CHAPTER 2

1204 Words
Isabelle terbangun dengan kepala yang masih terasa berdenyut, bahkan lebih parah dari yang semalam dirasakannya. Matanya mengerjap mengamati keadaan sekitarnya, mencari tahu di manakah ia saat itu. "Ya ampun! Apa yang terjadi semalam? Ini bukan kamarku!" pekiknya setelah sadar bahwa ia terbaring di kasur empuk dalam sebuah kamar mewah yang tidak familiar baginya. Seketika itu juga ia memeriksa kelengkapan pakaiannya untuk memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi padanya semalam. Ia akan membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kehormatannya. Isabelle mendesah lega saat melihat pakaiannya masih utuh. Setelah itu ia melangkah turun dari ranjang, lalu mengamati dengan lebih seksama bagaimana keadaan kamar tempatnya berada. Ia melangkah menuju pintu ganda, kemudian mengarah pada balkon yang memperlihatkan daerah perkotaan yang dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi. Jelas kamar tempatnya berada sekarang bukan di lantai dasar. Dan diketahui berdasarkan banyaknya mobil yang berlalu-lalang di jalanan sekitarnya, sepertinya ini adalah hotel yang berada di tengah-tengah kota. "Siapapun yang membawaku ke sini kuharap bukan orang jahat yang berniat buruk padaku," gumamnya dengan gelisah. Isabelle tidak ingin berperasangka buruk pada situasinya saat ini. 'Mungkin tadi malam ada orang yang berbaik hati menolongku,' batinnya penuh harap. Lalu ketika mengingat temanya, ia terlebalak. "Oh tidak! Pasti Ashley mencariku semalam. Di mana tasku?" ucapnya panik. Dengan terburu-buru, ia melangkahkan kakinya ke penjuru kamar sampai menemukan lemari tempat penyimpanan barang di kamar itu sekaligus sepatunya yang disimpan rapi di dekat pintu masuk kamar. Isabelle mengernyitkan dahi memikirkan siapa yang seperhatian itu menyimpankan barang-barangnya, namun tidak dipikirkannya lebih jauh lagi, karena kepalanya terasa sudah hampir pecah. Tidak butuh waktu lama bagi Isabelle untuk bersiap pulang setelah memeriksa notifikasi ponselnya yang sudah menumpuk. Sesampainya di lobi, Isabelle menghampiri meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang memesan kamar yang ditempatinya, tapi mereka menutup mulut dengan rapat, tidak memberikan informasi apapun selain fakta bahwa semua biaya kamar itu telah dibayarkan. Isabelle pun sudah mencoba untuk membujuk mereka dengan wajah memelas, namun tidak membuahkan hasil apapun. Dengan bahu terkulai, ia memanggil taksi dari depan hotel dan meluncur ke apartemennya yang untungnya tidak jauh dari sana, atau begitulah sepertinya. Ia pernah mendengar hotel ini, namun belum pernah sekalipun masuk ke dalamnya. Dering ponsel menyadarkan Isabelle dari lamunannya. Nama Ashley muncul di layar panggilan itu dan Isabelle mengangkatnya. "Isabelle! Kenapa kau baru mengangkat teleponku? Apakah kau baik-baik saja? Kemana saja kau semalam? Kau masih hidup kan? Lihat saja ya! Aku tak akan memaafkanmu kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu," teriaknya, membuat Isabelle mengernyit dan menjauhkan ponsel dari telinganya. Setelah dirasa cukup aman, Isabelle menjawab pertanyaan Ashley. "Aku baik-baik saja, Ash. Maaf telah membuatmu khawatir. Semalam setelah Lisa pergi aku merasa tidak enak badan dan memutuskan untuk pulang lebih awal," dustanya dengan sedikit membengkokkan kebenaran. Bukannya ia tidak ingin jujur pada Ashley, tapi keadaan akan semakin rumit jika ia menceritakan kisahnya semalam. Isabelle sendiri tidak mengingat apapun setelah sakit kepala yang menderanya tadi malam, walaupun samar-samar ia mengingat tangan kokoh itu. Namun, ia tidak yakin itu tangan siapa, bisa jadi pelayan klub atau penjaga di sana. Kemungkinan itu tidak bisa diprediksi olehnya. "Belle.., Isabelle! Kau masih di sana kan?" tanya Ashley yang seketika membuat Isabelle tersentak dari renungannya. Entah berapa kali temannya itu memanggilnya, Isabelle tidak yakin, yang pasti sekarang Ashley terdengar sedikit tidak sabar menanti dirinya menjawab pertanyaan itu. "Sekarang aku sudah baik-baik saja, Ash. Kau tenang saja, oke? Kau tahu sendiri bahwa tidur adalah obat yang ampuh," jawabnya dengan kekehan, walaupun sebenarnya sakit kepalanya masih terasa saat ini, tapi untungnya tidak terlalu parah. "Syukurlah. Semalam Lisa juga mengirimiku pesan kalau dia meninggalkanmu sendirian, dan saat aku mencarimu, kau menghilang tanpa jejak. Bayangkan betapa paniknya aku, Belle," cerocos temannya itu tanpa jeda. Isabelle merasa bersalah telah membuat Ashley kelimpungan mencarinya, tapi ia sendiri tidak menyangka akan mengalami kejadian seperti kemarin. "Aku benar-benar minta maaf, Ash. Kukira kau masih ingin bersenang-senang semalam, dan tentu saja aku tidak ingin mengganggumu," dustanya sekali lagi. Ashley menghela napas. "Sudahlah, yang terpenting kau baik-baik saja sekarang. Aku sendiri harus segera kembali ke rutinitas pekerjaanku yang membosankan. Jadi kemungkinan kita tidak bisa bertemu dalam waktu dekat ini Belle," jelas Ashley dengan nada agak lesu. Isabelle mengangguk maklum, namun ketika ia sadar Ashley tidak bisa mendengarnya, ia berkata, "Aku mengerti, Ash. Kau tidak perlu mencemaskan aku. Aku sangat berterima kasih karena kalian menyempatkan hadir di hari kelulusanku kemarin," ucapnya dengan sungguh-sungguh. "Hmm, baiklah. Karena aku sudah yakin kau akan baik-baik saja, aku akan sudahi dulu ya. Take care, Belle," ucap Ashley. "You too, Ash. Bye." Tanpa terasa, perjalanannya menuju apartemen pun selesai. Isabelle bergegas menuju tempat tinggal yang disewanya sejak memulai kuliahnya. Apartemen itu kecil namun bersih. Hanya ada dua kamar di sana, tapi salah satu kamar itu telah ia ubah menjadi ruang bacanya. Jadi hanya ada satu kamar lagi yang tersisa. "Ya ampun. Ini masih pagi tapi aku sudah merasa sangat kelelahan," keluhnya setelah menjatuhkan diri di atas sofa ruang tamunya. Isabelle merebahkan punggungnya yang terasa remuk ke sandaran sofa dengan kepala ditengadahkan. Tangannya memijat pelan pangkal hidungnya untuk melemaskan otot-otot matanya yang masih terasa berat sejak bangun pagi tadi. Isabelle menghembuskan napas berat. Ia kelelahan karena acara kelulusannya kemarin dan hari-hari sebelumnya yang dipenuhi dengan jadwal latihan untuk acara inti. "Untunglah semuanya sudah selesai. Setidaknya hari ini aku bisa istirahat dengan tenang," gumamnya pelan pada diri sendiri. Ia mencoba mengingat-ingat lagi kejadian semalam, tapi hanya sia-sia. 'Ah, mungkin aku pingsan karena kelelahan saja. Atau... apakah ada seseorang yang menaruh sesuatu di minumanku? Tapi untuk apa?' batinnya bertanya-tanya. "Jangan-jangan ada yang berniat mencuri barangku?" ucapnya dengan nada panik. Dan tanpa pikir panjang lagi, Isabelle menggeledah tasnya dengan menuang seluruh isinya. Pagi tadi, bahkan tidak terpikir olehnya untuk memeriksa isi tas saat mengambil ponsel. Isabelle mengingat-ingat bawaannya kemarin, namun semua masih tetap utuh. Dahinya mengernyit saat menemukan sebuah kartu ucapan di dalam dompetnya. Congratulation, Isabelle. Always remember that you're mine, Love. I'll get you back in my arms sooner or later. Sincerely, Yours Isabelle terbelalak membaca kartu ucapan itu. Otaknya berpikir keras untuk mencari siapa penulisnya. 'Apakah ini keisengan Ashley atau Lisa?' batinnya gelisah. 'Tidak, tidak. Itu tidak mungkin. Aku mengenal tulisan mereka. Atau apa mungkin ini dari salah satu kenalanku yang ingin mengisengiku?' lanjutnya dengan perasaan berkecamuk. "Ah, kenapa jadi rumit begini sih? Perasaan hidupku kemarin masih damai-damai saja. Huh." Ia menghela napas kasar dan menutup erat kedua matanya seolah dapat menghalau semua kekacauan ini. "Lebih baik aku tidak memikirkan ini lagi. Bisa-bisa aku jadi gila," ucapnya, berusaha acuh tak acuh, memilih untuk tidak terlalu mempedulikannya. Lebih baik berpikir bahwa itu hanya keisengan seseorang saja. "Sepertinya berendam air hangat akan menyegarkan pikiranku," kata Isabelle setelah berhasil untuk mendapatkan sedikit ketenangan dalam dirinya. Ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Setelah menyiapkan air dengan temperatur yang sesuai, Isabelle melepaskan bajunya satu persatu. Dan alangkah kagetnya ia dengan apa yang dilihatnya di cermin yang berukuran setinggi badannya. "Astaga!" pekiknya dengan mata terbelalak. Dengan reflek, Isabelle menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya. Pandangannya tidak bisa beralih dari pantulan dirinya sendiri di cermin setinggi badan yang menempel di dinding. "Ya ampun! Apa? Siapa?" tanyanya dengan nada terputus-putus melihat bercak-bercak kemerahan yang hampir memenuhi permukaan kulitnya, bahkan di bagian paling tersembunyi sekalipun. "Apakah itu kissmark?" bisiknya pelan sambil mengamati tubuhnya dengan lebih detail lagi. Berharap apa yang diduganya tidak benar-benar terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD