CHAPTER 3

1284 Words
Setelah kejadian siang tadi di kamar mandi, Isabelle mendadak merasa ketakutan dan tidak berani memandangi tanda-tanda kemerahan itu lagi. Ia mengenakan pakaian tertutup agar tidak ada seorang pun yang melihatnya, walaupun sebenarnya tanda itu hanya terdapat di bagian yang biasa tertutupi oleh pakaian. Bukan di tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Selain itu, Isabelle juga sebenarnya tidak berniat untuk menemui siapapun. Ia ingin mengurung diri di apartemennya yang aman. Saat ini ia duduk di ranjang dengan punggung disandarkan. Pandangannya terarah ke televisi di depannya, tapi pikirannya berkelana kemana-mana. Mencari kemungkinan-kemungkinan apapun yang telah terjadi semalam. "Apakah seseorang berniat menakutiku?" tanyanya dengan bibir gemetar. Kamarnya terasa dingin sekali, walaupun saat itu ia sudah menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Lalu Isabelle menekuk lututnya hingga menempel ke dadanya. Kedua tangannya melingkari kakinya, sedangkan kepalanya ditundukkan hingga wajahnya tertutupi. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya frustasi pada diri sendiri. Ketakutannya membuat Isabelle tidak bisa berpikir jernih. Bahkan ia merasa otaknya seperti tersumbat sesuatu yang menyebabkan pikirannya menjadi tumpul. Sekarang sudah hampir tengah malam, namun kantuk belum menghampirinya. Sedari tadi Isabelle sudah berusaha untuk mengenyahkan ketakutannya, tapi tidak pernah berhasil. Ia merasa terancam. Semua pikiran-pikiran negatif menyelubunginya. Sore tadi orangtuanya menelepon menyampaikan permintaan maaf karena tidak dapat menghadiri acara kelulusannya. Mereka berharap Isabelle bisa pulang ke rumah karena ada beberapa hal yang ingin mereka sampaikan padanya. Isabelle belum memutuskan kapan ia akan pulang. Tapi melihat keadaan saat ini, sebaiknya ia segera berangkat ke sana agar tidak merasa semakin depresi memikirkan hal-hal negatif yang mengisi benaknya, membuatnya semakin lama semakin kacau. Ia meraih kartu ucapan yang sengaja diletakannya di nakas samping tempat tidurnya. Membacanya lagi dan lagi, seolah ia bisa menemukan jawaban dari selembar kertas kecil itu. Namun bukan jawaban yang diperolehnya, tapi denyutan hebat di kepalanya. "Ahh! Sial! Kenapa jadi seperti ini?" pekiknya kesal sambil melempar kertas itu. Isabelle memutuskan untuk meminum obat sakit kepala yang memiliki efek samping menyebabkan kantuk. Setelah itu tanpa sadar, perlahan matanya terasa berat dan Isabelle tidak terlalu yakin kapan tepatnya ia tertidur. Keesokan harinya, setelah menyiapkan beberapa pakaian untuk dibawanya pulang, Isabelle bergegas untuk segera berangkat. Ia tidak bisa terus-menerus dihantui oleh rasa takut yang masih bersarang dalam benaknya. Perjalanan yang dilaluinya selama hampir lima jam itu agak mengurangi kegelisahan yang mendera Isabelle. Fokus pada jalanan di depannya membuat pikirannya teralihkan sejenak. Isabelle bersyukur untuk itu. Rumah masih sepi saat ia sampai di sana. Namun untungnya ada pengurus rumah yang membukakan pintu untuk Isabelle. Rupanya sekarang orangtuanya mempekerjakan orang lain di rumah mereka. Isabelle menghela napas lelah ketika menaiki tangga ke kamar miliknya. Kamar itu masih sama. Semua barang pribadinya terawat dengan baik. Tidak ada debu yang mengotorinya. Tanpa pikir panjang, Isabelle merebahkan tubuhnya di ranjang. Menghela napas puas ketika merasakan kenyamanan setelah melakukan berjam-jam perjalanan yang melelahkan dari apartemennya yang berada di kota yang berbeda. "Nyaman sekali, hmm," gumamnya dengan mata hampir terpejam. Isabelle terlonjak bangun beberapa jam kemudian ketika terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Dengan nyawa setengah terkumpul ia menyerukan, "Masuk saja, itu tidak dikunci." Wanita paruh baya yang ditemuinya tadi, bernama Mrs. Jacob, muncul dari balik pintu. "Mr. dan Mrs. Collins sudah pulang, Miss. Sekarang mereka sedang mempersiapkan diri untuk makan malam. Saya diminta untuk memanggil anda," ucapnya sopan. "Baiklah, aku akan turun sebentar lagi. Terima kasih," jawab Isabelle dengan agak terburu-buru. Mrs. Jacob keluar setelah itu. Isabelle bergegas untuk membersihkan diri dan segera turun untuk menemui kedua orangtuanya. Saat memasuki ruang makan yang berada di dekat dapur, ia melihat orangtuanya sudah memulai acara makan malam mereka. Ibunya yang pertama kali menyadari kehadirannya. "Duduklah, Belle. Setelah makan malam, ayahmu baru akan berbicara denganmu," kata ibu Isabelle dengan senyum yang terlihat sedikit terpaksa. Ayahnya hanya memandangnya sekilas sebelum melanjutkan makan malamnya. Tidak tersenyum hangat atau bahkan memeluknya seperti yang mungkin dilakukan oleh ayah-ayah yang lain. 'Dingin seperti biasa,' batin Isabelle masam. Ia sudah terlalu terbiasa dengan kejadian seperti itu. Mungkin dulu ia akan merasa sedih, tapi kini ia sudah menjadi kebal dengan perlakuan kedua orangtuanya. Makan malam itu terasa tidak menyenangkan bagi Isabelle. Tidak ada percakapan hangat khas keluarga yang biasa terjadi di meja makan. Hanya dentingan peralatan makan yang terdengar. Isabelle mati-matian menahan ketidaksabarannya. Ingin sekali ia berteriak untuk memeriahkan suasana makan malam itu. Tapi bukannya menjadi akrab, bisa-bisa malah menyebabkan pertengkaran. "Daddy tinggal dulu, Belle. Ada klien penting yang akan menelepon setelah ini. Kau bisa melanjutkan makan malam bersama Mom-mu. Setengah jam lagi kau boleh ke ruanganku," kata ayahnya dengan terburu-buru sebelum menggerakkan kakinya menuju ruangan tempatnya biasa mendekam ketika sedang berada di rumah. Ibunya masih melanjutkan makan tanpa mempedulikan Isabelle. Ia yakin ibunya bahkan tidak sadar kalau makanan di piring Isabelle sudah habis. Beberapa kali Isabelle melihat jam dinding dengan cemas. Ingin segera menyelesaikan urusannya di sini. Saat waktunya telah tiba, Isabelle hampir meloncat meninggalkan tempat duduknya. Lebih baik ke ruangan ayahnya daripada tetap berada di hadapan ibunya yang diam membisu, tidak mengatakan sepatah kata pun padanya sejak tadi. "Apa yang ingin kau katakan padaku, Dad? Apakah itu hal yang sangat penting?" tanya Isabelle langsung pada intinya. Ia tahu ayahnya tidak akan suka jika ia berbasa-basi. Ayahnya mendengus. "Tentu saja hal yang penting. Memangnya ayahmu ini pernah mengatakan hal yang tidak penting?" tanyanya dengan tatapan tajam yang membuat Isabelle bergidik. Ia menggeleng menjawab pertanyaan ayahnya. Ayahnya menghirup napas dalam. "Begini, Daddy rasa kau sudah siap untuk bekerja. Mom-mu juga berpikir seperti itu. Ada salah satu kenalan Daddy yang membutuhkan asisten pribadi di kantornya. Dan aku telah mengajukanmu sebagai kandidatnya." "Apa???" pekiknya dengan tekejut. "Aku baru lulus kuliah kemarin, Dad. Bagaimana bisa bekerja sebagai asisten pribadi?" tanyanya dengan mata terbelalak kaget. "Daddy yakin kau bisa asalkan mau belajar. Ini kesempatan emas untukmu, Belle. Dan pekerjaannya tidak terlalu sulit. Kau ini sudah terlambat lulus lebih dari setahun. Bagaimana kalau tidak ada yang mau mempekerjakanmu?" tanya ayahnya dengan nada tegas. "Tapi Dad.." "Tidak ada tapi-tapian. Kapan kau mau membuat bangga kedua orangtuamu ini? Kenalan Daddy ini orang yang tepat untuk membuatmu belajar bagaimana cara untuk menjadi karyawan yang baik." Nada bicara ayahnya tidak terbantahkan. Isabelle menundukkan kepalanya, menolak bertatapan dengan laki-laki yang disebutnya sebagai ayah itu. "Baiklah," bisiknya lirih, tidak memiliki keinginan lagi untuk membantah. "Bagus. Daddy yakin kau akan setuju dengan keputusan ini," ucap ayahnya dengan nada puas. Isabelle mendongakkan kepalanya, memandang ayahnya dengan wajah muram. "Apakah tempat kerjanya dekat dari sini? Atau mungkin dekat dari tempat tinggalku saat ini?" tanyanya disisipi dengan kecemasan. Ayahnya menggelengkan kepala, membuat bahu Isabelle terkulai kecewa. "Tempatnya memang agak di pinggiran kota. Perusahaan itu bergerak di bidang keamanan untuk kalangan elit. Tapi tenang saja, semuanya sudah tersentuh dengan teknologi modern. Bukankah itu hebat?" tanya ayahnya dengan antusias. Sesuatu yang hanya terjadi jika berkaitan dengan pekerjaan atau hal-hal yang bersangkutan dengan sesuatu yang disukainya. "Oh," jawab Isabelle dengan nada terpaksa. "Apakah tidak masalah jika aku tidak tahu apa-apa tentang bidang itu?" tanyanya pasrah. Kerutan muncul di dahi ayahnya, "Tentu saja semuanya bisa dipelajari. Kau hanya perlu menggunakan pikiranmu untuk itu. Kau tahu itu kan, Belle?" tegasnya, tidak mempedulikan perasaan Isabelle, ataupun berusaha untuk menenangkannya agar merasa lebih baik. "Baiklah. Kapan aku bisa mulai bekerja di sana?" tanyanya Isabelle dengan malas. "Kurasa besok kau bisa langsung ke sana. Aku akan memberitahu mereka tentang kedatanganmu. Kau tinggal terima beres saja." Isabelle menatap ayahnya dengan nanar. Mulutnya sudah hampir mengeluarkan protes, mengatakan bahwa ia baru sampai rumah hari ini. Tapi ia menahannya. Bukan hanya karena ketidaknyamanannya saja, tetapi lebih karena ayahnya tidak akan mendengarkan protesnya. Satu hal yang Isabelle tahu tentang ayahnya yaitu jika ultimatumnya sudah terucap, maka Isabelle tidak akan bisa mengubahnya. Ia hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun lagi. Setelah tidak ada lagi yang akan disampaikan oleh ayahnya padanya, Isabelle keluar dari ruangan ayahnya dengan semangat yang menurun drastis. 'Berharap lah semua akan baik-baik saja Belle,' katanya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD