Dijodohkan?

1703 Words
Hari sudah mulai gelap, sejak tadi pagi pikiran Azifa tidak lepas dari keinginan ayah dan bunda untuk menyampaikan sesuatu padanya. Pasalnya tadi tiba-tiba ada tamu yang berkunjung, yaitu Om Adi dan Tante Intan, jadilah sampai malam ini Azifa belum mendengar apapun dari orang tuanya. "Ayah, sama bunda sebenarnya mau ngomongin apa?" Tanya Azifa saat mereka sedang makan malam. "Makan dulu aja Zif, nanti kalau ada waktu luang ayah sama bunda bicarakan. Ini nggak buru-buru kok," jawab bunda. "Sebenernya bukan masalah buru-buru atau nggak sih bun. Tapi Azifa sudah terlanjur penasaran," rengek Azifa. "Tahan tahan dulu aja penasarannya ya nak." "Aduh, tapi bun." "Udahlah, sabar dulu ya," ujar ayah sekali lagi. Azifa putus asa, orang tuanya tetap keukeh menunda hal yang sudah mereka janjikan tadi pagi. Azifa juga tidak bisa apa-apa, lagipula itu sudah menjadi hak mereka untuk segera menyampaikan atau tidak. "Azhar masuk dulu ya sayang, itu makanannya juga sudah habis," titah bunda. "Iya bunda, Azhar mau bobo." Azhar beranjak pada ayah dan bunda kemudian mencium kedua pipi mereka. "Baik-baik anak bunda, dadah." Suasana kembali hening, ayah dan bunda fokus pada makannya begitu juga dengan Azifa. Lebih tepatnya Azifa malas untuk menyuarakan apapun, lagi pula percuma, ayah dan bunda tak akan membicarakannya padanya. "Sayang, Azifa ada suka sama seseorang nggak?" Tanya bunda tiba-tiba. Uhuk..uhuk.. Bunda yang menyadari putrinya batuk-batuk segera memberikan minum. Jelas saja Azifa batuk-batuk, gadis itu pasti sangat kaget dengan pertanyaan horor bundanya. "Bunda kenapa tiba-tiba tanya soal itu?" "Ya ngga papa, pengen tau aja," jawab bunda santai. "Nggak lah bunda, Azifa nggak suka sama siapa-siapa," jawab Azifa. "Syukurlah," ujar bunda lirih, tapi Azifa masih bisa mendengar. "Ha? Kenapa bunda bersyukur gitu?"  "Ya nggak papa, bunda seneng aja kalau misalnya kamu nggak menyimpan perasaan kepada lawan jenis yang belum halal." Azifa mengangguk dengan ucapan bundanya. Setelah itu, baik ayah atau bunda tidak ada yang berucap apapun lagi sampai makan malam berakhir. Setelah itu Azifa kembali masuk ke dalam kamar. Azifa merebahkan tubuhnya di kasur yang begitu empuk itu. Ia memandangi langit-langit kamarnya. Sejujurnya kamar ini bisa menjadi saksi bahwa apa yang Azifa ucapkan tadi memang benar adanya. Gadis itu memang belum pernah menyimpan perasaaan kepada lawan jenis. Jujur terkadang Azifa sempat merasa resah dan khawatir, mengingat dirinya tidak pernah mempunyai pergaulan dengan lawan jenis setelah lulus dari SD, karena setelah itu ia tinggal di pesantren yang semua temannya adalah perempuan. Azifa sangat penasaran dari mana datangnya jodohnya nanti. Bahkan ia pernah berpikir akan kesusahan mendapatkan jodoh. Tapi lagi-lagi Azifa percaya, bahwa Allah sudah mengatur jalan takdirnya, termasuk urusan jodoh. Dan Azifa juga yakin, justru dengan ia menjaga pergaulan dengan lawan jenis itu bisa membuatnya lebih terjaga. Seringkali jika Azifa bertemu dengan kawan semasa SDnya, Azifa sangat jauh dari mereka. Beberapa darinya sudah menikah, dan yang lainnya sudah bertunangan atau berpacaran. Ah, mereka juga sering memaksa Azifa untuk mencoba berpacaran, tapi Azifa tetep kekeh menolak. Karena pada dasarnya pacaran itu haram dilakukan karena bisa mendekati zina.  Azifa percaya bahwa Allah sudah menggariskan takdirnya sebaik mungkin. Jadi ia tidak boleh meragukan semuanya. Azifa hanya tinggal berusaha sembari terus berusaha untuk menjemputnya. Matahari kembali menampakkan wujudnya setelah semalaman mengalah untuk bulan dan bintang. Orang-orang sudah fokus pada kegiatannya masing-masing. Ada yang sibuk menyiapkan hidangan untuk sarapan. Ada yang bersiap-siap untuk berangkat sekolah dan berkerja. Juga ada yang hanya santai-santai sambil membaca koran di depan rumah. Termasuk Azifa, kini gadis itu sedang membantu bunda memasak di dapur. Sementara ayah sudah siap dengan pakaian kantornya, dan Azhar masih asyik bermain mobil-mobilan. "Ayah, sarapannya sudah siap," ujar bunda. "Iya bun. Sebentar ayah masih ada telpon," balas ayah. Setelah semua makanan tersaji di meja makan, mereka mulai makan bersama-sama. Seperti biasa, pagi adalah waktu drama bagi Azhar. Pasalnya setiap pagi Azhar pasti susah untuk diajak makan. Dan bunda lah yang harus bekerja keras membujuknya. Sementara bujukan ayah dan Azifa selalu di anggap angin lewat bagi Azhar. Drrttd...drttddd.... Ayah merasakan ponselnya berdering, kemudian dengan segera ayah mengangkatnya. Tapi anehnya ayah memilih menerima telpon di taman belakang yang diikuti bunda di belakangnya. Setelah beberapa menit dibelakang, ayah dan bunda kembali dengan raut wajah yang berbeda. Dilihat dari raut wajahnya, ayah tampak khawatir.  "Loh, ayah sama bunda kenapa?" Tanya Azifa keheranan. "Ayah sama bunda ada urusan mendadak." "Ha? Urusan apa bunda?"  "Azifa jagain Azhar ya nak. Assalamualaikum," Begitu cepat berlalu, ayah dan bunda tiba-tiba sudah hilang dari pandangan. Membiarkan Azhar yang merengek ingin ikut. Bunda hanya menjanjikan mainan untuk Azhar, setelahnya mereka buru-buru masuk mobil meninggalkan kedua anaknya yang sedang kebingungan. "Kakak, ayah sama bunda mau kemana?" Tanya Azhar polos. "Oh itu, ayah sama bunda mau kerja," jawab Azifa. "Nggak kak, bunda nggak kerja. Biasanya ayah aja yang kerja." "Gapapa adek, bunda ikut kerja biar dapet uangnya banyak. Jadi bisa beliin mainan buat Azhar. "Asyik mainan." Azhar kegirangan. Hari sudah mulai sore, sejak pagi tadi ayah dan bundanya tak kunjung pulang. Membiarkan Azifa kebingungan mengurus Azhar yang terus merengek. Tapi untung saja Azhar sudah tidur, jadi Azifa bisa bernafas lega. Berbeda dengan perasaannya, sampai saat ini perasannya benar-benar campur aduk. Rasa bingung, heran, cemas, dan takut merasuki dirinya.  "Sebenarnya apa yang terjadi?" Gumam Azifa lirih. Tiba-tiba, ia mendengar deru suara mobil di bawah. Langsung saja Azifa turun menuju pintu depan untuk menyambut kedatangan orang tuanya.  Sekarang, wajah ayah dan bunda sudah terlihat lebih tenang dari tadi pagi. Azifa menyalami tangan kedua orang tuanya. Ia masih belum berani bertanya apa-apa. Berharap orang tuanya lah yang menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itu, tanpa aba-aba ayah dan bunda mendekap erat putrinya itu. Hal itu membuat Azifa semakin bingung. Pasrah saja ia mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Mereka membawa Azifa duduk di ruang tamu. "Nak, Ayah ingin menyampaikan sesuatu yang harusnya kemarin kami sampaikan," ayah mulai membuka pembicaraan. "Iya nak, maafin ayah bunda tadi tiba-tiba ninggalin kamu," bunda menimpali. "Jadi sebenarnya ayah dan bunda ingin menjodohkan kamu," tanpa basa-basi ayah langsung pada topik pembicaraan. "Apa... dijodohkan?" Azifa tampak bingung dan tak percaya. Sejak kapan di keluarga nya ini ada istilah perjodohan. Bahkan Azifa sendiri tak pernah membayangkannya. "Iya nak, ayah dan bunda sudah memikirkan hal ini dengan matang. Kami membuat keputusan ini bukan tanpa alasan, bukan main-main. Ini semua untuk kebaikan kamu." "Azifa, bunda dan ayah sudah pernah merasakan masa-masa seperti kamu. Dulu, hampir saja bunda terperosok dalam jurang kemaksiatan. Ya, karena masalah percintaan. Jadi bunda tidak mau kamu sampai seperti itu," bunda mencoba menyinggung kejadian buruknya waktu silam. "Tapi bunda, Azifa saat ini tidak menyimpan perasaan suka pada siapa-siapa. Ayah dan bunda tau kan, Azifa tidak pernah aneh-aneh. Jadi tidak usah khawatir, Azifa bisa menjaga diri sampai nanti jodoh yang Allah tentukan datang. Bukan malah dijodohkan seperti ini. Azifa benar-benar tidak siap,"jelas Azifa mulai berkaca-kaca. "Nak, tidak ada yang bisa menjamin kehidupan kamu kedepannya. Tugas ayah sekarang, selagi ayah masih ada hanya terus membimbing dan menjaga kamu. Hidup ayah tidak tenang melihat anak perempuan ayah satu-satunya tidak ada yang menjaga. Ayah takut jika ayah tiba-tiba dipanggil Allah," Ayah berbicara sembari menatap mata Azifa, sungguh-sungguh. "Pernikahan itu bukan main-main, hanya sekali dalam seumur hidup. Banyak sekali yang harus disiapkan. Sedangkan Azifa? Azifa sama sekali belum ada persiapan. Azifa masih bingung Ayah Bunda. Jika dipaksakan, bagaimana nasib pernikahan Azifa nanti?" Dengan mata yang berkaca-kaca Azifa menyampaikan isi hatinya. "Bunda juga percaya itu nak. Sudah bunda bilang, kami memikirkan ini matang-matang. Bunda tidak menuntut kamu menjawab sekarang juga. Bunda juga pasti memberikan kamu waktu untuk mempersiapkannya." Bunda bangkit dari duduknya mengambil totebag bertuliskan 'Gramedia', lalu memberikannya pada Azifa. Azifa menerima totebag itu, kemudian ia membukanya. Seketika itu ia kaget, di dalamnnya banyak sekali buku-buku yang masih tersegel rapi. Azifa bingung, untuk apa bunda membelikannya buku sebanyak ini. Tanpa ragu, akhirnya ia mulai mengeluarkan buku-buku itu. Betapa kagetnya Azifa melihat judul-judul buku tersebut.  Ternyata totebag itu berisi buku-buku persiapan pernikahan yang dibelikan ayah dan bunda untuknya. Kemudian Azifa kembali berpikir. Ternyata benar, ayah dan bunda tak main-main mengenai perjodohan ini. Buktinya, buku-buku ini ada untuk Azifa mulai mempelajarinya.  Ada perasaan senang juga dalam hati Azifa. Ia berpikir waktu pernikahannya dengan calon yang dipilihkan orang tuanya masih lama, melihat banyaknya buku yang dibelikan. Karena membaca buku sebanyak itu membutuhkan waktu yang sangat lama. "Ini sebenarnya berat bagi Azifa, sangat berat. Azifa tidak pernah berpikir akan dihadapkan pada dua pilihan berat ini," Azifa menghela napasnya. Terlihat ayah dan bunda masih memperhatikannya. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. "Antara menerima perjodohan ini, yang sama sekali Azifa belum mengenal calonnya. Azifa juga harus melangkahi Kak Ariq untuk menikah lebih dulu. Atau Azifa harus menolak sehingga membuat ayah bunda kecewa. Apa itu artinya Azifa durhaka?" Ia mencoba tidak menangis dan tetap kuat berbicara. Ayah dan bunda hanya menatapnya, tidak ada perkataan yang keluar dari lisan mereka. Hingga beberapa detik kemudian bunda mulai berbicara. "Bunda mengerti, bunda sangat mengerti apa yang kamu rasakan. Sekarang, kami tak akan memaksa lagi." "Iya, perjodohan ini tiba-tiba memang harus dibatalkan," lanjut ayah datar. Pernyataan ayah membuat Azifa semakin bingung. Apa ayah dan bunda membuat kesimpulan bahwa Azifa menolaknya, sehingga mereka memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.  Perasaan bersalah semakin terasa dalam diri Azifa. Bersamaan itu rasa takut akan mengecewakan orang tuanya tampak jelas dari raut wajahnya. Tetapi, lebih herannya lagi ayah dan bunda hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum tipis melihat raut wajah Azifa yang tampak seperti ketakutan. "Ayah dan bunda membatalkan perjodohan ini bukan karena kami menyimpulkan kamu menolaknya. Tapi ada hal lain yang membuat perjodohan ini batal, bahkan secara otomatis. Yaitu ajal," ucap bunda berat hati. "Seseorang yang akan kami jodohkan dengan kamu baru saja mengalami kecelakaan dan meninggal dunia," lanjut ayah menyambung pembicaraan bunda. "Innalilahi wa Innailaihi Raji'un," ucap Azifa sontak kaget. Ayah dan bunda mulai menceritakan kejadian tadi pagi yang membuat mereka harus pergi tiba-tiba.  "Jadi, sebenarnya tadi pagi ayah mendapatkan telepon dari Om Adi," ujar ayah memulai. "Om Adi?"  "Iya sayang, Om Adi yang kemarin kamu temui," timpal bunda. "Terus?" "Putra Om Adi dan Tante Intan kecelakaan hingga tewas." "Dia adalah Rayhan, seseorang yang akan kami jodohkan dengan kamu." Deg. Tenyata sebenarnya Azifa akan dijodohkan dengan putra Om Adi dan Tante Intan yang kemarin datang. Jadi bisa dipastikan kedatangan mereka kesini bukan hanya sekedar silaturahmi, melainkan untuk membahas perjodohan ini mungkin. "Jadi Azifa nggak perlu merasa bersalah lagi ya nak. Ajal memang yang otomatis membatalkan perjodohan kalian." "Iya bunda." Azifa beranjak memeluk ayah dan bundanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD