Bab 3

1155 Words
Ringgo kembali menatap mereka satu persatu dan berkata, "Tujuh belas tahun yang lalu, aku menikah di Spanyol, dengan perempuan Spanyol, dan kami memiliki seorang anak laki-laki berusia tujuh belas tahun." Wajah Ray dan Jenia pucat karena terkejut, Ronan terbelalak melihat kakaknya. "Dan aku tidak tahu mereka sekarang berada di mana." tambah Ringgo. Keheningan kembali melanda, belum ada yang bersuara karena masih mencerna informasi yang baru saja mereka dapat. Ray menatap putranya tajam yang dibalas Ringgo dengan sangat serius dan dia tahu anaknya berkata jujur. "Terakhir aku mendapat info kalau, Aurora, berada Swiss, dan aku mengejarnya ke sana, tapi aku gagal menemukan mereka dan saat di sana lah aku tahu kalau kami memiliki anak," lanjut Ringgo. "Aurora?" Ronan kali ini berkomentar. "Nama istriku Aurora Isabella Vazcѐz. Dari keluarga Castillo De Vazcѐz." Ray dan Jenia menarik nafas terkejut. "Keluarga Vazcѐz? Castillo De Vazcѐz? Keluarga kaya raya Spanyol itu?"  Ray memastikan.  "Tapi keluarga itu semua dibunuh Ringgo." ucap Jenia sambil menatap putranya bingung. "Putrinya selamat," ujar Ringgo. "Ya Tuhan, kau dalam masalah, Nak."  Ray duduk tegak dan gusar. "Lebih bermasalah lagi karena aku tidak tahu keberadaan istri dan anakku." "Apa kalian saling mencintai sampai kalian menikah buru-buru tanpa memberitahukan pada kami?"  tanya Ray penasaran. "Tidak." "Kau dijebak?" Ray tampak bingung. "Bukan dijebak, aku menikahinya penuh kesadaran. Ceritanya rumit." "Maksudmu?" Ray mulai tidak tenang. "Awalnya aku menikahi Rora, untuk melindunginya dari sepupunya yang mengincar hartanya dan memaksa Rora untuk menikahi dengannya. Dan setelah kami menikah, harta tersebut langsung di pindahkan kepadaku, kami berencana akan melakukan pembatalan pernikahan secara diam-diam jika keadaan sudah aman. Dan warisan Rora akan aku kembalikan."  Ringgo menjelaskan. "Sepupunya tau kalian menikah?" tanya Ray. Ringgo mengangguk. "Ya, dan dia tidak melakukan apa-apa."   "Kau yakin yang dihindarinya sepupunya?" "Entahlah, Papi, aku tidak yakin." "Okay, berapa lama kalian bersama setelah menikah?" "Hanya dua belas jam, sore kami menikah, malam kami bercinta dan paginya dia menghilang sampai sekarang." Ronan tertawa mendengar kisah kakaknya yang tragis dan pria itu langsung berhenti tertawa begitu dipelototi oleh Jenia. "Papi mengerti, seks terkadang tidak butuh perasaan," ucap Ray. "Kami bercinta, bukan sekedar seks." Ringgo memandang ayahnya sedikit tersinggung. Ray tersenyum penuh arti, lalu berkata, "Tapi kau bilang kalian tidak saling mencintai." "Saat itu memang tidak ada cinta di antara kami, tapi kami sama-sama tertarik dan bukan hanya sekedar seks." Jenia berdehem dan menatap Ray agar tidak membahas soal kehidupan seks putranya. "Dan saat ini kau mencintainya?" tanya Jenia. Ringgo tidak mejawab pertanyaan ibunya mengenai perasaannya. Sebaliknya dia berkata, "Aku harus menemukan mereka, terlebih kami memiliki anak dan aku tidak akan melepaskannya sampai kapanpun." Ray menghisap rokoknya dan bertanya, "Langit tidak bisa membantumu untuk menemukan mereka?" "Istriku lebih pintar bersembunyi daripada siapapun,"  jawab Ringgo. "Dan menurutmu mengapa istrimu si nona Spanyol ini bersembunyi?" "Aku tidak tau, Papi," jawab Ringgo sambil merenung. Ray menarik nafas dan memandang Jenia mantan istrinya itu. "Baiklah ... kurasa kau tidak perlu lagi memaksa putramu Jenia, sudah jelas kita memiliki menantu dan seorang  cucu remaja dan seorang Tahitu... ya Tuhan!" Ray menggeleng tak percaya. "Ini seperti mimpi," Jenia masih dalam kondisi terkejut."Kenapa kau menyembunyikan hal sebesar ini dari kami Ringgo?" tanya Jenia tak percaya. "Rencananya aku akan memberitahu kalian sampai aku menemukan mereka, karena aku tidak mau kalian kecewa seandainya aku tidak bisa menemukan Rora dan putraku. Awalnya aku pikir pernikahan ini hanya sementara, tapi setelah kami tidur bersama, aku memutuskan serius menjalani pernikahan kami walaupun kami masih muda waktu itu, ditambah lagi setelah aku tahu kami memiliki anak, semua berubah, Mam." Ringgo menatap ibunya dengan rasa bersalah. "Kalau begitu, kau cari menantu dan cucuku sampai dapat, aku tidak melahirkan anak yang lambat Ringgo," ucap Jenia tegas pada putranya. Dia tidak bisa membayangkan seorang perempuan muda mengasuh anaknya sendiri dan bersembunyi entah di mana. Ringgo beranjak dari tempat duduknya, dan memeluk Ibunya. "Maafkan aku,Mam."  Ringgo serak menahan tangisnya, ada kelegaan saat dia sudah berterus terang pada keluarganya. "Mami akan memaafkanmu kalau istri dan anakmu kamu bawa pada kami," sahut Jenia  dan Ringgo mengangguk dipelukan ibunya. "Dan kau Roe, apa kau juga punya kejutan untuk kami?"  Jenia mendelik pada Ronan. "Tidak ada  Mam, sampai saat ini tidak ada," jawab Ronan dengan santai. Ray tertawa mendengar jawaban putra itu. "Kau masih bisa tertawa!"  cetus Jenia dan memandang sinis pada Ray. Ray tertawa menanggapi wanita itu, dan berkata, "Mereka ini memang selalu penuh kejutan Jenia, kau tidak ingat bagaimana Rizka membuat kita semua terkejut?" "Dan itu turun dari siapa?" Jenia mencemooh mantan suaminya. Ray langsung memutar bola matanya. "Ternyata kau masih dendam padaku ya?" Jenia mendengus dan pergi meninggalkan mereka. "Jadi apa tindakanmu selanjutnya, Ringgo?" Ray menatap putranya yang masih terlihat merasa bersalah itu dengan serius. "Entahlah, Pi, sampai saat ini belum ada petunjuk yang pasti. Aku hanya berharap ada keajaiban," ucap Ringgo lirih. "Papi, bangga padamu, Nak. Sekarang Papi mengerti alasanmu tetap hidup sendiri, ternyata itu semua karena kesetiaanmu kepada istri dan anakmu," kata Ray sambil tersenyum. "Aku yakin, Kakak pasti bisa menemukan mereka. Melihat akhir-akhir ini keberuntungan sepertinya berpihak pada keluarga Tahitu, mungkin kau juga akan mendapatkan hal itu, Kak." Ronan ikut mendukung kakaknya tersebut. "Thanks, Pi, Roe. Sekarang aku juga merasa lega setelah memberitahukan hal ini pada kalian," ucap Ringgo sambil berharap keberuntungan kali ini berpihak kepadanya.   "Mas Ringgo, tiket dan semua urusan imigrasi sudah oke. Nanti sore, Mas sudah bisa berangkat,"  lapor Flo asisten Ringgo pagi itu di kantor rumah produksi perfilmannya. "Thank you Flo," balas Ringgo. Wanita itu mengangguk dan meninggalkan ruang kerja bosnya itu. "Kau mau berangkat kemana, Kak?" tanya Ronan yang baru tiba yang sempat mendengar percakapan antara Ringgo dan sekretasrisnta tersebut. "Ke LA, ada festival lomba film pendek di sana. Aku diminta menjadi tim juri, sekalian aku juga mau mengurus beberapa hal untuk film terbaruku," jawab pria itu sambil mengajak adiknya duduk di kursi. Dua gelas kopi sudah terhidang di hadapan mereka. "Apa kau akan singgah ke rumah, kak Langit dan Rizka?" "Tentu saja. Aku sudah rindu, Phoenix," jawabnya sambil terkekeh, lalu menatap adiknya itu dengan serius. "Kau sendiri bagaimana? Masih betah di perusahaan?"  Ronan yang sudah bekerja di perusahaan keluarga Tahitu selama lima tahun ini sejak pernikahan Langit dan Rizka, mengangkat kedua bahunya. "Mau bagaimana lagi, kalau aku lepas tangan,siapa yang mengurus perusahaan? Yang penting hobbyku di dunia fotografer sesekali masih jalan, Kak." Ringgo mengangguk. "Kau sudah mengambil tanggung jawab yang besar Roe, melampaui aku dan Papi yang lebih mengutamakan impian kami." "Bukankah harus ada yang memulai, Kak? Lagi pula setelah aku jalani, cukup menyenangkan juga. Buktinya aku sudah lima tahun bertahan di sana," ucap Ronan terkekeh. "Apa kau masih mengambil proyek pemotretan?" "Sesekali aku masih mengambilnya. Proyek kecil," jawab pria itu enteng. Lalu Ronan menatap kakaknya. "Kau terlihat gelisah, Kak." Ringgo menghisap rokoknya dan mengangguk. "Belakangan ini perasaanku tidak tenang, aku sering mengingat Rora, dan juga memikirkan keberadaan anakku." Wajah pria itu tampak muram dan sedih. "Aku sedikit heran, kak Langit tidak bisa mencaritahu keberadaan istrimu ini, Kak." Ringgo menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Semoga saat aku bertemu dengan Langit nanti, ada informasi yang kudapat."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD