Azril tersenyum bahagia sambil menatap kotak merah yang kini tepat berada di genggamnya. Sebuah kotak merah berisi sepasang cincin yang tak lama lagi akan bertengger di jari manisnya, juga jari manis Azifa, calon istrinya. Senyum Azril tak berhenti merekah seiring pandangannya yang fokus menatap satu persatu dari kedua cincin itu.
"Nggak sabar mau pakein ini di tangan Azifa," gumamnya sembari terus menatap benda bulat kecil itu.
Ingatan Azril tertarik pada kejadian beberapa minggu lalu, dimana ia dengan nekadnya menyampaikan niat baik pada orang tua Azifa untuk bersedia menjadi calon suami dari putri mereka. Bagaimana bisa tidak nekad, bahkan ia rasa siapapun yang mendengar ucapannya waktu itu pasti mengira hanya bercanda atau keceplosan saja. Padahal sebenarnya itu sudah ada dalam rencana Azril, walaupun tidak persis apa yang ada dalam bayangannya.
Sehari sebelum Kak Ariq mengabarkan akan pulang ke Jakarta, Azril sudah merasakan bahagia bukan main. Akhirnya waktu yang ia tunggu-tunggu akan segera tiba. Ia akan mengajukan niatnya secara pribadi untuk melamar Azifa.
Apa? Ternyata Azril sudah merencanakan ini semua, bagaimana bisa?
Sebenarnya hari itu bukan kali pertama bagi seorang Azril mengetahui sosok adik dari Kak Ariq itu. Beberapa waktu sebelumnya Azril sudah sedikit mengenal Azifa walaupun hanya dari obrolan Kak Ariq. Tanpa Azifa sadaripun, ternyata beberapa kali juga Azril pernah melihatnya. Dan dari sanalah rasa ingin memiliki itu tumbuh dalam hati Azril. Sejak saat itu ia bertekad akan segera meminang Azifa sebelum gadis itu mendapatkan pinangan dari orang lain.
Sebagai laki-laki yang sedikit banyak mengerti agama, tentu Azril tak pernah berniat untuk mengajak Azifa berpacaran. Bahkan tanpa ditanyapun jelas Azifa pasti enggan dengan hal itu. Karena sekali lagi, pacaran adalah salah satu jalan mendekati zina. Dan tak pantas antara dua insan lawan jenis terikat dalam hubungan yang tidak diridhai Allah tersebut.
Sejak saat itu, tak hentinya Azril melakukan shalat istikharah, meminta petunjuk Rabb-Nya, apakah jalan yang akan ia tempuh itu sudah benar. Artinya tidak hanya karena nafsunya belaka, melainkan niatnya untuk menyempurnakan separuh agama karena Allah. Dan sejak saat itu pula, jawaban-jawaban dari Allah satu persatu mulai dapat Azril rasakan. Maka dari itu niatnya semakin mantap untuk segera melamar Azifa.
Dan kenapa Azril memilih hari dimana Kak Ariq datang? Tak lain dan tak bukan adalah untuk menyamarkan tujuannya, sekaligus memberikan kejutan bagi keluarga itu. Sebelum benar-benar menyatakan lamaran, Azril harus memastikan bahwa Azifa memang sedang tidak ada ikatan dengan laki-laki lain.
"Aduh, putra Ummi senyum-senyum sendiri lagi." Ummi Fatimah duduk di samping putranya.
Azril segera menutup kotak merah itu dan menyembunyikan di balik badannya.
"Nggak usah gugup gitu Ril," Ummi Fatimah terkekeh.
Azril menghela napasnya sembari tak kuasa menahan senyum. "Nggak sabar Ummi," jujur Azril dari hatinya yang terdalam.
"Baru kali ini Ummi liat kamu sekasmaran ini nak," Ummi Fatimah mengelus punggung Azril lembut.
Azril terkekeh pelan dan langsung memeluk wanita yang paling dicintainya itu. "Azril mohon do'a restunya ya Ummi. Tanpa restu dari ummi dan abi, Azril nggak tau harus gimana."
"Abi dan Ummi pasti merestui kamu sayang. Apalagi niat kamu ini sungguh luar biasa."
"Terimakasih ummi. Dan semoga niat ini berjalan sesuai rencana, bukan seperti yang-"
Ummi merenggangkan pelukannya, memberikan senyuman hangat dan isyarat agar Azril tak lagi melanjutkan ucapannya.
"Yang lalu biarlah berlalu nak, jadikan itu pelajaran. Sekarang kamu fokus dengan yang sedang dan akan terjadi."
"I-iya ummi."
"Yaudah, sekarang kamu siap-siap ya. Ada jadwal terbang kan?" Ummi memastikan.
"Ada, sebelum cuti nanti," Arfan terkekeh.
"Iya tau, anak ummi mau cuti nikah," ujar ummi ikut terkekeh.
Sebelum pergi, Azril mencium pipi kanan dan kiri umminya. Kebiasaan ini selalu Azril lakukan sejak dulu. Lain halnya ketika sedang bersama dengan abi, jika begitu Azril akan memeluk abinya sebelum beranjak. Kebiasaan-kebiasaan sederhana seperti itu justru akan berefek besar untuk keharmonisan keluarga, begitu kata ummi. Dan memang itulah yang Azril dan keluarganya rasakan.
Azril beranjak menuju kamarnya di lantai dua, dan pertama kali membuka pintu, yang ia lihat adalah seragam pilot kebanggaannya sudah rapi lengkap dengan seluruh atributnya. Siapa lagi jika bukan ummi yang menyiapkan. Padahal sebenarnya sudah berulang kali Azril melarang ummi untuk melakukannya, karena ia rasa dirinya sudah cukup besar untuk bisa menyiapkan semuanya. Tapi lagi-lagi ummi tetap kekeh. Apalagi Azril hanya anak satu-satunya, jelas ummi ingin mempersiapkan yang terbaik untuk Azril.
"Ummi, sebentar lagi ummi nggak perlu nyiapin seragam Azril lagi, kan bakal ada Azifa," gumam Azril terkekeh.
Ah, pikiran Azril akhir-akhir ini sudah dipenuhi bayang-bayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya dengan Azifa nanti. Tentang rutinitas pagi sampai malamnya yang akan berubah 180°. Tentunya akan lebih membahagiakan daripada hari-harinya yang saat ini.
Tak butuh waktu lama, Azril sudah siap dengan seragam pilot kebanggaannya. Tak lupa koper hitam yang selalu menjadi tempat penyimpanan kemanapun ia terbang. Seperti biasa, Azril akan menatap dirinya sendiri lewat cermin selama kurang lebih lima menit setiap harinya. Tujuannya tak lain agar ia selalu bersyukur dengan nikmat anggota tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana saat ini. Dengan begitu, rasa insecure bisa ia hilangkan dari dalam pikirannya. Karena sejatinya, setiap manusia sudah Allah ciptakan dengan sebaik-baiknya.
Titt..tit..tit..
Suara klakson dari halaman depan membuyarkan fokus Azril. Laki-laki itu segera beranjak menuju jendela. Ia tau siapa yang pagi-pagi begini sudah membuat telinganya sakit. Siapa lagi jika bukan Rendy, sahabat karibnya sejak bersekolah penerbangan empat tahun yang lalu. Kini bahkan mereka sama-sama bekerja di maskapai yang sama.
"Berisik," teriak Azril dari balkon.
"Lama gue tinggal, satu..dua..ti-"
"Nggak sabaran banget." Azril segera berlari masuk kamar dan turun.
Di halaman rumah sudah ada Ummi, Azril segera mencium punggung tangan umminya.
"Azril berangkat ya ummi. Assalamualaikum,"
"Rendy juga ummi," Rendy ikut menyalami ummi.
"Waalaikumussalam, hati-hati ya kalian."
"Siap ummi."
Bandara Internasional Soekarno-Hatta
Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, sampailah Azril dan Rendy di bandara. Suasana bandara hari ini cukup ramai, namun tetap tidak menyurutkan semangat keduanya yang nanti akan bersama-sama menerbangkan burung besi.
Azril yang kini sudah bergelar Captain akan duduk di sebelah kanan, tepatnya bangku kemudi. Sementara Rendy yang masjh bergelar kopilot duduk di sampingnya. Walaupun mereka menamatkan sekolah penerbangan bersama, tapi beberapa kali Rendy mengambil cuti hingga ia melewati banyak jam terbang daripada Azril. Makanya saat ini posisinya masih sebagai kopilot. Meskipun begitu, tidak ada masalah, keduanya akan tetap profesional selama bekerja.
"Aura-aura CP memang beda ya," celetuk Rendy tiba-tiba.
"Cp apaan Ren, contact person?"
"Iye, lu contact person," jawab Rendy malas.
"Eh btw, kayaknya lo bakalan gue jadiin contact person RVSP di undangan gue nanti. Mau ya Ren?" Azril terkekeh sembari merangkul pundak sahabatnya.
"Enak aja, nanti handphone gue meledak dapet ribuat chatt dari tamu undangan lo. Ogah ah," Rendy menyingkirkan tangan Azril dari pundaknya, kemudian berjalan lebih cepat.
Azril masih terkekeh dengan tingkah sahabatnya, tapi beberapa detik kemudian Rendy mundur dan malah merangkul Azril balik.
"Boleh deh Ril, siapa tau ada salah satu temen dari Azifa yang nyantol. Apalagi temen-temen Azifa pasti cantik dan sholehah bak bidadari yang jatuh dari kayangan," ujar Rendy hiperbola.
"Astaghfirullah Ren, luruskan niat sob. Eh tapi boleh juga ya, iseng-iseng berhadiah," keduanya tertawa bersama.
"Ngiri gue sama lo, padahal wajah gue 0,00001% nggak kalah cakep dari lo. Tapi ngapa gue nggak laku-laku ya," ujar Rendy memelas.
"Doanya kurang kenceng kali Ren, soalnya ya yang namanya jodoh nggak tergantung seberapa cakep wajah kita, semuanya sudah Allah atur. Mau yang cakep, biasa aja, bahkan kurang cakep sekalipun semua punya porsinya. Hanya soal waktu dan ikhtiarnya aja. Jodoh itu dijemput Ren, jangan cuma ditunggu," jelas Azril bijak.
"Salut gue, Pak Captain gue sekarang jadi tambah bijak gara-gara sudah ketemu jodohnya."
"Belum Ren-"
"Eh, emang lo nggak mau jodoh sama Azifa, amiin gitu kek."
"Eh iya, maksudnya aamiin."
"Huh, gimana ya rupa jodoh gue nanti?" Rendy sok bingung.
"Yang jelas bukan Azifa, karena dia udah gue iket pake tali khitbah yang erat banget," jawab Azril terkekeh.
"Iya percaya, udahlah jangan bikin gue tambah ngiri. Tau Azifa punya lo."
"Azifa, Azifa, dia udah bikin gue kasmaran tiap hari. Jadi nggak sabar pengen jadi suami Azi-"
Brak.
"Astaghfirullah."
Azril yang sedang asyik membayangkan jiwa-jiwa kasmarannya sampai tak sadar di depannya banyak orang yang berlalu lalang.
"Eh, maaf-maaf mbak. Saya bener-bener nggak senga-" suara Azril semakin merendah bahkan berhenti kala pandangan matanya bertemu dengan perempuan di depannya.
"Astaghfirullah," Azril memalingkan pandangannya, begitupun dengan perempuan itu.
Tak lain dan tak bukan, perempuan yang tidak sengaja Azril tabrak adalah Azifa, calon istrinya sendiri.
"Sekali lagi aku minta maaf," ujar Azril membantu membereskan barang-barang Azifa yang berceceran.
"I-iya nggak papa kak," jawab Azifa gugup.
Azifa terus menunduk karena ia sangat gugup sekarang. Bagaimana tidak, saat keduanya duduk tadi jaraknya sangat dekat. Itu membuat jantung Azifa berpacu sangat kencang. Apalagi saat tatapan mereka bertemu, rasanya Azifa ingin segera menghilang begitu saja.
"Kamu disini sama siapa?"
"Sama Kak Ariq, tapi masih disana," ujar Azifa menunduk sambil menunjuk ke arah cafe.
"Yaudah, jalan duluan. Aku anter ketemu Kak Ariq."
"N-nggak usah kak. A-aku bisa sendiri," Azifa menunduk sembari memainkan ujung khimarnya. Jujur, kali ini ia benar-benar gugup. Apalagi Azril berada tepat di depannya. Bersama Azril memang selalu membuat Azifa gugup dan salah tingkah.
"Dia gemes banget sih kalau lagi malu," gumam Azril terkekeh pelan.
"Ekhm."
Rendy berdekhem mencairkan suasana gugup antara Azril dan Azifa di tengah keramaian ini. Lebih tepatnya ia ingin membantu Azifa keluar dari kegugupan yang sangat terlihat jelas saat ini. Azril memang benar-benar harus diperingatkan, lihatlah perempuan di depannya masih menunduk malu. Rendy benar-benar tak kuat menahan tawanya.
Sejujurnya Azril juga tak kuat menahan tawanya, tetapi entah mengapa melihat Azifa malu-malu seperti saat ini membuatnya semakin yakin pada Azifa. Pasalnya di zaman seperti ini, perempuan yang mempunyai rasa malu terutama pada lawan jenis kurang nampak dijumpai. Namun melihat fakta perempuan di depannya, Azril yakin Azifa adalah perempuan terbaik yang Allah kirimkan untuknya.
"Yaudah, duluan aja. Aku nggak ngikutin kok." Azril bergeser beberapa langkah untuk memberikan Azifa ruang untuk melangkah, sembari tangannya mempersilahkan perempuan itu berjalan lebih dulu.
"I-iya kak, permisi." Azifa berjalan dengan langkah cepat, ia masih tak berani mengangkat wajahnya. Bisa-bisa ia akan semakin gugup dan salah tingkah nantinya.
Ih, Kak Azril ngeselin banget sih. Kayaknya sengaja bikin aku gugup dan malu. Bunda, tolong Azifa. Dasar calon suami ngeselin.
Setelah hampir sampai di cafe, Azifa akhirnya mengangkat wajahnya yang sudah penat menunduk sedari tadi. Namun betapa kagetnya saat ia baru akan mencari keberadaan kakaknya, pemandangan di depan menampilkan Kak Ariq, Azril, dan sahabat calon suaminya itu, entah Azifa juga tak tahu siapa namanya.
Loh, kok malah mereka yang sampe duluan. Bunda, Azifa harus gimana?
Sebenarnya Azifa ingin berbalik arah, namun rupanya Azril sudah menyadari keberadaannya. Jika diteruskan, pasti ia akan lebih malu. Akhirnya dengan langkah gugup Azifa tetap melangkah, namun mencari meja yang berjarak dengan tiga laki-laki di depannya itu.
Azifa
Kakak masih lama nggak ngobrolnya, kalau iya Azifa pulang dulu ya:((
Kak Ariq
Iya ini mau pulang, calon suami kamu juga
harus buru-buru masuk ke dalam.
Azifa bernapas lega setelah mendapatkan balasan dari kakaknya. Jujur ia sudah tak sanggup jika di sekitarnya masih ada Azril. Laki-laki itu sudah membuat degup jantung Azifa semakin tak karuan hari ini.
"Kak Azril ada-ada aja," Azifa terkekeh pelan.
Diam-diam perempuan itu curi-curi pandang. Laki-laki yang tak lama lagi akan menjadi suaminya itu terlihat sangat tampan dan berwibawa dengan seragam pilot kebanggaannya. Dan bahkan, sampai detik ini Azifa tidak pernah menyangka akan mendapatkan suami seorang pilot. Jangankan menyangka, membayangkan saja tidak pernah. Bahkan mampir di pikirannya pun tidak pernah Azifa rasakan jika ia akan menikah dengan seorang pilot.
MasyaAllah, nggak nyangka banget, Azifa sahabat kesayangan kita akan jadi istri Captain pilot. Jangan lupa traktiran tiket pesawat ke Jepangnya ya Zif.
Kayaknya Azifa bakal sering naik pesawat nih, padahal secara dia nggak pernah naik pesawat sebelumnya.
Azifa terkekeh mengingat celotehan sahabatnya saat mereka tau ia akan dilamar oleh seorang pilot. Memang tak dapat dipungkiri, Azifa sebelumnya memang tak pernah naik pesawat. Tapi kata bunda dulu saat masih di dalam kandungan ia pernah diajak naik pesawat. Dan sekarang, besar kemungkinan ia akan sering naik pesawat. Mungkin iseng-iseng ikut suaminya terbang nanti. Ah, jika begini, rasanya semakin tidak sabar.
"Woi bengong aja."
"Astaghfirullah, kakak ih." Azifa kaget saat Kak Ariq tiba-tiba datang.
"Lagian bengong."
"Kak Azril mana?"
"Lah, malah nyariin Azril. Padahal tadi kata Azril kamu gugup banget waktu ketemu dia," Kak Ariq terkekeh.
"Ih siapa bilang?" Azifa hendak mengelak.
"Azril sendiri yang cerita, wle."
Bener-bener calon suami ngeselin.