Seratus Ribu

1533 Words
Suara sirine terdengar samar-samar diikuti teriakan orang-orang bergantian. Aku memandang tanganku yang kaku. Sekujur tubuhku ngilu. Mataku terbuka sedikit. Menoleh ke kanan kiri, kulihat pecahan beling dan darah berbau anyir memercik di sekitar. Sadar, aku sedang dalam posisi terbalik dengan tubuh tertekuk. Samar-samar, aku melihat kedua orang tuaku di depan. Bibirku yang terasa berat dan bengkak terbuka. Tanganku menggapai-gapai. "Ada anak kecil!" "Dia masih hidup!" "Cepet, cepet, bawa keluar!!" Sebelum tanganku berhasil menggapai kedua orang tuaku di depan, pintu di sampingku ditarik ramai-ramai sampai berhasil terbuka. Tubuhku yang lunglai ditarik dan digendong seorang pria paruh baya. Ketika kepalaku terteleng ke samping, aku melihat mayat-mayat bergelimpangan di jalan raya. Darah membanjiri aspal. Sudut mataku berkedut. "Woy! Jangan ngelamun!" Bentakan Ilalang membuatku tersadar. Aku menghindar dari sentuhannya. "Gue nggak apa kok." Ilalang menaikkan kedua alis. "Gue nyuruh lo minggir. Lo berdiri di depan pintu." Aku menarik sudut bibir dan menggerutu dalam hati. Tak ingin terlalu lama di sini dan melihat lebih banyak darah dari luka anak kecil itu, aku menutup sebagian wajah dengan telapak tangan ketika melewati keramaian orang-orang yang membantu anak kecil itu. Membayangkan darah keluar dari tubuh anak itu membuatku bergidik merinding. Sampai di meja kerja pun aku masih terbayang-bayang. Kuusap wajah, membuang napas panjang. "Gimana? Udah selesai wawancara pertama?" Suara Mas Danu menarik perhatianku. Menoleh ke samping, ia tersenyum. Namun, ekspresinya berubah cepat. "Kok wajah lo pucat banget?" "Hm? Oh, di luar panas banget tadi. Jadi agak pusing," dustaku. "Wawancaranya udah selesai. Kasih waktu buat nyusun artikelnya, ya. Masuk jadwal terbit besok buat rubrik Profil, kan?" "Santai aja." Bahuku ditepuk. "Kalau lo sakit, pulang aja. Lagi pula, ini sebenernya tugas Meri. Tugas lo udah kelar semua, kan?" Aku tersenyum rikuh. "Nggak apa kok, Mas. Bentar lagi juga pusingnya hilang." Mas Danu menghela napas pendek seraya menarik sudut bibir ke atas. Ia menepuk-nepuk punggungku memberiku semangat sebelum berlalu pergi. Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga dan membangun fokus lagi. Kuhidupkan musik sekadar menghalau bayangan darah anak kecil tadi menyela pikiranku. * Aku memandang langit dari balik jendela di sebelah ranjang. Telunjukku terulur ke arah kaca yang berdebu. Kugerakkan telunjuk menulis kata 'I Miss U', membuat ujung jariku menghitam karena debu. Pintu apartemenku dibuka. Hanya aku dan Tante Nana yang tahu password unit apartemen studio ini. "Sofia, makan malam dulu nih." Tante Nana masuk sambil menenteng rantang. Ia meletakkan rantang ke pantri dapur yang tak bersekat dengan kamar. Karena apartemen ini sangat kecil, tak ada ruang tamu. Dapur bersebelahan dengan tempat tidur. Ya, semacam kamar kos elit gitulah. Aku mengintip menu yang dibawa Tante Nana. "Woah, baunya enak. Makasih, Tan." "Tante nggak bisa mampir. Anak-anak rewel banget, nggak bisa ditinggal lama." "Nggak apa, Tan. Salam buat si kembar, ya." Tante Nana memberi gestur 'ok' melalui jarinya. Ia bergegas pulang, tak mau membuat sepupu kembarku yang baru tujuh tahun itu merajuk lebih lama. Tante Nana istri dari Om Tito yang merupakan adik bungsu Mama. Sejak tragedi nahas sewaktu aku masih duduk di kelas 8 SMP itu, aku dirawat Nenek dan Kakek di Surabaya, meninggalkan Jakarta selama bertahun-tahun. Saat kembali ke Jakarta, Om dan Tante berjanji pada Kakek dan Nenek untuk merawatku--mereka tinggal di Tower A, di tempat yang lebih luas. Bel pintu apartemenku berbunyi saat aku hendak menuang makanan ke piring. Aku meninggalkan pantri untuk membuka pintu. Begitu melihat Ilalang berdiri di depan, aku mengerutkan dahi. "Alhamdulillaaah dibuka," katanya. "Eh, gue pinjem duit dong." "Apaan sih datang-datang pinjem duit." Aku bersungut-sungut kesal. Saat pintu hendak kututup, Ilalang menyelipkan tangan, menahannya. "Plis, plis, plis. Gue nggak ada receh nih. Nggak bisa bayar taksi online buat pulang." "Kenapa minjemnya ke gue??" Ia mencebikkan bibir dan menatapku dengan puppy eyes. Aku merapatkan bibir, masuk ke dalam mengambil dompet. "Berapa?" "Tujuh puluh ribu." "Receh pala lo peyang!" Aku mendelik kesal. Melihat muka memelasnya, aku mendesah panjang. Kuserahkan uang seratus ribu. Ia berlari gesit sambil meneriakkan kata terima kasih. Aku menutup pintu keras. Kembali ke dapur, aku menyiapkan makan malam dan mengambil minum. Baru saja hendak menyuapkan makanan, bel berbunyi lagi. Membuatku menggeram. Aku meletakkan sendok dan membuka pintu. "Apa lagi???" Alih-alih Ilalang, aku melihat Mas Danu yang memekik kaget. Buru-buru aku mengatupkan telapak tangan meminta maaf. "Maaf, Mas. Gue kirain temen gue yang rese." Ia tertawa. "Gue yang harusnya minta maaf karena datang malam-malam." Ia menenteng sesuatu dalam tas kresek. "Gue bawain apel. Lo udah nggak apa, kan?" "Ya ampun, Mas. Nggak usah ngerepotin." Aku tertawa keki seraya menerima bingkisannya. "Kalau besok masih sakit izin aja, nggak apa. Jangan terlalu dipaksa." "Eh, sumpah, gue nggak apa kok." Kutunjukkan kedua jari membentuk V. "Ya udah. Selamat istirahat, ya. Gue balik dulu, masih ada urusan." "Oke, Mas. Makasih ya!" Mas Danu tersenyum sebelum berpamitan pergi. Aku memandang tas kresek di tanganku dan tersenyum samar. Kugelengkan kepala berkali-kali untuk menyadarkan diri agar tidak baper. * "Eh, Fil. Lo udah tahu kan job desc yang dikasih Mas Danu?" tanya teman sebelahku, Mas Tama. "Sehari minimal tiga berita, kan?" "Kalau lo kesusahan nyari berita, lo minta bantuan Meri aja. Dia pegang>"Oh, oke. Orangnya yang mana, ya?" "Tuh." Mas Tama menunjuk meja paling ujung. Malu-malu, aku melenggang ke sana sambil memikirkan kalimat yang tepat. Sampai di meja Meri, aku berdeham. Meri, gadis berambut pendek, menengadah. Alisnya yang agak tebal alami memberi kesan judes. Tatapan matanya juga terlihat seperti predator betina. "Hai." Aku mengulurkan tangan. Alih-alih membalas jabat tanganku, Meri melengos dan berkutat lagi dengan komputer. "Lo yang kemarin gantiin gue, ya?" Aku menarik tangan dan pura-pura mengusap leher. Kudengar suara cengengesan di belakang. Teman-temanku berkerumun, seperti ingin melihat pertunjukan. "Jawab, oi!" Aku memekik mendengar bentakan Meri. "I-iya!" "Terus ngapain lo nemuin gue?" Sebelah alis Meri terangkat. "Anu, aku boleh minta>Meri menatapku lekat. "Kok minta ke gue?" Aku membulatkan mata. Suara tawa cekikikan di belakang membuatku tersadar kalau aku sedang dikerjai. Aku menelan ludah. "Oh, bukan ke kamu, ya." Aku mengusap tengkuk. "Minta ke Danu sana." Meri mengibas telapak tangan, memintaku segera pergi. Aku mengangguk dan buru-buru enyah dengan telapak tangan terkepal menahan kesal. Aku menahan diri agar tidak berbuat ulah dengan memaki-makinya. Kembali ke meja, teman-temanku cekikikan. Mas Tama menepuk-nepuk pundakku. "Selamat datang di GMI," katanya, seakan menegaskan bahwa aku perlu dijahili dulu agar bisa disambut sebagai bagian dari mereka. Aku mengerucutkan bibir dan membuang muka macam anak kecil yang ngambek, membuat teman-teman di sekitarku tertawa girang. * Selesai dari kegiatan lapangan untuk meliput acara rakernas sebuah komunitas bahasa, aku mampir ke kafe untuk memesan kopi dan membawanya pergi. Melewati meja seseorang, aku mendengar saapan dari orang berengsek. "Sopi!" Menoleh, kulihat Ilalang yang sedang duduk berhadapan dengan seorang cowok berkacamata. Sudut bibirku terangkat. Tak mengindahkan sapaannya, aku melengos pergi. "Sopi!" serunya lagi. "Bacot amat, Ilalang Rim--" Mulutku dibekap tiba-tiba, membuatku mengerang. Ia melepas bekapan di mulutku. "Lo seenaknya manggil Sopi, giliran gue panggil nama panjang lo nggak mau." "Gue mau balikin duit." "Kapan-kapan aja." "Sok kaya amat. Nih." Ia benar-benar mengembalikan uangku yang dipinjam tempo hari. Aku menerimanya dan mengantongi ke jaket. "Gue lagi meeting sama editor." "Nggak nanya." "Nggak apa, cuma ngasih tahu." Ia menyengir. Aku memerhatikan wajahnya dan melihat memar samar di sudut bibirnya. Kutelan berbagai pertanyaan ke dalam perut, mencoba untuk tak peduli. Kalau mengingat kata-kata jahatnya waktu SMP, simpatiku padanya langsung lenyap. "Lo masih di penerbit lama?" Loh, loh, kok aku malah membuka celah percakapan? "Masih. Kalau dia editor gue di penerbit baru, di Aksara. Mau gue kenalin? Dia jomlo." "Apaan, sih." Aku mendengus, berniat pergi, tapi tanganku dicekal. Aku menatap tanganku. Ilalang mengendus-ngendus tubuhku. "Kalau mau dapat pacar, seenggaknya wangi kek. Masa balik-balik ke kantor bau kambing." Aku membuka mulut. "Wah, lo minta dihajar nih." Aku menggulung lengan jaket. Sebelum memukulnya, ia menghindar sambil cengengesan. "Udah balik sana. Jangan lupa mampir toko parfum." Ia mendorong tubuhku. Bibirku mengerucut. Mulutnya masih saja sejahat dulu. Aku melengos pergi, melangkah gusar hingga membuat kucir kudaku terentak-entak. Berhenti sebentar, aku melihatnya dari balik jendela kaca kafe. Ia tersenyum dan melambaikan tangan. Aku melanjutkan langkah. Melewati toko parfum, aku berhenti. Celingukan dan memastikan Ilalang tak melihatnya. * Jarum jam menunjuk angka sebelas, tapi aku masih menekuri laptop untuk menulis artikel yang dibebankan Meri. Kulepas kacamata dan memijat pangkal hidung. Aku meregangkan tubuh dan menguap. Saat aku mengecek ponsel, ada pesan masuk yang dikirim sejak jam sembilan. Dari Mas Danu. Mas Danu: Besok lo liputan ke acara Japanese Festival di kedutaan Jepang, ya. Tama nggak masuk soalnya. Filosofia: Ok!! Tak berselang lama, pesan itu berbalas. Mas Danu: Kok belum tidur? Filosofia: Baru selesai ngerjain tugas dari Mbak Meri. Mas Danu: Meri kasih tugas apa? Filosofia: Bantuin dia nyusun artikel harian di rubrik entertainment sama sport. Mas Danu: Lain kali jangan mau. Aku tersenyum. Kenapa juga ya aku tidak suka pada cowok seperti ini sejak dulu, alih-alih suka sama cowok macam Ilalang yang tak pernah peduli perasaan orang. Mengingatnya saja membuatku jengkel. Bel apartemenku berbunyi. Siapa pula yang datang tengah malam begini? Aku melenggang menuju pintu dan membukanya. Ilalang berdiri di depanku dengan wajah babak belur dan berbau alkohol. "Gue," ia berbisik, "boleh... tidur... di sini?" "Hah??" Ia ambruk di depanku, membuatku sontak memeluknya. ***** Semisal ini adalah drakor, mungkin nama Filo versi Koriyah jadi Kim So Ra dan beginilah mukanya: SEMISAL INI DRAKOR LOH YA BUKAN BERARTI VISUAL ASLI DI SINI. VISUALNYA TERSERAH LO LO PADA.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD