Pertemuan Pertama

2277 Words
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Azifa dan keluarganya. Tepat di hari ini Kak Ariq, kakak pertama Azifa akan pulang ke rumah setelah setahun bertugas ke Bandung. Semenjak Kak Ariq resmi menjadi prajurit TNI, sejak itu pula ia harus meninggalkan keluarganya untuk memenuhi tugasnya sebagai abdi negara. Kebetulan Kak Ariq ditempatkan di Bandung. Sejak semalam, Azifa dan Azhar sudah heboh dan tak sabar ingin segera berganti waktu. Tentunya agar bisa segera bertemu dengan kakaknya, apalagi Kak Ariq pasti membawakan oleh-oleh untuk mereka. Bahkan semalam saking bersemangatnya mereka sampai ketiduran di ruang keluarga sampai pagi. "Anak-anak bunda, ayo bangun. Tahajjud, tahajjud, ayah sudah menunggu loh." "Azifa, ayo nak." Bunda menepuk-nepuk pundak putrinya. "Udah pagi ya bun, Kak Ariq mana?" "Astaghfirullah, ini masih dini hari. Ayo cepetan ke kamar mandi." "I-iya bun." Dengan langkah lunglai khas bangun tidur, Azifa berjalan menuju kamar mandi, tapi untungnya ia sampai dengan selamat, tanpa adegan tertabrak tembok. Keluarga Azifa memang sudah biasa merutinkan sholat tahajjud bersama. Tapi seringkali Azhar tak ikut, ayah dan bunda tidak mempermasalahkan, lagipula Azhar masih sangat kecil. Tetapi terkadang bocah itu ikut sholat jika tidak sengaja terbangun. Rutinitas ini berlanjut sampai adzan subuh, setelah itu mereka sholat berjamaah shubuh kemudian dilanjutkan dengan tilawah Al-Qur'an dan dzikir pagi. Begitulah kira-kira rangkain ibadah pagi keluarga Azifa. Jam 06.00 Am "Azifa," teriak bunda dari lantai bawah. "Iya bunda sayang." Azifa bergerak cepat turun tangga. "Telpon kakak, tanyain sudah sampai mana ya, dan tanyain juga mau disiapin apa di rumah. Soalnya setelah ini bunda ke pasar sama ayah," titah bunda. "Apalagi kalau bukan capjay bun, Kak Ariq pasti kangen makan capjay hasil kolaborasi kita," ujar Nadhira terkekeh. "Iya, bunda memang sudah buatkan capjay. Tapi takutnya Kak Ariq ada pengen sesuatu yang lain juga." "Yaudah kalau gitu Azifa telpon Kak Ariq dulu ya. Bunda semangat masaknya, nanti Azifa nyusul." Azifa sudah sampai di kamar, netranya menelusuri semua sudut ruangan dominan putih ini. Hingga netranya berhasil menangkap benda pipih yang sudah hampir jatuh dari kasurnya. Azifa mengelus dadanya karena datang di waktu yang tepat, jika tidak handphonenya pasti sudah tak berdaya. Calling Prajurit TNI.. "Assalamualaikum, dengan komando distrik milit-" Kak Ariq membuka telpon dengan guyonannya. "Waalaikumussalam, maaf salah sambung," jawab Azifa terkekeh. "Ada apa adek?" "Kakak sudah sampe mana?" "Masih di bandara Bandung, memangnya kenapa?" "Bunda suruh tanya, terus bunda juga tanya kakak mau disiapin apa dirumah?" "Nggak muluk-muluk kok, cukup sediakan jodoh," Kak Ariq terkekeh. "Bunda pasti pusing kalau gini ceritanya," Azifa ikut terkekeh. "Kakak nggak mau apa-apa kok, cukup ngelihat kalian bahagia dan sehat aja kakak sudah seneng." "Aaaa, terharu. Oh iya kak, aku jemput Kak Ariq di bandara ya." "Nggak usah, insyaAllah kakak masih hafal jalan pulang." "Ih ngeselin, yaudah Zipa bantuin bunda masak. Eh tapi sebentar kak, aku mau di beliin roti boy." "Udah kepikiran sejak sebulan yang lalu sih. Jadi walaupun kamu nggak ngomong, kakak pasti akan beliinnya." "Aaa,. terimakasih kakak," Azifa kegirangan, akhirnya ia bisa makan roti boy favoritnya. "Yaudah, temenin bunda masak ya. Kakak udah mau boarding nih." "Siap kakak. See you." "See you too. Assalamualaikum." "Waalaikumussalam." Panggilan terputus. Azifa meletakkan handphonenya kembali, kemudian ia beranjak menuju dapur untuk memberitahu sekaligus membantu bunda memasak. Sebelum itu ia memberikan kabar kepada Azhar bahwa kakaknya akan segera pulang. Bocah lima tahun itu akhirnya kegirangan. "Gimana nak?" "Kak Ariq nggak mau apa-apa katanya bun. Katanya ngelihat kita sehat dan bahagia aja dia sudah seneng," jawab Nadhira. "Bisa aja kakak kamu," bunda terkekeh. "Tau tuh bun. Eh, tapi aku kepikiran pengen buat." Azifa meletakkan tangan di dahinya. "Dessert," ujarnya sambil mengacungkan jempol. "Wah, enak tuh. Yaudah Zifa mending langsung buat dessertnya aja. Biar bunda yang lanjutin ini." "Nggak papa bun?" "Ngga papa, biar ayah yang bantuin bunda," timpal ayah terkekeh. "Iya, bantuin ngerecokin," balas bunda. "Liatlah nak, bunda kamu selalu gitu sama ayah," adu ayah pada Azifa. "Udah, udah, kayaknya bunda bener. Mending ayah temenin Azhar di atas, kasihan dia sendirian," Azifa terkekeh. "Okay," ujar ayah meninggalkan dapur. Nadhira mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat dessert. Kali ini ia akan membuat dessert oreo, karena kebetulan di kulkas ia melihat banyak oreo. Daripada hanya dianggurin, lebih baik ia buat sesuatu, yaitu dessert box oreo. Pertama-tama Azifa menghancurkan oreo yang dicampur butter dengan blander. Kemudian ia memasak whipp cream dan s**u UHT. Bersamaan dengan itu Azifa juga melelehkan coklat. Semuanya terasa begitu mudah, karena Azifa sudah terbiasa dan tidak asing dengan bahan-bahan dan perlengkapan dapur ini. Sudah saatnya penyusunan dalam box. Azifa sengaja memilih box yang kecil-kecil, karena ia rasa itu cocok untuk sekali makan, tapi ia juga membuat di 3 buah box besar untuk dimakan lain waktu. Di layer yang pertama, Azifa memasukkan oreo yang sudah dihancurkan dengan butter. Layer yang kedua ia timpa dengan orea yang dihancurkan kasar. Setelahnya ditimpa dengan whipp cream. Terakhir ditimpa dengan coklat kemudian diberikan oreo utuh sebagai pemanis. Begitulah kira-kira jadinya semua dessert box yang Azifa buat. Setelah itu ia masukkan ke dalam kulkas agar nanti lebih enak dinikmati. **** 10.30 Am Saat sedang asyik menonton video di yotube, tiba-tiba Azifa mendengar suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Buru-buru perempuan itu memastikan dari jendela kamarnya. Ternyata benar, mobil alphard hitam baru saja berhenti. Awalnya Azifa berpikir itu Kak Ariq, tapi setelah ia melihat mobilnya kembali ragu. Pasalnya Kak Ariq memang belum punya mobil. Tiba-tiba Azifa berpikir mungkin Kak Ariq bersama temannya, akhirnya ia buru-buru turun. Baru saja membuka pintu, Azifa melihat pemandangan laki-laki berseragam hijau loreng keluar dari mobil. Tanpa berpikir panjang, ia berlali dan menghambur ke dalam pelukan kakaknya. Jujur saja, Azifa sudah sangat merindukan Kak Ariq yang selama setahun terakhir hanya bisa dilihat menggunakan layar handphone. "Akhirnya kakak pulang. Zifaa kangen tau." "Eh tapi mana oleh-olehnya?" "Astaghfirullah Zifaa, kakaknya pulang bukan ditanya kabar atau apa. Malah langsung minta oleh-oleh." "Oh ya, Kak Ariq apa kabar? Sehat kan?" Ujar Azifa basa-basi. "Tau ah." Azifa merenggangkan pelukannya, ia memastikan kondisi fisik Kak Ariq dalam keadaan baik-baik saja. Kemudian ia mencium punggung tangan kakaknya. Tidak ada perubahan pada Kak Ariq, hanya saja rambutnya jauh lebih rapi. Dan parfum yang dipakai tidak sama seperti biasanya. "Oleh-olehnya masih di dalem. Kakak ambil dulu ya," ujar Kak Ariq hendak membuka pintu. "Biar gue aja bang," ujar seseorang dari dalam. Azifa terperanjat kaget, ternyata di mobil itu masih ada orang lain. Ia memundurkan dirinya tiga langkah ke belakang. "Ini bang." Azifa melihat sekilas seseorang yang baru turun dari mobil. Tampak seorang laki-laki dengan seragam pilot lengkap dengan topinya membawakan koper dan beberapa barang bawaan Kak Ariq. Buru-buru Azifa bersembunyi di balik Kak Ariq. Saat hendak beranjak, ia tak sengaja mendongak. Alhasil tatapan mereka sempat bertemu dalam beberapa detik, parahnya laki-laki itu terlihat menyunggingkan senyumnya. Azifa benar-benar malu saat ini, hatinya juga dag-dig-dug. Setelah itu Azifa buru-buru masuk tanpa pamit pada kakaknya. Sebenarnya Nadhira masih gugup. Tapi ia mencoba menetralisir semuanya. Jika tidak, ayah dan bundanya akan berpikir yang tidak-tidak. "Ayah, bunda, Kak Ariq datang," teriak Azifa, namun di dapur tidak ada siapapun. Tapi beberapa saat kemudian ia mendengar suara obrolan ayah dan bundanya di luar. Jika begitu bisa dipastikan mereka tadi keluar lewat garasi. Sembari menunggu mereka masuk, Azifa mulai menyiapkan alat-alat makan, seperti piring, sendok, dan gelas. Saat hendak menyiapkan piring, tiba-tiba Azifa terpikir. "Laki-laki yang tadi disiapin juga nggak ya? Ah nggak usah deh, semoga aja dia langsung pulang," harap Azifa. Setelah semua perlengkapan disiapkan, tiba-tiba Azifa mendengar suara laki-laki tadi semakin mendekat. Akhirnya buru-buru ia menambah masing-masing satu untuk perlengkapan makan. Karena bisa dipastikan ayah dan bunda juga akan mengajaknya makan. Dan benar saja, dalam hitungan detik, mereka sudah ada di depan mata Azifa. "Azril, ayo kita makan sama-sama. Kebetulan bunda tadi masaknya banyak, ada dessert buatan Azifa juga yang harus kamu cobain, dijamin nagih," ucap bunda membuat Azifa malu. "Oh ternyata namanya Azril," batin Azifa. "Udah, ga usah sungkan bro, anggep aja rumah sendiri,"timpal Kak Ariq saat melihat tingkah Azril yang tampak sungkan. "Ih, anggep rumah sendiri gimana," gerutu Azifa dalam hati. "Yaudah tante, kayaknya emang nggak bisa nolak kalau ngeliat makanan yang enak-enak ini," ucap Azril sumringah. "Jangan panggil tante, panggil aja bunda Ril," ujar bunda. "I-iya tan, eh bunda," ujarnya. "Ini pada kenapa sih, tadi disuruh anggep rumah sendiri, sekarang di suruh panggil bunda juga. Sekalian aja jadi anggota keluarga disini," lagi-lagi Azifa menggerutu dalam hatinya. "Yaudah, ayo makan sama-sama." Mereka mulai menyantap hidangan kali ini dengan begitu nikmat. Tampak Kak Ariq bolak-balik menambah capjay buatan bunda, begitupun dengan ayah. Melihat itu, Azifa juga ingin ikut menambah. Gadis itu sudah menjulurkan tangannya untuk mengambil capjay, namun ia tak menyadari jika Azril juga hendak mengambilnya. Akhirnya terjadi kecanggungan diantara mereka. Keduanya sama-sama menarik tangannya kembali. "Ekhm." Kak Ariq berdekhem. "Yaudah, Azril ambil dulu aja nak," bunda mempersilahkan pada Azril. "Nah Azril sudah, sekarang Azifa." Beberapa menit kemudian, semua sudah menyelesaikan makanannya masing-masing. Dengan dibantu Azifa, bunda mulai membereskan sisa-sisa makanan dan perlengkapan untuk dicuci. Setelahnya Azifa kembali dengan membawa lima mini box dessert oreo agar bisa dinikmati oleh semuanya.  "Nah, ini dessert box buatan Azifa, putri kesayangan bunda." Bunda meletakkan dessertnya dia atas meja. "Bunda mah gitu." "Ya kan kamu putra bunda, jadi Ariq putra kebanggaan bunda," ujar bunda terkekeh. "Udah-udah, ayo dicoba dessertnya," titah bunda. Semua terdiam, fokus menikmati dessert di yang sudah berada dalam genggaman masing-masing. Tampak ekspresi Kak Ariq sangat lebay di depan sana, membuat Azifa ingin sekali mencubit lengan kakaknya. Sebentar lagi Kak Ariq pasti akan sok memujinya. "Wah, dessertnya bener-bener enak, delicious." Nah kan, dugaan Azifa benar. Jika tidak ada Azril disini, pasti Azifa sudah bertindak. "Gimana, enak kan desertnya?" "Enak banget bun, bikin mau lagi dan lagi," ujar Kak Ariq terkekeh. "Iya bener, enak banget ini sih." Di ujung sana, Azifa tampak menahan senyumnya. Entah mengapa saat ini ia tidak merasa kesal saat dessertnya di puji. Ya mungkin karena Azril baru pertama kali mencoba, jadi pasti laki-laki itu jujur. Jika Kak Ariq yang memuji, pasti kakaknya itu melebih-lebihkan. "Alhamdulillah kalau Azril suka. Nanti bawain buat abi dan ummi ya." "Azifa, jangan lupa siapkan ya nak." "I-iya bunda." Azifa buru-buru beranjak. "Yaudah, habisin dessertnya, nanti kita ngobrol-ngobrol di ruang tamu," ujar ayah. "Azril nggak buru-buru kan?" "Nggak kok, alhamdulilah shift terbang memang sudah selesai." Setelah selesai menikmati dessert, Kak Ariq mengajak Kak Azril ke kamarnya. Azifa bernapas lega, akhirnya ia bisa lepas dari pandangan laki-laki itu walau hanya sesaat. Jujur saja, entah mengapa dia merasa jantungnya berdetak lebih kencang saat laki-laki itu berada di sekitarnya. Tapi semua itu sirna, Kak Ariq dan Kak Azril kembali turun, bahkan mereka sudah berganti dengan pakaian kaos. Azifa menepuk jidatnya, jika begini kapan laki-laki itu akan pulang dari sini. Ah, dia memang benar-benar sudah menganggap ini rumahnya sendiri. Sejujurnya Azifa sudah menolak untuk berada disini, di ruang tamu. Tapi sedari tadi bunda terus memaksa agar Azifa ikut bergabung. Tak ada pilihan lain, ia terpaksa ikut walau hanya diam dan memperhatikan obrolan orang-orang disekitarnya. Tapi ini bukan pertanda Azifa orangnya pendiam, hanya saja tingkahnya berubah demikian selama Azril masih ada disini. "Ayah mau cerita boleh nggak. Ini belum pernah ayah ceritakan kepada siapapun, selain bunda." "Wah, boleh banget yah. Ariq juga udah penasaran, masa anak-anaknya nggak pernah diceritain." "Sejak kecil ayah punya cita-cita ingin jadi pilot," ayah mulai membuka ceritanya. Semua tampak mendengarkan dengan serius, dan hal ini Azifa dan Kak Ariq benar-benar baru mengetahui. "Tapi, karena keterbatasan ekonomi cita-cita itu nggak bisa terwujud. Tau sendiri kan, biaya sekolah pilot itu mahal. Sedangkan kehidupan ayah dulu serba pas-pasan, nenek kakek kalian biayain kuliah ayah aja kerja kerasnya sudah kayak gitu." "Ayah pernah berharap Ariq yang bakal mewujudkan impian ayah. Tapi ternyata juga belum bisa, keuangan ayah waktu itu masih minim, apalagi Ariq minatnya di TNI. Jadi ayah dan bunda nggak bisa maksa." "Anak kedua ayah perempuan, nggak mungkin kan ayah mau Azifa jadi pilot, walaupun sebenarnya ada sih pilot wanita. Tapi ayah sama bunda nggak mau sih," ujar ayah terkekeh. "Masih ada Azhar sebenernya, tapi sekarang aja dia masih 5 tahun," sambung ayah menutup ceritanya. "Gampang yah, Azifa aja cariin jodoh pilot," ucap Kak Ariq terkekeh. "Nah, baru aja ayah mau ngomong itu. Udah kamu omongin dulu," timpal ayah. "Ekhm," tiba-tiba bunda berdehem melihat tingkah Azifa yang tampak menahan tawa. "Yaudah, saya aja Om. Saya kan pilot," ucap Azril seketika. Deg. Azifa benar-benar kaget mendengar ucapan Azril. Lebih tepatnya bukan hanya Azifa, tapi semuanya. Mereka menatap Azril, laki-laki itu tampak menunduk, begitupun dengan Azifa yang detak jantungnya sudah tak karuan. Azifa bingung, bagaimana mungkin secara tiba-tiba lelaki itu berbicara demikian di hadapan orang tuanya. Itu artinya, lelaki itu berniat untuk menjadi menantu ayah, yang tak lain akan menjadi suami Azifa. Azifa dibuat semakin campur aduk. Baru saja kemarin dihadapkan dengan keinginan Ayah dan bunda untuk menjodohkannya. Lalu sekarang ia dihadapkan pada Azril, seorang laki-laki yang baru pertama kali ia temui satu jam yang lalu, tapi sudah membuat pernyataan demikian. Azifa juga bertanya-tanya, memangnya apa yang membuat Azril yakin pada Azifa. Bahkan ia juga baru pertama kali melihatnya, tidak ada yang Azifa lakukan selama satu jam bersama Azril selain mengangguk dan tersenyum. Apa yang membuat Azril kagum pada Azifa? Tapi apa iya Azril mengaguminya? Atau jangan-jangan dia hanya keceplosan? "Bro, serius?"Kak Ariq meyakinkan. "I-iiyaa, aku serius," Azril tampak gugup menjawab. "MasyaAllah, bener Azril?" Bunda sekali lagi meyakinkan sambil merangkul pundak putrinya yang tampak malu-malu. "Iya bunda, Azril serius," ujarnya benar-benar tulus. "Alhamdulillah, keinginan Ayah sebentar lagi terkabul." Ayah menyapukan tangan ke wajahnya. Begitupun dengan bunda yang juga tampak tersenyum bahagia. "Kalau nak Azril memang serius dengan ucapan tadi. Lusa datang kesini, ajak keluarga juga," titah ayah tak main-main. Jangan tanyakan bagaimana kondisi jantung Azifa sekarang, yang jelas detak jantungnya sudah abnormal. Ia tampak sangat gugup, tapi dengan kelembutan belaian bunda, ia mulai cukup tenang. "Ya Allah, apa ini memang sudah takdirMu?" ______________________________________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD