Sore ini Aisyah tampak ceria sekali, karena ada suatu alasan yang membuatnya bahagia. Apalagi alasan itu kalau bukan Raihan? Ya lelaki itu besok akan segera pulang kesini, itu berarti dia mempunyai kesempatan untuk bertemu dengannya. Rasanya dia sangat rindu sekali ingin bertemu dengan lelaki yang sudah mengisi hari-harinya dengan perasaan yang membuncah, lelaki yang terkadang dia selipkan namanya saat shalat wajib maupun shalat sunah di sepertiga malam. Lelaki shalih yang menjadi idaman kaum hawa termasuk dirinya, siapa yang tidak berharap jika memiliki seorang imam seperti Raihan? Dia yakin semua wanita pasti menginginkan hal itu termasuk dirinya. Rasanya tak sabar ingin bertemu teman lama sekaligus lelaki yang sudah lama mengisi hatinya, hatinya bahkan sangat riang sekali hari ini.
Ditambah selama beberapa hari ini pengganggu gila itu tidak pernah muncul lagi dihadapannya, Aisyah berharap semoga saja pria gila itu tidak pernah datang lagi. Dia sudah terlanjur ilfeel dengan keberadaan pria itu, ganteng sih iya tapi sayang otak dan akhlaknya tidak seganteng wajahnya. Aisyah tidak ingin munafik, dia mengakui kalau Pandu memang tampan, tapi pria playboy seperti itu sama sekali bukan tipenya. Sudah dijelaskan kan kalau tipe pria idamannya itu sama seperti Raihan, ah memang hanya dia yang bisa membuat hati Aisyah bergetar. Mendengar suaranya saja hati ini sudah jedag-jedug tak karuan apalagi jika mereka kembali bertemu?
"Ada apa nih dari tadi anak Umi senyum-senyum terus? Lagi bahagia ya?" Aisyah agak terkejut ketika mendengar suara Uminya yang tiba-tiba terdengar.
"Iya Umi, Aisyah senang karena hari ini penjualan kue kita laris manis. Alhamdullilah ya Umi, banyak yang suka sama kue yang kita buat?" Selain dua hal itu, ini memang hal ketiga yang membuat Aisyah merasa bahagia.
Dia merasa sangat bersyukur karena hari ini Allah memberikan rezeki yang lebih dari hari biasanya, uangnya nanti bisa ditabung untuk masa depan Adiknya kelak. Lagi dan lagi dia memang lebih memikirkan masa depan Kabir daripada dirinya sendiri, sudah disekolahkan hingga jenjang SMA sudah membuatnya amat sangat bersyukur. Dia banyak melihat disekelilingnya, ada banyak anak-anak yang putus sekolah karena tidak adanya biaya. Bukan seperti dirinya yang hanya tidak melanjutkan pendidikan jenjang perkuliahan, melainkan melanjutkan ke tingkat SMP saja sudah sangatlah susah.
"Karena itu apa ada hal lainnya?" tanya Umi Maryam sambil mengulum senyumnya membuat Aisyah tersentak, bagaimana Uminya bisa tau ya?
"Ih Umi apa sih?" Semburat merah muncul dikedua pipi Aisyah membuat Umi Maryam tersenyum sambil mengusap kepala Aisyah yang kini terbalut pasmina berwarna lime.
"Kamu bisa cerita sama Umi, Umi bisa loh menjadi teman curhat yang menyenangkan." Meskipun dia tau kalau Uminya bisa menjadi teman curhat yang menyenangkan, tetap saja dia merasa malu jika bercerita tentang urusan percintaannya. Dia lebih memilih menceritakan keluh kesah ataupun rasa bahagianya melalui buku diary, ketimbang harus bercerita pada orang lain termasuk Uminya sendiri.
"Aisyah tidak mau nanti Umi ledekin Aisyah lagi," ucap Aisyah yang dibalas tawa pelan Umi Maryam.
"Jangan-jangan tentang pria yang beberapa kali ini datang kesini beli kue ya? Siapa ya namanya? Ah iya Nak Pandu, kata Nala dia suka sama kamu. Apa itu yang membuat anak Umi sedari tadi tersenyum sendiri?" Mendengar nama Pandu disebut membuat senyum Aisyah pudar tergantikan dengan wajah cemberutnya.
"Ih Umi, kok malah sebut nama itu sih? Aisyah mana mungkin suka sama pria gila seperti itu." Aisyah berucap sembarangan membuat Umi Maryam menggeleng mendengarnya.
"Husss, tidak baik loh bilang begitu. Siapa tau dia jodoh kamu, kelihatannya dia serius sama kamu loh. Umi enggak apa-apa kalau kamu mau nikah muda, asalkan pria itu bertanggung jawab dan bisa menjaga kamu dengan baik. Jangan lupakan cari pria yang selalu menjaga shalatnya, karena pria yang seperti itu pasti bisa menjaga istrinya dengan baik." Mendengar ucapan panjang lebar Uminya membuat Aisyah mendengus, serius katanya? Pria itu mana mungkin serius dengannya. Playboy kelas kakap seperti itu memangnya bisa serius? Ogah banget dia kalau sampai jadi mainan si pria gila itu.
"Umi tidak tau saja kelakuannya kayak gimana, kalau Umi lihat pasti Umi tidak akan berbicara seperti ini." Setiap membahas Pandu Aisyah selalu saja merasa emosi, dia begitu kesal dengan pria selengean seperti Pandu. Membahasnya saja dia tidak mau, apalagi jika sampai bertemu dengannya lagi.
"Tapi kelihatannya Pandu itu pria yang baik loh, dia selalu sopan sama Umi." Ya iyalah dia pasti sopan, kalau sampai kurang ajar bagaimana bisa mengambil hati Uminya? Ingin sekali Aisyah berkata demikian tapi dia lebih memilih diam.
"Mbak Aisyah, didepan ada calon suami lo tuh." Nala yang baru saja masuk kedalam toko tiba-tiba berkata demikian membuat Aisyah mengernyit, calon suami? Siapa?
"Calon suami? Siapa sih maksud lo? Gue enggak punya calon suami ya," ucap Aisyah tapi hal itu dibalas tawa cekikikan Nala.
"Hallo calon istri." Baru saja Aisyah merasa sangat lega karena pengganggu hidupnya tidak pernah datang lagi, tapi sepertinya ketenangannya itu tidak bertahan lama.
"Assalamualaikum," ucap Aisyah datar membuat Pandu menyengir.
"Waalaikumsalam, maaf lupa terus." Perhatian Pandu kini teralih pada Umi Maryam yang sibuk membersihkan etalase kue.
"Assalamualaikum Bu, apa kabar? Sudah lama ya saya tidak kemari?" Aisyah mencibir mendengarnya, pria dihadapannya ini sok cari perhatian sekali pada Uminya.
"Waalaikumsalam, kabar Umi alhamdullilah baik Nak Pandu. Ada apa datang kemari? Toko kuenya sudah mau tutup ini," ucap Umi Maryam ramah.
"Yaah sayang sekali ya Bu? Padahal saya ingin membeli kue itu ternyata sudah mau tutup ya? Maaf saya tidak tau," ucapnya pura-pura sedikit kecewa padahal sih membeli kue itu adalah alasan semata saja.
Sudah beberapa hari ini dia tidak mengunjungi Aisyah karena kesibukannya di kantor, dia baru saja pulang dari perjalanannya yang cukup panjang. Ya beberapa hari lalu Pandu ditugaskan oleh Richard untuk menengok proyek yang sedang berjalan di Lampung, Bos-nya itu tentu saja tidak akan pergi karena dia tidak mau jauh-jauh dari istrinya dan malah dirinya yang menjadi kambing hitam. Tanpa pulang dulu kerumahnya, dia langsung menuju kemari bahkan koper kecil berisi pakaiannya masih ada didalam mobilnya. Entah ada apa dengan dirinya ini, dia yang dulu suka sekali mempermainkan perasaan wanita tapi kini sepertinya dia sudah mabuk kepayang dengan pesona kesederhanaan Aisyah.
Aisyah ini seperti duplikat istri Bos-nya, bedanya usia Aisyah lebih tua beberapa tahun dari Nasywa. Dia bukan terobsesi ingin memacari orang yang sama seperti Nasywa istrinya Richard ya, tapi dia kan juga ingin mendapatkan istri yang shalihah. Istri yang dapat memberikan ketentraman serta kesejukan didalam rumah, memang kebanyakan pria dan seburuk apapun mereka dia pasti akan mencari seorang istri yang shalihah. Pandu sadar dia bukan umat muslim yang taat beragama, agamanya memang muslim tapi untuk penerapan ibadah kadang-kadang dia kerjakan. Pergaulannya yang dulu hidup lama diluar negeri membuat Pandu menjadi seorang pria seperti pada umumnya, hanya mencari kesenangan dan kebahagiaan duniawi semata.
Tapi apakah salah dirinya yang penuh dengan dosa ini ingin memperbaiki diri melalui seorang gadis shalihah yang dia harap bisa membimbingnya pada jalan kebenaran? Dia tidak yakin apakah Aisyah bisa menerimanya jika gadis itu mengetahui masa lalunya, sedang dia tidak tau saja gadis itu selalu acuh dan ingin menghindarinya. Apalagi jika dia sampai tau? Dan saingannya untuk memperebutkan hati Aisyah bukanlah sembarang orang, ya Pandu sudah membaca diary Aisyah hingga tamat. Dia dapat menarik kesimpulan kalau pria bernama Raihan itu adalah pria yang taat agama, pria shalih yang kini tengah mengenyam pendidikan di sekolah pesantren. Belum apa-apa dia sudah minder duluan, tapi dia tidak akan menyerah untuk merebut hati gadis itu. Dia yakin lama kelamaan Aisyah pasti akan merasa luluh, dia pasti bisa menaklukkan hati Aisyah yang sekeras batu padanya.
"Alasan saja," gumam Aisyah sedikit kesal. Gadis itu bukan tak tau menahu kalau Pandu sebenarnya bukan tak sengaja ingin datang kesini melainkan sangat sengaja.
"Tidak boleh seperti itu." Umi Maryam langsung menegur putrinya begitu mendengar gumaman Aisyah.
"Kalau begitu saya pesannya sekarang dan besok diambilnya ya? Apakah boleh?" tanya Pandu yang masih memamerkan senyumnya, didepan calon mertua ya harus ramah dengan penuh senyuman seperti ini. Siapa tau karena senyumannya ini dia mendapat izin untuk mendekati Aisyah.
"Tentu saja boleh, mau pesan berapa Nak?" tanya Umi Maryam dengan antusias, tentu saja dia antusias ada pembeli yang akan membeli kuenya.
"Lima box bisa? Soalnya besok di rumah sedang ada acara." Pandu tidak berbohong, besok dirumahnya memang akan ada acara. Iya acara arisan Mami-nya dengan teman-teman sosialitanya dan herannya Pandu yang ditugaskan untuk membeli cemilan itu, untunglah dia adalah anak baik dan tidak sombong kalau iya sudah dipastikan dia akan menolak mentah-mentah.
"Tentu saja bisa, terima kasih ya Nak sudah memesan. Insyaallah besok pesanan mu sudah jadi," ucap Umi Maryam yang membuat Pandu mengangguk sambil tersenyum.
"Kalian sudah mau pulang ya? Boleh saya ikut membantu?" Lagi-lagi Aisyah mencibir, pria ini sedang cari perhatian dengan Uminya. Lain halnya dengan Aisyah yang merasa sangat kesal, Umi Maryam dan Nala tersenyum mendengarnya.
Yang Umi Maryam tangkap kalau Pandu ini adalah pria yang baik meskipun tingkahnya yang kadang slengean, dia dapat menangkap niat baik pria ini pada Aisyah. Bukannya dia ingin memberikan Aisyah pada sembarang orang, tapi apa salahnya jika memberikan kesempatan pada seorang pria untuk mendekati putrinya dalam artian yang baik. Dia juga tidak mungkin membiarkan Aisyah salah dalam pergaulan, Aisyah sudah dewasa saat ini meskipun usianya masih tergolong muda. Jadi tak ada salahnya jika dia dekat dengan seorang pria asalkan tidak melakukan hal yang macam-macam juga berada dalam pengawasannya, Umi Maryam juga tidak muluk-muluk memilih seorang menantu untuk anaknya. Yang terpenting orang itu baik dan rajin beribadah itu sudah lebih dari cukup, perihal harta itu sebenarnya bisa dicari bersama-sama.
"Tapi tidak merepotkan mu kan Nak?" tanya Umi Maryam.
"Tentu saja tidak Bu, saya senang membantu orang." Tingkah tengilnya entah menghilang kemana saat ini, Pandu terlihat lebih sopan dan kalem. Meskipun matanya kerap kali mencuri-curi pandang pada Aisyah, sesekali mengedip yang membuat Aisyah langsung memalingkan wajahnya karena merasa sangat muak melihat wajah pria gila itu.
"Ya sudah kalau begitu bisa tolong angkat meja itu dan bawa kesini?" pinta Umi yang membuat Pandu mengangguk kemudian menjalankan titah calon mertuanya.
"Umi!" Aisyah langsung memprotes dengan bibir yang mengerucut.
"Ada apa Aisyah?" tanya Umi heran dengan wajah kesal putrinya.
"Kenapa Umi biarkan dia membantu kita? Seharusnya suruh saja dia pulang Mi, dia itu mau mencari perhatian Umi!" kesal Aisyah dengan pipi menggembung.
"Loh ada yang ingin membantu kita dengan niat baik, kenapa harus ditolak? Itu sama saja menolak rezeki berupa tenaga loh. Lagipula memangnya kamu mampu mengangkat meja yang berat itu? Itukan tugas seorang pria," ucap Umi Maryam panjang lebar.
Tidak taukah Uminya itu kalau Pandu itu memang sengaja kemari? Dia benar-benar kesal karena si pengganggu itu akhirnya datang lagi, padahal dia sudah merasa sangat senang karena akhirnya hidupnya akan tenang dan damai. Entah mengapa pria itu suka sekali mengganggunya, dari awal bertemu hingga sekarang suka sekali melayangkan perkataan yang membuat Aisyah ingin saja kabur dari sini. Dia tidak membenci ya, dia hanya tidak suka saja dengan keberadaan Pandu yang suka sekali mengganggunya. Entah datang darimana pria itu hingga bisa ada dihadapannya selama beberapa minggu ini, jangan sampai takdirnya menjadi aneh seperti ini ya Allah.
"Terima kasih ya Nak, kamu sudah membantu kami." Umi Maryam berucap setelah Pandu menaruh meja itu ketempat yang sudah dia pinta tadi.
"Sama-sama Bu, sudah mau pulang ya?" tanyanya ketika dia melihat ketiga wanita berbeda usia itu sudah siap akan pulang, bahkan Aisyah sudah menutup jendela tokonya.
"Iya, sekali lagi terima kasih ya Nak Pandu."
"Perlu saya antar Bu?" Sontak saja Aisyah langsung menggelengkan kepalanya sambil menatap Uminya.
"Tidak perlu, rumah kami dekat kok. Nak Pandu sudah boleh pulang, besok kuenya sudah bisa diambil."
"Baik Umi, saya pulang ya? Saya pulang ya Aisyah? Assalamualaikum," ucap Pandu kemudian keluar dari toko itu dengan perasaan bahagia. Rasanya senang sekali bisa bertemu dengan Aisyah setelah beberapa hari ini dia tidak menemui gadis itu karena ulah Richard yang mendepaknya ke sebrang pulau.
Aisyah dapat mendesah lega ketika pria itu sudah pergi dari hadapannya, setidaknya pria itu tidak lupa mengucapkan salam lagi. Gadis itu menatap Uminya yang tersenyum sambil menatap kepergian Pandu, sepertinya dia harus menjauhkan Uminya dari Nala yang suka bergosip dan bercerita. Aisyah yakin sekali kalau Uminya itu sudah terpengaruh dengan mulut manis Nala yang memang menjadi pendukung setianya Pandu, entah diberi apa sepupunya itu pada pria gila pengganggu ketenangannya itu.
"Dia benar-benar pria yang baik ya?" ucap Umi Maryam yang dibalas anggukan cepat Nala.
"Iya Umi, Kak Pandu itu baik banget ya? Udah ganteng, kaya, baik banget lagi. Duh calon suami idaman, seharusnya Mbak Aisyah bersyukur tuh bisa disukai sama Kak Pandu. Lebih bersyukur lagi kalau nanti Kak Pandu melamar Mbak Aisyah, Nala enggak bisa bayangin gimana bahagianya Mbak bisa nikah sama pria sesempurna Kak Pandu." Rasa-rasanya Aisyah ingin muntah mendengar pujian yang tertuju pada Pandu, sepupunya itu sebenarnya diberi apa sih sama pria gila itu? Astaghfirullah, jangan sampai hal itu terjadi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika-... Ah sudahlah dia tidak ingin memikirkan hal yang tidak dia harapkan.