bc

GINCU 2

book_age16+
1.4K
FOLLOW
15.5K
READ
arrogant
badboy
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Ada tiga hal yang paling dibenci Filosofia.

1. Darah.

2. Diremehkan.

3. Orang yang memanggilnya Sopi.

Impian Filo sebagai jurnalis nyaris hancur sejak kematian orang tuanya dalam kecelakaan beruntun. Ia adalah satu-satunya yang selamat. Sejak itu, ia sangat ketakutan melihat darah orang lain. Hanya rivalnya di kelas karate sewaktu SMP yang berhasil membuatnya bangkit untuk meraih impiannya. Ia tak pernah lagi bertemu sang rival setelah pindah ke Surabaya.

Mereka akhirnya dipertemukan lagi di Jakarta. Filo yang sudah menjadi wartawan dan rivalnya, Iota Rho, yang merupakan penulis besar. Sayangnya, Filo berusaha menghindari cowok itu sejak kejadian memalukan beberapa tahun lalu.

Ia pernah menyatakan cinta pada Iota dan ditolak mentah-mentah.

chap-preview
Free preview
Wawancara Pertama
Kets, earphone, ponsel, buku catatan. Semua sudah masuk ke ransel kecil. Ini hari pertamaku. Aku tidak boleh melakukan kesalahan serupa. Aku mengalungkan ID Card yang juga terselip e-money. Nama Filosofia G. tertera di sana. Aku tak akan memberitahu kepanjangan huruf G, sebab aku yakin tak ada seorang pun yang berhasil mengejanya dengan benar. Kecuali aku, orang tuaku, dan Tuhan. Commuter sesak oleh orang-orang yang bepergian untuk kerja. Aku perlu menahan napas di antara sesak. Ini jauh lebih buruk dari bayanganku. Aku bahkan tak bisa membedakan orang-orang yang tidak sengaja atau sengaja menyentuh tubuhku. Perlu sepuluh menit untuk menahan napas. Sampai di stasiun, aku mengipas-ngipas tangan dan menatap wajahku di depan vending machine. Perhatianku tertuju pada salah satu minuman. Aku memasukkan uang untuk membeli secangkir kopi hangat. Kupandang lalu lalang di stasiun yang sangat ramai. Ketika hendak menyeruput, seseorang menyenggolku sangat keras sampai membuat kopi itu tumpah mengenai kemeja baruku. "Hey! Jalan lihat-lihat, berengsek!" Aku berteriak. Seseorang dalam jaket bertudung kelabu itu tak mengindahkan teriakanku. Aku mampir ke toilet untuk membersihkan noda kopi itu. Meski sudah kukucek sangat keras, tetap saja tak bisa hilang. Aku mengembuskan napas frustrasi. Setidaknya, aku membawa jaket denim sehingga dapat kututupi kemeja kotorku. Gedung kantor surat kabar yang menerimaku kerja berdiri angkuh. Aku menelan ludah, melangkah panjang-panjang. Aku berpapasan dengan karyawan-karyawan yang bergantian memandangku. Aku punya beberapa hal buruk yang sangat merugikanku dalam berinteraksi dengan orang lain: 1. Aku sangat skeptis terhadap orang lain. 2. Aku tak pandai membaur dengan orang baru. 3. Aku sangat sensitif, mudah marah, dan sering melayangkan bogeman secara cuma-cuma. Maka, yang kulakukan di hari pertamaku bekerja sebagai jurnalis di surat kabar nasional adalah melayangkan senyum kikuk. Alih-alih membalas senyumku, mereka melengos. Ah, sialan. Seharusnya kusimpan saja senyum mahal ini. Aku tak sembarangan memberikan senyum pada orang lain. Sampai di lantai dua, aku merogoh ponsel dan mendengar sedikit keributan oleh dua orang di depan sekat kaca yang memisahkan ruangan para redaktur dengan selasar. "Maaf banget. Maaf... banget. Seharusnya sih jadwalnya sekarang, tapi Mbak Meri nggak ada. Semua bahan dia yang simpan. Nanti kami hubungi lagi ya." "Nggak. Gue tunggu Meri di rumah. Suruh dia sendiri yang datang." "Soriii banget, ya. Sori." Begitu salah seorang redaktur itu mengatupkan tangan untuk berpamitan pergi, aku baru mengingat sesuatu. Jaket itu sama persis seperti yang dikenakan orang kurang ajar yang membuat kemeja baruku terkena tumpahan kopi. Aku merapatkan bibir siap-siap menghajarnya. "Mampus ya lo." Aku menyergah menarik tudung jaketnya, membuat ia sontak berbalik badan dan dengan tangkas menghalau tanganku yang hendak meninjunya. Pergelangan tanganku dicengkeram sangat kuat. Mata kami bertemu sesaat. Aku mengerjap. Ia jauh lebih terkejut daripada aku. "Lo? Ngapain di sini?" Aku menyeringai. Sial. Sejuta umat manusia yang kutemui hari ini, mengapa harus Ilalang?! Ia melepas cengkeraman tangannya padaku. Aku mendesis dan memukul kepalanya. "Aduh!" pekiknya. "Gila ya, setelah bertahun-tahun nggak ketemu, lo masih aja ngasih kesan buruk ke gue." Aku melepas kancing jaket denim dan menunjuk noda kopi yang tumpah di dadaku. "Lo tadi nabrak gue di stasiun dan bikin kopi gue tumpah!" Ilalang mengangguk-angguk. "Sini, gue bantu bersihin." Sebelum tangannya menyentuh dadaku, aku menamparnya keras, membuat ia memekik lagi. "Kok gue ditampar!" "Bener-bener, ya ampun." Aku menggeram kesal dan merapatkan jaket denim lagi dan melengos. Ia mengikutiku dari belakang. "Woy, kita kan belum ngobrol," katanya. "Males." "Kenapa?" "Males aja lihat muka lo." Aku membuka pintu kaca. "Ini hari pertama gue kerja. Please, jangan ganggu gue." "Oke." Ia mengangguk dan menepuk pundakku. "Bagi nomor, dong." Kupandang ia, setengah mendelik. "Nggak. Pergi sana!" "Jutek amat." Ia menempelkan kedua telunjuknya di sisi kepalanya, lalu beralih ke sisi kepalaku. "Gue pasangin radar biar kita ketemu lagi. Bye, Sopi." Dan berlalu pergi sambil cengengesan. "Nama gue bukan Sopi!" teriakku kesal, sontak membuat seluruh redaksi yang sedang bekerja menatapku bagaikan predator buas. Aku tersenyum kikuk dan menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Maaf, maaf." * "Nah, mulai sekarang, ini jadi meja kerja lo." Danuraga-katanya, semua orang memanggilnya Mas Danu-redaktur sekaligus reporter senior, menunjuk salah satu meja yang kosong. Ia memandang reporter lainnya. "Teman-teman, kita kedatangan junior baru." Semua reporter memutar kursi untuk memandangku. Aku menelan ludah, agak gugup. Mas Danu menepuk-nepuk pundakku memberi semangat. "Hai, selamat pagi teman-teman. Gue Filosofia. Kalian bisa panggil gue Filo aja." "Kenapa bukan Sofi?" Seorang gadis berambut sebahu bertanya. "Apaan sih lo, Bren. Terserah yang punya nama, lah." Seorang cowok mengetuk kepala cewek yang bertanya tadi. "Oh, dulu gue emang dipanggil Sofi. Tapi gara-gara pas sekolah banyak banget yang namanya Sofi, jadinya gue minta dipanggil Filo aja. Biar nggak ketuker-ketuker." Seorang cowok lainnya menjentikkan jari. "Bagus. Soalnya di sini udah ada lima karyawan yang namanya Sofi. Sophie, Soffy, Sofie, Shoffy, Soffi, sekarang ketambah lo." Aku tersenyum keki melihat para reporter tertawa-apanya yang lucu coba? Mas Danu memerintahkanku mulai bekerja. "Selamat bekerja di kantor surat kabar Good Morning Indonesia!" seru mereka serempak. "Semoga betah, ya. Untuk sekarang, lo bikin artikel daring dulu. TOR nyusul. Gue kasih contoh materi berita lewat pos-el." "Makasih, Mas." Aku duduk kaku di depan komputer. Karena ini hari pertama kerja, aku tidak banyak bicara. Bahkan ketika jam makan siang, aku memilih menyendiri di kantor untuk membuat artikel-artikel untuk diunggah di situs GMI (Good Morning Indonesia). Pikiranku yang tadinya fokus dengan artikel teralihkan. Aku bersendang dagu mengingat pertemuanku dengan bocah d***u tadi. Ilalang. Teman sekaligus rival di kelas karate sewaktu kami masih SMP. Dia lebih tua setahun di atasku. Ia anak sekolah lain. Kami sama-sama menjadi anak emas guru pelatih dan sering dikirim untuk turnamen. Karena ia lebih sering membawa pulang medali daripada aku, aku jadi kesal. Meski demikian, ia termasuk mentorku dalam menulis, baik nonfiksi maupun fiksi. Ia pula yang mendorongku untuk tidak menyerah pada mimpiku. Aku tersenyum mengingat masa-masa SMP. Lantas, senyumku seketika lenyap ketika satu kenangan ikut merangsek masuk. "Jangan suka sama gue. Gue nggak suka sama lo." Aku menepuk meja sangat keras dan memberantakkan rambut. Alasan yang cukup jelas untuk tak lagi bertemu dengannya. Mau ditaruh di mana mukaku kalau ia masih mengingat kejadian memalukan itu. Aku merengek dan membenamkan wajah ke meja. Kesialanku makin bertambah ketika Mas Danu mengirim pesan padaku untuk menggantikan Meri. * "Nah, kan, udah gue bilang kita bakal ketemu lagi." Aku mencebikkan bibir di hadapan Ilalang yang bersendang dagu menatapku. Aku menyeringai, membuka-buka buku catatan setelah menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk mewawancarainya di kafe sebelah gedung GMI. "Gue tadi denger obrolan lo sama temen redaksi gue," kataku bersungut-sungut. "Pasti lo yang minta gue gantiin Meri, kan?" "Ah, sial." Ia menepuk meja. "Kok berasa déjà vu, ya?" "Ya karena udah kebiasaan lo bertindak semena-mena." Aku mendesis kesal. Ia mengangguk membenarkan. "Sebelum masuk wawancara, gue mau tanya sama lo." "Apa?" Sepasang matanya menatapku lekat, mengamati wajahku. "Lo masih suka jarang mandi, ya?" Aku memelotot. "Nggaklah!" Ia menyengir. "Abis, ada belek di mata lo." Sontak saja aku mengambil ponsel dan bercermin. "Bercanda kali, Sop," lanjutnya. Aku merapatkan bibir melihatnya tertawa bahagia karena membuatku seperti orang bodoh. Berdeham pelan, aku membuka wawancara. "Jadi...." "Jadi, lo sekarang udah berhasil masuk kantor surat kabar?" Ia menyeruput kopinya "Woah...." Lalu, mengacungkan ibu jari. "Tapi, kok gue nggak pernah baca buku lo lagi? Perasaan nama lo juga lumayan gede. Ya, meskipun nggak segede gue, sih." Aku mengembuskan napas panjang. "Gue fokus kuliah." "Lo nggak tanya gue udah lulus apa belum, gitu?" Sebelah alisku terangkat. "Ngapain? Gue yakin lo nggak bakal lulus tepat waktu." Ia menyengir. Aku mendelik. "Apa cengar-cengir?" "Lo jutek sama gue karena kesel ya pernah gue tolak?" Rasanya seakan ada sesuatu yang meninju perutku. Aku buru-buru mengangkat kepala. "Gue jutek karena lo masih nyebelin kayak dulu." Kutunjuk noda kopi akibat ulahnya tadi. "Lagi pula yang dulu gue lakuin khilaf. Karena gue masih bocah. Sekarang mah ogah gue suka sama lo." Ia mencebikkan bibir. "Lo sekarang tinggal di mana?" Aku mengacak-acak rambut. "Ini wawancaranya kapan, ya?" "Santai aja dulu." "Tapi gue masih ada kerjaan! Gue nggak mau kena sanksi di hari pertama gara-gara lo, ya." Ilalang mengembuskan napas panjang. "Gue bakal segera memulai wawancara kalau lo kasih tahu alamat lo." Bibirku mengerucut kesal. Aku menyobek kertas catatan dan memberikannya alamat apartemenku yang dibelikan tanteku. Ia tersenyum semringah menerima kertas itu dan memulai wawancara. Tak membutuhkan waktu lama, aku menyudahi sesi wawancara. Selain karena pekerjaan masih banyak, juga karena tak ingin terlihat keki. Ia membiarkanku pergi lebih dulu. Kukemas barang-barangku ke ransel mini dan melenggang pergi. Membuka pintu kafe, aku mendengar suara keras di depan. Seorang anak SD yang sedang mengayuh sepeda ditabrak motor sampai jatuh. Ia menangis keras, langsung didatangi masyarakat. Darah mengucur dari lututnya. Kepalaku pusing. Jantungku berdebar. Mataku berkunang-kunang. Tubuhku terasa lemas hampir jatuh. Lalu dari belakang, seseorang menahan bahuku, menahanku agar tak jatuh. Perlahan, aku menengadah, bersepandang langsung dengan Ilalang. ***** I'll make you move on from Iota-Nuansa. Sebenernya mereka cute, tahu. I can't even imagine the cuteness beberapa part ke depan :(

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

His Secret : LTP S3

read
651.1K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.2K
bc

Rewind Our Time

read
161.5K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.3K
bc

Akara's Love Story

read
259.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook