Diantar Tante

1087 Words
Keesokan harinya, Mikaella bangun kesiangan karena tak bisa memejamkan matanya semalam akibat memikirkan kehidupannya yang akan dijalani bersama Alvin dalam satu atap. Mikaella menatap dengan jengah alarmnya yang berbunyi lebih dari lima kali pagi ini. Dengan gontai Mikaella turun dari tempat tidurnya untuk keluar kamar sambil membawa peralatan mandinya. Hari ini dia sudah berjanji kepada Alvin, akan mengantarkannya ke sekolah. Tetapi yang ada malah Mikaella sendiri yang bangun kesiangan. Mungkin sekarang Alvin sudah berangkat dan memilih tidak mengindahkan tawaran Mikaella yang ingin mengantarkannya. Hahh.... Syukurlah kalau itu benar terjadi. Mikaella bernafas lega jika memang Alvin sudah berangkat. Masalahnya, semalam Mikaella hanya berbasa-basi ingin mengantar Alvin ke sekolah. Tetapi sebenarnya dalam hatinya saat mengatakan itu dia menolak ogah untuk mengantarkan Alvin. Karena arah sekolah Alvin berlawanan dengan kantornya. Dan jarak keduanya cukup jauh, bisa-bisa dia terlambat datang ke kantornya. Saat wajah Mikaella tampak senang karena Alvin pasti sudah berangkat, Tiba-tiba ia kembali merasa murung. Jika Alvin sudah berangkat, berarti Alvin tidak sarapan! Seketika pemikiran itu muncul di otaknya dan membuatnya merasa bersalah. Mikaella terlihat bingung sambil memutari tempat tidurnya, pikiran-pikiran negatif tentang apa yang akan terjadi pada Alvin semakin bermunculan. Bagaimana jika Alvin pingsan saat pelajaran? Bagaimana kalau dia merebut makanan temannya nanti karena kelaparan? Bagaimana kalau dia malak temannya? Berbagai pertanyaan 'bagaimana' berseliweran di kepala mungil Mikaella sehingga membuatnya tampak tidak tenang. Mungkin aku bisa mengantarkan makanannya sekarang. Suatu ide muncul dipikirannya, dan dengan tekad bulat Mikaella keluar dari kamarnya untuk melanjutkan perjalanannya menuju kamar mandi. Tetapi saat ia melintasi dapur sekaligus ruang makan, ia melihat sosok Alvin yang sedang terduduk manis di depan meja makan dan tampak menatap ke arah Mikaella yang baru bangun. Mikaella sempat terkejut melihat apa yang ada di depan matanya. Bukan Alvin yang belum berangkat yang menjadi alasan terkejutnya, tetapi deretan makanan lezat yang tampak menggiurkan sudah terhidang dengan rapi di meja makan! Siapa yang memasak? Mikaella mengalihkan pandangannya kearah Alvin dan langsung berpaling lagi saat dilihatnya Alvin juga memandang ke arahnya. Meskipun Alvin tidak menampilkan senyumnya, tetapi Mikaella dapat melihat aura ramah yang terpancar dari wajah Alvin. Memang dari kemarin Mikaella tidak pernah mendapati Alvin tersenyum maupun marah, dia hanya bersikap dingin dan datar. Seakan tak ada ekspresi lain yang cocok untuk wajahnya itu. Mikaella sangat memaklumi sikap Alvin yang seperti itu, mungkin dia terlalu syok akibat kejadian yang telah menimpa kedua orangnya sehingga mengakibatkannya meninggal. Mikaella berjalan ke arah Alvin yang sedang memandang ke arahnya. Tak dipedulikan lagi penampilan khas bangun tidur yang tampak pada tubuh Mikaella, dia terus berjalan menghampiri Alvin dengan pandangan ketidakpercayaannya. "Kau yang memasak ini semua?" Alvin menjawab dengan menganggukkan kepalanya sekali. Seumur - umur tak pernah Mikaella melihat pemandangan selezat ini, bahkan saat ini air liur Mikaella tampak ingin keluar dari mulut mungilnya melihat penampilan dari setiap menu makanan yang ada di meja. Dia sudah tidak sabar untuk menikmati semua makanan itu. Tanpa menunggu persetujuan dari Alvin, Mikaella segera memposisikan duduknya di hadapan Alvin dan menatap lapar kearah makanan-makanan dihadapannya. "Boleh ku makan?" Mikaella bertanya kepada Alvin untuk diperbolehkan memakan masakannya. "Makanlah, aku memasakkannya untukmu." Alvin mendorong piring kosong kearah Mikaella dan segera diambilnya dengan cepat tanpa memikirkan apakah Alvin sudah makan atau belum. "Sebaiknya aku berangkat sekolah sendiri saja Tante." Alvin berkata sambil memperbaiki dasi sekolahnya dan siap beranjak dari duduknya. "Tidak tidak... Tunggu tante sebentar saja. Tante mandi dulu setelah itu tante akan mengantarmu." Mikaella mencegah Alvin untuk beranjak dari tempat duduknya disela-sela acara menyantap makanannya. Alvin hanya bisa menuruti apa yang dikehendaki Mikaella. Dengan kecepatan kilat, Mikaella menyelesaikan makannya dan segera berlari kearah kamar mandi untuk membersihkan diri, karena Alvin sedang menunggunya untuk segera berangkat ke sekolah. Selang beberapa menit kemudian, Mikaella keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi khas kantorannya dan berjalan menghampiri Alvin yang sudah siap di sofa ruang tamu sambil menonton televisi yang menayangkan animasi lucu. "Ayo Vin berangkat. Bentar yah tante panasin dulu motornya." Mikaella berujar sambil mengambil kunci motornya yang ada di atas meja ruang tamu dan berjalan ke arah motornya yang sengaja ia masukkan ke dalam rumah. "Tante tunggu." Tiba - tiba Alvin mencegah Mikaella untuk mengeluarkan motornya. Merasa dipanggil, Mikaella pun menolehkan badannya kearah Alvin yang mulai menghampirinya. "Rambut tante berantakan." Alvin membenarkan tatanan rambut Mikaella yang tampak berantakan akibat Mikaella lupa menyisir rambutnya. Mikaella merasakan jantungnya berhenti sejenak saat dirasakan kedua tangan Alvin yang menyentuh puncak kepalanya. Bahkan Mikaella dapat mencium aroma parfum Alvin dengan posisi mereka yang sedekat ini, membuat wajah Mikaella memanas seketika. Ada apa dengan dirinya ini, padahal dia hanyalah anak sekolah yang baru saja menginjak usia dewasa, tetapi mengapa jantungnya berkata lain saat berada di dekatnya? yang benar saja. "Sudah selesai." Alvin menjauhkan badannya dari hadapan Mikaella untuk memudahkan Mikaella mengeluarkan motornya. "Terima kasih." Mikaella melanjutkan mengeluarkan motornya dari dalam rumah. Saat berada di luar rumah, Mikaella segera memanaskan motornya sambil menyuruh Alvin untuk keluar agar dia bisa mengunci pintu kontrakannya. Setelah cukup panas, Mikaella mulai menaiki motornya diikuti Alvin yang duduk di boncengannya. "Pegangan yah." Alvin mengangguk, meskipun dia tahu Mikaella tidak dapat melihat anggukannya, Alvin memegang batasan jok yang ada dibawah pantatnya. Dirasa Alvin sudah duduk dengan nyaman, akhirnya Mikaella menjalankan motornya secara perlahan membelah padatnya jalan raya ibukota. "Kamu biasanya naik apa kalau sekolah vin?" Mikaella bertanya di saat motornya sudah melaju menuju sekolah Alvin. "Hah? Apa?" Karena angin yang begitu kencang sehingga membuat Alvin tidak dapat mendengar apa yang dikatakan Mikaella. "Naik sekolah pake apa?" Mikaella berteriak berusaha membelah angin yang menerpa wajahnya. "Hah? ... Um! Iya...." Alvin tidak dapat mendengar apa yang dikatakan Mikaella sehingga menjawabnya secara asal. Takut jika tidak dijawab, maka Mikaella nantinya akan merasa dicuekin. Sedangkan Mikaella yang mendengar apa yang dikatakan Alvin hanya bisa mendengus sebal. Dia salah mengajak seseorang berbicara saat sedang berada diatas motor! Tidak nyambung sekalipun. Mikaella akhirnya memilih diam, biarlah angin pagi ini menjadi saksi atas kesunyian yang tercipta diantara mereka. Tuhan tau mengapa kesunyian itu terjadi. Karena sudah pasti tidak dapat mendengar apa yang diucapkan salah satu di antara mereka. *** Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, akhirnya tibalah mereka di depan gerbang sekolah Alvin, SMA Pancasila. 'untunglah belum terlalu telat' Batin Mikaella bernafas lega saat dilihatnya gerbang sekolah Alvin masih terbuka lebar. Alvin segera turun dari motor Mikaella dan berpamitan untuk memasuki halaman sekolahnya. "Alvin tunggu!" Mikaella mencegah Alvin untuk melanjutkan perjalanannya memasuki halaman sekolah dan menyuruhnya untuk kembali menghampirinya lagi. "Ada apa tante?" "Ini kunci cadangan kontrakan jika kamu pulang sekolah lebih awal dari tante." Mikaella menyerahkan sebuah kunci yang merupakan kunci dari kontrakannya. "Terima kasih, Tante." Setelah mengucapkan terima kasih, Alvin langsung berjalan memasuki sekolahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD