Tiada henti Aisyah tersenyum-senyum sendiri karena mendapat sebuah pesan kalau Raihan akan berkunjung kerumahnya, lelaki yang selalu dia impikan menjadi kekasih idamannya. Lelaki shalih yang menjadi kekasih idaman bagi semua kaum hawa termasuk dirinya, tak pernah dia menyangka kalau lelaki itu akan sudi berkunjung ke tokonya ini. Lelaki yang dulunya dia kagumi dari kejauhan hingga menjadi dekat melalu perantara Abinya, lelaki yang selalu terselip namanya di setiap bait doanya. Beberapa tahun waktu yang telah dilalui tanpa kehadiran Raihan membuat Aisyah sedikit merasa sepi, dia tak memiliki banyak teman di sekolah karena banyaknya anak perempuan yang tidak menyukai dirinya. Mereka berpikir Aisyah itu adalah gadis yang sok alim, mereka merasa iri karena Aisyah yang otaknya biasa-biasa saja itu disukai oleh banyaknya anak laki-laki.
Tapi Aisyah sama sekali tak menaruh rasa kesal pada mereka, menurutnya mungkin itu adalah sebuah ujian dari Allah saat dia berada di bangku SMA. Mana mungkin hidup itu tentram dan damai saja hingga ajal menjemput, sudah pasti akan ada hal yang menjadi penguji di setiap langkah kita. Cibiran mereka hanya dianggap angin lalu saja oleh Aisyah, gadis itu berpikir untuk apa peduli dengan omongan orang lain sedangkan mereka saja tidak menghidupi kita? Yang memberikan kehidupan yang layak adalah orangtuanya dan bukannya orang lain.
"Gue perhatiin Mbak dari kemarin-kemarin senyum terus, ada apa sih Mbak?" Aisyah sedikit terkejut mendengar Nala yang tiba-tiba saja muncul dihadapannya, apakah dia terlalu melamunkan Raihan yang akan datang sehingga dia tak sadar kalau Nala sedari tadi memperhatikannya?
"Nala, lo ngagetin gue aja sih?" kesal Aisyah membuat Nala hanya mencibir.
"Siapa yang ngagetin lo sih Mbak? Orang dari tadi gue udah ada disini, lo aja yang baru nyadar karena terlalu lama melamunkan sesuatu yang gue juga enggak tau itu apa." Nala tidak mau disalahkan karena dia memang tidak salah, dia berkata benar kalau sedari tadi memang dia sudah berada disini memperhatikan Aisyah yang tersenyum seperti orang yang sudah kehilangan akalnya.
"Daripada lo ngomel gitu, nih bantuin gue. Lo taruh dua loyang kue yang udah gue hias ke dalam kulkas." Aisyah menunjuk dua loyang kue yang telah dia hias menggunakan dagunya.
Nala mencibir kesal, tak urung gadis itu menjalankan perintah Aisyah untuk menaruh dua loyang kue ke dalam kulkas. Dia selalu merasa takjub dengan hiasan kue yang Aisyah buat, sangat-sangat indah dan berbeda dari yang lainnya. Meskipun otak sepupunya itu tidak pintar-pintar amat tapi dia memiliki kelebihan lain yang orang pintar tidak miliki, Aisyah memiliki bakat terpendam yang baru terlihat saat Umi Maryam membuka toko kue ini. Aisyah sama sekali tidak kursus menghias kue, dia hanya melihat tutorial dari internet kemudian menirukannya. Tak hanya itu saja, terkadang Aisyah juga membuat kreasi hiasan sendiri tanpa melihat tutorial apapun.
Setelah menaruh kue itu ke dalam kulkas, Nala kembali menghampiri Aisyah yang kembali tersenyum. Baru ditinggal beberapa detik saja sepupunya itu sudah seperti orang kekurangan akal, dia terus saja tersenyum. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan, Nala benar-benar tidak mengerti. Tidak mungkin jika Aisyah sedang memikirkan Pandu karena dia sangat tau sekali kalau sepupunya itu tidak menyukai ah atau lebih tepatnya belum menyukai pria kaya dan mapan itu. Tapi Nala yakin sekali suatu saat nanti Aisyah pasti akan terjatuh pada pesona Pandu, asal tau saja dia itu pendukung setianya Aisyah-Pandu jadi sudah bisa dipastikan kalau dia pasti sangat senang jika sampai kedua orang itu bersatu.
"Mbak lo kayaknya kesurupan jin ya?" Lagi, Nala menegur Aisyah membuat gadis itu mendelik kesal. Sembarangan saja Nala mengatainya kesurupan.
"Siapa? Lo maksudnya?" Nala mendengus kesal mendengar tanggapan Aisyah.
"Yang gue maksud ya lo lah Mbak, dari tadi senyum-senyum enggak jelas. Lagi bahagia? Siapa nih yang buat Mbak ku ini bahagia? Jangan-jangan Kak Pandu ya?" Nala sengaja membawa nama itu agar Aisyah merasa kesal, dan benar saja dia melihat wajah kesal gadis itu.
"Sekali lagi lo nyebut nama itu gue enggak mau lagi ya bantuin lo kalau Tante Kalsum marah," ucap Aisyah membuat Nala kelabakan.
"Duh jangan dong Mbak, lo kan tau sendiri kalau Bunda itu cuma nurut sama perkataan lo. Jangan gitu lah ancamannya, enggak asyik tau ...." Tentu saja Nala merasa takut jika sampai Aisyah tak mau lagi membantunya, hanya Aisyah yang bisa meredam kemarahan Bundanya yang suka marah-marah padanya. Dia kan tidak kuat jika sampai diomeli habis-habisan.
"Makanya, kenapa sih lo suka banget nyebut-nyebut nama dia? Dikasih apa lo sama dia hah!?" tanya Aisyah yang tidak dapat menyembunyikan kekesalannya, setiap membahas nama Pandu dia selalu saja merasa emosi. Kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun terhadap pria itu, pria yang tak punya urat malu yang suka menggangunya.
"Mbak tau aja sih kalau gue dikasih sesuatu sama dia," ucap Nala pelan membuat Aisyah melotot.
"Dikasih apa lo sama dia? Sini gue ganti tapi lo enggak usah lagi bela-belain dia." Dengan sok-nya Aisyah akan mengganti apa yang Pandu berikan pada Nala.
"Kak Pandu itu kemarin neransfer pulsa seratus ribu ke nomor gue, terus dia juga beliin gue beberapa buku kuliah. Padahal gue enggak minta loh Mbak, duh dia baik banget kan ya? Serius lo bisa ganti itu semua?" Dalam hati Aisyah mencibir, itu pria baik pada Nala karena ada maunya. Dia tentu saja tidak bisa mengganti barang yang telah diberikan Pandu pada Nala karena memang uang tabungannya masih sangat minim.
"Lo mau menerima barang sogokan dari dia? Lo ingat ya kalau barang sogokan itu hukumnya haram," ucap Aisyah mencoba menakut-nakuti Nala.
"Masa sih Mbak? Nanti gue tanya Umi dulu lah, siapa tau kan Mbak Aisyah bohong." Mampus jika sampai Nala menanyakan hal itu pada Uminya, maka habis dirinya.
"Eh lo enggak percaya sama omongan gue? Bener loh menerima uang suap itu dosa."
"Iya tau Mbak, semacam orang korupsi gitukan? Tapi kan ini Kak Pandu enggak nyogok gue. Orang dia ngasih ini sebagai ucapan terima kasih karena gue ngasih nomor lo dan nama lo," cengirnya yang membuat Aisyah kesal bukan main. Tuh kan dia dimanfaatkan oleh Nala, lagipula untuk apa sih pria itu sebegitu ingin tahunya tentang dirinya? Ditambah dia yang selalu datang dengan tingkah slengean nya yang membuat kesal.
"Udah sana lo pergi, gue pusing lihat lo ada disini." Tanpa perasaan, Aisyah mengusir Nala dari hadapannya.
"Jahat banget sih lo Mbak," ucap Nala sebelum beranjak pergi.
"Assalamualaikum ...."
"W-waalaikumsalam, Kak Raihan?" ucap Aisyah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ya lelaki yang kini berdiri dihadapannya itu adalah Raihan lengkap dengan senyuman ramah andalannya.
"Apa kabar? Sudah lama ya kita tidak bertemu." Aisyah masih setia memandangi Raihan tanpa berkedip, kenapa sudah lama tidak bertemu tapi Raihan lebih tampan dari terakhir kali dai temui ya?
"Aisyah?" Raihan melambaikan tangannya tepat diwajah Aisyah membuat gadis itu mengerjap.
"Eh iya?" Aisyah masih linglung dengan keberadaan Raihan, dia masih terpukau dengan pesona yang Raihan keluarkan.
"Kamu apa kabar?" Raihan kembali mengulangi pertanyaannya.
"Alhamdulillah aku baik kok, Kak Raihan apa kabar? Ah maaf lupa menawarkan, silahkan duduk Kak Raihan." Aisyah menunjuk sebuah bangku yang berada tepat di depannya.
"Alhamdulillah aku juga baik, kamu membuka toko kue ini ya?" tanya Raihan dengan antusias, bahkan lelaki itu memperhatikan toko kue sederhana ini dengan seksama lengkap dengan senyum takjubnya.
"Ini bukan toko kue ku Kak, tapi toko kue milik Umi. Aku mana mungkin bisa membuat toko kue? Uang dari mana?" tanyanya bermaksud bercanda membuat Raihan tertawa kecil.
"Kalau kamu berikhtiar dan berdoa pasti kamu juga bisa membuat toko kue seperti ini bahkan bisa lebih besar lagi." Raihan tersenyum menenangkan dan hal itu membuat hati Aisyah menghangat.
"Aamiin," balasnya ikut tersenyum.
"Ehem ... ehem ...." Tiba-tiba saja Nala kembali muncul dengan seringai jahilnya dan hal itu membuat Aisyah diam-diam mendengus kesal.
"Pantas suara tawanya kedengaran sampai dapur, ternyata ada kekasih idaman. Apa kabar Kak Raihan?" sapa Nala dan hal itu membuat Aisyah melotot, bukan karena Nala yang menyapa Raihan tapi perkataan ceplas-ceplos Nala yang membuatnya mendelik kesal.
"Alhamdulillah baik, kamu Nala kan? Waah sudah besar ya? Dulu terakhir kita bertemu kamu masih SMP," ucap Raihan membuat Nala tersenyum pongah.
"Iya lah Kak, pasti manusia itu bertumbuh besar. Masa mau kecil terus?" candanya yang membuat Raihan tertawa.
"Kak Raihan kapan kembali kesini?" tanya Nala membuat Raihan yang akan berbincang dengan Aisyah pun kini menatap gadis itu.
"Kemarin, tapi baru sempat hari ini mengunjungi Aisyah." Nala melirik Kakak sepupunya yang kini memerah malu, tentu saja karena dia tau Aisyah kan menyukai Raihan.
"Ah iya Aisyah, sekalian aku memesan kue donat bisa? Tapi bisakah aku tunggu saja? Soalnya tadi Mama meminta donat yang masih hangat." Mendengar hal itu membuat Aisyah tersenyum sambil mengangguk, dalam hati dia berkata 'apa sih yang enggak buat calon suami dan calon mertua?' Itu harapannya sih, tapi kalau bisa menjadi kenyataan sepertinya kebahagiaan nya pasti akan berlipat.
"Tunggu sebentar ya Kak? Aku ke dapur dulu mengambil adonan donatnya sekalian menggorengnya," ucap Aisyah yang diangguki Raihan.
"Ayo, lo ikut gue." Tanpa aba-aba Aisyah menarik tangan Nala dan mengajaknya ke dapur, dia tidak mau ya kalau sampai Nala berbicara hal yang macam-macam pada Raihan. Aisyah tau sekali akal muslihat Nala sedang bekerja keras saat ini, Adik sepupunya itu mudah sekali diiming-imingi oleh suatu barang yang menurutnya wow maka tak heran dia menjadi pendukung setianya Pandu yang sudah memberikannya beberapa barang.
"Ih apaan sih Mbak? Enggak usah ditarik-tarik juga Nala ngerti kok, orang tadi Nala mau ke dapur juga." Setelah sampai di dapur, Nala melepaskan tarikan Aisyah ditangannya. Bibirnya mengerucut sebal, tapi Aisyah hanya mencibir.
"Daripada lo gangguin pelanggan lebih baik sana lo tolongin Umi buat adonan, gue mau goreng donatnya dulu." Aisyah mendorong punggung Nala menuju Uminya.
"Eh ada apa kalian ini?" tanya Umi Maryam ketika melihat ada sedikit kegaduhan yang terjadi antara putri serta keponakannya.
"Ini Umi, Mbak Aisyah marah karena katanya Nala mau gangguin gebetannya. Padahal kan Nala sama sekali enggak ganggu, cuma ngajak ngobrol orangnya tapi Mbak Aisyah langsung narik tangan Nala dan mengajak Nala ke dapur." Kalau saja tidak ada Uminya, sudah bisa dipastikan kalau bibir Nala pasti akan jontor karena Aisyah taburkan bubuk cabe super pedas.
"Loh maksud kamu Pandu kesini? Mana dia?" tanya Umi dengan antusias dan hal itu membuat Aisyah mendengus kasar, sepertinya tak hanya Nala saja yang terjerat tipu muslihat dari Pandu melainkan juga Uminya.
"Ih bukan Umi, kalau Kak Pandu kan calon masa depannya Mbak Aisyah bukan gebetannya. Maksud Nala itu didepan ada Kak Raihan, Umi kenalkan? Itu loh Mi anaknya Tante Dina yang sering main ke rumah Umi dulu waktu Nala SMP." Nala menjelaskan sedetail-detailnya, bahkan dengan lancangnya gadis itu menyebarkan rahasia yang selama ini Aisyah tutup-tutupi dari semua orang dan hanya buku diary yang sudah hilang lah menjadi tempat curhatnya.
"Maksud kamu Raihan yang masih tetangga jauh rumah Umi?" tanya Umi Maryam tak percaya yang diangguki oleh Nala.
"Iya Umi, Kak Raihan yang sering ke rumah Umi karena mau belajar agama pada Abi. Kak Raihan yang jadi Kakak kelasnya Mbak Aisyah," ucap Nala. Sepertinya Nala sudah tau banyak ya mengenai Aisyah dan Raihan sehingga gadis itu menjelaskan sebegitunya, Aisyah saja sampai terheran-heran.
"Raihan yang itu ya? Kok kamu enggak ngasih tau Umi sih kalau Raihan mau pulang?" tanya Umi Maryam pada Aisyah.
"Kak Raihan baru ngasih tau Aisyah, Umi. Dia juga baru sampai kemarin sore. Dia datang kesini mau memesan donat yang masih hangat untuk Mama-nya," jelas Aisyah yang dibalas anggukan oleh Uminya.