Lashira tiba di kediaman yang terletak di Puri Mas Regency, Gunung Anyar ketika jam menunjukkan pukul 00.00 WIB. Sungguh malam ini adalah waktu yang membuatnya pulang terlalu malam hingga dini hari seperti ini. Semua ini akibat dari Damar Pranata.
Bukan keluarga Ghassani jika tidak menggerutu saat melihat anggota keluarganya terutama perempuan yang pulang larut malam. Abdullah Ghassani, ayah Lashira sudah menanti kedatangan sang putri di ruang tamu dengan ditemani istrinya Hilda Fitria selaku ibu tiri perempuan itu.
“Bagus ya kamu, Shira. Baru pulang jam segini. Darimana saja kamu? Apa kamu lupa jalan pulang sampai kelewat batas begini? Kau tahu ini sudah jam berapa?” sindir Hilda bersungut-sungut. Ia memang disiplin terhadap anak-anak termasuk anak tirinya sekalipun.
Abdullah berdeham sedangkan Lashira spontan menjawab.
“Maaf, Ma. Shira kan harus belajar buat uji sertifikasi profesi di perpustakaan sampai malam. Baru bisa pulang sekarang ini,” sahut Lashira seraya mencium punggung tangan sang ayah dan ibu tirinya.
Hilda mengernyit. “Perpustakaan tutup jam sepuluh malam kan. Terus ngapain aja dari jam sepuluh sampai jam dua belas itu? Kamu dugem ke club? Eh tapi dugem pasti jam sekarang belum pulang. Subuh baru pulang,” cibir wanita paruh baya itu yang sudah selama dua puluh tahun ini menjadi ibu sambung dari Lashira. Ayahnya menikah lagi saat Lashira ditinggal meninggal ibu kandungnya saat baru menginjak usia hampir 4 tahun karena kecelakaan mobil.
“Bukan, Ma. Ada sedikit kendala di kampus. Shira baru bisa pulang sekarang,” jawab perempuan malang itu yang tak sanggup harus mengatakan bahwa ia telah dinodai oleh laki-laki yang bukan kekasihnya malam ini.
Kini Abdullah yang membuka suara.
“Terus kenapa ponselmu nggak aktif, Shira. Kami khawatir padamu. Termasuk Aga yang sampai telepon Papa gara-gara nggak bisa hubungi kamu? Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu pulang sendiri? Kenapa bukan Aga yang mengantarmu?” cecar Abdullah yang mulai merasa aneh dengan sang putri. “Jawab!”
Seketika jantung Lashira berdetak lebih kencang akibat syok dengan pertanyaan ayahnya yang berwajah campuran timur tengah itu. Ia pun bergumam dalam hati.
Ya Tuhan, apakah aku harus jujur jika malam ini aku telah dinodai oleh seorang pria pada Papa dan Mama? Apakah aku sanggup mengatakan hal ini???
Lashira dilanda kebimbangan dan gelisah. Hanya bisa mendesah pasrah sebelum angkat bicara. Lantas tiba saatnya untuk menjawab pertanyaan Abdullah.
“A-aku . ..” Belum sempat perempuan cantik itu melanjutkan kalimat, tiba-tiba muncul kedatangan dari seorang Aga Daneswara yang berjalan mendekati Lashira.
“Shira, syukurlah ternyata kamu sudah pulang. Aku khawatir padamu. Kenapa ponselmu bisa sampai nggak aktif? Ada apa sebenarnya?” tanya Aga cemas.
Lashira mencoba mengatur napas. Lidahnya terasa kelu ketika diberondong pertanyaan seperti ini. Ingin rasanya memberitahu yang terjadi malam ini tapi nyalinya menciut akibat kedatangan sang kekasih secara mendadak. Masih takut untuk menceritakan kejadian buruk yang dilakukan oleh Damar padanya.
“Baterai ponselku habis. Maafkan aku Ga, aku nggak bisa pulang bareng kamu. Kepalaku mendadak pusing. Aku lelah. Aku mau ke kamar. Aku mau tidur dulu,” jawab Lashira yang berlalu meninggalkan Aga dan kedua orang tuanya. Tubuhnya bergetar hebat jika teringat akan kejadian tadi. Masih tak menyangka bahwa Damar sudah berbuat jahat padanya.
Lashira berjalan cepat menuju kamarnya di lantai dua sambil terisak. Menapaki beberapa anak tangga dengan rasa sakit yang membelenggu jiwanya. Sementara itu, Aga mendesah pasrah. Membiarkan sang kekasih untuk beristirahat. Lalu berpamitan dengan Abdullah dan Hilda.
“Om Abdullah dan Tante Hilda, saya pulang dulu ya. Setidaknya saya lega saat melihat Shira sudah pulang dengan selamat. Saya sempat sangat khawatir tadi saat tak bisa menemukannya di kampus.”
Abdullah mengangguk pelan.
“Iya, pulanglah Aga. Sudah terlalu malam. Dini hari malah. Waktunya kamu istirahat. Terima kasih ya, selalu perhatian dan peduli pada Shira. Kau memang laki-laki yang terbaik untuk Shira,” sahut Abdullah yang terpaksa diangguki oleh Hilda.
Sebenarnya Hilda tak suka jika Aga menjadi kekasih Lashira. Ia memiliki anak kandung bersama mantan suami yang salah satunya seusia Lashira. Violetta yang saat ini berusia 24 tahun, sama seperti sang anak tiri dan Viviana yang berusia 21 tahun. Setelah bercerai dengan mantan suaminya yang seorang narapidana kasus penipuan, ia berkenalan Abdullah yang ditinggal wafat oleh istrinya atau ibu kandung Lashira. Itu terjadi 20 tahun yang lalu. Abdullah menikah dengan Hilda dengan membawa seorang anak yaitu Lashira. Dari pernikahan Abdullah dan Hilda tersebut, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Liam yang kini berusia 17 tahun.
Liam sebagai anak laki-laki satu-satunya dari keluarga Ghassani, menjadi anak kesayangan Abdullah maupun Hilda. Bersyukur akan hal ini, ia lebih dekat dengan Lashira dibandingkan dua kakak perempuannya yang lain. Terlintas bayangan pembicaraan di masa lalu.
“Liam, kamu kenapa sih maunya sama Shira terus? Aku dan Vivi itu juga kakakmu,” tegur Violetta.
“Mbak Shira lebih ramah dan pintar. Bikin aku nyaman. Apalagi kalau aku kesulitan belajar, Mbak Shira yang bantu aku. Mbak Vio sama Mbak Vivi nggak mau pasti. Ada aja alasannya kalo aku tanya tentang pelajaran,” jawab Liam ketus.
Violetta berdeham sebal. “Hmm ... iya kau bela saja terus mbakmu yang pandai itu. Kami memang bodoh. Puas kan kamu!!!” gerutu Violetta yang sejak saat itu jadi benci pada saudara tirinya. Apalagi saat Lashira diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga lewat jalur prestasi sedangkan dirinya hanya berkuliah di Fakultas Ekonomi pada sebuah universitas swasta yang berakreditasi B saja.
Kembali pada malam kelabu untuk Lashira tersebut, Aga berpamitan pada kedua orang tua kekasihnya dan mobil mewahnya pergi meninggalkan kawasan Puri Mas. Kepala perempuan yang telah ternoda itu mendadak pening. Segera mengunci pintu kamar. Berdiri di balik pintu sambil berurai air mata. Perempuan itu sesenggukan. Masih tak menyangka jika nasib buruk menimpa dirinya malam ini. Tak kuasa berdiri dalam keadaan menangis, tubuhnya merosot hingga ke lantai. Cairan bening bercucuran. Menangis tiada henti sampai ia ketiduran di lantai.
Violetta yang tahu saudara tirinya pulang larut malam, bergeser ke depan kamar Lashira. Kamar mereka berdua memang bersebelahan. Ia pun belum tidur. Saat berada di depan kamar saudara tirinya, wanita itu jelas mendengar suara tangisan Lashira. Spontan matanya melebar lalu membatin dalam hati.
Shira menangis? Ada apa sebenarnya? Mengapa dia bisa pulang selarut ini? Apalagi ia tak pulang bersama Aga? Aku jadi penasaran. Aku harus cari tahu. Harus.
Violetta pun kembali masuk ke dalam kamarnya. Rasa penasaran atas apa yang telah terjadi pada Lashira berhasil mengusik pikirannya. Apalagi Violetta daridulu tidak suka dengan saudara sambungnya itu. Terutama saat Lashira menjadi kekasih pria idaman yang berasal dari keluarga mapan seperti Aga Daneswara, membuatnya iri dan dengki.
***
Mentari pagi menyusup masuk ke dalam kamar Lashira. Sontak wanita itu terjaga dari tidur. Ia sudah kesiangan hingga melewatkan jam subuh. Terperangah saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Akibat tidur dini hari, ia jadi kesiangan dan kelabakan seperti sekarang.
“Ya Tuhan, aku kesiangan. Aku belum mandi besar dan terlewat shalat subuh. Maafkan aku Ya Robbi,” celetuk Lashira yang kemudian bangkit dari lantai.
Tanpa berlama-lama lagi, Lashira pun bergeser menuju kamar mandi. Sebelum sampai di sana, ia sempat melirik ke arah cermin yang menunjukkan jika dirinya tampak mengenaskan akibat kejadian semalam. Matanya jadi sembap dan bengkak. Muncul kantung mata panda di bawah matanya. Wanita itu hanya bisa mendesah pasrah.
Aku sudah kotor. Damar sudah tega mengambil hak pertama yang seharusnya menjadi milik suamiku. Ya Tuhan, apakah aku sanggup mengatakan luka ini pada Aga? Apakah ia bisa menerimaku sebagai wanita yang sudah tidak perawan lagi?
Lashira mendesah saat memikirkan hal itu. Yang ia inginkan sekarang hanya membersihkan dirinya yang sudah kotor ini sebersih mungkin. Jejak-jejak merah yang ditinggalkan Damar di sekitar dadanya, membuat wanita itu frustasi dan bersedih. Bagaimana tidak jika Aga sendiri tak pernah melakukan hal itu. Selalu memegang teguh prinsip untuk bisa menyentuh sang pujaan hati ketika mereka sudah menikah nanti.
Selama membersihkan diri di kamar mandi pribadi yang berada dalam kamar, Lashira menyalakan keran shower untuk membasahi seluruh tubuhnya. Membasuh muka, kaki, tangan, dan seluruh tubuh lainnya seraya meneteskan air mata yang bercampur dengan air shower. Mendadak jadi cengeng kembali jika mengingat bahwa apa yang sudah ia jaga, harus diambil paksa oleh pria lain yang bukan calon suaminya, Aga.
Hampir setengah jam Lashira berada di kamar mandi. Ia harus segera menyelesaikan ritual mandi dan berhias diri ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar.
“Shira, sudah siang nih. Jangan enak-enakan tidur! Waktunya kita semua sarapan. Papa nggak mau kita sarapan dulu sebelum kamu ikut sarapan!” tegas Violetta sembari menggedor-gedor pintu kamar saudarinya.
Lashira menjawab dengan agak memekik ketika sudah keluar dari kamar mandi.
“Iya, tunggu sebentar. Aku barusan mandi. Aku pakai baju dulu,” sahut Lashira.
“Oke, jangan lama-lama! Aku mau pergi soalnya,” pinta Violetta.
“Iya, Vio.”
Lashira lekas mengeringkan rambut panjangnya yang basah. Rambut yang harus dicuci hingga bersih sesuai dengan aturan mandi wajib sebagai seorang muslim. Namun karena ia sudah ditunggu oleh anggota keluarga yang lain dan tak bisa lama-lama, wanita itu pun terpaksa tak mengeringkan rambut dengan hair dryer. Membiarkan rambut panjang miliknya tergerai dalam keadaan masih basah. Tentu saja hal itu mengundang tanda tanya ketika ia sudah siap di ruang makan.
“Tahu kan kebiasaan keluarga kita yang harus berkumpul di saat jam sarapan tiba. Kamu kesiangan?” tanya Hilda.
Lashira mengangguk pelan. “Iya, Ma. Maaf, Shira kesiangan,” jawabnya singkat.
Hilda berdeham lantas mulai curiga melihat sang anak tiri yang pagi-pagi sudah mencuci rambut atau keramas.
“Keramas pagi-pagi, kamu mandi besar?” tanya Hilda yang langsung membuat Lashira tersedak nasi goreng yang ia makan untuk sarapan.
“Uhuk ... uhuk ...” Lashira mendadak batuk-batuk karena syok dengan pertanyaan sang ibu.
“Kenapa kamu? Minumlah dulu,” tanya Hilda sambil menyodorkan segelas air pada Lashira.
Sang anak tiri menerimanya kemudian meneguk air tersebut hingga tandas.
“Shira, kau ini bikin sensasi saja dari malam hingga pagi. Kita semua jadi fokus padamu,” sindir Violetta yang kalau berbicara sering pedas pada saudari tirinya itu.
Hilda berdecak. “Sudahlah Vio, jangan menyela! Mama butuh penjelasan dari Shira. Apa kamu lagi datang bulan, Shira?” tanya wanita paruh baya itu lagi.
Lashira menggelengkan kepala.
“Enggak, Ma. Kepalaku pusing dan rambutku sudah waktunya dibersihkan juga,” jawabnya singkat. Masih tak sanggup harus berkata yang sebenarnya jika ia telah dinodai semalam.
“Oh begitu, ya sudah. Cepat habiskan makananmu. Pagi ini kita semua sibuk dengan acara kita masing-masing. Kau mau ke kampus lagi kan?”
“Enggak, Ma. Shira lagi nggak enak badan. Jadi belajar di rumah saja,” jawab Lashira yang tak mampu menampakkan diri di kampus. Masih trauma. Memang tidak ada jadwal kuliah lagi mengingat ia sudah hampir lulus. Hanya tinggal Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) saja.
Abdullah kemudian bersuara. “Ya sudah, kamu istirahat di rumah saja. Daripada kamu belajar di perpustakaan kampus, nanti pulangnya malam lagi. Nggak baik.”
“Iya, Pa,” sahut putri kandung dari Abdullah tersebut.
Hilda ikut menimpali. “Eh Shira, kamu masih punya hutang cerita tentang semalam ya. Pagi ini nggak mungkin kita dengarkan karena pagi ini kita sibuk dengan agenda kita masing-masing. Kita berbincang lagi nanti malam. Kamu jaga rumah saja, ya.”
Deg. Cerita mengenai semalam masih mau ditagih oleh Hilda. Jantung Lashira berdegup kencang tentang ini.
“Iya, Ma. Aku akan jaga rumah.”
Violetta bersuara. “Jaga rumah yang baik. Jangan sampai rumah ditinggal. Saat kita sudah pulang, kau menyambut kami di rumah.”
Lashira manggut-manggut. “Iya, Vio.”
“Ya sudah, aku berangkat ke kantor dulu ya,” sahut Violetta yang sudah 2 tahun ini bekerja di bank lokal yang ada di Bukit Darmo Golf, Surabaya.
Setelah wanita itu lulus sarjana, Violetta adalah seorang fresh graduate diterima bekerja di salah satu bank swasta yang ada di kawasan Surabaya Barat sebagai staf customer service. Bank yang terletak di perkantoran Bukit Darmo Golf. Lokasi yang dekat dengan kediaman mewah Aga, sang calon saudara ipar jika jadi menikah dengan Lashira.
Kini sebenarnya Violetta sedang mengambil cuti bekerja, tetapi tak menceritakan hal ini pada anggota keluarganya. Ia lebih tertarik menyelidiki apa yang telah terjadi pada saudari tiri yang sering membuatnya jealous itu. Sebelum beranjak dari rumah ia bergumam dalam hati.
Aku jadi lebih tertarik untuk menyelidikimu, Shira. Pasti ada yang tidak beres denganmu. Aku harus tahu tentang ini.
Seluruh anggota keluarga Ghassani pun pergi meninggalkan rumah mereka. Abdullah pergi bekerja di perusahaan rokok yang ada di kawasan Rungkut Industri dengan jabatan cukup tinggi yaitu Kepala Divisi Manager. Hilda juga seorang wanita yang bekerja di Rumah Sakit Premier Surabaya sebagai Kepala Perawat. Vivi mengikuti jejak sang ibu yaitu kuliah di Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya (Poltekkes Surabaya) dan sudah menjelang semester akhir. Liam masih bersekolah di SMA Negeri 16 Surabaya kelas XI IPA.
Lashira lekas menutup pintu utama rumah setelah mereka semua pergi. Namun ketika hendak menutup pintu rumah, ada yang menahannya. Wanita itu berbalik untuk melihat siapa yang sudah menahan. Mendadak matanya mendelik saat menyaksikan sosok pria yang sudah mengacaukan hidupnya semalam tiba-tiba hadir di depan Lashira.
“Pagi, Sayang ...” sapa pria itu yang mulai berani memanggil Lashira dengan panggilan ‘Sayang'.
“Damar ....” panggil Lashira terlonjak dengan mata membulat dan kaget atas kemunculan pria itu.
Lashira tertunduk lemas di tempat. Berniat ingin mengurung diri di rumah, malah disuguhi dengan pemandangan mengenai sosok Damar yang tiba-tiba muncul. Bagaimana kisah Lashira, Aga, dan Damar selanjutnya?