CHAPTER 8

1278 Words
Sudah hampir sebulan Isabelle bekerja bersama Rafael. Pekerjaannya bisa dibilang tidak terlalu melelahkan. Hanya menuruti perintah atasannya itu. Namun terkadang ketika perintahnya tidak masuk akal, Isabelle harus berusaha keras untuk menahan jeritan histerisnya. Semua orang yang bekerja di sana baik padanya, bahkan terkesan sangat menghormatinya. Beberapa kali Isabelle berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal Rafael, dan merasa senang ketika hampir semua orang yang ditemuinya mengajaknya berbicara. Sudah lama ia tidak merasakan kehangatan seperti itu. Perasaan diterima oleh orang yang baru dikenalnya terasa menyenangkan. Jika membicarakan perintah Rafael yang aneh, keadaan itu tepat seperti yang sedang dialami oleh Isabelle sekarang. Di jam istirahat ini, ia duduk di samping meja Rafael. Dekat dengan kursi kebesaran pria itu. Dan coba tebak apa yang dilakukannya? 'Uh,' desisnya dalam hati dengan tangan terulur memengang sendok yang diarahkan pada mulut Rafael yang telah menunggu. 'Dasar bayi besar!' Mungkin pekerjaannya bisa disebut sebagai asisten pribadi sekaligus babysitter Rafael. Terkadang pria itu sangat menjengkelkan seperti sekarang ini. Ia tidak terlalu banyak mengerjakan pekerjaan kantor sebenarnya. Lebih sering menemani Rafael memeriksa berkas dan mematuhi semua keinginan pria itu. Untung saja keinginannya masih masuk akal. 'Awas saja kalau tidak,' ancam Isabella dalam hati. "Kalau aku tidak tahu benar, aku akan mengira dari dengusanmu yang berulang-ulang itu, kau tidak ikhlas menuruti perintah atasanmu." Suara Rafael memecah keheningan di ruangannya. Isabelle hanya mendumel dalam hati, menyuarakan gumaman tidak jelas yang membuat Rafael terkekeh. Namun walaupun begitu, Isabelle tetap melanjutkan tugas besarnya untuk menyuapi atasannya. Ia tahu bagaimanapun konyolnya pekerjaannya saat itu, Rafael tetap akan menggajinya. Selain itu ia juga tidak ingin Rafael memberi tahu ayahnya mengenai performa kerjanya yang buruk. Sedangkan Rafael yang tahu ketidakrelaan Isabelle, hanya mengembangkan senyumnya terus-menerus di tengah-tengah kesibukannya memeriksa dokumen yang terpampang di layar laptopnya. Hari itu salah satu hari tersibuknya, jadi saat istirahat siang pun ia harus tetap melanjutkan pekerjaannya. "Kadang aku sendiri tidak yakin pekerjaanku adalah asisten pribadi atau babysitter. Apa kau tidak salah mencari orang? Kau tahu kan jurusan kuliahku itu manajemen bisnis? Bukan sekolah ke-babysitter-an?" tanya Isabelle yang akhirnya mengeluarkan isi pikirannya. Senyum Rafael berganti menjadi kerutan tidak puas, "Apakah kau tidak senang dengan pekerjaanmu?" tanya Rafael yang membuat Isabelle tergagap, "Ah, ti-tidak. Ini sudah cukup kukira. Yah, walaupun tidak seperti yang kubayangkan. Kau tidak terlalu sering ke kantor sebenarnya." Isabelle menggaruk kepalanya mencari kata-kata yang tepat. "Emm, aku selalu berpikiran orang-orang yang bekerja di perusahaan akan sangat sibuk dan sering lembur sampai malam hari. Tapi aku disini hanya menangani kebutuhanmu saja. Hehe, bukannya aku keberatan sih," ucap Isabelle, diakhiri dengan cengiran canggungnya. Rafael tersenyum lembut pada Isabelle, yang membuat jantung perempuan itu bertalu-talu. Belum lagi ketika tangan besar milik pria itu mengusap lembut kepalanya. 'Wow,' ucap Isabelle dalam hati, sambil menelan ludah karena kegugupannya. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan perlakuan Rafael ini, tapi jantungnya selalu berulah jika itu menyangkut sikap Rafael yang kadang-kadang bisa sangat manis. "Kau tidak perlu bekerja keras di sini, oke. Biar aku saja yang mengerjakannya. Lagipula perusahaan ini tidak seperti perusahaan lainnya. Kita tidak membutuhkan investor untuk mengembangkannya. Biarkan mereka yang membutuhkan jasa kita yang harus mendatangi kita." 'Wow,' batin Isabelle sekali lagi, masih dengan kebisuannya. "Kau mendengarkanku kan?" tanya Rafael. "Yang perlu kau lakukan hanya menemaniku di sini. Tapi kalau kau bosan, kau boleh membantu pekerjaanku. Tapi tidak boleh terlalu lelah, oke?" lanjut Rafael dengan telapak tangan yang masih setia bertengger di kepala Isabelle. Isabelle terkekeh mendengarkan perkataan Rafael. "Kau berkata seolah aku ini bukan asisten pribadimu Rafe, melainkan istrimu. Kau tidak sadar ya kalau kata-katamu itu konyol?" kata Isabelle di sela-sela tawanya. "Apakah kau mau?" tanya Rafael yang tiba-tiba memasang raut penuh harap. Isabelle sontak menghentikan tawanya, seketika perasaannya berubah waspada. "Maksudmu 'mau' dalam hal apa?" Rafael menatap Isabelle dengan lekat, tangannya meraih tangan Isabelle yang berada di pangkuan perempuan itu. "Mau jadi istriku?" jawabnya dengan pertanyaan. Isabelle tidak bisa mengalihkan wajahnya dari Rafael yang terlihat tegang. "Emm, kau bercanda kan, Rafe? Kau kan baru bertemu denganku kurang lebih sebulan yang lalu. Ini tidak lucu tahu. Hehe," ucapnya yang diakhiri dengan tawa yang sedikit dipaksakan. "Aku tidak pernah seserius ini, Belle. Tidak perlu waktu lama bagiku untuk tahu bahwa kau adalah takdirku. Kau tidak merasakan ikatan di antara kita?" tanya Rafael sedikit mendesak, membuat Isabelle gugup dan mulai mempertanyakan perasaannya sendiri. 'Ikatan? Apakah maksud Rafael adalah getaran-getaran yang menjalari tubuhku saat kami bersentuhan? Atau detak jantungku yang menggila saat Rafael berada dekat denganku? Tapi bukannya itu wajar dengan laki-laki setampan dia?' batinnya dengan gelisah. "Kau merasakannya kan, Belle? Tolong jangan ingkari kata hatimu. Kalau bukan padaku, jujurlah pada dirimu sendiri, please." Kali ini Rafael mengucapkannya dengan nada memohon pada Isabelle. Isabelle menatap Rafael dalam-dalam, mencoba melihat apa yang selama ini dihiraukannya. Ia memang tidak pernah merasakan ketertarikan sebesar yang dirasakannya sekarang pada pria lain. Sebelumnya, Isabelle berusaha untuk menekan perasaannya pada Rafael kuat-kuat agar tidak terjerumus dalam cinta sepihak. 'Apakah Rafael juga merasakannya?' "Rafe, jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kukatakan tentang ini. Apakah kau yakin perasaan di antara kita ini tidak akan pudar seiring dengan berjalannya waktu?" tanya Isabelle dengan nada selembut mungkin, berusaha menjaga perasaan Rafael agar laki-laki itu tidak terluka. Rafael menghela napas. "Kau harus tahu apa yang aku rasakan sekarang agar bisa mengerti perasaanku yang sebenarnya, Belle. Ini bukan keinginan sesaat saja," ucap Rafael dengan tenang namun mantap. "Biarkan kita mengenal lebih lama lagi, oke? Mungkin tidak lama lagi semuanya akan lebih jelas," kata Isabelle dengan penuh kehati-hatian. "Baiklah," ucap Rafael dengan pandangan sedikit meredup. Kekecewaan jelas terlihat dalam tatapannya. Isabelle ingin mengutuk dirinya sendiri karena ia yang menyebabkan perubahan itu. Namun Isabelle masih berpikiran bahwa apa yang dilakukannya saat ini adalah untuk kebaikan mereka berdua. Ia tidak mau ketergesaan ini akan menghancurkan semuanya. 'Sebuah hubungan membutuhkan pondasi yang kuat untuk bisa berdiri kokoh,' pikirnya dalam hati. "Aku tidak akan menutup kemungkinan tentang itu, Rafe. Kau tak perlu lesu begitu. Mungkin jika kita sudah mengenal satu sama lain lebih jauh lagi, rasa yakin itu akan muncul dengan sendirinya," bujuk Isabelle, berusaha untuk mengembalikan sinar di mata Rafael tanpa harus mengiyakan usulannya. Rafael kembali menatap Isabelle dengan percikan harapan di matanya. "Bagaimana kalau kau mempertimbangkan untuk menjadi kekasihku, Belle? Dengan begitu kita bisa mengenal lebih baik lagi, seperti yang kau minta," usulnya dengan binar baru yang agak menyilaukan. "Tapi bukankah itu tidak profesional? Kita kan sedang bekerja bersama. Kau atasanku dan aku bawahanmu. Kau tidak takut itu akan mengganggu keseimbangan posisi kita dalam pekerjaan ini?" tanya Isabelle ragu. Ia tidak tahu apakah menjadi kekasih Rafael adalah hal yang diinginkanya. Tapi jelas satu yang diketahuinya, yaitu tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya menginginkan Rafael. Isabelle khawatir perasaan itu akan menghancurkan semuanya. Rafael menggeleng pelan. "Kita bisa bekerja seperti biasanya, tidak akan ada yang banyak berubah, Belle. Kau setuju kan?" Isabelle masih terdiam, mempertimbangkan permintaan Rafael. 'Tapi daripada langsung menikah dengan Rafael, bukankah yang ini lebih aman?' batinnya dengan suara hati yang saling berkecamuk. "Belle?" Raut wajah Rafael menunjukkan harapan dan ketakutan, sesuatu yang jarang muncul di wajah pria itu. Mengingat ia merupakan pimpinan perusahaan jasa keamanan yang memerlukan keseriusan dan hati sekeras baja. Namun di depan Isabelle, Rafael terlihat seperti manusia pada umumnya, yang bisa merasa rapuh. Isabelle mengangguk. "Baiklah Rafe, tapi kau harus menjaga sikapmu jika berada di kantor, oke?" ucap Isabelle memperingatkan atasannya. Tanpa jawaban lagi, Rafael menerjang Isabelle dan memeluknya erat, menggumamkan kata-kata tidak terlalu jelas yang sulit untuk dimengerti oleh Isabelle. Setelah menenangkan kegembiraannya, raut wajah Rafael yang sedikit tegang menatapnya dan menampilkan senyum gugup. "Sebenarnya ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Mungkin setelah ini kau bisa diantar oleh sopir kantor ke sana. Maukah kau berjanji padaku untuk tetap berpikiran terbuka setelah bertemu dengannya?" tanya Rafael. Isabelle terdiam, hanya mengangguk pelan dan bertanya-tanya, 'Siapa sebenarnya yang dimaksud Rafael?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD