Khitbah

2345 Words
Pagi yang tak biasa untuk Azifa, jika biasanya ia memulai Minggu pagi dengan begitu ceria. Tapi kini rasa gugup yang menghantuinya. Bagaimana tidak, nanti malam Azril laki-laki yang baru ia temui beberapa hari yang lalu akan datang untuk melamarnya. Tentu hal itu membuat Azifa gugup bukan main. Bahkan saking gugupnya, ia masih enggan untuk beranjak dari kasur. Gadis itu masih membenamkan wajahnya pada bantal dengan sprei pink itu. "Azifa, putri bunda tumben nggak keluar-keluar," teriak bunda dari dapur. "Anak gadis pagi-pagi harusnya bantuin bundanya masak," sambung Kak Ariq yang juga berteriak. Azifa memilih untuk pura-pura tidak mendengar, ia semakin memperbaiki posisinya senyaman mungkin. Sementara suara bunda dan Kak Ariq masih mengaung-ngaung di telinganya. "Yaudah iya Azifa turun," ujar Azifa bangkit dari posisi nyamannya. Azifa menuruni anak tangga begitu malas, pikirannya melayang kemana-mana. Apalagi nanti malam ia harus menerima kenyataan dan memberikan jawaban terbaik atas lamaran Azril. Entahlah, padahal selama beberapa hari berturut-turut, Azifa sudah melakukan shalat istikharah, dan hasilnya selalu menunjukkan hal yang sama. Tapi lagi-lagi hari ini pikirannya dibuat ragu. Apa jangan-jangan ini ulah syaitan yang ingin menghasut Azifa? "Mukanya lusuh amat dek, harusnya bahagia dong nanti malam di khitbah. Ciee," goda Kak Ariq pada adiknya. "Kak Ariq diem atau Azifa yang pergi," balas Azifa kesal. "Sensi amat," lirih Kak Ariq. "Apa kakak bilang?" Azifa hendak melayangkan baskom pada wajah kakaknya. Kak Ariq geleng-geleng kepala sambil cengar-cengir tidak jelas. "Pergi ah, galak bener." Kak Ariq beranjak menuju taman belakang. "Bunda, Kak Ariq ngeselin." Tanpa sadar air mata Azifa mengalir begitu saja. "Kayaknya kakak kamu selalu begitu," ujar bunda tanpa menoleh pada putrinya. Hiks..hiks..hiks.. "Loh, sayang. Kamu nangis nak?" Bunda yang mendengar suara tangis putrinya reflek berbalik dan meninggalkan masakannya. Bunda Aisyah memeluk Azifa, walaupun ia tidak tahu alasan mengapa putrinya menangis, tapi itulah yang selalu dilakukan bunda jika anak-anaknya sedang menangis. Peluk dan mengusap punggungnya adalah cara ampuh bunda menenangkan. Jika begini, bunda pasti tak akan banyak bicara, apalagi mencecoki Azifa dengan segala pertanyaan. Bunda lebih memilih diam untuk memberikan ruang bagi Azifa untuk meluapkan emosinya. Karena rasanya percuma, bertanya banyak hal pun belum tentu mendapat respon yang baik putrinya. Untuk saat ini, Azifa hanya perlu waktu sampai ia mengungkapkan apa yang membuatnya menangis. Yang jelas bunda yakin ini tidak sepenuhnya karena ulah anak pertamanya tadi. Pasalnya Kak Ariq biasanya selalu begitu pada adik-adiknya, begitupun sebaliknya. "Duduk ya, minum dulu biar lebih tenang." Bunda menyodorkan segelas teh hangat pada Azifa. Perlahan gadis itu meminum teh buatan bundanya, dan benar saja seketika tenggorokannya menjadi hangat. Emosinya perlahan mereda. Azifa menghapus air matanya, kemudian ia terkekeh hingga membuat bunda bingung. "Maaf bun, Azifa cengeng," ujar Azifa terkekeh, sembari ia menghapus sisa air matanya. "Loh, kok ketawa sih nak. Lucu banget anak bunda," bunda ikut terkekeh dan membawa Azifa kembali dalam dekapannya. "Azifa kenapa, apa ini ada hubungannya dengan khitbah Azril? Azifa mau cerita sama bunda nggak?" Hal yang selalu membuat Azifa kagum pada bundanya. Bunda Aisyah adalah tipe bunda yang sangat Azifa syukuri keberadaannya. Dia selalu mampu membuat Azifa tenang dalam menghadapi masalah, terlebih bunda tidak pernah memaksa anak-anaknya harus menceritakan semua masalah padanya. Biasanya bunda akan menanyakan terlebih dahulu, jika anak-anaknya mau bercerita, pasti bunda dengan antusias mendengarkan dan memberikan nasehat terbaik nantinya. Azifa mengangguk ragu, biar bagaimanapun ia takut membuat orang tuanya kecewa dengan keraguannya yang tiba-tiba datang dihari dimana Azril akan datang untuk mengkhitbahnya. Tapi Azifa rasa ini bukan hal yang sepele, ia harus meminta solusi pada bundanya mengenai hal ini. "Bun, kenapa Azifa jadi ragu," Azifa menunduk sembari memainkan ujung khimarnya. "Ragu?" Bunda memastikan kembali. "Untuk jawaban atas khitbah Kak Azril nanti," jawab Azifa jujur. Walaupun menunduk, Azifa bisa melihat raut wajah bundanya yang tampak kaget sekaligus sedikit kecewa dengan kejujurannya. "Apa yang membuat kamu ragu nak?" tanya bunda sambil menggenggam tangan Azifa. "Nggak tau bunda, tiba-tiba keraguan itu seakan mendominasi," jawab Azifa jujur. "Nak, sepertinya itu ada campur tangan syaitan. Syaitan pasti nggak mau ada anak manusia yang menempuh jalan pernikahan sesuai dengan syariat Allah." "Azifa juga berpikir seperti itu bun. Soalnya Azifa memang nggak ngerasa keraguan itu datang dari diri Kak Azril. Terus Azifa harus gimana bun?" "Sebaiknya kamu sholat hajat dulu, minta pertolongan supaya Allah memudahkan langkah kamu dan Azril untuk menapaki jalan menuju pernikahan dengan cara yang halal," ujar bunda tersenyum penuh ketenangan. "Mau nggak mau keluarga Azril nanti malam pasti datang nak. Ayah dan bunda juga nggak mungkin mengulur-ulur waktu lagi." "Tapi sekali lagi, ayah dan bunda tidak bisa berbuat banyak. Biar bagaimanapun jawaban atas pinangan Azril nanti ada di tangan kamu. Ayah dan bunda percaya, Azifa sudah cukup dewasa dan tau mana yang terbaik untuk masa depan Azifa," bunda tersenyum kemudian memeluk putrinya. "Iya bunda, terimakasih. Azifa bersyukur punya bunda sebijak Bunda Aisyah. Setelah ini Azifa bener-bener akan meminta petunjuk dari Allah. Azifa sayang bunda." "Ekhm, ayah kok nggak diajak berpelukan sih," celetuk ayah yang kebetulan lewat. "Ayah mau, sini," ujar Azifa sambil merentangkan tangannya. "Eh tunggu, masakan bunda gosong." Baru saja ayah akan bergabung, tiba-tiba bunda beranjak menghampiri masakannya yang hampir gosong. Seketika Azifa dan ayah tertawa cekikikan, jika benar gosong, sepertinya mood bunda untuk memasak lagi sudah tidak ada. **** Siang harinya, keluarga Azifa sudah siap untuk pergi. Rencananya mereka akan berbelanja untuk kebutuhan yang akan digunakan untuk acara nanti malam. Memang terkesan mendadak jika baru berbelanja siang ini, tapi tak apa daripada tidak sama sekali. Lagipula mereka hanya berbelanja untuk kebutuhan diluar yang inti saja. Untuk kebutuhan seperti bahan masakan sudah siap sejak kemarin. Bahkan di rumah sudah ada beberapa sanak saudara yang mulai menyiapkan masakannya. Seperti biasa, kondisi di dalam mobil akan seperti kapal pecah jika Azhar turut ikut. Bocah lima tahun itu akan selalu membawa mainan kesayangannya kemanapun di pergi. Apalagi jika membawa mobil, tentu akan lebih banyak mobil-mobilan yang Azhar bawa. Tetapi untungnya sekarang ada Kak Ariq, jadi beban Azifa sedikit berkurang untuk menjaga Azhar yang kelewat aktif. Lima belas menit kemudian mereka sampai di mall, setelah memarkirkan mobil, mereka masuk dan langsung menuju supermarket. Bunda dan ayah berjalan beriringan di depan, mereka sudah seperti pengantin baru yang sedang asyik-asyiknya pacaran. Sementara Azifa dan Kak Ariq sudah seperti pasangan baru yang kerempongan menjaga anaknya. Lihat saja, Azhar yang sudah digenggam kuat oleh kakak-kakaknya bisa saja lepas dan berlari masuk toko mainan. "Azhar, mainan kamu itu sudah segunung. Masa mau beli lagi sih, yang ada nanti gunungnya erupsi dek," gerutu Azifa sembarangan sembari menarik adiknya keluar. "Kak Ariq, gendong nih adiknya," kesal Azifa. "Azhar imut, gendong kuda yuk. Kita kejar ayah dan bunda disa-" Ucapan Kak Ariq terhenti saat kedua orangtuanya hilang dari pandangannya. "Loh ayah sama bunda mana?" "Kita ditinggal, Azhar sih kelamaan," gerutu Azifa, sementara Azhar malah cekikikan tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Yang sabar ya mas, mbak. Anak seusia dia memang sedang aktif-aktifnya, apalagi masih anak pertama, jadi kewalahan," ujar salah satu penjaga toko mainan yang sepertinya dari tadi memperhatikan. Azifa dan Kak Ariq tak kuat menahan tawa. Bisa-bisanya mereka dikira pasangan suami istri, padahal nyatanya mereka adalah kakak adik. Dan anak kecil ini adalah adik mereka yang paling bontot. "Iya mbak, kalau gitu kita permisi," ujar keduanya terkekeh dan meninggalkan tempat ini. Brak. "Azhar," Azifa dan Kak Ariq frustasi. Kali ini Azhar membuat ulah dengan menabrak seorang ibu-ibu hingga barangnya berserakan. "Aduh bu, maafin adik saya." Azifa membantu membereskan barang-barang ibu tadi. "Loh, Ummi Fatimah?" "Ariq?" Azifa mendongak, sepertinya kakaknya sudah kenal dengan ibu berhijab yang kira-kira usianya sama seperti bunda. "Abi Ahmad," sapa Kak Ariq lagi sambil mencium punggung tangan laki-laki itu. Seketika Azifa refleks melakukan hal yang sama, mencium tangan seseorang yang disapa Ummi Fatimah oleh kakaknya. "Ini adik kamu Riq, Azifa ya?" tanya Ummi Fatimah. "Iya, ini Azifa adik saya. Dan anak kecil ini juga adik saya. Maaf ya ummi, Azhar memang kelewatan aktif." "Iya gapapa, namanya juga anak kecil." Azifa dibuat bingung saat Kak Ariq berkali-kali menyenggol lengan Azifa sambil senyum-senyum, seperti mengisyaratkan sesuatu, tapi sayangnya Azifa tak kunjung paham. "Yasudah, Ummi sama Abi permisi dulu ya. Sampai bertemu nanti malam," pamit mereka sambil tersenyum ke arah Azifa. Nanti malam? Ada apa ya? Azifa benar-benar dibuat bingung, sebenarnya mereka siapa. "Dek, tau nggak mereka siapa?" tanya Kak Ariq saat Abi Ahmad dan Ummi Fatimah beranjak. Nadhira menggeleng sambil menyuapi Azhar es krim. "Kak, mau bunda," rengek Azhar. "Emang siapa kak?" tanya Azifa penasaran, tanpa merespon Azhar yang merengek. "Calon mertua kamu," jawab Kak Ariq. "Apa?" Sontak es krim yang berada di tangan Azifa luruh begitu saja hingga mengenai celana Azhar. Saking kagetnya bahkan Azifa tak menyadari adiknya yang sudah merengek karena celananya basah dan lengket. "Kak, demi apa? Kenapa kakak nggak bilang dari tadi?" "Kakak udah ngasih kode, kamunya aja yang nggak paham." "Hwaaaa, Kak Zipa jahat," tangis Azhar kencang. "Astaghfirullah," seketika Azifa dan Kak Ariq sadar bahwa celana adiknya penuh dengan es krim. "Aduh, maafin kakak ya dek. Kakak nggak sengaja, Kak Ariq sih," Azifa malah menyalahkan kakaknya. "Ih kok kakak, ya kamu lah. Sana bawa Azhar ke kamar mandi, kasihan dia lengket." "Terus celananya?" "Kakak yang beliin, nanti kakak susul kalian ke kamar mandi." Keduanya segera beranjak, Azifa membawa Azhar ke kamar mandi. Sementara Kak Ariq menuju toko pakaian anak. **** Jarum jam tak hentinya berputar, menit dan detik pun ikut berganti. Sholat isya' sudah selesai di laksanakan secara berjamaah. Sebentar lagi jarum jam akan menunjukkan angka 7. Azifa sedang bersiap di dalam kamar dibantu oleh Arini dan Icha, mereka berdua adalah sahabat Azifa sejak di pesantren dulu. Jika sudah bersama dengan sahabat, jelas ada kehebohan di tengah-tengah mereka. Namun tak apa, justru itulah yang bisa menetralisir rasa gugup yang sudah menjalar ke seluruh tubuh Azifa. Arini sibuk memolesi wajah Azifa yang bahkan sudah cantik itu menggunakan polesan natural. Hanya bedak dan sedikit blush on serta lipbalm agar terlihat lebih segar. Lagipula ini hanya acara khitbah, pun jika acara pernikahan nanti, jelas tampilan Azifa tidak akan jauh dari yang sekarang. Intinya tidak berlebih-lebihan, senatural mungkin, karena begitulah syariat mengatur. "MasyaAllah, sahabatku cantik banget," puji Arini setelah selesai memolesi lipbalm. "Foto yuk," Icha sudah menyiapkan kamera handphonenya. Sahabat Azifa yang satu ini memang gemarnya berselfie ria. "Rin, Cha, aku deg-degan banget sih," Azifa mengepalkan kedua tangannya yang sudah dingin karena gugup. "Bismillah ya Zif, aku yakin kamu bisa." Arini dan Icha memeluk sahabatnya. Saat mereka sedang asyik saling menguatkan, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil di bawah. Seketika itu Azifa mulai merasa deg-degan, karena sebentar lagi ia akan memberikan jawaban atas khitbah Azril di depan dua keluarga. Tepat saat itu juga bunda mengetuk pintu kamar agar Azifa segera turun. Setelah mengatur napas sebaik mungkin, dan dirasa sudah cukup baik untuk berjalan. Akhirnya Azifa turun bersama bunda dan kedua sahabatnya. Azifa, gadis itu tampak cantik malam ini dengan balutan gamis dan pashmina berwarna putih senada ditambah senyum malu-malunya membuat ia terlihat lebih anggun dan kalem. Azifa duduk di sebelah bundanya. Ia melihat sekilas Azril di seberang sana. Namun ia tak berani melihatnya lama-lama, ia segera menundukkan pandangannya sembari memainkan jarinya karena gugup. Sementara Azril di seberang sana masih menundukkan pandangannya. Ia tahu Azifa sudah ada di depannya. Namun ia masih tak berani mengangkat kepalanya, khawatir nafsunya akan berlebihan dan terus ingin memandang Azifa. Tapi biar bagaimanapun, dalam proses khitbah pihak lelaki harus melihat pihak perempuan. Maka dengan mengucap bismillah Azril mengangkat kepalanya, tapi masih dengan setengah menunduk. Pacu jantungnya benar-benar sudah tidak normal saat ia melihat Azifa dengan penampilannya yang tampak cantik dan anggun. "MasyaAllah," batin Azril ketika ia melihat Azifa. Ayah mulai membuka acara, berharap acara khitbah malam ini berjalan lancar. Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian tujuan kehadiran dari ayah Azril. Dan akhirnya sampai pada acara inti yaitu proses khitbah. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu," Azril mulai membuka dengan salam. "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu," balas semua yang hadir malam ini. "Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluh. Saya, Azril Al-Ghifari dengan niat karena Allah dan kemantapan hati bermaksud untuk meminang Azifa Azkayra Nabila, putri Bapak Azman" "Kami sebagai orang tua dari Azifa sepenuhnya menyerahkan jawaban yang terbaik untuk pinangan ananda Azril kepada putri saya. Silahkan berikan jawaban kamu nak," ucap ayah. Azifa benar-benar gugup saat ayah menyebut namanya. Tampak Azifa yang berusaha menenangkan diri, salah satunya dengan menarik napasnya kuat-kuat. Sebelum benar-benar menjawab, Azifa menoleh kanan dan kirinya. Ia melihat jelas senyum kehangatan dari orang tua juga sahabat-sahabatnya, dengan begitu Azifa benar-benar merasa tenang dan mantap untuk memberikan jawaban terbaiknya. Jawaban yang ia yakini sudah melibatkan Allah, bukan hanya berpaku pada nafsunya belaka. "Bismillahirrahmanirrahim, saya Azifa Azkayra Nabila dengan kemantapan hati dan karena Allah bersedia menerima pinangan Kak Azril Al-Ghifari," jawab Azifa dengan penuh keyakinan. Setelah mendengar jawaban dari Azifa, Azril tampak bernapas lega. Senyumnya mengembang sembari menoleh kanan dan kirinya. Jelas sekali raut kebahagiaan laki-laki itu. Sejak saat itulah senyuman Azril tak kunjung pudar. Begitupun dengan orang tua dari keduanya, juga keluarga mereka tampak lega, akhirnya acara khitbah malam ini berjalan dengan lancar. Setelah selesai acara khitbah, dilanjutkan dengan perbincangan tentang persiapan pernikahan. Utamanya kapan waktunya, juga mahar yang harus diberikan oleh Azril nanti, dan segala sesuatu yang dibutuhkan nantinya. "Alhamdulillah, akhirnya lancar ya nak. Semoga dipermudah sampai akhir," ayah dan bunda menggenggam tangan Azifa lega. "Iya ayah, bunda. Azifa juga lega banget. Aamiin." "Ciee, adik kesayangan kakak udah mau jadi istri," goda Kak Ariq. "Kak, ini ada apa kok rame sih," tanya Azhar dengan polosnya. "Eh, itu calon kakak ipar kamu dek." Kak Ariq menunjuk Azril di depan sana. "Ih, kakak mah. Azhar mana ngerti kak." Azifa menyenggol lengan kakaknya. "Yee, calon kakak ipall," seru Azhar tiba-tiba beranjak menghampiri Azril. Seketika semua yang ada di ruangan tertawa, terlebih Kak Ariq. Sementara Azifa menunduk malu, Azhar selalu membuat ulah walaupun sebenarnya ulahnya lucu. "Emang kakak ipar apa dek?" tanya Azril pada Azhar yang kini ada di pangkuannya. "Kak Ariq, kakak ipall apa kak," teriak Azhar bertanya balik pada kakaknya. "Intinya Kak Azril itu kakak kamu," jawab Kak Ariq terkekeh. "Kak Azil kakak aku?" "Iya, mulai sekarang Kak Azril jadi kakaknya Azhar." Acara khitbah malam ini di tutup dengan makan bersama. Tak lupa sebagai pemanis ada dessert buatan Azifa. Setelah semuanya selesai, keluarga Azril mulai beranjak untuk pulang. Keputusannya terakhirnya, pernikahan Azril dan Azifa akan dilaksanakan tiga Minggu lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD