Vanie termenung dalam kamarnya,hingga tak terasa matahari telah digantikan oleh bulan. Bunyi bel pintu membuyarkan lamunan dan dengan menyeret kakinya dia membukakan pintu, setelah sebelumnya mengintip dari lubang yang tersedia di pintu hotel.
"Stevanie Wijaya!" seru Putra begitu pintu kamar terbuka. "Aku menghubungi ponselmu tetapi tidak aktif, kamu kenapa? Sakit?" pria itu benar benar mengkhawatirkan Vanie.
Vanie hanya menggelengkan kepala, lalu merebahkan diri pada ranjang yang besar. "Tubuhku tidak sakit Tra, tapi....hati ini. Hati ini bagaikan luka terbuka yang disiram alkohol. Perih, sakit..." ucapnya menerawang melihat langit langit kamar.
Putra mendekat, mengikuti sahabatnya dan tidur disamping Vanie dengan posisi tubuh miring menatap wajah cantik namun muram.
"Siapa yang telah menyakitimu sedemikan rupa Van?"
"Pria yang tadi kita temui Tra, Pria yang memiliki wajah serupa dengan Ardan. Nama pria itu adalah Sebastian Adam Nugroho." Vanie menarik napas panjang. Bahkan menyebut nama lelaki itu terasa seperti menyayat kulitnya, perih.
"Apa yang diperbuatnya Van?" Vanie diam, menimbang apakah perlu mengutarakan alasannya meninggalkan Amerika.
"Dia telah mengkhianati cintaku. Sehari sebelum hari pernikahan kami, Adam membawa berita yang teramat sangat menyakitkan. Dia menghamili mantan pacarnya Tra." ucap Vanie dengan suara hampir tidak terdengar.
"Lalu, karena patah hati kamu kembali ke Jakarta?" tanya Putra menyimpulkan.
Vanie mengangguk, "Sekarang aku menjadi tidak yakin kalau keputusanku kembali ke sini adalah tepat. Bahkan setelah mengancurkan duniaku dalam semalam, dia tidak memberikan kesempatan diri ini untuk pulih."
Putra merubah posisinya, kini ia duduk lalu menarik tangan Vanie untuk masuk ke dalam pelukannya. "Bersedih itu baik untuk jiwamu, tapi jangan berlarut dalam kesedihan itu. Menangislah sepuasnya malam ini, aku akan menjadi tempatmu bersandar. Luapkanlah semua kekecewaan, kegelisahan dan keresahan hatimu. Setelah itu, lupakanlah b******n itu Van. Ingatlah kau lebih berharga dibandingkan cintanya." ucap Putra dengan lembut, belaian tangannya pada punggung Vanie terasa sangat menentramkan hati wanita itu. Setidaknya kini ia dapat berbagi beban yang menghimpitnya pada pria itu.
Dua insan berlain jenis kini larut dalam perasaan masing masing terbalut pelukan yang menghangatkan hati. Vanie menumpahkan seluruh kekesalan, kesedihan dan kepedihan kisah cintanya dalam d**a Putra yang bidang. Mendengar debar jantung teratur milik Putra bak sebuah musik yang menyejukan jiwa Vanie hingga wanita itu merasakan kedamaian yang belum pernah di rasakan sepanjang hidupnya.
Drama keluarga dan percintaan yang dialami Vanie membuat wanita itu pesimis untuk dapat kembali merasakan arti sesungguhnya cinta dan kedamaian.
Putra kini paham kenapa wanita itu seperti melihat hantu ketika bertemu dengan Adam. Andai ia tahu cerita memilukan ini lebih awal, dirinya akan membuat perhitungan pada pria itu.
"Van...tidak semua pria seperti b******n itu, dia telah memalukan kaumku." ucapnya geram.
"Aku terlalu letih dan takut untuk memulai lagi Tra. Biarlah, kupikir hidup tanpa cinta akan lebih bahagia dari pada sakit akibat pengkhianatan seperti ini"
Jantung Putra terasa berhenti sesaat mendengar pernyataan Vanie, "Jangan kau tutup pintu hatimu Van, percayalah kebahagiaan akan datang padamu asal kau membuka dan memberikan hatimu kesempatan untuk datangnya cinta sejati. Cinta tanpa syarat dan menerima kamu apa adanya."
Vanie kembali tenggelam dalam kehangatan pelukan sahabatnya, Putra, sambil menyelami kalimat terakhir yag diucapkannya. Dia bersyukur Tuhan mempertemukan mereka sehingga kini Vanie mempunyai tempat untuk bersandar ketika dirinya tengah dalam posisi dibawah dan terpuruk seperti ini.
Ardan melempar berkas yang diberikan oleh asistennya sembarang. Hatinya geram bukan kepalang mendengar kabar kalau kakak kembarnya, Adam kini berada di Indonesia. Surabaya tepatnya.
"Ngapain si b*****t itu datang ke sini?" tanya Ardan dengan nada tinggi.
"Menurut data, ia dan sahabatnya bernama Oscar Triatna bekerja sama mendirikan perusahaan dan Pak Adam datang untuk menghadiri pertemuan dengan beberapa kontraktor yang akan membangun gedung baru mereka." jelas sang asisten.
"Hmm..tumben dia terjun ke lapangan ..."kata Ardan pada dirinya sendiri.
"Pak, ada satu lagi yang sangat penting." asisten itu membetulkan letak kacamatanya yang sedikit turun "Salah satu kontraktor mereka adalah PT. Trideco Gemilang...pemiliknya Ibu Stevanie Wijaya dan Putra Wibisono"
"WHAT THE f**k! Bagaimana bisa?" seru Ardan hingga melompat dari kursinya.
Sang asisten bergerak mundur, menjauh dari meja kerja Ardan. Dia sangat tahu tabiat bos nya jika sedang emosi, terlebih informasi yang baru disampaikan menyangkut wanita bernama Stevanie.
"Kebetulan pak, saya dapat pastikan hal itu merupakan suatu kebetulan. Rekaman CCTV di ruang pertemuan menunjukkan kalau Pak Adam dan Ibu Stevanie sama sama terkejut ketika saling bertemu." kemudian pria itu memberikan ponselnya pada Ardan untuk menunjukkan rekaman CCTV yang dimaksud.
Ardan mengrenyitkan dahinya, "Kebetulan yang menyebalkan" lalu meletakkan ponsel itu pada meja kerja dengan kasar. "KELUAR!" perintahnya, diikuti dengan langkah tergesa sang asisten.
Bagaikan bumi dan langit karakter dan sifat kakak beradik itu sangat berbeda. Adam yang sabar dan penuh kelembutan berbanding terbalik dengan Ardan yang cepat naik darah. Namun ada satu kesamaan mereka, yaitu gigih dan pantang menyerah.
Ardan yang pembangkang dan selalu membantah orang tuanya menjadikan dirinya selalu sebagai kambing hitam di dalam keluarga besar Nugroho.
Sementara, Adam sangat pintar mengambil hati mereka sehingga pria itu selalu dinomor satukan.
Perasaan iri semakin lama semakin dalam menggerogoti Ardan, namun dia tidak bodoh. Ardan menunggu sampai cukup dewasa untuk menuntut haknya sebagai keturunan Nugroho, pemilik harta yang tidak akan habis dipakai tujuh turunan.
Setelah menyelesaikan kuliahnya dan menyandang gelar master, Ardan memimpin sebuah perusahaan papanya yang hampir bangkrut. Namun, kegigihan dan insting bisnis Ardan yang baik membuahkan hasil yang manis. Perusahaan itu bukan hanya berkembang, bahkan sekarang Ardan telah membuka anak perusahaan dengan cabang di berbagai pelosok dunia.
Dunia hitam yang digeluti sejak masih remaja kini membantu dirinya menjadi nomor satu di dunia bisnis. Sekarang, waktunya Ardan menunjukkan taringnya dan keluar dari sarang, siap menerkam bagi siapa saja yang berani menghalanginya.
Setelah mengatur emosi, Ardan mengambil ponsel dari kantong kemejanya lalu mencari sebuah nama yang belum pernah dihubunginya namun nomor itu telah lama tersimpan dalam daftar kontak di ponselnya.
"Halo, apa kabar Stevanie Wijaya?" tanya Ardan dengan seringai yang menakutkan.