"Sabar memang tidak mengenal batas, tapi sabar bukan berarti bodoh."
- Aisa Putri R -
©©©
Aisa berjalan menuju ke arah masjid saat jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Dia menenteng tas ruku sambil tersenyum ceria layaknya anak kecil. Namun, saat di tengah perjalanan, ponsel milik Panca yang dipinjamnya kemarin berbunyi. Aisa lupa meninggalkan ponsel itu di dalam tasnya.
Dia mengambil ponselnya di dalam saku dan melihat siapa yang menelepon. Aisa menggaruk tengkuknya saat melihat tulisan Pacar tertera di layar ponselnya. Baru saja Aisa hendak mengangkatnya, seseorang dari belakang langsung menyambar ponsel itu lalu mengambil posisi berhadapan dengannya.
"Ini hpnya Panca, kok bisa sama lo?!"
Anestia menatap Aisa dengan tatapan kesal. Saat dia berjalan di belakang gadis itu, dia cukup terkejut mendengar ringtone ponsel dari Aisa yang mirip dengan milik Panca. Kenapa Anes bisa tau? Karena yang memilihkan ringtone itu sendiri adalah dirinya. Dia juga mengintip dari balik punggung Aisa melihat tulisan Pacar di layarnya, persis seperti nama yang diberikan Panca. Begitu juga dengan casing hp yang mirip.
"Oh iya, itu hpnya Kak Panca. Hp Ais kemarin hilang jadi..."
"Jadi lo maling hpnya si Panca, gitu?" serobot Anestia.
"Astagfirullah, gak Kak. Ais ini pinjem bukan maling. Kak Panca sendiri kok yang kasih."
"Gak mungkin Panca kasih hpnya ke sembarang orang. Lo sama dia itu baru beberapa kali ketemu! Ngaku, lo maling kan?!" bentak Anestia membuat orang di sekitarnya menatap mereka.
"Demi Allah, Ais gak pernah maling Kak. Kalau Ais maling hpnya Kak Panca, buat apa Ais masih pake kartunya Kak Panca? Ais bukan maling Kak!"
"Terus apa? Kenapa hp ini bisa dikasih sama lo? Ini tuh hp kesayangannya Panca. Gue juga sering hubungin dia lewat ini hp. Kenapa bisa lo dapetin ini?!"
"Tadi Ais udah bilang, Ais itu pinjem Kak."
"Lo gak tau malu yah?! Lo siapanya Panca emang?! Saudara bukan! Pacar bukan! Seenaknya aja lo pinjem hp dia. Sadar diri dong, baru ketemu beberapa kali aja udah pinjem-pinjem kayak begini. Sok akrab!"
"Ais juga gak maksa Kak Panca buat kasih pinjem hpnya kok. Kak Panca sendiri yang justru maksa Ais pake hp itu." jawab Aisa tenang.
"Panca bukan orang yang suka sok akrab sama orang lain! Lo selingkuh sama dia, iya?!"
"Astagfirullah, jangan menyebar fitnah sembarangan Kak."
"Terus apa? Lo sok tebar pesona sama Panca biar dia baik ke lo kan? Terus nanti dia tinggalin gue dan bakal milih lo, gitu?"
"Sekali lagi Ais tegasin! Ais gak pernah bersikap seperti itu. Udah waktunya buat solat dzuhur, Ais mau ke masjid. Kalau Kakak mau ambil hpnya, silakan dan tolong kembalikan pada yang punya. Assalamu'alaikum."
Aisa pergi dengan langkah yang lebih cepat. Dia sudah bersabar secara maksimal tadi, dan dia saja cukup tercengang dengan tingkat kesabarannya. Aisa menggelengkan kepalanya saat mengingat wajah mengerikan Anestia saat marah padanya. Sangat menyeramkan.
©©©
"Pan, lo yakin gak mau ikut anak-anak futsal?"
Patra menepuk bahu Panca yang duduk di depannya tengah memasukkan buku ke dalam tasnya. Rifki juga ikut melihat ke arah Panca menunggu jawaban dari lelaki itu.
"Enggak, gue ada janji sama Nyokap bawa dia ke rumah Eyang habis maghrib."
"Sebentar aja kali, lagian sekarang masih jam empat juga."
"Gak, males. Cape nanti gue!"
"Ah gak seru kalo lo gak ada, Pan." tambah Rifki.
"Lebay lo!"
Belum sempat menimpali, Anestia masuk dengan kesal lalu duduk di kursi depan Panca yang sudah kosong. Dia membalikkan kursi itu menghadap kekasihnya. Patra dan Rifki saling menatap bingung, tidak biasanya Anes marah-marah tidak jelas seperti ini.
"Nih hp lo!" ujar Anes sambil meletakan ponsel milik Panca di depan lelaki itu.
"Kok bisa ada di lo?" tanya Panca bingung.
"Ya iyalah, gue tadi siang ambil dari tuh cewe. Lagian ngapain sih hp lo dikasih ke dia? Tadi gue telepon lo dan pas banget gue tadi ada di belakang tuh cewe. Dan ternyata setelah gue liatin, itu ternyata hp lo."
"Gue emang sengaja kasih nih hp ke dia. Hpnya kemarin hilang makanya..."
"Udah gak perlu dijelasin lagi deh! Lagian lo kenapa sih Pan? Gak biasanya lo sok peduli sama cewe lain."
"Ya gue kasihan aja sama dia, Nes. Lo kenapa sih marah-marah begini? Lagian lo juga bisa kan hubungin gue di nomer yang satunya."
"Jadi sekarang lo lebih belain dia dibanding gue?!"
"Gue gak belain siapa-siapa."
"Gue gak suka sama tuh cewe. Dia tuh sok tebar pesona banget tau gak sih sama lo!"
"Dia gak pernah kayak gitu."
"Tau darimana? Buktinya baru kenal aja lo udah peduli banget sama dia. Gimana nanti?"
"Nes, udah yah?! Cukup. Gue gak mau ribut sama lo."
Anes mendengus tidak percaya dengan kalimat Panca. Dia benar-benar sudah sangat kesal melihat Panca yang lebih membela gadis berjilbab itu daripada dirinya. Panca tidak pernah seperti ini sebelumnya, dia selalu hanya peduli tentangnya. Dia tidak pernah bersikap sok peduli pada gadis lain. Anes tidak pernah berbagi perhatian Panca dengan gadis manapun, dan sekarang dia merasa kesal.
"Lo sore ini latihan kan? Jangan kecapean. Nanti pulang mau gue jemput?" ujar Panca berdiri dari duduknya menggendong tas.
"Gak usah! Gue bisa pulang sendiri."
"Oke, hati-hati. Gue balik dulu. Rif, Pat, duluan!"
"Oh i-iya." jawab mereka.
Panca berjalan keluar dari kelasnya meninggalkan Anes beserta Rifki dan Patra. Dia mengangkat ponsel yang tadi diberikan Anes padanya. Dia jadi berpikir tentang Ais yang tidak bisa pulang karena ponsel yang ada padanya. Dia menghembuskan nafasnya lelah. Dia ingin mencari Aisa, namun dia juga sudah ada janji dengan Ibunya. Lagipula dia juga belum solat asar, jadi dia memutuskan untuk menemui Aisa besok saja.
Panca baru saja mengeluarkan motornya melewati lingkungan kampusnya, matanya melihat sosok gadis yang tadi dia pikirkan tengah duduk di salah satu warung seberang jalan bersama lelaki yang sangat dia kenal. Panca mengerutkan keningnya, dia tidak tahu kenapa rasanya sangat tidak suka melihat keduanya terlihat akrab.
©©©
Aisa berdiri di depan kampus dengan gelisah. Dia melihat sekelilingnya, mencari ojek wanita yang ada namun disana hanya terdapat ojek laki-laki. Aisa mengetukkan ujung sepatunya gelisah. Dia harus bagaimana sekarang? Dia pulang naik apa, dia tidak tahu.
"Aisa kan?"
Suara itu membuat Aisa menoleh ke samping. Aisa tersenyum saat mengingat siapa lelaki disebelahnya ini.
"Kak Dirga?"
"Masih inget gue ternyata, lagi ngapain disini?"
"Ais lagi ini Kak...." ujar Aisa ragu.
"Kenapa? Ada masalah? Mungkin gue bisa bantu."
"Hp Ais kemarin hilang, biasanya Ais pulang naik ojol. Ais kemarin gak sempet bilang ke Bapak sama Ibu. Sekarang Ais bingung mau pulang naik apa?"
"Ya ampun Ais, udah lapor ke pihak kampus?"
"Belum, tapi yaudahlah Kak. Mungkin bukan rejeki Ais."
"Yaudah, pake hp gue aja buat pesen ojolnya." tawar Dirga.
"Emang Kak Dirga punya aplikasi ojol khusus perempuan?"
"Enggak sih, gimana kalau di download aja dulu. Sekalian tunggunya di warung depan situ tuh, gimana?"
Aisa melihat tempat yang ditunjuk oleh Dirga. Tempatnya tidak sepi dan tidak terlalu ramai. Aisa kembali menatap Dirga lalu tersenyum ceria.
"Iya deh, makasih banget Kak."
"Santai aja, yuk!"
Aisa dan Dirga menuju warung di depan kampus. Mereka banyak mengobrol sembari menunggu aplikasi ojol selesai di di download. Aisa tertawa setiap kali Dirga melayangkan candaannya. Dirga adalah sosok lelaki yang humble dan menyenangkan. Sejauh ini itulah yang ditangkap oleh Aisa pada diri lelaki itu.
Aisa adalah gadis yang sulit untuk bergaul. Dia memang ramah pada semua orang tapi tidak semua orang menerimanya. Sebab itulah Aisa menjadi sosok yang lebih tertutup. Bukannya ingin sombong, tetapi daripada dia harus tersakiti oleh perkataan orang lebih baik dia menutup dirinya.
"Aisa?"
Mendengar namanya dipanggil, Aisa menoleh ke samping kirinya. Aisa melihat Panca berdiri di samping kursi yang Aisa duduki.
"Ngapain kalian berduaan disini? Katanya cowo sama cewe gak boleh berduaan." sindir Panca.
"Siapa yang berduaan? Kakak gak liat disini banyak orang." jawab Aisa ketus tanpa melihat Panca.
"Tapi ini semeja! Bukannya sama aja?!"
"Tapi gak dempet-dempetan tuh!"
"Tapi berhadap-hadapan!"
"Kak Panca ngapain sih dateng-dateng bikin rusuh?!" ujar Aisa menatap Panca.
"Kok lo marah ke gue?"
"Siapa yang marah? Ais gak marah." jawab Ais masih dengan nada ketus.
"Bicara lo kok ketus gitu kalo gak marah. Emang salah gue apa?"
"Gak salah. Kak Panca gak ada salah apa-apa."
Panca menghembuskan nafasnya kasar mendengar nada ketus disetiap kalimat dari Aisa. Sementara Dirga sedari tadi hanya diam tidak mau mengganggu. Panca melirik Dirga yang justru dengan santainya meminum jus pesanannya.
"Yaudah, gue kesini mau balikin hp ke lo." ujar Panca menyodorkan hp miliknya tadi.
"Buat apa? Gak usah Kak, makasih."
"Emang lo udah ada hp lagi? Pulangnya nanti gimana?"
"Belum, tapi udah dibantuin pesen ojol sama Kak Dirga kok. Jadi hpnya balik ke Kakak aja."
"Lo kenapa sih? Anes ngomong apa ke lo? Dia marah-marah?" tanya Panca sabar.
"Gapapa. Ais cuma gak mau aja dibilang maling, selingkuhan atau sok tebar pesona lagi. Ais gak rela dibilang kayak begitu. Ais mau marah juga tapi gak bisa, takut dosa." gerutu Aisa.
"Dia bilang kayak begitu?"
"Udah deh Kak, Ais gak mau lagi dituduh buruk kayak begitu. Ais disini bukan mau cari musuh tapi mau cari ilmu."
Aisa menekuk wajahnya kesal, Panca yang mendengar hal itu ikut menjadi emosi. Dia tidak tahu kalau Anes akan berkata hal yang menyakitkan seperti itu pada orang lain.
"Gue minta maaf."
"Buat apa Kak Panca minta maaf? Kak Panca gak salah apa-apa." jawab Aisa.
"Iya, maksudnya gue minta maaf atas nama Anestia."
"Minta maaf bisa diwakilin gitu yah?" sindir Aisa.
"Yaudah, kalo gitu maafin gue aja."
"Emang Kak Panca salah apa? Perasaan gak ada salah apa-apa."
Panca meringis gemas, "kalo gitu jangan ketus gitu sama gue! Lo bilang gue gak salah tapi kenapa lo seakan judge kalo gue salah?"
Aisa melirik Panca ragu, dia tahu kalau tingkahnya salah. Seharusnya dia tidak ngomel-ngomel ke Panca, lelaki itu tidaklah salah. Kesalahan terletak pada pacarnya bukan Panca sendiri.
"Masih marah sama gue?" tanya Panca.
"Ais gak marah." jawab Aisa lirih.
"Iya gak marah, tapi ngomel."
"Maaf, gak sengaja." sahut Aisa.
"Terus gimana pulangnya? Udah pesan ojek? Mau gue anter aja?" tanya Panca beruntun.
"Udah dipesenin Kak Dirga, gak boleh berduaan sama yang bukan mahramnya."
"Emm Ais, itu ojek kamu kayaknya udah dateng." ujar Dirga melihat ojek wanita di depan warung.
Panca dan Aisa melihat ke arah tunjukkan Dirga. Benar saja disana ada wanita tukang ojek pesanan Aisa. Gadis itu berdiri dengan ceria menggendong tasnya.
"Makasih yah Kak Dirga udah mau tolongin Aisa."
"Sama-sama." jawab Dirga tersenyum.
"Ais pulang duluan yah, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Cuma dia aja? Gue gak?" ujar Panca kesal.
"Iya, Aisa pulang dulu Kak Panca. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." jawab Panca sambil tersenyum singkat.
Selepas Aisa pergi, Panca hendak kembali ke motornya namun satu kalimat dari Dirga menghentikannya membuat dia merasa udara di sekitarnya menjadi jauh lebih panas.
"Aisa cantik juga yah?"
Panca melirik tajam pada Dirga, dia tidak rela Aisa dipuji lewat mulut lelaki itu. Seharusnya Panca tidak marah, tapi dia tidak bisa menahan amarahnya. Seakan emosinya muncul sendiri ke permukaan tanpa bisa dia cegah.
"Maksudnya?"
"Lo suka sama dia, Pan?"
"Enggak."
"Kalo gue deketin dia, berarti gapapa kan?"
Kedua tangan Panca sudah mengepal mendengarnya, dia memasukkan kepalannya kedalam saku celana untu menyembunyikannya. Dia tidak mau memperlihatkan reaksi aneh tubuhnya atas pertanyaan Dirga yang seharusnya biasa saja untuknya. Tapi nyatanya tidak biasa saja.
Panca tersenyum kecil, "Dia gak akan mau sama lo."
"Kalo dia mau?"
Panca tidak langsung menjawabnya, lebih tepatnya menahan jawaban agar tidak langsung menyambar Dirga dengan emosinya. Dia maju ke hadapan Dirga di seberang meja bekas Aisa tadi duduk.
"Dia gak akan pernah mau sama lo!"
©©©
TBC