Part 5 - Perhatian yang Sia-Sia

1677 Words
"Ketika seseorang sudah berusaha peduli namun tidak pernah dihargai, jangan salahkan jika dia berhenti peduli kelak." - Panca Nugraha - ©©© Kesal. Satu kata yang menggambarkan perasaan Panca sekarang. Sudah bejam-jam lebih Ibunya, Aira menahan kepulangan gadis senyuman maut itu. Sejak keberadaan gadis itu di rumahnya, para anggota keluarga yang memang sedang berkumpul langsung berbondong-bondong mendekatinya. Banyak yang salah mengartikan bahwa Aisa adalah kekasihnya. Ditambah sang Ibu yang sedari tadi memuja-muja gadis itu. Panca ingin sekali meyanggah semua pemikiran mereka, namun dia tidak bisa melakukan itu disaat tante-tantenya masih terus menyerocos tiada henti. Dan lagi, jantungnya sedari tadi tidak bisa berhenti ber-dag-dig-dug ria karena harus terus bersebelahan dengan Aisa. Apakah Ibunya tidak bisa melihat penderitaannya? "Maaf Tante, Ais udah ditelepon sama Bapak berkali-kali. Disuruh pulang katanya, udah malem." ujar Aisa terlihat tidak enak mengucapkannya. "Kok cepet banget sih, Ais? Baru jam tujuh kok." ujar Roro, adik dari Ayahnya Panca. "Iya, tapi Bapak udah suruh Ais pulang Tante. Gak baik anak gadis seperti Aisa keluar malam-malam apalagi di rumah lelaki."  "Tapi kan disini banyak orang, sayang." "Ma, udah dong. Kasihan itu Aisa mau pulang dari tadi ditahan melulu. Besok kalo ada waktu suruh kesini lagi aja. Susah bener." ujar Panca membantu Aisa. "Oh iya! Bener juga kamu. Aisa, Tante minta nomor telepon kamu yah? Biar nanti Tante bisa hubungin kamu." "Iya, Tante." Setelah sesi bertukar nomor telepon, Panca kembali dipaksa untuk mengantarkan Aisa pulang. Sekali lagi gadis itu menolak dengan alasan bahwa Panca adalah lelaki dan mereka tidak boleh berduaan dalam satu ruang tertutup seperti mobil. Akhirnya salah satu sepupu Panca, Karin ikut mengantarkan Aisa. Karin umurnya hampir sama dengan Aisa, hanya berbeda satu tahun saja. Sejak tadi mereka juga terlihat sangat akrab. Tidak tahu kenapa, Panca senang melihat Aisa dekat dengan keluarganya. Dia bisa berbaur dengan mereka walaupun kadang terlihat kualahan menghadapi ocehan sepupu Panca yang masih balita. Walaupun begitu, dia tetap tidak enak tadi melihat wajah Aisa yang terlihat sudah ingin pulang namun terus ditahan. Itulah yang membuat dia kesal. "Mba Aisa pasti orang tuanya Ustadz yah? Makanya dari masih muda gini udah bisa taat banget sama agama." "Emang keliatannya gitu yah?" tanya Aisa sambil mengerjapkan matanya. "Astagfirullah, gemes gue." batin Panca. "Iya, emang beneran mba Ais anaknya Ustadz?" "Bisa jadi sih, soalnya Bapak ngajar di pesantren dan Mbah kakung aku pengurus pesantren itu. Artinya mereka ustadz yah?" Karin terkekeh mendengar pertanyaan Aisa. Dia menjadi gemas mendengar kepolosan Aisa. "Iya dong, Mba. Ngomong-ngomong pesantren itu punya Kakeknya Mba Ais?" "Kok kamu tau sih?" tanya Aisa antusias. "Ya Allah Mba, gampang banget ketebak sih. Kalau Mba bukan anak pemilik pesantren pasti cucunya. Berarti lingkungan Mba dari dulu udah taat sama agama semua yah?" "Alhamdulillah sih, Rin. Mba bersyukur bisa ada di lingkungan sebaik itu." "Keren ih! Mas Panca pinter deh cari cewe. Jangan kelamaan nih Mas, cewe kayak Mba Ais ini langka. Udah baik, cantik, taat agama, dan dari keluarga yang baik pula. Jangan disia-siain, Mas! Cowo yang mau cewe kayak Mba Ais itu banyak. Harus hati-hati!" ujar Karin pada Panca di sebelahnya. "Apaan sih kamu dek? Dia itu gak ada hubungannya sama Mas. Dibilang Mas udah punya pacar juga." jawab Panca kesal menatap jalan raya didepannya. "Siapa? Si Anestesi itu? Yaelah Mas, Karin gak suka yah sama itu cewe. Sadar gak sih kalau setiap Karin ketemu sama dia, pasti matanya selalu ngeliat ke arah temen Mas yang tinggi itu. Siapa namanya? Dirga yah?" "Anestia bukan Anestesi, Karina Salsabila." "Iya itulah masa bodo!" "Ck! Kamu gak usah curigaan begitu. Gak baik, lagian Dirga itu temen baik Mas. Gak mungkin dia kayak begitu." "Ih Mas mah kalo dibilangin gak percayaan. Sebel Karin!" ujar Karin. "Berhenti di rumah yang warna hijau yah, Mas. Pagernya warna Cokelat itu." ujar Aisa tiba-tiba saat sudah memasuki komplek rumahnya. "Mas lagi?" "Eh iya! Habisnya Karin dari tadi panggilnya Mas sih, jadi kebawa juga kan hehe..." Karin ikut tertawa bersama dengan Aisa, sedangkan Panca hanya mendengus. "Iya udah sih, gapapa. Biar lebih akrab kalo panggilnya Mas." tambah Karin. Panca tidak menghiraukan kalimat yang diucapkan oleh sepupunya itu. Dia menghentikan mobilnya tepat di depan rumah yang tadi sudah ditunjuk oleh Aisa. Saat Aisa turun, Panca dan Karin juga ikut turun. Dia melihat sosok wanita paruh baya berkerudung keluar. Lalu kemudian diikuti seorang pria yang mirip dengan Aisa. Bisa Panca tebak kalau mereka adalah orang tua Aisa. Aisa terlihat menyalami kedua orang tuanya setelah membuka pagar. Panca dan Karin saling berpandangan bingung, haruskah mereka mendekati keluarga itu atau tidak. "Karin! Mas... Eh Kak Panca, sini!" Panca melangkahkan kakinya setelah dipanggil. Karin mengikuti Kakak sepupunya dari belakang. "Assalamu'alaikum Pak, Bu." ujar Panca begitu juga Karin. "Wa'alaikumsalam, ini yang namanya Nak Panca?" tanya Ayah dari Aisa. "Iya Pak, maaf saya baru anterin Aisa pulang. Mama saya dari tadi lengket banget sama dia, gak tau juga kenapa, mungkin karena gak punya anak perempuan jadi begitu." ujar Panca setengah bercanda sambil terkekeh. "Tidak apa-apa, asalkan kamu mengantar Aisa pulang dengan selamat tanpa cacat apapun. Dan juga kalian tidak berduaan di mobil, itu sudah cukup memberi tahu saya kalau kamu tidak berbahaya bagi putri kami. Oh iya kenalkan dulu, saya Adam Syaiful Ramadhan. Di sebelah Aisa itu Fatimah Nur Aini, Istri saya." ujar Ayah Aisa lagi. "Saya Panca Nugraha, Pak, Bu. Kakak tingkatnya Aisa." "Memang Nak Panca semester berapa?" tanya Fatimah. "Semester 7 bu, sedang menyusun skripsi juga." "Bertemu Aisa bagaimana?" "Bapak! Disuruh masuk dulu baru tanya-tanya." potong Fatimah. "Tidak usah, Bu. Saya masih harus mengantar sepupu saya." tolak Panca halus. "Oh iya, Pak, Bu, itu kenalin yang disamping Kak Panca. Namanya Karina, dia sepupu Kak Panca. Anaknya baik deh." ujar Aisa antusias "Seneng banget anak Ibu kayaknya punya teman baru." ujar Ibu dari Aisa. "Iya dong. Apalagi tadi keluarganya Kak Panca baik-baik semua. Aisa senang kumpul bareng sama mereka." "Alhamdulillah, mereka baik sama Ais." "Karin, ini Ibu aku. Sini deh!" "Iya." jawab Karina mendekat. "Nak Karin kelas berapa?" tanya "Masih kelas dua SMA, Bu." "Maaf Pak, Bu, kami sepertinya harus pulang sekarang." ujar Panca. "Tidak mau mampir dulu, Nak? Minum terlebih dahulu?" tanya Adam. "Tidak perlu repot, Pak. Sudah malam juga." "Ya sudah, lain kali mampir lagi yah Nak Panca, Nak Karin. Aisa sepertinya senang sekali berteman dengan kalian. Dia jarang membawa temannya ke rumah." ujar Fatimah sambil tersenyum "Insyaallah Bu, kalau nanti saya sama Karin ada waktu. Kalau begitu kami permisi, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." ujar keluarga Aisa serempak. Panca dan Karin langsung masuk ke dalam mobil setelah berpamitan. Panca menjalankan mobilnya, setelah beberapa meter dia menghela nafasnya lega. Entah kenapa sejak tadi dia sering kali menahan nafasnya menjawab berbagai pertanyaan dari Bapak maupun Ibunya Aisa. "Mas kenapa? Kok kayak baru keluar dari kandang macan?" tanya Karina. "Gapapa." jawab Panca singkat. "Alah boong! Gugup yah ketemu sama orang tuanya Aisa? Baru juga kenalan Mas, gimana kalo ngelamar? Mungkin Mas Panca udah kencing di celana kali hahaha...." "Karin!" geram Panca. ©©© Panca menghentikan mobilnya di depan minimarket. Dia baru saja selesai mengantarkan Karin pulang setelah anak itu meminta ditraktir makan sate. Sekarang sudah pukul 9 malam, dan Panca melihat ponselnya yang tidak ada kabar sama sekali dari kekasihnya, Anes. Panca melihat terakhir kali mereka berkirim pesan. Itu sekitar siang tadi, dan tidak ada kelanjutannya sama sekali. Panca menekan nomor telepon Anes, dia menempelkan ponsel itu ke telinga menunggu beberapa saat. Namun sampai operator berbicara, tidak ada jawaban sama sekali. Untuk kedua kalinya, Panca menelepon Anes dan masih juga tidak ada jawaban. Bukannya apa, tetapi Panca khawatir jika terjadi sesuatu pada gadis itu. Soalnya Anes tinggal sendiri di apartemennya, kedua orang tua Anes semua tinggal di Bali. Katakanlah Panca parno. Akhirnya setelah beberapa kali panggilan tidak terjawab, Panca memutuskan untuk pergi ke apartemen Anes. Saat ditengah perjalanan, hujun mulai turun perlahan. Panca masih terus menjalankan mobilnya, namun saat hampir sampai ke gedung apartemen Anes, mesin mobilnya tiba-tiba bermasalah. Panca menepikan mobilnya dan tepat sekali setelah itu mesinnya mati. Panca mencoba menghidupkan mesin mobilnya namun tetap tidak bisa. "Sial! Kenapa juga gue gak pernah service nih mobil. b**o lo, Pan!" Sudah hampir sampai, Panca memutuskan untuk keluar saja dari mobil lalu berjalan kaki menuju apartemen Anes. Saat keluar dari mobil, tubuhnya otomatis langsung basah terkena air hujan. Panca berlari kecil agar cepat sampai. Lima belas menit kemudian, dia sudah sampai di depan gedung apartemen. Panca mengibaskan jaket yang basah begitu juga rambutnya. Dia kembali berusaha menelepon Anes, karena dia tidak mungkin ke apartemennya dalam keadaan basah. Dan juga, receptionist mungkin tidak akan mengijinkannya masuk ke dalam gedung dengan alasan keamanan. "Hallo Pan? Kenapa kok telepon?" "Akhirnya Nes, kenapa dari tadi telepon gue gak diangkat?" tanya Panca mengusap wajah basahnya. "Maaf, tadi hp gue di silent. Emangnya kenapa?" "Gue di loby apartemen lo, gue pikir ada apa-apa soalnya lo gak ngangkat telepon gue. Bisa jemput gue disini?" Hening sesaat. "Panca maaf, gue lagi gak di apartemen. Gue nginep di tempat Dora soalnya tadi habis latihan langsung ke rumah dia. Gimana dong?" Panca menghembuskan nafasnya mengurangi rasa dingin di badannya. "Oke, gapapa. Lo istirahat aja sekarang, yang penting gue udah tau lo baik-baik aja. Kalo gitu gue balik dulu, jangan begadang. Kalo ada apa-apa kasih tau gue." jawab Panca. "Maaf Panca, aku gak seharusnya ngelakuin ini ke kamu." "Bukan salah kamu. Yaudah dulu, besok ketemu di kampus. Selamat malam, Pacar." ujar Panca tersenyum singkat. Memberikan ucapan selamat malam seperti itu sudah menjadi kebiasaan Panca. Apalagi kalau Anes sudah mengganti panggilannya menjadi aku-kamu. Kalau sudah seperti itu, Panca tau kalau Anes sedang ingin diperhatikan atau dimanja. Selama hampir satu tahun ini, dia sudah bisa mengerti bagaimana sifat-sifat dari kekasihnya itu. Walaupun Panca terlihat tidak peduli dan orang-orang melihatnya tidak pernah perhatian pada Anes, namun dalam hatinya Panca sangat peduli. Anes adalah gadis yang baik dan Panca juga mencintai gadis itu. Tidak perlu menunjukkan pada orang lain seberapa besar dia peduli dan mencintai gadisnya, bukan pada mereka dia harus show up. Kalaupun harus show up itu pada keluarga gadisnya, karena mereka-lah yang memberi restu. Kali ini terpaksa Panca memesan ojol dan menelepon bengkel besok untuk menderek mobilnya. Dia hanya berharap tidak mendapat omelan dari Mamanya pulang malam seperti ini tanpa mobil yang dia bawa saat pergi. ©©© TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD