Part 4 - Calon Menantu Dadakan

2318 Words
Tidak salah. Ternyata kamu bukan cuma bisa memikatku, tapi juga orang tuaku. - Panca Nugraha - ©©© Anestia yang biasa dikenal dengan nama panggilan Anes sekarang tengah berada di salah satu resto di mall setelah menikmati waktu menonton film di bioskop. Anes bukan gadis manja ataupun feminim seperti kebanyakan orang. Dia selalu berpakaian casual bahkan saat sedang berkencan bersama kekasihnya, Panca. Hubungan mereka sudah hampir mendekati satu tahun bulan depan. Namun, tidak ada yang berubah dengan mereka berdua. Tidak ada gaya pacaran seperti pasangan umumnya. Mereka memang berpacaran, namun tidak pernah ada hal romantis yang dilakukan baik oleh Panca maupun Anes sendiri. Panca tidak pernah meminta Anes selalu memberi kabar dia sedang dimana ataupun bersama siapa. Anes tentu jengah dengan sikap Panca, namun dia sama sekali tidak mempersalahkan hal tersebut. Pertemuan mereka juga diatur salah satu teman mereka, bahkan mereka jadian saja karena Patra yang menjembataninya. Panca itu orang yang cuek diluarnya, namun Anes tau lelaki itu sebenarnya orang yang sangat peduli pada orang disekitarnya walaupun tidak ditunjukkan secara langsung. "Nes? Kok ngalamun?" Anes mendongak terkejut saat lelaki di depannya memanggil dirinya. Anes tersenyum singkat sambil menggeleng. "Engga, lagi mikirin tentang kita aja." "Kita? Emang kenapa?" "Dirga! Aku ini butuh kepastian dari kamu. Sampai kapan kamu mau gantungin perasaan aku kayak begini? Aku gak mau terus membohongi Panca." Anes memang berbohong, dia mengkhianati Panca. Awal mengenal Dirga, Anes tahu bahwa dia sudah merasa tertarik pada lelaki itu. Saat Panca mengenalkan lelaki itu pada dirinya, mulai dari situ perasaan dihatinya mulai berubah haluan. Panca yang selalu cuek dan tidak pernah melakukan hal romantis padanya membuat perasaan Anes semakin memudar. Jujur saja Anes sama sekali tidak berniat untuk melakukan hal seperti ini. Namun, intensitas dirinya berkomunikasi dengan Dirga jauh lebih banyak daripada bersama Panca. Setiap Anes sedang dalam masalah, dia selalu curhat pada Dirga yang memang selalu ada dan menyenangkan diajak berbicara. Saat dia merasa lelah akan sikap Panca, Anes selalu menceritakannya pada Dirga. Lelaki humoris itu selalu bisa membuat dia tertawa ataupun merasa diperhatikan daripada saat bersama Panca. Sejak hari dimana mereka pertama jalan, lalu dilanjut dengan keseringan mereka pergi berdua, sekarang perasaan Anes benar-benar sudah beralih. Katakanlah bahwa dia adalah gadis jahat yang diam-diam menyimpan perasaan pada sahabat kekasihnya sendiri. "Nes, kita gak mungkin bisa berhubungan lebih dari seorang teman, meskipun kamu udah putus dari Panca." "Terus gimana? Kita bakal kayak gini selamanya? Jalan berdua, pegangan tangan, saling perhatian satu sama lain. Kamu pikir itu hubungan dari seorang teman?" "Panca teman aku, Nes." "Dia juga pacar aku! Kamu pikir aku mau terus jadi orang jahat kayak begini buat dia?" "Kita bahas ini lain kali aja yah, Nes?" "Lain kali kapan? Aku suka sama kamu, Dir. Sampai kapan aku harus sembunyiin ini semua? Atau kamu cuma main-main aja selama ini sama aku?" ujar Anes menahan air matanya. "Enggak Nes, aku gak pernah main-main sama kamu." bantah Dirga. "Terus kenapa sampai sekarang kamu masih ragu-ragu kalau aku mau putusin Panca? Kamu tau, sikap kamu itu yang bikin aku susah buat lepasin Panca. Aku gak mau disaat aku udah putusin Panca justru kamu pergi gitu aja. Aku gak mau putus dari Panca kalau hasilnya sia-sia, tetep aja aku gak bisa sama kamu." "Kasih aku waktu lagi, Nes. Untuk sekarang, aku masih belum bisa kabulin permintaan kamu." "Kamu gak akan pergi tinggalin aku kan?" "Enggak Nes, nanti kalau waktunya tepat, aku janji kita gak perlu sembunyi kayak begini lagi." ujar Dirga menyentuh punggung tangan Anes. "Aku sayang sama kamu, Dir. Bahkan aku gak pernah ngerasain ini waktu sama Panca." "Aku juga, Nes. Please, sabar sebentar lagi." Anes menghembuskan nafasnya, dia masih harus menjadi orang jahat disini. Dia tidak peduli bahkan kalau orang mau berkata dia egois atau apalah itu. Nyatanya dia tidak bisa memutuskan Panca jika hubungannya dengan Dirga saja masih abu-abu. Dia tidak mau ditinggalkan oleh kedua lelaki itu. Setidaknya dia mau salah satu dari mereka, entah itu Panca ataupun Dirga. ©©© Panca mendengus kesal, lagi-lagi dia harua menemani Ibu tercintanya berbelanja di supermarket untuk keperluan mereka sehari-hari. Aira, Ibu kandung dari Panca memang selalu seperti ini. Dia lebih senang jika belanja ditemani oleh putra tunggalnya. Alasannya? Karena ada orang yang mendorong stroli dan mengangkat barang belanjaan nantinya. Setiap dua minggu sekali, sudah menjadi rutinitas wajib Aira bersama Panca pergi ke supermarket membeli berbagai sayuran ataupun lauk pauk untuk dimasak. Panca dengan terpaksa harus mengikuti apa mau dari Ibunya itu, karena jika menolak maka Ibunya akan menceramahinya dari pagi hingga malam tanpa kenal lelah. Daripada harus mendengar ceramah seharian penuh dan jadi anak durhaka, akhirnya Panca memutuskan untuk ikut saja.  "Ma, apa lagi sih yang mau dibeli? Udah banyak juga belanjaannya." ujar Panca dengan malas mendorong strolinya. "Bentar, Sayang. Mama masih belum beli daging ayam sama ikannya. Kamu mau beli buah apa nih? Biar sekalian." jawab Aira memilih beberapa mangga ditangannya. "Apa aja deh yang penting cepet kelar." "Kamu mah!" Panca menghela nafasnya, dia sebenarnya ingin cepat pergi dari sana, tapi dia ingat kalau surga di telapak kaki ibu. Dia bisa kualat nanti kalau membantah perkataan wanita yang melahirkannya itu. Bagaimanapun seorang Panca, dia anak yang sangat menyayangi Ibunya. Tidak hanya Ibunya saja, dia sangatlah menghormati seorang wanita. Alasannya cukup simple, kita semua dikandung dan dilahirkan oleh seorang wanita. Jadi sebelum menyakiti wanita, ingat bahwa Ibumu juga seorang wanita yang perasaannya sama dengan wanita yang kita sakiti. Anggap saja jika kamu menyakiti mereka maka artinya kamu menyakiti Ibumu juga. Prinsip itu selalu dia pegang sejak dulu, bahkan saat dia masih menjadi ketua geng Phoenix saat SMA. Dia selalu berkata pada teman-temannya saat itu tentang hal ini. "Jangan sakiti wanita karena suatu saat nanti dialah melahirkan anakmu kelak." Sejak itu juga, prinsip dari Panca juga dijadikan peraturan dalam gengnya. Tidak boleh menyakiti wanita atau mereka keluar dari geng. Dan hal itu sama sekali tidak bisa diganggu gugat oleh Panca. "Kak Panca yah?"  Suara panggilan itu memecah lamunan Panca. Dia menoleh ke arah kanannya, dan disana sudah berdiri si gadis pemilik senyuman maut. Tidak perlu disuruh, jantungnya pasti sudah mulai berulah lagi. Ah Panca lupa, dia belum periksa ke dokter. Padahal dua hari lalu dia sudah merencanakan untuk periksa ke salah satu teman Ibunya. "Lo... Ngapain disini? Lo penguntit yah?" "Siapa yang penguntit? Ais gak nguntit kok. Nih Ais juga lagi belanja. Kak Panca belanja juga? Wah jarang-jarang ada cowok belanja gini. Kakak pasti ngekos yah? Makanya belanja sendiri." "Lo kalo ngomong gak usah sok tau gitu bisa? Asal nyerocos aja!" ujar Panca mendengus pelan. "Ais gak sok tau, tuh buktinya Kakak dorong stroli gitu. Belanjaannya banyak banget juga, jadi Ais bener kan?" "Gak! Gak ada yang bener tebakan lo." jawab Panca. "Kok gitu? Terus Kak Panca disini ngapain? Kakak mau maling?" tanya Aisa menelengkan kepalanya. "Ya Allah Gusti, kalo gue mau maling ngapain pake stroli segala, Boncel?! Yang ada gue udah diseret security dari tadi. Gemes gue!" "Ih tuh kan Kak Panca suka banget emosian. Udah dibilangin, gak baik emosi mulu nanti cepet tua mukanya. Nih kayak Aisa, senyum terus." "Allahuakbar, masa gue lagi kesel disuruh senyum? Begimana ceritanya kesel sambil senyum-senyum? Jatuhnya sakit ntar itu orang, Ais." "Ya makanya jangan kesel ih! Apa susahnya atuh Kak?" "YA LO YANG BUAT GUE KESEL! SUBHANALLAH MAU NGOMONG KASAR TAPI INI CEWEK ALIM. SABAARR PANCA!!" teriak Panca kesal pada sambil membalikkan badannya mengelus d**a. "Ya Allah, nyebut Kak. Masa teriak-teriak disini, nanti dikira orang gila." ujar Aisa menenangkan Panca. "Panca, kamu apa-apaan sih? Malu diliatin orang!" Aira yang mendengar suara teriakan Panca, berbalik menyusul putranya yang masih ketinggalan di belakang saat dia menuju tempat daging. Dia memukul lengan putranya karena kelakuan lelaki itu. "Ini nih Ma, cewek ini bikin Panca naik darah terus." "Sekaligus gemes, pengen ngusel-ngusel pipi merah bakpaonya" lanjut Panca dalam hati. "Kamu siapa?" tanya Aira pada Aisa. "Saya Aisa. Saya...." "Kamu pacarnya Panca kan? Iya nih pasti pacarnya Panca. Masyaallah cantik banget kamu, berjilbab juga. Aduh cantiknya tambah berlipat ganda! Pinter kamu Nak, cari perempuan." Belum selesai Aisa berbicara, Aira sudah menyerobot duluan. Panca melotot mendengar dugaan dari sang Mama. Dia memejamkan matanya kesal, kenapa dua wanita di depannya sekarang mempunyai sifat yang sama? Sama-sama sok tau dan seenaknya sendiri kalau berbicara. Kenapa Panca harus berurusan dengan dua wanita sholehah yang membuatnya diharuskan menyiapkan kesabaran extra. "Loh saya bukan pacarnya Kak Panca. Pacaran dalam islam itu gak boleh, Tante. Dosa jatuhnya." Panca meringis mendengar kalimat Aisa. Kenapa jadi dia merasa tersindir seperti ini? "Iya, bener tuh. Makanya, kalian mau ta'aruf berapa lama? Tante sama Om siap langsung ke rumah kamu ngomongin ini." "Mama! Kok jadi ngomong ke situ sih? Dia kan udah bilang bukan pacarnya Panca." "Iya tau, kalian ta'arufan kan?" "Astagfirullah, kenapa nyokap gue sok tau banget sih?" gumam Panca. "Kami gak ta'aruf, Tante. Kami juga gak pacaran. Kak Panca ini Kakak tingkat saya di kampus. Kami gak ada hubungan apa-apa kok." jelas Aisa sedikit canggung. "Yah, kok gitu? Ada dong!" ujar Aira kecewa. Panca sudah menepuk jidatnya dengan telapak tangan. Dia sudah menyerah, dia tidak sanggup lagi. Mana kamera? Mana? "Eng.. Gak ada, Tante. Masa yang gak ada harus di ada-adain. Gak bisa dong hehe..." jawab Aisa terkekeh kaku di akhir kalimatnya. "Iya udah deh gapapa, siapa tau nanti bakalan ada. Bismillah, semoga kamu beneran jadi mantunya Tante. Aamiin..." ujar Aira diakhiri doa. "Maaaaa!! Udah deh ya? Yuk belanja lagi, yuk! Apa lagi? Tadi Mama mau beli ayam, yah?" ujar Panca berusaha menggiring Mamanya. "Ih bentar Panca! Mama masih mau ngobrol sama Aisa. Udah sana kalau kamu mau beli ayam, duluan aja. Beli sesuka kamu, sekalian habisin stoknya kalau perlu." ujar Aira merangkul Aisa berjalan menyusuri lorong rak. Panca dibuat melongo melihat kelakuan Ibunya. Kenapa jadi dia yang ditinggal disini? Panca melihat Aira yang sudah pergi bersama Aisa sambil mengobrol. Akhirnya dengan dongkolnya, Panca mengikuti mereka berdua dari belakang. Dia melihat kedua wanita itu sangat akrab, seperti teman lama yang sudah lama sekali tidak bertemu. Bagaimana bisa Aira semudah itu akrab dengan Aisa? Padahal Ibunya itu orang yang tipikalnya susah menyukai seseorang kalau tidak benar-benar klop. Sesekali Panca melirik ke arah kedua wanita sholehah itu yang sedang tertawa entah mengobrol tentang apa. Disini, dia jadi merasa kalau yang anak dari Ibunya itu adalah Aisa. Dirinya hanyalah supir sekaligus asisten dari Aira. Menyebalkan sekali. Setelah satu jam kemudian, akhirnya Panca dapat menghela nafas lega. Ibunya sudah selesai dengan mengurus belanjaannya begitu juga dengan Aisa. Sekarang mereka bertiga tengah berada diluar supermarket dengan Aira yang masih belum mau melepaskan Aisa. "Aisa dianter Tante sama Panca aja yah? Daripada naik ojol, Sayang. Panas, nunggunya lama terus belanjaan kamu juga keliatan banyak gitu nanti keberatan." ujar Aira. "Mamaku yang tercinta, kenapa sih maksa banget ngajaknya? Perasaan baru ketemu udah akrab banget begini sampai anak sendiri dilupain." "Aisa kalo nikah sama kamu kan juga bakal jadi anaknya Mama. Gimana sih kamu?!" "Siapa yang mau nikah sama dia, Ma? Jangan ngawur ah kalau ngomong." "Kalau gak ngerepotin, Ais teh mau bareng sama Tante." ujar Aisa tersenyum lebar tanpa dosa. "Tuh! Aisa aja mau kok. Udah sana kamu ambil mobil. Mama sama Aisa tunggu disini." Panca tersenyum menahan emosinya, dia lalu pergi menuju parkiran mobilnya. Hari ini adalah hari yang benar-benar menguji kesabaran dirinya. ©©© "Kak, soal Saka Buana gimana? Kapan bisa daftar?" tanya Aisa yang sekarang sudah berada di dalam mobil. "Oh iya, gue lupa. Formulirnya ada dirumah, besok aja gue bawa ke kampus." jawab Panca. "Ngapain di kampus? Mampir ke rumah aja sekarang. Lagian di rumah juga lagi rame, ada sepupu-sepupunya Panca yang masih kecil-kecil. Nanti Tante kenalin kamu sama mereka. Kamu suka anak kecil kan?" potong Aira dari kursi depan menoleh ke belakang. "Mama kenapa sih? Ngapain kenalin Aisa ke keluarga kita? Nanti mereka mikir aneh-aneh! Udahlah, jangan macem-macem." tolak Panca. "Ya gapapa dong, cuma temen doang apa salahnya sih? Lagian Aisa pasti mau, iyakan? Aisa mau kan ke rumah Tante? Nanti kita makan malem bareng sekalian. Kalau masalah pulang, tenang aja Panca yang anterin ditemenin sepupunya juga biar gak berduaan."  "Tapi Tante...." "Mau dong Ais? Kapan lagi ke rumah Tante, iyakan? Nanti kalau perlu, Tante yang telepon orang tua kamu deh." "Mama kenapa sih kalau dibilangin susah banget? Gak usah maksa gitu. Lagian Aisa cuma adik tingkat Panca, gak lebih!" kesal Panca namun masih menjada nada suaranya tetap rendah. "Mama gak maksa kok. Cuma nawarin aja, kamu gak perlu dong marah-marah sama Mama." ujar Aira sangat pelan membuat Panca menjadi merasa bersalah. Panca menoleh ke arah Mamanya, dia menepikan mobil di pinggir jalan yang banyak warung-warung kecil. Dia menghadap Ibunya, lalu memegang telapak tangan Aira dengan sayang. "Maafin Panca, Ma. Bukannya Panca mau marah. Panca gak mungkin bisa marah ke Mama. Satu-satunya wanita yang gak akan pernah dapat kemarahan dari Panca itu ya cuma Mama Aira yang paling cantik sejagat raya ini. Jangan sedih karena Panca yah, Ma? Maafin Panca." ujar Panca menyesal. Panca tidak bisa melihat Ibunya sedih karena dirinya. Dia seperti merasa sangat berdosa bila melakukannya. "Iya Mama maafin, tapi Aisa tetep ikut ke rumah kan?" tanya Aira masang tampang sedihnya. Panca menghela nafasnya, "iya, dia ikut kita ke rumah." Aira yang mendengar hal itu langsung tersenyum lebar. Tidak sia-sia dia berakting di depan putranya. Demi mendapatkan calon mantu sholehah seperti Aisa, dia harus bertindak cepat nanti bisa diambil oleh orang lain. "Lo ikut gue dulu yah ke rumah? Nanti kalo orang tua lo marah biar gue yang jelasin." ujar Panca menoleh ke belakang. "Yaudah, gapapa biar nanti Aisa yang ngomong ke mereka." jawab Aisa pelan. Aisa menggaruk tengkuknya yang tertutup jilbab. Jujur dia bingung kenapa Aira seperti tidak ingin lepas darinya? Tidak mau berpikir keras soal itu, Aisa memilih untuk memberi kabar pada orang rumahnya kalau dia akan pulang telat. "Yes! Dapet calon mantu sholehah! Semoga berhasil ya Allah." ©©© TBC GIMANA? Udah tau asal mula Panca tidak suka menyakiti wanita dulu saat di Phoenix? Yang baca Antariksa pasti tau hehe Ini emaknya Panca emang ngebet banget anaknya punya jodoh sholehah, padahal anaknya aja masih baru nyusun skripsi belum lulus, belum kerja. Pengennya Panca nikah cepet aja haha 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD