Jena tertegun memandang kalender di kamarnya. Tangannya nampak bergetar dengan kuku yang menekan kulit telunjuknya.
‘Apa mungkin?’ tanya Jena dalam hati. Ia ragu.
Bagaimana tidak. Sebelumnya ia telah menjalani hubungan selama sepuluh tahun dan tidak pernah terjadi apapun dengan pasangan lamanya. Belakangan ia tahu bahwa dia memiliki masalah dengan organ reproduksinya dan dokter memvonisnya akan sulit memiliki keturunan.
Mata Jena mengembun. Dadanya berdebar. Ia teringat setelah mendengar vonis itu, ia begitu bimbang. Ada sisi dirinya sedikit lega, tapi di sisi lainnya, entah mengapa hatinya hampa.
Sendirian seumur hidup? Tanpa laki-laki mungkin dirinya bisa, tapi tanpa anak?
Jena tidak bisa lagi menebak-nebak. Ia segera memakai jaketnya dan pergi menuju ke apotik terdekat.
Sudah cukup lama ia tidak kembali ke penampilan lamanya. Menutup kepalanya dengan hoodie agar tidak mencolok, tapi itu justru membuat banyak mata tertuju pada Jena. Musim panas dan Jena menutup badannya cukup rapat. Apa ia tidak kepanasan?
“Permisi, Apa–” bibir Jena tiba-tiba kelu saat pelayan toko itu menatap Jena dengan seksama.
“Ya, ada yang bisa aku bantu?”
“Apa– apa ada– emm–” Jena masih saja ragu.
Pelayan toko itu tampak sabar dan menunggu Jena dengan mata seolah menyiratkan pesan bahwa Jena tidak perlu ragu untuk mengatakan apapun keluhannya.
“Alat tes kehamilan. Emm– apa disini ada alat tes kehamilan?” ucapnya berulang dengan suara lirih.
Pelayan itu tersenyum melihat Jena yang kikuk. Dia kemudian mengangguk dan menuju salah satu rak. Jena mengikutinya dengan langkah berat.
“Ada beberapa merek. Pada dasarnya semua sama akuratnya. Tapi ini dua yang terbaik, satu mereknya sangat terkenal di kota ini dan satu lagi sembilan puluh sembilan persen akurat untuk mendeteksi walau usia kandungan masih sangat dini. Kamu mau membeli keduanya?” tawar pelayan toko itu.
Tanpa pikir panjang, Jena mengangguk saja.
Setelah membayar perempuan itu segera menuju apartemen tempatnya tinggal saat ini. Sesampainya di apartemen yang cukup luas dan hening karena hanya dihuni oleh Jena seorang diri. Tiba-tiba suara dering ponsel membuat langkah Jena terhenti dan membuat wanita itu mengeluarkan ponsel dari sakunya.
Lagi? Ya, nama Saga lagi-lagi muncul. Hatinya berdebar.
Sesaat ia hanya memandangi layar teleponnya yang menunjukkan nama ‘MR. Saga’. Nama yang akhir-akhir ini berhasil menggeser mantan kekasihnya hanya dalam sekejap. Pria yang membuat hatinya berubah haluan hanya dalam semalam.
“Kamu tidak akan mempermainkanku kan? Kamu akan bertanggung jawab kan?” monolog Jena yang kemudian menggigit bibir bawahnya.
Bayangan malam panas mereka yang terjadi beberapa bulan ini berkelebat di kepala Jena. Bagaimana Saga memanjakan Jena dan menyentuh dirinya dengan lembut, sangat berbeda dengan mantan kekasihnya yang begitu kasar dan menimbulkan banyak luka di tubuhnya.
Jika mengingat malam-malam yang ia habiskan dengan Saga, Jena berpikir bahwa jika saat ini dirinya hamil, maka itu karena Saga yang memang hebat.
Selama ini dia tidak begitu menikmati sesi bercintanya dengan mantan kekasihnya dulu. Ia kira memadu kasih akan selalu menyakitkan. Tapi bersama Saga, bayangannya mulai berubah. Semuanya membuat Jena mulai berharap banyak hal.
Namun, Jena kembali pada kesadarannya. Ia mengingat bagaimana pria bernama Saga itu menikmati minggunya kemarin di paris. Jena mulai menengadah dan menatap langit-langit kamarnya.
‘Apa aku jadi yang kedua saja? Apa boleh aku memohon untuk tidak ditinggalkan? Bagaimana hidupku jika dia lebih memilih Jocelyn dari pada aku?’ pikir Jena dengan air mata yang siap meluncur dari kelopak matanya.
“Tenang Jena! Mari kita lihat, apa di sana ada kehidupan?” tanya Jena sambil memandang perutnya yang datar tanpa ekspektasi apapun.
Jena menghela nafas panjang sebelum ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan tes kehamilan.
Setelah melakukan sesuai dengan instruksi dan menunggu selama sepuluh menit. Jena kini ragu. Ia perlu mengambil tes kehamilan itu atau tidak. Ia bingung menata perasaannya.
Bagaimana jika iya dan bagaimana jika tidak?
Setelah menghela nafas panjang dan mengambil hasil tes kehamilan itu. Ia kemudian terdiam. Jantungnya berdebar kencang dengan mata yang berulang kali berkedip.
Beberapa menit berlalu dan Jena masih setia di posisinya. Memandang dua garis merah yang terpampang nyata di depan matanya.
“Sekarang bagaimana?” tanya Jena yang kemudian memandang perut datarnya dengan mata yang sudah berair.
“Hai, bayiku. Memangnya kamu harus datang sekarang? Aku senang aku punya kau, tapi memangnya harus sekarang?” tanya Jena dengan tubuh bergetar.
Sejujurnya ia sangat bingung sekarang. Dia dan Saga menjalani hubungan tanpa status. Lalu Saga berada di Negaranya sekarang. Juga berita tentang Jocelyn dan Saga yang begitu kencang berhembus di luar sana, membuat Jena sangat mati kutu.
Di tengah kebimbangannya, suara ponsel membuat Jena kembali pada kenyataan.
Ia berjalan gontai menuju ponselnya yang tergeletak di atas kasur setelah tadi ia lemparkan begitu saja untuk melakukan tes kehamilan.
“Jena! Terima kasih sudah mengangkat teleponku. Apa kau baik-baik saja? Kamu terlihat pucat, Sayang. Apa aku perlu mengirimkan seseorang untuk menemani kamu?” ucap seseorang yang langsung berbicara panjang lebar setelah melihat wajah Jena tersorot kamera telepon.
Mendengar betapa perhatiannya pria itu. Jena bukannya menjawab. Ia malah menangis. Hatinya rapuh. Ketika ia mengingat untuk menjadi yang kedua, Jena merasa sakit. Ia merasa tak rela untuk membagi pria seperti Saga dengan orang lain, tapi kalau mengingat kembali latar belakangnya. Memangnya dengan latar belakang luar biasa Saga, ia bisa diterima?
“Jena, kenapa kamu menangis Sayang? Apa sangat sakit? Apa kamu sudah haid? Obat dan penghangat tubuh ada di dekat nakas. Kamu bisa mengambilnya kan?” pria itu yang tahu bagaimana kesakitannya Jena kemarin saat menstruasi sehingga membuat wanita itu harus dirawat inap di rumah sakit.
Jika mengingat itu, Jena sendiri merasa tak percaya. Baru bulan kemarin ia divonis tak akan bisa memperoleh keturunan dengan mudah, tapi bulan ini dia sudah mendapatkan dua garis merah di tangannya. Lelucon apa yang sebenarnya terjadi.
“Jena.. ayolah, Sayang. Katakan sesuatu. Jika kamu diam aku bingung,” ucap pria di ujung sana dengan wajah yang kini sudah sama sendunya dengan dirinya. Dari layarnya, pria itu juga tampak berkaca-kaca.
Untuk pertama kalinya Jena melihat ekspresi sedih seorang pria dengan wajah rupawan dan badan kekar itu.
“Soal Jocelyn–” Jena menjeda kalimatnya.
“Jocelyn?” tanya pria diujung sana dengan bingung.
“Aku tidak tahu ini akan mempengaruhi hubungan kalian atau tidak. Tapi dengarlah Tuan Saga. Aku akan menjaga anak ini dengan atau tanpa kamu. Buatku dia keajaiban. Tidak perlu merasa bertanggung jawab jika tidak mau. Kamu bisa pergi jika mau. Aku juga bisa–”
“Sebentar, apa?” potong Saga dengan tatapan bingung.
“Ini memang terdengar mustahil. Kamu juga sudah mendengar sendiri dari dokter kalau aku akan sangat sulit untuk bisa hamil. Tapi aku hamil,” ucap Jena sambil menunjukkan alat tes kehamilan di tangannya.
Saga terlihat menganga tak percaya dan berkedip beberapa kali.
“Dengar Tuan Saga, aku–”
Tut!
Sambungan telepon tertutup dengan cepat dan membuat kalimat Jena tergantung di udara begitu saja.
Jena terhenyak. Tanpa ia sadari, air mata sudah deras membasahi pipinya.
‘Bagaimana lagi sekarang?’
***