menang.
Jangan jadi raja-raja kalah.
Berjalan malu menunduk-nunduk.
Dirikan panji-panji mu.
Rumah puisi
Mungkin hanya itu yang aku ingat. Lebih nya terlebur dalam masa-masa.
Cerita aku lanjutkan saja.
Sore menjelang malam. Oom ku datang memberikan kehidupan. Tak salah rasanya aku berkata begitu. Aku di kostkan dan disana aku bermalam.
Namun apalah daya kata untuk bicara. Pistol di todongkan kepalaku. Oleh mereka preman katanya. apa lah daya.
Aduh hai sang takdir, kenapa aku masih di buai dalam lelah resah. Berjalan satu-satu. kepala mau pecah. Tiga hari di kos-kosan semua raib sudah. Baju sepatu atau apalah namanya.
Aku marah, tapi tak punya tenaga dan daya.
Disini semua aku ceritakan apa adanya.
Seorang teman datang jumpa dengaku. Aku bercerita rasa pilu. Aku di bawanya ke rumah nya. Arengka. Namanya Beni oxa Hendra.
Sekarang dia bersama sang penguasa jagad raya. Entah sorga atau neraka. Tapi di balik semua. Dia kakak bagiku bagi jiwa.
Disini juga banyak kisah-kisah. Aku tuliskan beberapa saja. Teramat jauh nanti jika di cerna.
Aku dibawa dalam berjualan pinggir jalan. Membuat plat no atau menghias motor, buka Variasi. Begitu lah namanya. Gaji hanya lah sebatas makan dan rokok saja. Tapi bersyukur aku punya kadang saudara.
Tapi jangan pemah mengira semua selesai terus aku bahagia. Tidak kawan tidak. Masih panjang perjalanan ini yang pahit nya harus aku telan. masih jauh titipan kebahagian itu memapan.
Hanya satu kata yang mungkin aku syukuri. Ibuku di anggap ibu oleh Beni. Hanya ini. Selebih nya, entah lah. Mungkin karena seperti saudara kami sering berkelahi juga.
Kadang oleh rupiah. Atau masalah dia. Ah, abg ku itu sekarang telah tiada. Tapi biarkan aku sedikit cerita. Setidak nya dia abadai disini.
Di dalam tulisan ini
Biar aku abadikan saja dia. Dalam cerita, sajak dan doa.
Namanya Beny oxa Hendra, dia memberi nama untuk diri nya sendiri.
Bagaimana aku mulai cerita. Aku tuliskan saja semua yang ku bisa.
Entah lah. Jelas disini aku punya tempat berteduh. Dia kakak ku membawa aku. Dalam perjalan panjang kisah pergaulan.
Memacu dalam sorga dimensi, dia tak berhenti. Terus saja mencari diri dalam diri.
Hitam gelap pekat selimuti lelangkah nya. Bermacam bentuk di mensi, mencoba membuat dia melambung. Jauh tinggi ke alam khayal.
Terkadang memacu birahi, mencari betina tangguh. Atau bergelut dalam dunia malam, kemudian pagi nya terjatuh.
Tapi, percayalah kawan. Dia pejantan tangguh. memegang teguh tanggung jawab yang terpikul.
Aku.kenang cerita dia. Cerita dia aku ceritakan kembali.
Terlantar dari hasil peekawaninan orang tua yang tercerai. Bermain dengan selimut debu jalanan
Sore nya menjejalkan koran.
Begitu masa kanak yang dia lalui. Hingaa ketika remaja datang. Pergi juga lah dia. Datang dari jakarta ke kota bertuah.
Memulai segala dengan cara apasaja. Yang penting, mungkin suatu masa dia dalah raja.
Dengan nya aku tak tahu. Apakah mesti bersyuku,r ataukah marah, berangkali berlalu. Entah lah.
Sulit menceritakan antara fakta nyata dan ego rasanya.
Arengaka ujung nama daerah nya. Ah, disini aku mengenal kembali satu biradari senja.
Begini cerita nya...
Senja itu..
Mentari seakan enggan meninggalkan bumi. Aku tertidur di bangku tempat jualan variasi. Satu bidadari datang. Bg beny belum pulang. Bg beny masih disini bersamaku.
Dia memanggil bidari itu,
"Nul ini adek aku" Bg beny berjata
" Dia pemalu" Sambung nya.
"Dia jomblo" Ucapnya lagi.
Dan mencoblangkan aku dengan bidari itu.
Dia jelita, rambut hitam harum bergelut senda. Tinggi rata manusia biasa.
"Ainul" Katanya.
Tangan nya mengulur padaku.
"Febri" Jawabku.
Aku sambut, tangan kami bergelut. Lembut bak kapas.
Aku melihat tatap matanya. Bening sembunyikan makna. Sirat rasa dari suka berbisik. Hati kami mulai terusik.
Di mulai sebuah kisa antara.