Part 6 - Nyaman yang Datang Tiba-Tiba

1778 Words
"Aku tidak akan menyangkalnya, sikapmu yang terlalu menggemaskan membuatku terkena serangan Nyaman mendadak." - Panca Nugraha - ©©© "Duh! Nyari tuh bocah dimana yah?" Panca menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kemarin saat dirumah dia lupa memberikan formulir pendaftaran pada Aisa karena keluarganya yang sudah heboh lebih dulu. Alhasil sekarang walaupun Panca tidak ada jadwal kuliah pagi, dia terpaksa masuk untuk mencari gadis itu. Masalahnya, Panca sudah menelepon dan sms pada Aisa namun tidak ada satupun yang dibalas gadis itu. Kesal karena tidak dijawab juga, akhirnya dia memutuskan memutari kampus berharap keberuntungan datang padanya. Namun sudah satu jam mencari dia belum juga bertemu Aisa, ditambah lagi kampusnya yang sangat luas. Sudah satu jam saja dia belum ada setengahnya mengelilingi kampus. "Giliran gak diharepin aja nongol mulu, sekarang dicariin malah gak ketemu." gerutu Panca. Menyerah, Panca lebih memilih pergi menuju kantin. Sejak tadi perutnya juga sudah keroncongan padahal dia sudah sarapan. Mungkin karena lelah berjalan sehingga tenaganya jadi cepat habis. Lagipula kalau dipikir lagi yang membutuhkan formulir pendaftaran itu adalah Aisa, lantas kenapa jadi dia yang merepotkan diri seperti ini? "Pak baksonya satu yah? Sayurnya dibanyakin." ujar Panca pada tukang bakso. "Maksudnya baksonya cuma satu biji doang atau gimana, Mas? Emang makan sebiji bisa bikin kenyang?" "Yaelah si Bapak, mana ada orang pesen bakso cuma satu biji? Satu porsi lah!" "Eh ada, Mas. Bang Rifki kalo gak punya duit beli sebiji aja nanti bayarnya kalo udah makan total bakso seporsi. Jadi diitungnya makan seporsi padahal mah makannya dicicil tiap hari satu bakso." "Kebangetan si Rifki emang yah! Makan bakso aja dicicil begitu. Saya pesan satu porsi, Pak. Bukan yang kayak Rifki!" "Siap, Mas." Setelah memesan, Panca duduk di salah satu bangku yang kosong. Kebetulan masih pukul 10 pagi jadi kantin belum terlalu ramai. Tidak perlu menunggu sampai sepuluh menit, pesanan baksonya sudah datang. Panca mulai meracik baksonya dengan sambal dan juga kecap sesuai seleranya. Baru memakan satu butir bakso, suara mengejutkan membuatnya tersedak sampai terbatuk-batuk. Siapa lagi kalau bukan orang yang dicari tidak ketemu tapi saat tidak dicari selalu saja muncul. "Assalamu'alaikum Kak Panca!" ujar Aisa tiba-tiba. Panca masih terbatuk karena terkejut, dia memukul-mukul dadanya yang terasa perih sekarang karena kuah baksonya yang cukup pedas. "Ya Allah Kak, makanya makan itu berdoa dulu. Baca Bismillah jadi gak keselek gini." "Lo yang munculnya tiba-tiba, bikin kaget aja! Jadi keselek kan gue!" "Kok Aisa disalahin? Aisa kan tadi udah ucap salam dulu, gak berniat ngagetin." "Terserah lo dah, Boncel!" "Kak Panca ngapain disini? Gak masuk kelas?" tanya Aisa duduk di seberang Panca. "Gue nyariin lo! Lagian lo punya hp buat apaan sih? Ganjel pintu? Ditelpon gak dijawab! Sms gak dibales!" kesal Panca. "Emang Kak Panca telepon? Kok Ais gak dengar?" "Gue telepon lo ada sepuluh kali, Ais! Masa iya gak kedengaran." "Beneran! Ais gak dengar ada telepon dari tadi." "Coba mana hp lo?" Aisa merogoh ke dalam tasnya mencari-cari ponsel miliknya. Namun sudah dicari-cari, Aisa tidak mendapatkan ponsel miliknya. Aisa mulai mengeluarkan satu persatu isi dalam tas sampai membuat Panca mengernyit bingung. "Heh! Gue minta hp lo, kenapa jadi segala macem buku dikeluarin segala?" "Ish! Ini juga lagi dicari Kak Panca! Sabar dong." jawab Aisa merengut. "Mukanya biasa aja. Katanya gak boleh kebanyakan emosi, nanti mukanya cepet tua. Siapa tuh yang sering ngomong begitu?" ujar Panca tersenyum mengejek. "Ais gak emosi kok." "Iya gak emosi, cuma kesel aja." jawab Panca lalu melanjutkan makannya. Wajah Aisa sudah ditekuk mendengar jawaban dari Panca. Memang ada benarnya sih, Aisa sedikit kesal karena ponselnya masih saja belum dia temukan. Aisa mengingat kembali, saat pagi dia berangkat Aisa masih memegang ponsel miliknya. Lalu dia berangkat ke kampus, dia yakin ponsel itu juga masih ada disaku rok miliknya. Kemudian dia pergi ke masjid untuk melaksanakan solat duha. Dia sempat memasang mode silent pada ponselnya lalu meletakan tas berikut ponselnya di sebelah dia solat. Aisa membelalakkan matanya, sekarang dia mengingatnya. "Kak Panca!" ujar Aisa tiba-tiba tanpa sadar memukul meja. "Uhuk..uhuk..." Panca kembali memukul dadanya dan menyambar minuman miliknya. Matanya bahkan mungkin sudah memerah karena tersedak untuk yang kedua kalinya. "Maaf, Ais gak sengaja." ujar Aisa menyesal. "Bisa mati keselek gue kalo kayak begini terus." ujar Panca masih berusaha menghilangkan rasa panas di hidungnya. "Tolongin Ais, Kak..." "Apaan?!" sinis Panca. "Hp Ais ketinggalan di masjid. Lupa gak di ambil, terus hpnya di silent sama Ais. Gimana dong Kak?" "DL!" "Apaan DL?" tanya Aisa bingung. "DERITA LO HAHAHA....." "Kaaakkkk, bantuin Ais! Kalo hpnya hilang nanti Ais gak bisa pulang, gak bisa pesen ojol. Terus nanti dimarahin sama Ibu, Bapak, sama Mbah kakung juga. Kak Panca, tolongin Ais yah?" Panca meringis ngeri saat melihat Aisa menangkupkan kedua tangannya sambil mengeluarkan puppy eyes miliknya. Panca berusaha menghindari tatapan Aisa dengan mengalihkan menyendok bakso ke mulutnya. Namun belum sampai masuk, Panca kembali melirik Aisa dan seketika selera makannya hilang. Panca menghembuskan nafasnya kesal. Kenapa yang awalnya dia berniat baik membawakan formulir, sekarang malah mendapatkan kerepotan dari gadis ini. "Aishh! Yaudah cepetan! Cek dulu di masjid masih ada apa gak, kalo gak ada yaudah nasib hp lo hilang." ujar Panca lalu berdiri. "Jangan dong! Nanti kalau hilang, Ais gimana pulangnya?" rengek Aisa sudah hampir menangis. "Eh jangan nangis! Iya nanti gue bantuin cari sampai ketemu. Udah ayo berdiri, nanti keburu telat diambil orang." ujar Panca menenangkan panik. "Jangan diambil orang doongg!" "Iya iya! Gak diambil orang, makanya cepetan." panik Panca. Aisa dan Panca berjalan menuju masjid dengan panik. Apalagi Aisa yang wajahnya sudah memerah menahan tangis. Aisa yang terlihat ingin menangis, justru Panca yang panik. Dia tidak mau nantinya disangka sebagai penyebab gadis itu menangis oleh orang-orang yang melihatnya. Sesampainya disana, Aisa bergegas melepas sepatunya dan langsung memasuki tempat solat khusus wanita. Panca yang tidak tahu harus bagaimana hanya berdiri diluar masjid sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia memutuskan untuk duduk disalah satu undakan anak tangga teras masjid. Sesekali menoleh ke belakang menunggu gadis bernama Aisa itu keluar. Lima belas menit kemudian, Aisa keluar dengan wajah lesu dan mata yang berair. Tanpa perlu bertanya, Panca tahu jawaban yang tepat dari ekspresi wajah itu. Aisa duduk dengan jarak satu meter dari Panca. Gadis itu terus diam sehingga Panca juga tidak berani menegur. Setelah di diamkan tiba-tiba gadis itu menunduk dan bahunya mulai bergetar. Aisa menangis tanpa suara, hanya bahunya yang bergetar dengan kepala terus menunduk. "Ais?" panggil Panca. "Handphone Ais gak ada. Ais gak tau harus gimana?" jawab Ais dengan suara serak. "Emang, tadi di dalem udah dicari gak ada?" "Gak ada..." jawab Aisa mendongak berusaha menghapus air matanya dengan tangan. "Terus gimana?" tanya Panca prihatin. "Gak tau. Ais juga bingung, nanti Ais pulang naik apa? Angkot gak ada yang ke arah rumah Ais." curhat Aisa menarik ingusnya. "Pulang bareng sama gue, mau?" Aisa menoleh ke arah Panca dengan wajah merahnya. "Gak boleh berduaan dalam satu ruangan sama orang yang bukan mahramnya." jawab Aisa menunduk lagi. "Iya juga sih." balas Panca sambil mengangguk-angguk. "Mungkin Aisa harus jalan kaki kali yah?" Panca menoleh cepat, "Rumah lo jauh, Ais! Minta nebeng sama teman cewe aja." "Sekarang udah gak ada mata kuliah lagi di kelas Ais, jadi mungkin udah pada pulang dari tadi." "Emang jam berap... Astaga!" ujar Panca terpotong saat melihat jam ditangannya. "Kenapa Kak?" "Gue ada kuliah bentar lagi, udah mau jam sebelas." "Ya udah Kak Panca ke kelas aja. Biar nanti Ais cari cara lain buat balik." ujar Aisa berusaha tersenyum. Panca yang melihat senyum terpaksa Aisa merasa nyeri di dadanya. Biasanya saat gadis itu tersenyum, maka jantungnya akan berdetak lebih cepat. Namun sekarang, jantungnya bahkan tahu kalau gadis itu tengah sedih. Panca merogoh saku celana jeans mengeluarkan ponselnya. Dia menyodorkan ponsel itu ke arah Aisa. "Pake handphone gue aja dulu." ujar Panca. "Jangan Kak! Nanti kalo Kak Panca ada urusan penting gimana?" "Gapapa, pake aja! Gak ada yang penting kok disitu. Paling w******p dari temen-temen gak jelas gue." "Iya justru itu! Kalau nanti ada yang penting, telepon dari Mama atau Papanya Kak Panca gimana?" "Ya lo angkat aja, bilang kalo hp gue lagi ada sama lo gitu. Lagian udah kenal kan sama Nyokap Bokap Gue? Mereka gak akan marah, apalagi Nyokap gue. Mana bisa marah dia sama lo." "Jangan deh Kak. Gini aja, aku dipesenin Kak Panca aja lewat hp ini, nanti hpnya dibawa Kakak lagi." tolak Aisa secara halus. "Emang lo mau balik sekarang juga? Gak ada urusan lain?" Aisa terdiam, dia memang mempunyai urusan lain untuk menemui salah satu dosen mengenai tugas makalah satu kelasnya yang ada padanya untuk dikumpulkan. Kebetulan juga Aisa adalah sekretaris di kelasnya, dia yang mengumpulkan tugas karena ketua kelasnya memilili urusan keluarga penting yang mengharuskan dia pulang cepat. "Malah diem! Masih ada urusan lain kan?" "Iya..." "Yaudah ini hp dibawa aja, Ais. Lagian gak kepake juga sama gue, kalo lo bingung nanti guenya gimana tenang aja, dirumah gue masih ada hp kok. Nih pake, gue mau ke kelas. Dosen gue killer males ngeladenin kalo udah ngomel." jelas Panca masih menyodorkan ponselnya. "Kak Panca beneran? Nanti kalo ada yang pen..." "Ya lo jawab aja deh sesuka lo! Atau lo bilang aja suruh mereka hubungin gue di nomer satunya. Udah pada ngerti mereka nanti." Aisa menerima ponsel yang diulurkan Panca dengan ragu-ragu. Dia sebenarnya tidak enak harus meminjam ponsel milik Panca. Dia takut nanti ada informasi penting sedangkan ponsel Panca ada padanya. "Yaudah gue ke kelas dulu, jangan nangis lagi. Oh iya passwordnya Anestia15, itu doang. Gue cabut dulu." ujar Panca menggendong tas di sebelah bahunya. "Kak Panca! Makasih yah udah baik banget sama Aisa. Besok Ais balikin hpnya." ujar Aisa sambil tersenyum. "Santuy mah kalo sama gue. Gak usah dibalikin juga gapapa. Pake aja kalo emang lo masih perlu. Oh iya, formulir pendaftaran Saka Buana masih di gue." balas Panca lalu mengambil formulir dalam tasnya. "Makasih sekali lagi." sahut Aisa setelah menerima formulir itu. "Udah gue ke kelas dulu, nanti gue kirim pesan ke nomer ini biar lo tau nomer gue juga. Jadi kalo ada apa-apa tinggal hubungin gue ke nomer itu." "Oke!" "Oke, gue pergi dulu." "Salamnya mana?" "Assalamu'alaikum, Aisa." "Wa'alaikumsalam, Kak Panca." jawab Aisa sambil tertawa. Panca terkekeh kecil lalu menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Aisa. Ternyata semudah itu membuat gadis seperti dia tersenyum lagi. Panca berbalik berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai empat gedung. "Kak Panca! Semangat belajarnya!" ujar Aisa sedikit berteriak. Mendengar hal itu, Panca otomatis berhenti dan melihat ke arah belakang. Dia melihat Aisa mengepalkan salah satu jemarinya ke depan d**a. Mau tidak mau hal itu membuat Panca tersenyum geli. Akhirnya dia memutuskan mengangkat tangan kanannya memberikan satu jempol tanda oke pada Aisa. Setelahnya Panca melihat Aisa kembali tertawa karena balasannya, dan anehnya tawa itu menular pada Panca. Dia juga ikut tertawa saat Aisa mulai tertawa. "Nyaman, tolong jangan menjebak gue ke dalam rasa itu. This is wrong!" ©©© TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD