Ayahable

1875 Words
Cahaya berwarna orange kebiruan menghiasi langit pagi hari ini. Azifa dengan senyum yang mengembang tengah memperhatikan keindahan pemandangan yang Allah ciptakan di atas sana. Di tangannya Al-Qur'an terjemah berwarna senada dengan mukenahnya Azifa dekap di dadanya. Gadis itu baru saja selesai memurojaah hafalannya sejak usai shalat shubuh bersama keluarganya tadi. Akhir-akhir ini tidak ada yang memenuhi pikirannya selain rasa gugup sekaligus tak sabar menanti hari pernikahannya yang sudah tak lama lagi. Tingkah Azifa pun semakin hari juga semakin aktif. Sedikit-sedikit ia menghampiri bunda atau ayahnya hanya untuk bertanya tentang hal-hal sederhana dalam pernikahan. Misalnya bagaimana menghadapi suami yang sedang marah, jelas itu pada bunda. Dan bertanya bagaimana cara meredam amarah suami, pada ayah.  Azifa hanya ingin setidaknya walaupun tak banyak, ada bekal yang ia bawa untuk kehidupan rumah tangganya nanti. Apalagi dalam berumah tangga tidak sesederhana tentang keuwuan pasangan suami istri saja, lebih daripada itu pasti akan ada hal-hal diluar dugaan yang kadang menguji sekuat apa keduanya bersungguh-sungguh menjalani pernikahan ini, misal dengan datangnya ujian pernikahan. Ya Allah, permudahkanlah langkah Azifa dalam menjajaki kehidupan rumah tangga Azifa dan Kak Azril nanti. Azifa mengusap wajah dengan kedua tangannya. Kemudian ia mencium mushafnya dan meletakkan di atas meja belajar. Azifa melepas mukenah dan merapikannya pada tempat semula. Setelah itu ia berniat untuk turun menghampiri keluarganya yang lain. "Good morning everyone," sapa Azifa dengan nada sok inggrisnya. "Shabahan-nur," seru Kak Ariq menggunakan bahasa arab. "Huhu, kakak kesayangan kita rupanya sudah siap ditugaskan menjaga perdamaian di Palestina nih yah, bun," Azifa terkekeh, diiringi yang lain. "Aamiin, semoga ya Riq." "Jujur belum siap sih yah kalau harus ke Palestina, takut-" Azifa memeluk kakaknya dari belakang. "Nggak, kakak nggak akan pernah tugas jauh-jauh. Nanti Azifa kangen." "Ih, tadi yang nyuruh juga siapa." "Bercanda kak." Nadhira duduk di samping kakaknya. "Ayah, bunda, ayo jalan-jalan," rengek Azhar yang baru datang dengan wajah bantalnya. Semua orang tercengang menatap Azhar sambil terkekeh. Sementara bunda segera menghampiri dan menggendong anak bungsunya itu. "Pasti dia habis mimpi jalan-jalan ke kebun binatang," tebak Kak Ariq. "Nah iya bener, lihat aja yang dipegang boneka gajah," Azifa menimpali. "Bunda, mau ke kebun binatang," rengek Azhar setelah mendengar celotehan kakaknya. "Aduh, kalian ini. Lihatlah, adeknya jadi mau ke kebun binatang beneran kan," bunda tampak resah, pasalnya hari ini bunda harus menemani ayah ke Jakarta untuk urusan proyek disana. "Ya nggak papa lah bun, kasian juga adek." "Bukan itu nak, masalahnya bunda hari ini harus ikut ayah ke Jakarta." "Yaudah kita ikut aja ke Jakarta," ide Kak Ariq dan Azifa. "Nggak bisa. Gimana kalau kalian aja yang temenin Azhar jalan-jalan?"  Azifa menyenggol lengan kakaknya hendak meminta persetujuan. "Kak gimana?" "Boleh bun, tapi kita naik apa. Masa iya naik bis sambil bawa Azhar yang sangat aktif ini?"  "Kalian bawa mobil ayah, ayah ke Jakartanya pakai mobil dari kantor." "Asyikk, jalan-jalan." Azhar sudah berloncatan kegirangan. "Nak, tapi Azhar janji jangan nakal ya. Kasihan kakaknya loh," bunda memperingatkan.  "Iya bunda, Azhar janji nggak nakal." Antara percaya dan tidak percaya, Azifa dan Kak Ariq hanya bisa pasrah apapun yang terjadi nantinya. Tapi setidaknya mereka berdua bersyukur bisa menghirup udara segar hari ini. **** Azifa, Kak Ariq, dan Azhar sudah siap untuk pergi. Ayah dan bunda mengantar mereka sampai gerbang. Sebelum itu, bunda sudah memberikan beberapa peringatan dan nasehat untuk Azhar agar tidak merepotkan kakak-kakaknya. Tapi sekali lagi, sekalipun Azhar sudah mengangguk-angguk, tetap saja kakak-kakaknya menampilkan wajah tidak percaya. "Yaudah, kalian hati-hati ya. Kalau sudah sampai jangan lupa kabari bunda." Ketiganya mencium punggung tangan orang tua mereka. "Iya bunda. Ayah sama bunda juga hati-hati nanti. Assalamualaikum." "Waalaikumussalam," ayah dan bunda melepas putra-putrinya dengan lambaian tangan. Setelah berembuk tadi, tentunya dengan kemauan dari Azhar, mereka akan pergi ke Bandung Zoo atau kebun binatang Bandung. Selain untuk bersenang-senang, Azifa juga bisa memperkenalkan adiknya pada hewan-hewan dengan cakupan yang lebih luas, sekaligus nyata di depan mata. Usia Azhar yang sudah hampir masuk TK, dia harus mulai mengenal banyak hewan-hewan baru dari sekedar ayam, bebek dan sejenisnya yang mudah ditemui di sekitar. Perjalanan dari rumah ke Bandung Zoo membutuhkan waktu 45 menit jika tidak macet. Tapi sepertinya bukan Bandung jika tidak ada kemacetan. Lihat saja, baru beberapa menit berjalan, mobil mereka harus berhenti karena macet.  "Siap-siap nanti jadi guru TK," celetuk Azifa pada kakaknya. "Maksudnya?" "Inget kata bunda kak, kita jangan cuma ajak Azhar main-main, tapi juga harus memperkenalkan dia sama hewan-hewan." "Yaudahlah, kamu aja. Wajah kamu cocok banget jadi guru TK. Kalau kakak mah, jadi bodyguard kalian aja," Kak Ariq terkekeh. Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di Bandung Zoo, mengingat hari ini adalah weekend jadi keadaan disini cukup ramai. Sebelum turun, Azifa dan Kak Ariq terlebih dahulu mengadakan briefing pada Azhar. Bocah lima tahun itu hanya mengangguk-angguk pada setiap ucapan kakak-kakaknya. Setelah membayar karcis, mereka bisa masuk ke dalam Bandung Zoo. Terlihat wajah excited Azhar saat baru masuk.  "Kakak, itu namanya apa?" Azhar menunjuk burung berukuran besar dengan lehernya yang panjang. "Itu namanya burung unta," jawab Azifa. "Oh," Azhar mengangguk.  "Nah kalau itu namanya monyet dek, temennya Kakak Zipa," ledek Kak Ariq sambil menunjuk kawanan monyet di depan sana. "Aa, Kakak Zipa temennya monyet," Azhar tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk monyet. "Astaghfirullah, nggak kakak, nggak adek, sama-sama ngeselin," ujar Azifa kesal. "Kalau yang itu Kak Ariq." Azifa menunjuk pada buaya di bawah jembatan sana. "Ih enak aja." "Hahaha, Kak Ariq buaya," ledek Azhar. Mereka kembali berjalan menyusuri sepanjang jalan di Bandung Zoo. Setiap hewan yang mereka temui, pasti Azhar tanyakan pada kedua kakaknya.  Bahkan hingga Kak Ariq dan Azifa kewalahan menjawabnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menikmati minuman dingin yang baru saja mereka beli. "Kakak ayo, Azhar pengen lihat ikan." Azhar menarik-narik tangan kakaknya. "Sebentar dulu dek, kakak capek. Kita disini dulu ya, lima menit aja." Azifa menampilkan lima jarinya. "Yaudah, kalau kakak nggak mau, aku lihat ikan sendiri," ujar Azhar sok nekat. "Coba aja sana kalau berani," Kak Ariq menantang, pasalnya ia tahu Azhar tidak akan mungkin senekad itu. Azifa dan Kak Ariq melepas dahaganya dengan menyeruput habis minuman dinginnya. Setelah habis, Azifa hendak mencari tong sampah untuk membuang kemasannya. Namun betapa kagetnya ia saat menyadari Azhar yang tadi bermain-main tak jauh darinya, kini hilang dari pandangan. Tampak raut wajah panik Azifa. "Kak, Azhar mana?" "Astaghfirullah, Azhar mana ya," seketika Kak Ariq ikut panik. "Kak ayo kita cari." Azifa menarik tangan kakaknya untuk mencari Azhar. Azifa dan Kak Ariq tampak tergopoh-gopoh berlarian untuk mencari Azhar. Mereka tidak menyangka adiknya itu akan bertindak senekat ini. Seketika perasaan takut dan khawatir menyeruak dalam pikiran. Mereka takut terjadi apa-apa dengan Azhar, terlebih Azhar masih kecil. Dan kemungkinan dia diculikpun akan sangat besar. "Pak, lihat anak kecil ini nggak?" "Mbak, ada lihat anak kecil ini?" Begitulah kira-kira pertanyaan Azifa dan Kak Ariq saat berpapasan dengan orang-orang. Mereka juga menunjukkan foto Azhar dari layar handphonenya. Mereka semakin panik saat semua orang tidak ada yang tahu tentang keberadaan adiknya. Apalagi ini sudah hampir lima belas menit berlalu. Keringat dingin mengucur pada Azifa, bahkan gadis itu sesekali menyeka air matanya yang turun. Ia merasa bersalah karena lalai menjaga adiknya. Ia bahkan tak membayangkan bagaimana jika ayah dan bundanya tau soal ini, pasti ayah dan bunda akan kecewa dengannya. "Dek, kamu tenang dulu ya. Kalau capek istirahat dulu, biar kakak yang cari," walaupun panik, Kak Ariq tetap berusaha menenangkan adiknya. "Nggak kak, Azifa harus cari Azhar. Kasihan dia pasti kebingungan kak," air mata Azifa terus mengalir. Sementara Kak Ariq masih menenangkan dengan mengusap lengan Azifa lembut. Ditempat lain, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun yang tak lain adalah Azhar sedang menangis di tengah keramaian saat menyadari kakaknya tidak ada. Orang-orang yang sedang lewatpun berkerumun mencoba menenangkan Azhar. Beberapa dari mereka bahkan bertanya bagaimana ciri-ciri kakaknya. Tapi sekali lagi Azhar tidak menjawab apapun selain hanya menangis. "Permisi, ini ada apa ya?" Seorang laki-laki menerobos kerumunan. "Ini ada anak kecil yang terlepas dari orang tuanya," jawab orang-orang disekitarnya. "Astaghfirullah Azhar." Laki-laki itu tak lain adalah Azril yang kebetulan berada di tempat yang sama. Saat menyadari yang tengah menangis adalah Azhar, buru-buru ia menggendong bocah lima tahun itu. "Maaf bapak-bapak, ibu-ibu. Saya kenal dengan anak ini, biar saya yang urus ya." "Azhar tenang ya, ini Kak Azril." "Kak Azil." Azhar jauh lebih tenang saat menyadari dirinya sedang bersama Kak Azril. "Kamu kesini sama siapa?" Azril membawa Azhar ke tempat yang lebih teduh. "Sama Kak Ariq dan Kak Zipa." "Terus sekarang mereka dimana?" "Nggak tau kak." Azhar kembali menangis. "Cup..cup.. cup ya sayang. Peluk Kak Azril ya, Azhar sekarang aman." Azril mencoba menenangkan Azhar, mereka kini sedang duduk di bawah pohon rindang. Azril mencoba menghubungi Kak Ariq, tapi hasilnya nihil. Beberapa kali mencoba, Kak Ariq tak kunjung menerima telponnya. Ingin menelpon Azifa, tapi Azril ingat bahwa ia tidak menyimpan kontak calon istrinya itu. Akhirnya Azril memilih untuk menenangkan Azhar terlebih dahulu.  "Tenang ya sayang," Azril mengelus-elus punggung Azhar hingga tak sadar bocah laki-laki itu sudah terlelap. Bang Ariq "Assalamualaikum bang, lo dimana?" "Waalaikumussalam, gawat Ril." "Lo cepet ke pohon besar di tengah Zoo." "Maksud lo?" " Azhar ada sama gue." "Yang bener Ril?" "Iya beneran. Buruan sini." **** "Ya Allah Azhar," pekik Nadhira lega saat melihat Azhar sedang bersama dengan Azril di depan sana. Azifa dan Kak Ariq segera menghampiri mereka. "Alhamdulillah kalian sampai, gimana ceritanya adiknya bisa kelepas gini?" tanya Azril. Azifa dan Kak Ariq mulai menceritakan bagaimana kejadian sebelum Azhar ditemukan sudah tidak ada di tempat. Azril hanya geleng-geleng kepala sambil mengingatkan agar mereka lebih berhati-hati lagi dalam menjaga anak kecil. "Kak Azril, terimakasih ya. Kita nggak tau kalau nggak ada Kak Azril yang nolongin Azhar." "Iya bro, makasih ya." "Iya sama-sama, tapi lain kali hati-hati ya." Azifa menyenggol lengan Kak Ariq meminta agar Azhar diambil dari Azril.  "Ril, sini Azharnya biar gue yang gendong." "Gapapa bang, ntar takutnya kebangun." "Yakin nggak papa?" "Santai bang, lagian Azhar juga adek gue." Azifa diam-diam curi pandang pada laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Ia sangat kagum pada Azril, laki-laki itu sudah terlihat ayahable, buktinya Azhar nyaman dalam dekapannya. Padahal yang Azifa tau, Azhar sangat susah apabila bersama dengan orang baru. Namun bersama Azril, bocah laki-laki itu tampak tenang.  "Hal kayak gini jangan keulang lagi ya. Terutama Azifa, nanti kamu harus menjaga anak-anak kita-" "Eh." Azril menggelengkan kepalanya karena merasa sudah berbicara terlalu jauh. Sementara Kak Ariq tampak terkekeh melihatnya. Berbeda dengan Azifa, ia malah menunduk mendengar ucapan Azril yang ia tau arahnya akan kemana. "Maaf-maaf, kejauhan ya." "Santai bro, nggak papa, kita memang salah kok. Azifa juga perlu diingatkan kayak gitu," ujar Kak Ariq. Tampak Azhar menggeliat seperti tidak nyaman, tapi dengan spontan Azril langsung menenangkan bocah itu hingga kembali tidur dengan tenang.  Jika begini, bagaimana caranya Azifa tidak semakin kagum dengan laki-laki yang sudah memiliki jiwa sosok ayah di depannya ini? "Astaghfirullah Azifa, tahan-tahan. Harus jaga pandangan."  "Kalian masih mau disini atau?" tanya Azril. "Kayaknya kita pulang aja Ril. Kasihan juga Azhar." "Yaudah, gue anter ke mobil ya bang." Azifa berjalan di belakang dua laki-laki di depannya. Azril mengantarkan mereka sampai di parkiran. Karena lagi-lagi, Azhar malah tidak nyaman saat Kak Ariq akan mengambilnya. "Yaudah, Azhar sudah nyaman tidurnya. Hati-hati ya bang." "Sekali lagi thank bro. Gue balik dulu." Kak Ariq menjabat tangan Azril. "Kak, Azifa pamit." Azifa sambil menunduk. "Iya, hati-hati ya calon istri." Azifa geleng-geleng kepala dan buru-buru masuk saat ucapan itu terdengar di telinganya. Ia tak ingin Azril menyadari pipinya yang sudah semakin merona.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD