Berita Tentang Misteri

1363 Words
Tiga puluh menit perjalanan tanpa macet. Akhirnya bus berhenti di sebuah halte dekat kantor Sarah. Sebuah kantor majalah cetak dan digital yang cukup ternama. Lokasinya berada di sebuah gedung megah di kota ini. Gedung yang biasa disebut dengan menara hijau. Memiliki tiga puluh lantai. Tapi gedung ini bukan milik perusahaan tempat Sarah bekerja. Kantor tempat Sarah bekerja hanya menyewa tiga lantai di gedung ini. Lantai delapan, Sembilan dan sepuluh. Selebihnya disewa oleh perusahaan lain. Bekerja di kantor majalah ini merupakan pencapaian yang cukup Sarah banggakan. Banyak orang yang ingin melamar namun belum berhasil diterima. Memang bukan sebuah perusahaan yang levelnya multi nasional, tapi untuk seorang gadis perantau yang benar-benar berjuang mencari peruntungannya sendiri di kota yang tak pernah tidur ini, rasanya benar-benar menjadi sebuah anugerah. Apalagi, kantor ini terkenal memberikan gaji para pegawainya dengan nilai diatas standar pendapatan kota. Khususnya untuk pegawai yang berprestasi. “Pagi Pak,” sapa Sarah pada Satpam yang berjaga di pintu lobi utama. “Pagi Mbak, pagi sekali sudah datang?” tanya Satpam itu. “Iya, lagi pengen datang pagi.” Sarah lalu duduk di kursi tunggu lobi. Sebenarnya ingin langsung ke lantai atas, tapi setelah melihat kondisi kantor masih benar-benar sepi mendadak jadi ragu. Hanya ada pak Satpam yang terlihat di pintu utama, lalu office boy yang juga baru datang dan siap-siap untuk bersih-bersih. Di lantai atas, sepertinya belum ada orang. “Hei!” Syila menepuk bahu Sarah dari belakang. Membuat gadis itu terperanjat. “Aduh, bikin jantungan.” Sarah yang semula sedang setengah melamun langsung menepuk-nepuk dadanya. Kaget. “Tadi bilangnya malas berangkat pagi?” “Lho, aku datang pagi sengaja buat kamu lho, malah nanya begitu. Aku pulang lagi nih,” ledek Syila. Syila. Dia bukan teman baru bagi Sarah. Sahabat sejak SMA yang sudah seperti saudara sendiri. Entah sebuah kebetulan, Syila dan keluarganya pindah kemudian tinggal menetap di kota ini mengikuti ayahnya yang pindah tugas. Keberadaan Syila dan keluarganya di kota ini sedikit membuat orang tua Sarah lega melepas putrinya merantau. Setidaknya Sarah tidak benar-benar sendirian. Syila yang lebih dulu bekerja di kantor ini. Meski demikian ia masih terhitung sebagai wartawan pemula. Memang dasar berjodoh sebagai sahabat. Sarah langsung lulus tes dan diterima saat melamar di kantor ini. Sarah sendiri mengisi posisi sebagai sekretaris. Tugasnya lebih banyak mengurus masalah administrasi. Sementara Syila, dia adalah pemburu berita. “Udah deh, cepetan duduk sini. Aku mau cerita.” kata Sarah. Syila duduk di samping Sarah sambil memperhatikan wajah sahabatnya. “Kalau dilihat-lihat, kayaknya masalahnya masih sama nih? Mimpi ketemu si Dave lagi? Takut tidur lagi? ‘Kan aku udah bilang, nginep aja di rumah aku. Jangan-jangan apartment kamu yang bermasalah kali,” “Ish, ngawur! Memangnya kalau tidur di rumah kamu, mimpi itu bisa gak datang lagi? Lagian kenapa jadi nyalahin apartemen? Aku sudah berapa tahun tinggal di sana. Dan mimpi itu baru terjadi sebulan ini ‘kan? Artinya masalahnya bukan sama tempatnya.” “Ya terus harus coba cara apa lagi? Atau kita mau tanya ke ….” Kalimat Syila terhenti. Ada seseorang muncul di depan pintu kaca lobi. ia lalu menepuk-nepuk bahu Sarah untuk ikut menoleh ke arah pintu. “Apa sih?” tanya Sarah. “I-itu ….” tunjuk Syila dengan raut wajah sedikit takut. Sarah dan Syila saling pandang. Mereka lalu celingukan mencari pak satpam yang mendadak tak kelihatan. “Tuh ‘kan, aku bilang jangan suka ajak-ajak berangkat pagi ke kantor, jadi ada yang aneh-aneh gini.” bisik Syila semakin merapatkan posisi duduknya dengan Sarah. “Ih, itu orang tau, kayanya dia lagi cari sesuatu. Atau … cari siapa gitu?” Sarah coba tenang dan berpikir logis. Tidak mau berpikir aneh-aneh yang membuat ketakutan sendiri. “Tapi orangnya kayak aneh Sar,” Syila memperhatikan sosok yang ada di balik pintu kaca itu. “Jangan begitu ah, kita temui aja deh, siapa tau dia benar-benar butuh pertolongan.” kata Sarah. “Tapi Sar,” Sarah lebih dulu bergegas menghampiri pintu lobi. Pak satpam belum juga terlihat. Langkah Sarah perlahan. Tentunya tidak lupa sambil berdoa. Ia perhatikan baik-baik sebelum membukaan pintu. Seorang wanita paruh baya dengan setelan rok panjang dan jas berdiri di sana. Wajahnya terlihat ketakutan dan gugup. “Maaf, ibu mau cari siapa?” Sarah memberanikan diri bertanya. “Tolong, tolong izinkan saya masuk. Tolong,” Ia memohon. Sarah langsung menoleh pada Syila yang berdiri beberapa langkah di belakangnya bermaksud minta pendapat. Ia mengangguk tanda setuju. “Mari silahkan Bu,” Sarah mempersilahkan wanita itu duduk di kursi tunggu. Tempat ia dan Syila duduk tadi. Wanita itu duduk. Lalu celingukan kesana-kemari seperti orang bingung. “I-ini tahun berapa?” tanyanya setelah lima detik. Sarah dan Syila lagi-lagi saling pandang. Heran. Kalau sekedar tanya ini tanggal berapa, itu wajar. Tapi tanya tahun berapa? Rasanya seperti pertanyaan orang yang baru datang dari dimensi waktu lain. “Tahun berapa?” tanyanya lagi. kali ini agak keras. Sepertinya karena tidak di jawab oleh dua gadis itu. “Du-dua ribu dua puluh satu Bu,” jawab Syila. Tangannya sekarang menggenggam tangan Sarah dengan erat. Bukan erat lagi, tapi mencengkram. “Sakit tau,” Sarah menarik tangannya dari genggaman Syila yang kelihatan takut. “Panggil saya Nyonya. Nama saya Jasmine.” Wanita paruh baya itu menyebutkan identitasnya. “I-iya Nyonya Jasmine.” ucap Sarah dan Syila serentak. Anehnya, si abang office boy dan pak satpam tak kunjung juga terlihat. Entahlah kemana mereka. Satu dua menit berlalu tanpa obrolan. Nyonya itu masih terus mengedarkan pandangannya seperti orang bingung. “Sa-saya ….” Sesaat kemudian ia sudah mulai bersuara. Sarah menangkap kalau nyonya itu sepertinya baru tiba dari perjalanan jauh. Wajahnya terlihat lelah ditambah lagi sikapnya yang gelisah tak karuan. “Tunggu sebentar ya Ibu … eh, maksudku Nyonya. Saya ambilkan minum dulu,” Sarah beranjak dan bermaksud lari ke pantry yang letaknya di ujung lorong samping meja resepsionis belok kanan. “Sar, ikut ….” Syila ingin mengejar tapi mendadak duduk lagi. lirikan mata nyonya itu seperti menyadari kalau gadis ini takut padanya. Syila jadi tak enak hati takut membuatnya tersinggung. Tak sampai lima menit Sarah kembali. Ternyata si abang office boy ada di pantry sana. Segelas teh yang entah ia buat untuk siapa Sarah minta untuk si nyonya itu. Abang office boy tentu tidak bisa menolak permintaan Sarah. “Ini, silahkan Nyonya,” Sarah menyerahkan segelas teh itu. Tangan si nyonya yang terlihat mulai keriput dan sekarang sedikit gemetar itu menerima gelas dari Sarah. Tanpa ragu ia meneguk teh seduhan si abang office boy hingga habis. Padahal tadi saat Sarah bawa masih ada asap mengepul. Sepertinya lebih tepat kalau minuman tadi disebut minuman panas bukan minuman hangat. Syila dan Sarah diam di tempat. Otak mereka sama-sama berpikir keras. Harus memulai dari mana komunikasi dengan nyonya ini? Tidak mungkin ‘kan kalau dia datang hanya untuk numpang minta minum. “Ka-kalian harus tahu soal bus itu. Kalian harus tahu!” serunya tiba-tiba. Hanya ada mereka bertiga yang terlibat dalam obrolan ini. Kantor masih sepi. Kemungkinan penghuni lain baru akan berduyun-duyun datang sekitar lima belas menit lagi. “Bus?” Syila mulai berani merespon nyonya itu. “Iya, kalian pasti sudah dengar soal orang-orang yang hilang di kota. Saya, saya baru saja mengalaminya. Saya menemukan mereka. Mereka yang bersekongkol menipu saya sebelas tahun yang lalu.” cara bicara nyonya itu terlihat meyakinkan. “Maksud nyonya? Nyonya tahu tentang bus itu? I-ini serius?” Lagi-lagi Syila yang merespon dan mulai kedengaran antusias. “Iya. Apa kamu pikir saya berbohong?” Ekspresi wajah nyonya itu berubah. Kali ini seperti kurang suka saat Syila kedengaran meragukannya. Sementara Sarah mendadak merasa tidak nyaman. Sudah tiap malam diteror mimpi Dave dan bus yang membawanya menghilang, sekarang mendadak muncul seseorang yang tidak jelas asal-usulnya malah sengaja bicara membahas bus yang katanya sedang menjadi misteri di kota. Kebetulan sekali Sarah melihat si abang office boy berjalan menuju lift dengan seperangkat ember serta kain pel dan alat kebersihan lainnya. Sarah buru-buru berdiri. “Maaf, saya permisi dulu.” ucap Sarah sambil cepat berlalu sebelum ketinggalan lift si abang office boy. “Sar ….” Syila sempat ingin menahan Sarah tapi akhirnya ia biarkan saja. Rasa takut untuk bicara dengan si nyonya rasanya sudah lenyap. Sekarang Syila malah benar-benar penasaran dengan cerita yang akan dibawa oleh nyonya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD