Part 4 * Perjalanan dimulai

1506 Words
"Hei,hei bangun!!!" tepukan berkali-kali mendarat di pipi. Sepertinya berusaha membangunkan. Tapi, hei? Aku baru saja  tertidur, kenapa pula sudah diganggu begini? "Enghh," sungut-ku meringis pelan dahi refleks berkerut. Namun mata tak kunjung terbuka. Entahlah, kelopaknya terasa berat. Seperti ditempeli lem. Tepukan itu kini berpindah ke bahu dan jadi lebih kuat. Merasa terganggu, aku berbalik posisi. Mencari posisi nyaman. "...kalau kau tidak bangun, aku tidak bertanggung jawab untuk apa yang akan terjadi selanjutnya." Suara tajam itu mendarat mulus di daun telinga. Be-resonansi masuk hingga ke dalam sistem pendengaran. Tapi saraf otakku tak kunjung memberi sinyal bahaya pada suara sayup-sayup itu. Hanya protes sekilas dari alam bawah sadar. Seperti, "kata-kata apa itu? Mengapa dia sok peduli padaku? Lagian aku tidak punya siapa-siapa untuk sekedar membangunkan ku dari tidur." ".... kau sudah berjanji. Akan kulakukan sendiri. Jadi jangan pernah menyesal." suara terakhir semakin sayup kudengar. Tentu saja alam bawah sadarku mengangguk kuat-kuat.  "Lakukan apa pun yang kau mau selain mengganggu tidurku." seru batinku. Dan kini, suara itu hilang tiada bekas.  ----- (Beberapa menit kemudian) Air sedingin es berjatuhan menghujani tubuh. Memberi sensasi dingin yang menusuk tulang. Entah kemana hilangnya kehangatan selimut tebal nan berbulu milikku. Aku mulai tidak nyaman hingga bergerak kesana-kemari. Berusaha merapat pada sebuah objek hangat. Tapi astaga, ini sungguh menyiksa. Saat hendak membiasakan diri dengan keadaan, air tiba-tiba bermasukan kedalam hidung dan menyumbat pernafasan. Rasanya perih sekali. Otomatis mulutku terbuka agar bisa bernafas. Tapi kemudian sesuatu menyumpal mulut dan menghalangi nafas.  Aku yakin ini mimpi, seperti sebelumnya. Sialan, siapa pula sekarang yang ingin membunuhku. 'Bangun! Bangun! Bangun Jya!' sekuat tenaga kupaksa pikiran untuk bangun. Sakit dan perih yang teramat sangat di kerongkongan tak tertahan lagi. 'Ini hanya mimpi! mimpi! Tidak nyata!' sugesti ku. Astaga ini seperti Lucid Dream. Aku mulai tidak sanggup. Yessi -teman masa kecilku- benar tubuh dan jiwaku bahkan tidak pernah sepakat dengan pikiranku.  Setidaknya itulah yang terasa sebelum nafas terhembus kuat ke dalam mulut. Seseorang menekan dadaku dengan tempo yang teratur. Oksigen masuk melewati pernafasan ke paru-paru hingga ke otak. Menarik paksa tubuh dan jiwaku yang lemah. Mataku terbuka. Mendapati diri tengah berada di bawah air terjun pada malam hari bukanlah kenyataan yang menyenangkan. Maksudku, airnya jatuh persis di wajah. Dan aku, aku-  Tunggu dulu... aku masih hidup dengan kondisi yang..mengenaskan!  Maksudku, pakaianku berubah jadi aneh.  Hanya ada dua benda keras menutupi tubuhku dan sesuatu seperti rumput di bagian bawah juga ada tangan diantara selipan kakiku. Apa-apaan ini? Keadaan ini malah mengingatkan ku pada tumbal di film yang ditonton Jimmy dengan teman-temannya. Dan jangan lupakan tangan kekar tadi. Tangan siapa ini? Kenapa aku seperti ini! Seketika mataku bertemu netra biru yang sedari tadi menatap tingkahku dalam diam. Menungguku sadar. Sementara aku berada di gendongan bridalnya.  Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi di sini?  "Simpan semua pertanyaan mu, karena ritual ini harus segera dilakukan sebelum purnama usai." ucapnya membungkam mulutku yang hendak bertanya.  Tapi, kepalaku tidak melewatkan kata ritual yang baru diucapnya. Apakah yang dimaksud dengan ritual di sini? Tumbal seperti apakah yang sedang bernasib buruk itu?  Astaga, tumbal?  Saraf otakku yang lambat respon ketika bangun pagi seketika tegang. Mengirim sinyal bahaya bahwa akulah yang akan ditumbalkan. "TURUNKAN AKU!!! Aku tidak mau jadi tumbal, kura*g ajar!!!" teriakku meronta sekuat tenaga agar lepas dari pria itu. "Shutt, DIAM!!" bentaknya dingin, memperkuat cengkraman tangannya. Aku tidak peduli, refleks tanganku mengepal lalu melayangkan pukulan keras di wajahnya, membela diri.  Pukulanku tepat sasaran. Sepertinya dia pun tidak mengantisipasi. Aku terlepas saat dia menggeram kesakitan. Kakiku menyentuh batu-batu kecil di dalam air. Memaksakan tubuh agar sepenuhnya berdiri, lalu kudorong laki-laki itu ke samping. Aku bebas, sekarang tinggal melarikan diri. Kupindai sekitar, menimang cepat kemana harus lari. Tapi kemudian perhatianku terpaku pada sekumpulan batu tak jauh di depan sana.  Bola mataku hampir keluar, tak percaya dengan penglihatan. Bukan batunya, tapi mahluk aneh dengan berpasang-pasang mata yang menatapku penasaran.  Mereka.Sungguh.Menyeramkan!! Mereka berbaring menyamping di atas batu-batu itu. Dan yang membuatku ingin menangis, mereka bukan manusia!! Ekor mereka dipenuhi sisik hitam yang berkilau terkena cahaya bulan. Seperti silum*n. Setelah mematung dan menganga beberapa detik, bulu kudukku berdiri, kepalaku terasa besar dan aku ketakutan luar biasa. Yang benar saja, bagaimana bisa mahluk-mahluk itu di sini? Tangan dan kaki mendadak tremor -reaksi andalan- kala beberapa dari mereka masuk ke dalam air, berenang cepat ke arahku. Aku belum siap untuk dijadikan santapan mahluk buas.  Dengan cepat, kakiku berlari ke belakang tak tentu arah dan terjatuh. Kepalaku hampir terantuk batu jika pria yang tadi tidak menahan tubuhku dengan tangannya.  "ARGHH, SIAL*N!!" Aku meraung, melepaskan pegangan pria itu sambil memegangi kakiku yang perih luar biasa. Bagian batu yang tajam menusuk tulang keringku hingga berdarah. Sambil menahan sakit di kaki, aku meraih tangan pria itu. Tidak peduli lagi dengan logika dan kenyataan. "Siapapun kau, kumohon, kumohon tolong aku. Bawa aku pergi dari sini!" pintaku padanya, sambil waspada pada mahluk aneh di belakangku. Dia terdiam. "Please, aku mohon. Kita sama-sama manusia. Aku tidak mau jadi tumbal kalian." Tanpa sadar mataku yang panas sedari tadi tidak tahan lagi membendung air mata. Tanpa bicara, dia dengan cepat mengulurkan tangan menyentuh kakiku yang terluka. "Kau berdarah, bahkan sebelum ritual dimulai! Kau tau betapa pentingnya ini?" ucapnya tajam. Mata itu membara oleh amarah. "Kita hampir kehabisan waktu, Fred." Tanpa sadar, ada kepala menyembul tiba-tiba dari dalam air. Fred -yang kukira nama pria didepanku- menoleh ke arah mahluk tadi. "Kau lihat sendiri, Fred, bulan sebentar lagi akan kehilangan cahayanya."  Fred menoleh bulan yang hampir tertutup gumpalan awan gelap. Mereka membicarakan tentang ritualnya. "Kembali ke posisi awal! Ritual akan dimulai." Fred tiba-tiba menggendong tubuhku kembali membuatku menjerit. Dari sebelah kanan, kulihat mahluk itu kembali ke batu-batu mereka. Pandanganku tertuju ke depan. Goa yang gelap. Dua batu besar nan runcing berada di sisi kanan-kiri goa terlihat kokoh. Meneriakkan bahaya di dalamnya. Menyadari apa yang akan terjadi, ketakutanku semakin menjadi. "Ku mohon Fred, jangan tumbalkan aku. Aku janji akan melakukan apapun. Tolong jangan,," "Diamlah!" bentak pria itu dingin. Mulai habis kesabaran. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Ini untuk kebaikan kita semua." ucapnya sambil menatap jauh ke dalam mataku. Mengirimkan sesuatu lewat netra birunya. Aku tidak bisa membedakan kejujuraan atau kebohongan saat ini. Entah untuk kebaikan siapa pun, aku tidak bisa lagi berpikir. Aku tersesat dan tidak bisa kembali. Sambil berjalan membawaku ke arah air terjun, Fred bersenandung. Bahasa dan lagu yang tidak dikenal. Matanya setia memaku pandanganku sementara dinginnya air terjun terus menusuk kulit membuatku menahan nafas. Entah kenapa, dia bisa berjalan begitu saja di dalam kegelapan. Kami tiba di dalam gua. Persis di balik air terjun. Jalan gua itu sempit, sunyi dan gelap. Anehnya, suara air yang baru saja kami lewati tadi tidak terdengar sama sekali. Seperti terkena sihir. Refleks tubuh menempel erat pada Fred, seperti koala. Fred kembali berjalan. Kali ini, air di dalam goa semakin dalam. Tempat yang awalnya gelap itu perlahan disinari cahaya hijau. Tanaman yang sekilas mirip rumput laut adalah sumbernya. Tumbuh di dingding goa.  Aku diturunkan di tempat yang airnya diatas pinggang karena semakin jauh, dasarnya semakin dalam.  "Tunggu disini, aku akan mengambil Feurora untukmu." Fred berenang ke ujung gua yang letaknya seratus meter di depan. "Feu...ro..ra?" gumamku sambil mengamati Fred yang sudah menyelam ke dalam air mengejar cahaya hijau di dasarnya.  Tersentak, aku baru sadar kalau dasar goa ini ternyata penuh dengan tumbuhan yang mirip feurora itu. Daun tumbuhan itu berpola melingkar, di tengahnya terdapat bulatan mirip kristal yang juga mengeluarkan cahaya. "Kita harus memakan ini bersama." Fred kembali membawa beberapa helai daun tanaman itu dan menyerakan padaku. "A...apa? Memakan ini?" Aku tidak percaya. Melihat teksturnya saja membuatku mual. Terlihat lembek, berlumut, bau dan berlendir. "Kau harus memakannya!!! Tidak ada waktu lagi!" Tegur Fred. Kulihat rumput itu sudah masuk ke dalam mulut Fred. Sementara aku terus menimang-nimang. Tatapan Fred seperti menyiratkan 'Makan atau aku akan membun*hmu disini?'  Akhirnya, aku mencoba memakan nya tapi sampai didepan bibir saja, mual kambuh. Baunya sangat menyengat. Aku menggeleng, memandang Fred lemas. "MAKAN!!!" bentaknya.  Aku takut, tapi melihat bentuk menjijikkan itu, aku putus asa. Fred mengikis jarak, terus memaksa. Hingga tidak sadar, aku semakin jauh ke dalam air. Kepalaku menggeleng kuat saat air menyentuh leher. Aku diam, pasrah. Melihat tidak ada pergerakan dariku, Fred berhenti. Kukira dia menyerah dan berusaha melakukan sesuatu yang lebih baik. Tapi, dugaan meleset. Fred mengambil feurora dari tanganku dan mengunyahnya. Aku sedikit lega, tidak menyadari hal lain. Kedekatan posisi kami berdua.  Tapi, itu tidak berlangsung lama saat Fred menyumpal mulutku untuk mentransfer feurora itu. "Mmh,,,mmh...mmh!!" rontaan dan pukulanku tidak berpengaruh pada Fred, hingga akhirnya tanaman itu kutelan. Pening dan pusing yang teramat sangat mendera kepalaku. Bahkan perutku rasanya terlilit dan kakiku seperti tidak bertulang. Astaga, semua seperti berputar, dan aku merasa diambang kematian.  Perlahan air di sekitar kami berputar. Fred merengkuh pinggangku dan mendekapku erat. Kami berputar mengikuti pusaran air bahkan bahu dan kakiku terantuk batu beberapa kali. Kemudian dari bawah air, ada cahaya hijau yang menyilaukan. Ditengah pusaran dan kelemahanku, aku tersenyum. Bahagia bisa mengakhiri kegilaan ini, jika nantinya aku mat*.  Bersamaan dengan kesadaran yang nenipis, tangan Fred terlepas dari pinggangku dan aku terhempas ke sisi lain goa. Paru-paru ku berhenti memompa oksigen dan aku merasa ini lah akhir hidupku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD