14. Pembatalan Rencana Pernikahan

1883 Words
“Jika memang hubungan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun itu harus berakhir akibat sebuah takdir yang tak disangka-sangka hadir, maka yang bisa dilakukan hanyalah bersabar dan ikhlas.” ---- Akhir pekan pun tiba. Sesuai dengan keinginannya, pagi-pagi sekali Lashira sudah siap untuk pulang ke Surabaya dengan naik kereta api Komuter. Langsung bergegas beranjak menuju Stasiun Gresik Cerme (CME) untuk menuju Stasiun Wonokromo (WO) yang lebih dekat dengan rumah Lashira yang terletak di Purimas Regency, Rungkut daripada Stasiun Surabaya Gubeng (SGU). Lashira memasuki gerbong kereta api dengan perasaan campur aduk. Terutama perasaan sedih dan kecewa karena nasib buruk yang harus diterimanya itu. Sebuah takdir yang mengharuskan wanita itu harus mengandung janin dari pria berengsek seperti Damar. Sepanjang perjalanan ia hanya bisa meratapi nasib buruknya ini dengan meneteskan air mata. Tak menyangka jika perbuatan keji Damar malam itu mampu membuat Lashira hamil anak pria yang bukan calon suaminya tersebut. Kedua mata indah milik Lashira Ghassani yang basah akibat menangis, membuat seorang wanita paruh baya sebagai penumpang kereta api yang sama dengannya jadi iba dan membuka obrolan di antara mereka berdua. Wanita itu mendadak menyodorkan tisu untuk Lashira. “Mbak, ini buat hapus air matanya,” ucap wanita itu. Lashira sontak terkejut dan menerima tisu yang diberikan oleh wanita yang duduk di sampingnya tersebut. “Terima kasih ya, Bu,” sahut Lashira. “Kalau Mbak merasa haus, bisa minum ini ya, Mbak,” celetuk wanita itu lagi seraya memberikan Lashira sebotol air mineral. “Oh, tidak usah repot-repot, Bu. Saya juga bawa minuman di dalam tas. Terima kasih banyak, Bu,” tolak Lashira. “Sama-sama, Mbak,” balas wanita paruh baya itu yang melanjutkan berbincang dengan Lashira. Pertama kali yang dilakukan adalah basa-basi dengannya. “Pagi-pagi naik kereta sendiri saja Mbak dari Gresik. Memang ada keperluan di Surabaya ya, Mbak?” Lashira mendesah. “Oh, saya hampir setiap weekend pulang ke Surabaya, Bu. Aslinya tinggal di Surabaya, tapi karena harus magang kerja di Gresik, jadi untuk sementara waktu harus PP Gresik – Surabaya, Bu. Kalau Ibu sendiri bagaimana?” tanyanya. “Oh begitu ya, Mbak. Kalau saya asli Gresik, Mbak. Ke Surabaya karena mau jenguk anak dan cucu saya yang baru saja lahir. Sudah kangen ingin bertemu cucu,” jawab wanita yang diketahui dari tiket kereta api itu bernama Wati. Jika Wati membahas tentang cucu, Lashira jadi menghela napas. Ada calon cucu dari Keluarga Ghassani yang hendak lahir ke dunia beberapa bulan lagi. Seorang cucu atau bahkan lebih jika nantinya calon buah hatinya itu kembar yang mendadak hadir di tengah rencana pernikahannya berama pria yang bukan ayah kandungnya itu. Sungguh menyesakkan hati dan pikiran Yasmin. Lashira lekas menanggapi ucapan wanita itu. “Wah, selamat ya, Bu, sudah punya cucu. Saya ikut senang mendengarnya.” “Terima kasih ya, Mbak. Ini cucu pertama saya yang sudah dinanti-nantikan kehadirannya.” “Jika sudah dinanti-nanti kehadirannya, syukur alhamdulilah ya, Bu. Akhirnya dia hadir melengkapi kebahagiaan anak dan menantu Ibu,” tutur Lashira yang langsung berpikir jika hal itu berbanding terbalik dengan dirinya sendiri yang masih belum siap dengan kehadiran janin di dalam rahimnya. Apalagi harus mengandung anak di luar pernikahan karena sebuah kesalahan fatal itu mampu menyiksa batin Lashira. Wati mengurai senyum lega di wajahnya. Lantas ia bersuara lagi. “Iya, sebuah anugerah untuk kami, Mbak, karena menunggu datangnya cucu pertama ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Lima tahun sudah akhirnya doa-doa kami dikabulkan.” Deg. Lashira meneguk ludah usai mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sang ibu. Jika anak dari Wati harus menunggu selama 5 tahun lamanya untuk mendapatkan seorang buah hati, sungguh sangat berbeda dengan Lashira yang hanya karena satu malam kelabu bisa membuahkan hasil. Entah karena Lashira dalam masa subur hingga benih yang dikeluarkan oleh Damar mampu menebus masuk ke dinding rahimnya hingga terjadi pembuahan. Tetapi Damar memang waktu itu merenggut kehormatan wanita pujaannya dengan semena-mena dam menyakitkan. Beberapa kali menghujam bagian sensitif milik wanita itu hingga meraih kepuasan batin dan darah perawan hadir di sprei ranjang milik Damar yang terdapat di apartemennya. Jika mengingat tentang malam itu, Lashira benar-benar trauma hingga sangat membenci Damar. Lashira mendesah lalu angkat bicara lagi. “Syukurlah kalau begitu ya, Bu. Semoga kehadiran cucu pertama Ibu ini semakin menambah kebahagiaan rumah tangga anak dan menantu Ibu serta orang-orang di sekitarnya.” “Aamiin ya rabbal alamin. Terima kasih ya, Mbak, doanya. Kalau Mbak sendiri pagi-pagi begini sudah menangis saja. Jika saya boleh tahu, kenapa sampai menangis, Mbak?” tanya wanita itu iba. “Oh, saya ada masalah pribadi, Bu. Begitulah Bu, ada hal buruk yang terjadi pada saya,” jawab Lashira yang tak ingin mengutarakan lebih jelas tentang masalah pada seorang ibu yang baru saja dikenalnya di gerbong kereta api tersebut. Wanita yang duduk di samping Lashira itu mendesah pelan. “Begitu ya, Mbak. Sabar ya, Mbak. Setiap masalah itu pasti pernah hadir pada manusia. Pesan saya adalah sabar dan tawakal dengan segala macam ujian yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa untuk kita. Saya bukannya mau sok bijak ya, Mbak. Saya dulu juga mengalami banyak masalah hidup saat masih muda dan mungkin seusia Mbak ini. Baru merdeka setelah mendapat seorang anak yang mampu menguatkan hati dan pikiran saya saat itu. Sebesar apapun masalah yang kita hadapi, kita hanya bisa berserah diri pada Yang Maha Kuasa. Beliau memberikan kita ujian karena pasti kita mampu melalui ujian tersebut. Percaya itu saja, Mbak,” cerocos Wati panjang lebar. Lashira mengangguk setuju. Memang yang diucapkan oleh wanita paruh baya itu ada benarnya juga. Yang diberikan ujian bertubi-tubi oleh Tuhan adalah makhluknya yang dirasa mampu dan kuat menjalani segala macam ujian hidup. Lashira termasuk salah satunya. Lashira menghela napas. “Iya, Ibu benar. Ucapan Ibu membuat saya jadi lebih baik sekarang.” Wati meraih telapak tangan Lashira untuk dipegang dan dikuatkan dengan dukungan. “Sabar ya, Mbak. Curahkan segala kegelisahan hari pada Sang Khalik dan orang yang terdekat dengan Mbak. Seperti contohnya Ibu Kandung mungkin yang lebih paham mengenai anaknya sendiri.” “Mama kandung saya sudah meninggal, Bu. Saya hanya punya Papa, Mama sambung, saudara tiri, dan adik-adik tiri saya,” jawab Lashira sedih ketika mengingat tentang Ibu kandungnya yang telah meninggal karena kecelakaan waktu itu. “Oh, maaf Mbak, saya tak tahu. Turut berbelasungkawa ya, Mbak. Semoga Mbak tegap diberikan ketabahan,” ucap Wati yang diamini oleh Lashira. “Aamiin ya rabbal alamin. Terima kasih, Bu.” “Sama-sama, Mbak cantik,” sahut wanita paruh baya itu dan akhirnya mengakhiri pembicaraannya dengan Lashira karena keduanya tiba di stasiun yang sama. Sebelum berpisah, Wati saling berkenalan dengan Lashira sejenak. “Mbak, namanya siapa? Rumahnya dimana kalau boleh tahu?” tanya Wati. “Saya Shira. Lashira Ghassani, nama lengkap saya. Rumah saja di Purimas, Rungkut, Bu. Kalau Ibu namanya siapa dan tinggal dimana?” Lashira balik bertanya seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan. “Oh, iya, Mbak Shira. Nama saya Wati. Panjangnya Setyawati. Tinggal di Gresik. Ini mau ke rumah anak saya di daerah Ketintang. Mbak Shira pulangnya naik apa?” tanya Wati yang tampak khawatir pada wanita cantik yang sempat menangis tadi. Lashira segera menjawab. “Saya dijemput adik laki-laki saya yang masih SMA, Bu. Sebentar lagi juga tiba. Jemput saya naik motor. Kalau Bu Wati bagaimana?” “Dijemput juga sama anak saya kok, Mbak. Disuruh tunggu di depan ruang tunggu Stasiun Wonokromo,” jawab Wati. Lashira mengurai senyum yang menawan. “Wah, senang rasanya bisa kenal sama Ibu. Kalau begitu, saya pergi dulu ya, Bu. Mau menemui adik saya.” Wati manggut-manggut. “Iya, Mbak Shira. Hati-hati di jalan ya.” “Iya, Bu. Bu Wati juga. Hati-hati di jalan,” pungkas Lashira yang kemudian bergerak ke depan stasiun untuk mencari keberadaan Liam, sang adik yang menjemputnya pagi ini. Sebenarnya Aga sudah berencana menjemput Lashira ke kos-kosannya. Tetapi semenjak ada masalah kemarin, ia tak jadi menjemputnya. Saling menghubungi via telepon genggam pun tidak. Lashira sudah mau memantapkan diri untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Aga. Tak mungkin tetap melanjutkan pernikahan dengan pria yang bukan dari ayah yang dikandungnya. “Mbak Shira, sini, Mbak!” panggil Liam sembari melambaikan tangan. Lashira yang dipanggil oleh sang adik pun bergegas menghampiri adik kesayangannya itu. “Liam, maaf, apa kamu sudah datang daritadi?” tanya Lashira. Liam menggeleng. “Enggak kok, Mbak. Baru saja belum ada lima menit. Yuk Mbak Shira, kita pulang. Tapi sebelum pulang ke rumah, mau Liam ajak beli burger dulu di Carls Jr ya,” ajak sang adik. Sang kakak perempuan mengaga. “Liam, burger di Carls Jr lumayan mahal lho. Memang kamu nggak sayang uangmu? Nggak beli di McDonalds saja?” “Enggak, Mbak. Aku tadi dikasih cuma-cuma sama Mbak Vio. Uang seratus ribu buat tutup mulut,” bisik Liam yang membuat Lashira kaget. “Apa? Memang dia bikin kesalahan apa???” tanya Lashira. “Ssstt ... karena aku sudah dikasih uang tutup mulut jadi aku nggak bisa bilang sama Mbak Shira,” ujar Liam yang masih labil. Lashira mendesah. “Begitu ya. Ya sudahlah, tapi semoga itu bukan hal buruk ya.” “Enggak kok, Mbak. Tenang saja. Bukan hal serius dan nggak ada hubungannya sama Mbak Shira juga,” tutur Liam. “Syukurlah, kalau begitu. Ayo, kita pulang sekarang! Tapi mohon maaf, aku masih belum bisa traktir kamu. Aku belum kerja dan cuma magang saja,” sahut Lashira yang sebenarnya ingin memanjakan sang adik suatu saat nanti. “Iya, Mbak. Tunggu Mbak Shira sudah kerja jadi dokter nanti pasti gajinya banyak.” “Aamiin. Kalau sudah jadi dokter spesialis baru banyak,” pungkas Lashira yang kemudian menaiki sepeda motor scoopy milik Liam seraya mengenakan helm. Mereka berdua pun beranjak dari Stasiun untuk bergerak menuju Carls Jr Darmo terlebih dahulu sebelum pulang ke Purimas Regency. *** Damar tak main-main dengan rencananya untuk menemui Lashira dan keluarganya di rumah mereka di Sabtu Malam. Di akhir pekan, ia dan keluarganya mendadak merencanakan untuk berkunjung ke rumah Lashira secara tiba-tiba tanpa memberitahu keluarga Ghassani terlebih dahulu termasuk wanita yang hendak dinikahinya itu. Sengaja ingin pergi ke kediaman mereka langsung tanpa meminta izin pada Lashira karena takut ditolak mentah-mentah oleh wanita cantik itu. “Damar, malam ini kau pergi ke rumah calon istrimu itu bersama Mama Rima dulu ya. Papa nggak bisa ikut dulu. Saat melamar calonmu saja Papa baru bisa datang,” ujar Bupati Gamal yang memang tak bisa datang karena ada kunjungan dari rekan politiknya. “Iya, Pa. Damar datang sama Mama saja. Ayo, Ma!” ajak Damar seraya menggandeng tangan sang ibu yang tampil anggun dan berkelas layaknya istri-istri pejabat. Rima mengenakan gamis cantik dan mewah yang pastinya akan mengundang perhatian dari Hilda Fitria tentunya sebagai ibu tiri dari Lashira yang haus akan harta. Apalagi tas branded Louis Vuitton ditenteng oleh ibu pejabat tersebut ditambah dengan bros mahal pada hijab yang dikenakan, akan mampu menyilaukan ibu tiri dari Lashira. “Ma, bingkisan buat keluarga Ghassani apa sudah siap?” tanya Damar yang ingin memanjakan keluarga calon istrinya itu dengan bingkisan-bingkisan yang bisa menyenangkan mereka. “Sudah dong. Sudah dimasukkan mobil oleh asisten rumah tangga. Mama sudah siap untuk bertemu calon besan Mama,” sahut Rima sembari menatap sayang pada sang putra. Segala keinginan anak laki-lakinya itu akan dipenuhi. Mereka pun beranjak pergi dari kediaman mewah mereka yang bagaikan istana itu untuk menuju Purimas Regency Surabaya. Sudah tidak sabar untuk bertemu calon menantu dan besannya. Apakah pertemuan mereka yang secara tiba-tiba ini berjalan lancar? Terutama berhasilkah Damar melakukan pembatalan rencana pernikahan Lashira dan Aga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD