Hari sudah terik ketika Jena menyibak tirai kamar tidurnya. Ia mengerjap karena matanya terasa silau oleh terangnya sinar matahari. Dini hari tadi, Ia mengirimkan pesan kepada Felipe bahwa Ia tidak bisa datang ke kantor.
"Jena, Kamu baik-baik saja? Aku akan mampir ke apartemenmu setelah jam kerja usai." Balasan pesan Felipe baru terbaca.
Jena hanya meletakkan ponselnya ke kasur tanpa membalas.
Sekilas Ia melirik bayangannya sendiri di cermin, kelopak matanya bengkak dan wajahnya sangat menyebalkan untuk dipandang. Untung saja Ia sudah memutuskan tidak berangkat ke kantor setelah menguras air matanya semalam penuh. Ia baru bisa tidur saat pagi hampir tiba, rasa kantuk pun masih terasa.
"Jika ayahmu tidak peduli padamu, Aku akan tetap menjagamu supaya Kau tetap hidup," gumam Jena sembari mengelus perutnya.
"Kita jalani takdir ini bersama-sama, miracle," lanjut Jena dengan air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya lagi.
Jena tidak menyangka akan mendapatkan respon yang sangat menyakitkan dari Saga, lelaki yang sudah jelas membuat dirinya mengandung benih di rahimnya. Lelaki itu bahkan mematikan teleponnya secara sepihak, sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi padanya.
"Aku pasti bisa membesarkan anak ini sendiri. Pasti!" desis Jena pada dirinya mengingat tidak mungkin ada lelaki yang sudi bertanggung jawab. Termasuk lelaki yang menghamilinya sekalipun.
Sudah berpuluh-puluh tahun Jena hidup dalam penderitaan, Ia yakin dirinya bisa untuk sekadar mempertahankan bayi di dalam kandungannya. Ia tidak akan menjadi pembunuh!
sebutan itu berhasil membuat Jena merasakan sesak hanya dengan mengingatnya.
Ia menggeleng, menepiskan ketakutan yang tiba-tiba menyerangnya.
"Ayolah, Jena. Ini bukan masalah besar," bisiknya pada diri sendiri.
Jena menyandarkan dirinya di sisi jendela, menghirup udara hangat berkali-kali sampai keresahannya reda. Akhirnya, tubuhnya luruh saat kantuk kembali menyerangnya. Semilir angin dari jendela cukup hangat dan menenangkan. Perlahan Jena menutup kelopak matanya.
Potongan-potongan kisah melintas di kepalanya. Jena kecil harus menerima kenyataan untuk hidup di panti sosial yang mengerikan. Kedua orangtuanya tak bisa menghidupinya karena mendekam di penjara. Jena kecil selalu kalah saat teman-teman panti merebut jatah sarapannya. Ia selalu bertengkar dan kalah lalu berujung terluka. Tak ada yang sudi membela apalagi menghiburnya. Jena kecil hanya bisa menangis mendapatkan perlakuan itu.
"Bodoh, Kau! Aku tidak peduli, aku hanya ingin tubuhmu!" Bayangan suara itu bergema di kepalanya dan terasa sangat nyata.
Jena menghembuskan nafas kasar dalam mimpi buruk tidurnya. Bahkan penderitaan hidupnya tak juga usai meski Ia sudah beranjak dewasa dengan kehadiran lelaki kejam itu. Lelaki yang nyaris Jena lupakan setelah kehadiran pria bernama Saga.
Jena menghela nafas, ia ingat kini Saga juga mencampakkan dirinya begitu saja.
"Ampun," rintih Jena lemah.
Jena tak kuasa bergerak kala tubuh gempal lelaki itu menindihnya, mencumbunya dengan kasar dan rakus. Sesak di d**a nyaris membuat Jena merasa kehilangan nyawa. Namun, lelaki itu tidak peduli. Ia terus mengeksploitasi tubuh Jena dengan kasar.
"Dengar, aku akan mengikatmu dan mencambukmu jika Kau terus berontak," desis lelaki itu tepat di telinga Jena.
Tamparan pun membuat pipi Jena terasa terbakar, lelaki itu melakukannya tidak hanya sekali, Ia terus menampari Jena sampai hidung Jena mengeluarkan cairan merah kental. Rambut Jena pun tak luput dari jambakannya. Lelaki itu suka mencumbunya secara kasar dan kejam. Bahkan seringkali memaksa hubungan badan meskipun Jena sedang tidak ingin melakukannya. Jena semakin merasa nyaris mati saat tangan lelaki itu bergerak ke lehernya dan mencekiknya.
"Jangan bunuh aku," ucap Jena terbata. Ia pun terbatuk-batuk karena kehabisan nafas.
Jena berontak. Ia harus lepas dari lelaki itu, Ia harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya. Lalu kakinya berhasil menendang sisi ranjang tidur. Ia terbaring di lantai apartemennya, di bawah jendela yang masih terbuka. Jena terengah-engah memegangi lehernya sendiri.
"Ah, hanya mimpi. Tapi terasa nyata sekali," gumam Jena yang kini masih saja terengah mengingat bagaimana rasa sakit itu terasa nyata.
Ia menghembuskan nafas kasar, pelan-pelan bangkit dan berjalan terhuyung-huyung untuk mengambil air minum. Kepalanya terasa sangat pening seperti akan meledak. Bayangannya di cermin masih sangat mengenaskan dengan rambut seperti singa. Ia mengelus perutnya setelah menenggak segelas air mineral.
"Saga, kamu datang mengobatiku dari luka yang lelaki itu berikan. Tapi sekarang Kamu– kamu pergi. Kamu juga mencampakkan aku," ujar Jena pada dirinya sendiri.
Ia menyeringai ke arah cermin yang menampilkan wajahnya.
Jena yakin, semua lelaki yang Ia temui juga hanya akan mempermainkannya, termasuk Sagara. Apalagi Sagara berasal dari keluarga terpandang dengan segudang kekayaan dan prestasi. Keluarga lelaki itu tidak mungkin menerimanya yang hanya anak dari pelaku kriminal.
Sekali lagi Jena menunduk, rasanya Ia tak pantas untuk berbahagia sekali saja. Pergelangan tangannya terasa kebas karena mimpi buruk barusan terasa sangat nyata. Tiba-tiba suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya dari pergelangan tangannya.
'Siapa? Felipe? Tapi bukankah Felipe masih harus bekerja di kantor?' batin Jena saat mendapati jarum jam menunjukkan angka tiga.
Ragu Jena membuka pintu dan saat pintu itu sepenuhnya terbuka, Jena membelalak tidak percaya melihat lelaki yang datang di hadapannya. Ia pun mengerjapkan matanya, tetapi lelaki itu malah nampak semakin nyata. Senyum tipis pun tersungging di bibir lelaki itu.
"Saga ... kamu– bagaimana bisa?" tanya Jena tak percaya.
Bukan apa-apa, jarak London ke Jakarta sangatlah panjang. Ia juga sudah mengecek berapa lama penerbangannya. Bahkan kini belum genap dua puluh empat jam setelah dia mengumumkan kehamilannya.
"Aku tidak pernah tahu kalau aku bisa serindu ini pada seseorang, Jen."
Saga pun meletakkan sekardus makanan ke lantai di sampingnya dan memeluk Jena erat-erat.
Jena yang masih terkejut, tak kuasa membalas pelukan hangat itu. Ia malah menangis sesenggukan dengan perasaan yang campur aduk. Ia siap mendengar apapun keputusan lelaki itu yang pahit sekalipun.
"Kau hamil?" bisik Saga. Jena pun hanya mengangguk lemah.
"Maaf, ini salahku. Maaf, aku tidak akan menggugurkannya, tetapi aku janji akan mengurusnya sendiri. Kamu tahu, dia keajaiban kecilku," ucap Jena memohon.
Tak ada jawaban dari Saga, mungkin lelaki itu benar-benar tidak peduli. Atau mungkin tidak mendengar ucapannya yang tidak jelas. Jena pun membalas pelukan erat lelaki itu dan mengeluarkan air matanya, mengotori setelan jas mahal milik Sagara.
"Ssst, tenanglah. Tenangkan dirimu dulu, Sayang," bisik Sagara. Namun, kata-kata itu justru membuat Jena semakin tenggelam dalam rasa terpuruknya. Sagara memang memiliki mulut yang manis, Ia bisa berucap seolah melegakan tetapi sama saja seperti lelaki b******k yang lain.
"Ini tanggung jawab kita berdua. Kita akan besarkan anak kita, Jena. Aku berjanji akan merawatnya juga," ucap Saga membuat Jena seperti berada dalam mimpi indah.
Jena menjauhkan wajahnya yang sembab dan menatap lelaki itu dengan saksama. Tidak nampak kebohongan di sana.
"Benarkah?" tanya Jena dengan lemah.
Saga pun mengangguk, "Aku tidak mungkin menyia-nyiakan darah dagingku sendiri, Jena. Sama sepertimu, dia juga keajaiban kecilku," Janji itu kembali meluncur dari bibir Sagara.
"Tapi-- bagaimana jika keluarga Anda tahu hal ini, Saga? Mereka tidak akan sudi menerimanya. Atau mungkin– tidak sudi menerimaku," Jena memberi pertanyaan dan pernyataan bukan hanya untuk Saga, tapi juga untuk mengingatkan posisinya.
"Jangan khawatirkan apapun. Aku akan melakukan yang terbaik bagi kita, Jena," ucapnya. Jena belum mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.
"Jocelyn?" tanya Jena dengan mata yang berkaca-kaca.
Saga tersenyum tipis, "Aku masih tidak paham kenapa kamu membawa-bawa Jocelyn dari kemarin. Ayo kita makan dulu, wajahmu sudah pucat sekali. Sekalian kita membahas tentang Jocelyn," ucap Saga menenangkan Jena.
Jena pun melepaskan rengkungan tangannya dari pinggang lelaki itu.
Namun, tiba-tiba Ia terkesiap. Tubuhnya seolah membeku di siang bolong. Lelaki yang telah menggoreskan banyak luka di masa lalunya, tiba-tiba muncul di belakang Saga. Tepat di depan matanya. Jena mundur satu langkah dengan wajah pucat pasi.
"Jena, Sayang, ada apa?" tanya Saga yang membelakangi lelaki itu sembari mengerutkan dahi terheran-heran.
"Ti–tidak mungkin, dia! Bagaimana dia bisa masuk?" ucap Jena terbata sembari terus menggeleng. Ia baru saja mimpi buruk, lalu lelaki dalam mimpinya datang.
Saga yang masih berdiri di ambang pintu pun mengikuti arah pandang Jena, tepat saat Saga menoleh orang tersebut berlalu begitu saja bagaikan hantu.
Jena semakin menegang.
"Matt–" desis Jena dengan d**a berdebar kencang.
***