Part 2 *Sikap Dokter Pill berubah

778 Words
Hari ini rutinitas berjalan normal setelah sehari mengambil cuti. Di kantor, aku merasa kurang nyaman dengan semua orang. Mimpi kemarin malam adalah salah satu pemicu. Namun, melihat kepribadian Jimmy yang tetap seperti biasa, membuatku sedikit tenang. Sekaligus sadar, bayangan di kepala sudah berlebihan. Tembok pertahanan yang ku bangun sudah kelewat tinggi, hingga berpotensi retak dan roboh menimpa pembuatnya. Karena itu, keputusan mengunjungi gedung putih dengan ruang kotak-kotak berbau karbol yang menyengat ini adalah pilihan yang tepat. "Anda rutin mengonsumsi obat yang saya beri, Miss?" Tanya dokter yang sedang duduk berhadapan denganku. Dibatasi oleh meja kerja yang tertata rapi. Aku mengangguk walau di awal konseling tadi sudah jelas kukatakan bahwa setiap malam sebelum tidur, obat-obatan yang dia resep selalu berakhir di lambungku. "Miss, dengarkan saya..." "Bisakah kita berbicara sedikit lebih nyaman? Kau terus memanggilku miss, walau tau aku bukan Miss Indonesia atau bule." Kataku sedikit kesal. Profesionalisme memang tuntutan kerja, tapi Pill tidak perlu sangat formal setelah aku menolak aksinya mendekatiku sebulan lalu. Dokter itu masih diam. "Pill, please.." ucapku lagi. Menghela nafas pelan, Pill mengangguk-angguk kecil dengan mata terpejam, tapi tidak menghilangkan aura tenangnya. Dia menggeser duduknya menjadi lebih nyaman dan menutup notebook tempatnya menuangkan sekaligus menganalisa ceritaku. Selanjutnya tatapan hangat matanya -yang terpancar dari kaca mata minus itu- mulai memaku pandangan. "Lets talk about your past, Jy. Seberapa jauh kau tidak bisa lepas dari sosok itu. Rasa kehilangan membuat stres, tidak nyaman, lalu menutup diri dari dunia luar. Terkadang menutup diri memang membuat orang merasa aman. However, hanya sementara. Untukmu yang kehilangan dan tidak belajar merelakan, dampaknya fatal jika dilakukan terus-menerus. Tanpa sadar kau sedang merakit bom milikmu sendiri. Hanya soal waktu. Sepi, sebenarnya hanya soal perasaan.  Mendominasi ketika sendiri, memicu otak agar terbayang masa lalu dan membuatmu tertekan. Dalam kasus serupa, penderita bisa mengalami halusinasi berlebihan.  Akibatnya fatal. Apalagi waktu tidurmu semakin menipis. Walau akhirnya tidur pun,  tentu tidak nyenyak, kelelahan saat bangun, bahkan mimpi buruk terus-menerus." Dokter Pill menarik nafas setelah mengucapkan deretan kalimat panjang. "Apa mental ku akhirnya sudah terganggu?" tanyaku tertawa hambar, ragu-ragu. Lalu menjadi yakin ketika melihat ekspresi Pill. "Ehem,,, Tergantung sudut pandang! Orang yang sering menangis tanpa sebab yang jelas juga bisa dikatakan mentalnya terganggu. Tapi tidak untukmu. Maksudku kau berbeda. Dan kasusnya belum separah bayanganmu. Kabar baiknya, setelah peristiwa terakhir tadi, kau hanya perlu berdamai dengan diri sendiri. That's it! Coba alihkan perhatianmu ketika cuaca sedang buruk -seperti tadi malam- dengan hobimu. Membaca atau menonton, bukan hal yang buruk kan?" Aku mengangguk samar, setengah memahami arah pembicaraan. "Kau juga butuh seseorang yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita. Ehem,, selain aku tentunya." Dokter Pill memperbaiki letak kacamatanya. Ehh? Apa maksud kalimat tadi? "Coba lebih terbuka kepada orang lain, Jy. Maksudku, tidak perlu cerita masalahmu hanya demi sebuah hubungan baru. Tapi, cobalah mengobati lukamu dengan mencari orang lain yang memiliki luka yang sama. Kekuatan dirimu akan tumbuh tanpa disadari." Detak jam terdengar jelas ketika Dokter Pill berhenti bicara. Sementara aku mencerna deretan kalimat pidatonya yang sama sekali tidak menarik. Tapi harus dicermati karena memang butuh. Memang selama ini aku sangat jarang membantu orang lain. Rasa sebagai orang yang paling menderita selalu muncul dalam pikiran. Dan itu salah. "Apa yang kau inginkan sekarang, Jy?" Pandanganku terpaku kepada dokter Pill, "Terbang bebas di angkasa dan menyelam dalam di riak biru samudera?" kataku mengucapkan keinginan yang terlintas di kepala. Dokter Pill tersenyum hangat, lalu mengangguk. "That's awesome. Mulailah menemukan di angkasa dan samudera mana tempat tujuanmu, Jya. Aku bersungguh-sungguh. Semoga kau segera menemukan kebahagiaan setelah 1 tahun terus terikat dengan resep obatku." ----- Sampai di rumah, kalimat terakhir dokter Pill terngiang di kepala. Entah alasan apa yang membuatnya menyatakan bahwa kodisiku sepenuhnya sembuh. Padahal sebulan lalu, semua jadwal konsul sekalipun tidak kupenuhi. Bagaimana dia mengatakan aku tidak perlu lagi ikut jadwal konsul rutin? Walau tidak bisa dipungkiri bahwa perasaanku lebih ringan kini. Motivasi membantu orang lain memacu semangat. Aku hanya berharap menemukan orang yang tepat untuk kubantu. Menjelang malam, cuaca di luar terasa cerah karena bintang-bintang. Aku tersenyum dari balkon kamar. Sudah lama keindahan ini tidak pernah disyukuri oleh diri. "Syu..kurr indahh kasihh Mu wahaii Pencipta..." senandung kecil meluncur dari bibirku. Ah, benar sekali. Seketika aku tau apa yang harus kulakukan. Tangan dengan cepat membuka laptop dan mengetik nama salah satu panti asuhan. Ketika gambarnya muncul, perasaanku tercubit melihat salah satu berita "Panti Asuhan X Roboh Karena Gempa Berkekuatan 6,9 Skala Richter". Bangunan tua itu hampir rata dengan tanah. Sedih rasanya bertanya bagaimana nasib anak-anak di sana? Beberapa menit bergulat dengan perasaan sedih, akhirnya aku menghubungi kontak center salah satu pengumpul donasi ke korban bencana. Sudah kuputuskan bahwa sejumlah uang dan harta benda milikku akan kusumbang ke mereka. -----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD