Part 3 *Kalung dari Jhos

1083 Words
*(Beberapa bulan kemudian) Kegiatan donasi dan menyumbang rutin kulakukan selama beberapa bulan ini. Dokter Pill benar, aku hanya perlu berinteraksi lagi dengan dunia luar. Berbagi kisah dengan mereka agar aku tidak stres. Awalnya sumbangan kuberikan melalui perantara.  Dampaknya tidak banyak, hanya sesaat. Aku menghubungi Dokter Pill dan bertanya padanya. Katanya, yang kubutuhkan adalah berinteraksi langsung. Menyentuh sendi kehidupan mereka secara nyata. Karena itu, jadwal bulananku juga berubah. Selain kerja di kantor konsultan setiap hari, 2 kali sebulan kuluangkan mengunjungi salah satu panti asuhan. Menemani anak-anak belajar, bermain dan menyulam menjadi kegiatan favorit. Mereka mengingatkan nasib diri di masa kecil. Kehidupan romansa secuil mulai berubah dari sana. Beberapa penyumbang dana yang tidak sengaja bertemu kadang menunjukkan ketertarikan layaknya kepada lawan jenis. Walau belum terbiasa, kupaksakan diri agar tidak segera kabur dari pembicaraan. Sayangnya, reaksi diri ini lama-lama membuat mereka mundur teratur dengan sendirinya. Tapi ada juga yang membawa slogan pantang menyerah. Berjalan dengan d**a tegap sambil berkata pantang mudur sebelum lawan takluk. Ah, mengingat wajah gugup, ragu-ragu atau semangat mereka saja cukup menghibur. Sebagai konsultan, tentu aku ahli etika komunikasi yang baik hingga tak jarang membuat orang nyaman. Tapi, entahlah hubungan yang tercipta sejauh ini selalu jalan di tempat. Pelabuhanku seolah tau mereka itu bukanlah kapal penambat hati sesungguhnya. Dan begitulah kekosongan ini belum menemukan obat yang tepat. "Apa kau akan pulang?" Suara nyaring menarik perhatianku ketika beberes barang bawaan. "Ya.." anggukku tersenyum. Anak tampan itu berdiri di samping dengan wajah.. entahlah resah? khawatir? aku tidak tau. "Hei ada apa, ingin sampaikan sesuatu?" tanyaku saat menyadari aksi diamnya. Seolah menunggu diri ini selesai beberes. Kutepuk tempat duduk di samping, mengajak duduk. Namun, reaksi yang kudapat membuat terkejut. Anak itu menangis. Seriously? Di umur yang kukisar 11 tahun? Andai dia berkelahi dengan temannya, bukankah anak lelaki dasarnya tidak suka menangis di depan orang lain -yang bahkan tidak dikenal? Kepalaku menggeleng pelan, menjauhkan pikiran buruk. Wajarlah anak-anak menangis, kita semua manusia. Baik anak atau dewasa, semua punya kelemahan. Tanganku terangkat mengelus pundaknya. "Apa yang terjadi, seseorang memukulmu?" Dia menggeleng. Oke, aku tidak mengerti apa masalahnya. Jadi aku akan berusaha menenangkan setelah dia duduk.  Kemudian aku mulai menceritakan kisah waktu kecilku dulu, bagaimana aku menangis kejar setelah dibuat marah/kesal setengah mati oleh seseorang. Beberapa menit berlalu, heningpun tercipta. "Betapa memalukannya diriku saat itu. Make-up ku luntur hingga wajahku seperti hantu." Aku membongkar sedikit aib milikku. "Orang dewasa punya masalah lebih besar dari anak-anak. Wajar saja jika menangis. Biar malu, itu tandanya jujur sama diri sendiri." ucapnya dengan suara masih serak. Tinjuan kecil dariku mendarat di dadanya. "Hei..kau jauh lebih dewasa dari anak yang menangis beberapa menit yang lalu!" candaku. Kami tertawa. Syukurlah suasananya menjadi lebih akrab. "Jadi, mau memberitahu alasan kenapa kau berubah melankolis seperti tadi?" Candaku. "Ini.." Tangannya terulur. "Apa itu?" Tanyaku bingung. "Hei,,kau jauh lebih dewasa untuk tau kalau ini sebuah kalung." ucapnya meledek. "Okey... kau tidak sedang dalam masa menyukai sosok yang jauh lebih tua darimu kan? Sebab aku tidak nyaman." selidikku. "Heii?" suaranya sedikit meninggi tanda tidak terima. Aku tiba-tiba tergelak, astaga wajahnya sangat lucu. "Hanya bercanda.. Jangan marah dong!" ucapku tertawa karena wajahnya merah dan marah. Lalu berubah jadi...sedih? "Ini kalung milik seseorang yang pernah menolongku ketika hampir tenggelam di lautan. Dia orang yang baik. Sangat baik hingga mau mengorbankan nyawanya untukku. Dia pernah berpesan untuk memberikannya kepada seseorang yang membutuhkan pertolongan." Reaksi terkejutku tidak tertutupi. "Kenapa kau pikir aku membutuhkan pertolongan?" selidikku menatap matanya. "Aku tadi menangis karena bisa merasa kesusahan yang kau alami selama setahun belakangan. Sejak datang ke panti ini, aura itu terpancar jelas dari matamu. Aku terus memperhatikanmu setiap datang ke tempat ini. Kau mencari seseorang yang tepat, kan? Tapi kau belum menemukannya." Merinding mendengar dia bicara. Mendadak aku tidak nyaman, mengira anak di sampingku mungkin bisa membaca pikiran, hipnotis atau bahkan...niat jahat melalui kalung yang dia berikan? "Tenang saja. Aku kerap dihindari ketika tiba di panti ini. Mereka pikir aku berniat jahat atau punya ilmu terlarang. Tapi, percayalah..aku hanya melihat dari bola matamu saja. Semua tergambar jelas. Kalung ini bukan jimat atau semacamnya. Kau bisa percaya padaku." jelasnya lagi. "Bagaimana aku bisa percaya padamu?" tanyaku dengan was-was, ketidaknyamanan yang kentara. Lagi-lagi wajah itu sedih. Dia berdiri. "Aku hanya anak panti. Dan aku tidak pernah bicara dengan penyumbang lain, selain denganmu. Niatku murni menolong. Karena kulihat 2 minggu lagi kau tidak akan datang lagi ke tempat ini atau panti lain. Tapi kau bebas menerima kalung ini atau tidak.." "CUKUP! cukup!" Bentakku tak sadar diri. Anak itu terkejut. Berdiri lalu pergi begitu saja. Sementara aku berusaha menenangkan diri, suara tergopoh-gopoh terdengar. "Anda tidak apa-apa?" Kepala panti terlihat khawatir. Setelah memejamkan mata, menghela nafas pelan aku menggangguk. "Anak yang tadi bersamaku kenapa, Bu?" Setelah mendengar penjelasan dari kepala panti, aku mengangguk paham. Jhos sama halnya dengan anak-anak lain yang punya indra ke-enam. Intinya dia punya kelebihan istimewa dari anak-anak pada umumnya. Dia memang tidak pernah bicara dengan peyumbang selain denganku. Oleh karena itu, Bu Yanti sengaja mengawasi interaksi kami dari jauh takut jika aku bereaksi berlebihan ketika menghadapi Jhos. Kalung di tanganku terlihat indah. Ah, tadi aku lupa menanyakan nama pemilik sebelumnya pada Jhos. Ya, kami bertemu lagi setelah aku meminta tolong Bu Yanti untuk memanggilnya. Aku meminta maaf pada Jhos, lalu memeluknya dan menerima kalung pemberiannya. "Ikuti saja kata hatimu, Aunty." Begitu kalimat terakhirnya saat kami berpisah. Bu Yanti hanya melihatku sekilas seakan meminta untuk berlapang d*da menerima hal yang kami anggap aneh. Karena sesungguhnya setiap orang punya hak untuk merasa nyaman dan dianggap normal. ----- Sampainya di rumah aku melakukan semua kegiatan yang rutin, termasuk meminum obat terakhir yang Dokter Pill resepkan untuk berjaga-jaga. Entah kenapa, aku merasa sedikit resah.  Ketika hendak tidur, kalung yang diberikan oleh Jhos cukup lama menarik perhatian. Tanganku terarah menyentuh bunga kristal di tengah kalung yang cukup indah.  Anehnya pikiran terus melayang  dan mempertanyakan banyak hal, salah satunya 'mengapa Jhos memanggilku aunty di saat tadi hendak pulang?' Jangan-jangan kami ada ikatan keluarga, atau sebenarnya salah satu orang tua Jhos adalah saudaraku.  Ahh, kenapa juga baru penasaran sekarang. Padahal tadi ada kesempatan untuk bertanya langsung ke orangnya. Mungkin di lain waktu, aku akan bertanya sekalian aku berkunjung ke sana. Menyadari waktu sudah pukul 10 malam, kupasang kembali kalung tadi di leher. Lalu mengambil kitab suci dan berdoa sebelum tidur. Membisikkan doa dan harapan agar segera menemukan seseorang yang tepat untuk ditolong. Seperti saran Dokter Pill. Setelahnya, kutarik nafas dan menghembuskan nya pelan beberapa kali agar hati dan pikiran tenang. Metode yang baik jika susah tidur. Hingga tanpa sadar, aku berlayar mengarungi mimpi. ____
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD