BAB 2

2122 Words
Benaya Theodorius dulunya adalah pria lembut dan berkepribadian sopan. Ia sangat tahu aturan, dibesarkan dengan nilai konservatif dan berpendidikan. Ayahnya yang berdarah jawa tulen menikah dengan ibunya, seorang perempuan Yunani, saat ayahnya yang sangat menyukai seni dan sejarah itu pergi berlibur ke negara Yunani, tempat legenda para Dewa-Dewi dalam mitologi Yunani dan kisah para Ksatria Spartan. Bernard Theodorius adalah putra tunggal, orang tuanya memiliki perusahaan di bidang gas industri di Semarang yang diteruskan olehnya. Bernard adalah pria Katolik yang taat yang juga dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat pula. Pria lulusan Antropologi itu sangat mencintai apa pun yang berbau sejarah dan segala yang berhubungan dengan mitologi. Bernard dan istrinya, Athena, yang juga memiliki hobby yang sama dengan dirinya sangat sering melakukan perjalanan keliling dunia hanya untuk melihat tempat-tempat bersejarah di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha. ''Jadi kau sengaja meracuniku agar bisa keluar dari penjara itu?" tanya Ben saat duduk di teras belakang rumah Jack bersama pria itu. Halaman belakang rumah besar itu dipenuhi bunga-bunga koleksi Clara, membuat aroma di sekitar menjadi harum. Kolam renang dengan keramik biru laut membuat suasan terasa segar. Nampak beberapa mainan putri Jack tergeletak di lantai dan rumput halaman. "Aku tidak meracunimu, aku hanya membuatmu tak berdaya," jawab Jack sambil meneguk kopi hitamnya. Ben memandang langit yang cerah mejelang tengah hari. Langit yang sama yang dia lihat ketika masih di dalam penjara, tapi sekarang dia melihat dalam kebebasan yang dia tidak tahu sampai kapan. Kebebasan yang masih terasa semu. "Kau yakin tidak akan ada yang mencari keberadaanku?" "Narapidana sepertimu, saat dinyatakan mati di penjara, tidak akan ada yang peduli. Kecuali masih ada kelurga yang mengingat. Dan setauku keluargamu tidak pernah mengunjungimu." Jack menatapnya lekat. Pria itu mengangguk. "Kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan saat mereka melakukan perjalanan ke Eropa. Usiaku waktu itu tiga belas tahun. Setelahnya aku tinggal dengan nenekku. Dan hanya nenekku lah satu-satunya keluarga dari ayahku. Dia juga sudah meninggal setahun sebelum peristiwa pembunuhan istriku." Jack mengangguk mengerti. "Aku sudah menyelidiki istrimu yang tinggal di panti asuhan milik keluarga Malik." Ben diam tak menjawab. Mendengar nama keluarga itu hanya membuat amarahnya semakin memuncak. Terutama jika mengingat Raditya Malik. "Murron adalah sahabatku, dia bercerita tentang kasus istrimu yang memberatkan dirimu." Ben meraih rokok yang teletak di meja dan mengambilnya satu batang. Ia memperhatikan rokok mahal tersebut sebelumnya menyalakannya, setelah itu ia menghisap rokok tersebut dalam. Sensasi cengkeh dan tembakau yang kental terasa di tenggorokannya. Dulu ia tidak merokok. Tapi itu dulu. Sekarang semuanya sudah berubah. Persetan dengan kesehatan, pikirnya. Toh, jika ia mati pun sekarang, tidak ada lagi yang menangisi kematiannya dan tidak ada yang merasa kehilangan. Pria itu menghembuskan asap rokoknya, lalu berkata, "Setelah lima tahun aku di penjara, si Tesla itu menemuiku. Katanya dia ingin membuka kembali kasus istriku dan hasilnya sia-sia." Jack mengangguk, sambil menghisap rokoknya juga. Ia hanya diperbolehkan istrinya merokok di luar rumah, dan itu pun dibatasi wanita itu. "Murron sudah menceritakan semuanya padaku, dan sampai sekarang dia sangat yakin, bahwa bukan kau pelakunya. Dan saat aku bercerita padanya sedang mencari pengawal untuk Olivia Soemitro, dia langsung merekomendasikan dirimu." Ben menatap Jack penasaran. "Bagaimana kau bisa membawaku keluar?" Jack terkekeh kecil dan menatap Ben lekat. "Tentu saja dengan bantuan Murron. Kami berdua mempunyai koneksi yang tidak perlu kau katahui teman. Yang penting kau sudah keluar, dan seperti yang kukatakan kemarin, penampilanmu sekarang sangat mendukung penyamaranmu. Kau juga sudah dinyatakan meninggal, jadi siapa pun yang masih mencari tahu tentang dirimu, dia akan tahu kalau kau sudah tidak ada lagi di dunia ini." "Aku yakin, kau sedang memanfaatkan aku," sindir Ben. "Anggap saja kita sama-sama saling diuntungkan. Kau bisa mencari pembunuh istrimu dan merebut kembali perusahaanmu dari kelurga Malik," jawab Jack tenang sambil tersenyum kecil. "Untuk sekarang kau cukup mengawasi dan menjaga Olivia. Nanti kau akan tahu apa misimu dariku. Tapi nyawa perempuan itu juga sangat penting. Karena dia lah kuncinya." "Apakah sudah ada yang mengancam nyawa wanita yang akan kujaga ini?" "Belum ada.  Olivia meneleponku, meminta pengawal pribadi untuknya. Saat aku tanya untuk apa, dia menjawab hanya untuk berjaga-jaga karena kematian ayahnya yang tidak wajar. Dan menurutku itu masuk akal." "Tapi, barusan kau katakan, jika wanita ini adalah kunci." Jack menatap Ben sambil tertawa kecil. Ia tahu, pria di hadapannya ini cerdas. "Karena aku tahu dia berhubungan dengan Eric Soemitro yang adalah sepupunya, jadi aku akan memanfaatkan Olivia untuk mencari tau lebih dalam mengenai keluarga ini dan itu melalui dirimu. Dan kau juga bisa masuk ke dalam kehidupan Raditya melalui, Olivia." "Apa hubungan wanita itu dengan Raditya Malik?" tanya Ben penasaran. "Kau akan tahu, Ben, jika kau sudah masuk ke dunia wanita itu," jawab Jack. "Melihat trackmu selama di penjara berhadapan dengan orang-orang kejam di sana, pastinya kau bisa bela diri dan dulu kau juga aktif bela diri buka? Otot-otot tubuhmu menunjukkan kau sudah terbiasa dengan hal-hal berat." Ben diam mengangguk. "Sejak kecil aku juga belajar bela diri," sahut Ben. "Nanti sore aku akan mengajarimu bagaimana caranya menembak," kata Jack pada pria di hadapannya itu. "Aku bisa menembak. Tapi aku memang perlu pemanasan." "Bagus. Kartu identitasmu dan SIM akan selesai hari ini. Nama samaranmu adalah Benjamin Bameswara. Kau adalah sepupuku yang selama ini tinggal di luar negeri." Jack menjelaskan jati diri Ben yang baru. Ben menatap Jack terpana, ia tidak menyangka penyamaran dirinya sebagai sepupu pria itu. Jack tertawa melihat ekspresi pria itu. "Dan ini adalah dokumen yang harus kau tanda tangani. Ini prosedur yang harus diikuti oleh semua anggotaku." Jack menyerahkan map yang berisi kontrak dan peraturan-peraturan kerja selama Ben bekerja sebagai pengawal pribadi. Ben membaca kertas-kertas di tangannya lalu berkata, "Baiklah sepupu ... jadi poin pertama aku tidak bisa jatuh cinta pada klienku?" Jack tertawa mendengar panggilan sepupu dari Ben sambil mengangguk "Perasaan akan membuat logikamu terganggu. Pekerjaan seperti ini harus mengesampingkan perasaan pribadi." Ben tersenyum miring menatap Jack. "Untuk poin ini kau tidak perlu kawatir Jack. Ini tidak akan terjadi." "Jangan menganggap sepele hal-hal melankolis kawan. Yang kau jaga ini seorang wanita cantik, pintar, memiliki daya tarik yang tinggi." "Tidak ada artinya bagiku," jawab Ben enteng. "Suamiku dulu juga mengacuhkan aku, Ben, tapi kau bisa lihat sekarang kan? Anak keduanya sedang ada di dalam perutku," sahut Clara tiba-tiba yang sedang mangambil mainan putrinya yang tergeletak di rumput dekat mereka. Keduanya tidak menyadari kehadiran wanita itu sampai dia bersuara. "Tapi saat aku bertugas menjagamu, aku tidak melanggar peraturanku, Sayang," kata Jack pada istrinya. "Jangan terlalu memandang dirimu tinggi, Jack, saat itu aku tidak mengeluarkan semua jurusku," ucap Clara tersenyum menatap pria itudan berjalan mendekati mereka. "Dan Olivia bukan dirimu, Clara," sahut suaminya. Clara mengambil pulpen yang terletak di meja lalu mengambil kertas kontrak kerja dari tangan Ben dan dia mencoret poin pertama itu. "Kesempatan menjaga wanita cantik, pintar dan punya daya tarik yang tinggi adalah hal langka, Ben." Clara melirik suaminya dengan tatapan mengejek lalu kembali memandang Ben. "Jadi jangan menutup dirimu jika akhirnya kalian berdua nantinya sama-sama tertarik," kata Clara tersenyum pada pria kaku tersebut sambil menyerahkan kertas yang sudah dicoretnya. "Clara ... kita sudah sepakat untuk tidak ikut campur urusan pekerjaan masing-masing, Sayang," kata Jack dengan lembut pada istrinya, tapi ada nada peringatan di balik ucapan lembut itu. "Ben berhak jatuh cinta pada Olivia atau pada siapa pun. Bahkan anggotamu yang lain. Kecuali mereka terikat dalam pernikahan." Ben menatap suami dan istri itu dan berkata, "Aku pastikan tidak akan hubungan percintaan, Clara. Tidak akan ada." Jack mengangkat alisnya sambil menatap Clara  seperti menyampaikan pesan pada istrinya itu, lihat, aku benar kan? "Kalian laki-laki sering menganggap bisa mengendalikan segalanya." Clara membuang nafasnya jengah. "Jangan terlalu yakin, Ben. Lagi pula apa salahnya kalau kau jatuh cinta pada Olivia atau pada perempuan mana pun?" Clara memandang kedua pria itu secara bergantian. "Tidak ada yang bisa menggantikan istriku di hatiku. Clara. Selamanya," jawab Ben tegas penuh penekanan. Clara tersenyum padanya penuh arti. "Terkadang, cara hidup bekerja sering terjadi diluar kendali kita, Ben." "Clara ... aku rasa, kau pasti mengantuk di jam-jam begini," ujar Jack mengusir istrinya secara halus. "Kau mengusirku?" tanya Clara tersinggung. "Bukan, Sayang−" "Oh baiklah ... aku akan pergi."  Tapi sebelum ia beranjak, Clara menatap Ben penuh peringatan. "Ingat, Ben, poin pertama itu abaikan saja. Dan suamiku sayang, setelah aku melahirkan, aku akan bekerja sebagai asisten pribadimu. Aku tidak sanggup melihat pria-pria tampan dan gagah di Dragon Security harus hidup selibat karena peraturan bodoh itu." Wanita itu pun pergi meninggalkan mereka. Ben terkekeh sedangkan Jack menghembuskan nafas lega karena istrinya sudah pergi meninggalkan mereka. Ben membaca lembar tersebut dan lembar berikutnya. Setelahnya ia pun mendatangani kontrak kerja tersebut. "Kau tidak ingin mengunjungi makam istrimu?" tanya Jack pada pria tersebut. Sejenak Ben manatap pria dihadapanya itu terpana. Dia tak menyangka kalau pria yang baru dikenalnya ini sampai memikirkan sejauh itu. "Kau akan diantar oleh supirku." "Terima kasih," sahut Ben. Ia belum pernah melihat makam istrinya karena saat itu dia tertuduh sebagai pelaku pembunuhan. Ben juga tidak yakin apakah makam istrinya itu masih ada mengingat sudah dua belas tahun berlalu, mungkin kuburan itu sudah dibongkar karena tidak ada yang membayar pajak tanah pemakaman. Ben berjalan di bawah pohon rindang sepanjang jalan kecil di pemakaman umum tersebut ditemani oleh penjaga makam yang mengantarkannya ke makam istrinya. Baru beberapa langkah berjalan, dia merasa seperti ada yang memperhatikan dirinya, tapi pria itu menepis perasaan tersebut. Sekarang Ben berjongkok di makam istrinya yang nampak terawat. Menurut penjaga makam pajak dan biaya perawatan selalu dibayar. Dia tidak tahu siapa yang berbaik hati yang melakukan hal tersebut. Ben meletakkan mawar merah kesukaan Tania dengan tangan sedikit gemetar, menyentuh keramik nisan yang bertuliskan nama istrinya, Sania Ramona Theodorius dan ayat Alkitab 2 Timotius 4:7 Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. "Aku tahu Tania, berbicara di kuburanmu sekarang tidak ada gunanya, karena kau tidak akan bisa mendengarnya. Tapi aku tetap mau mengatakan aku sangat merindukanmu, sayang. Selalu," ucap Ben dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca. "Mas Spartan ..." Ben langsung menegang dan menoleh saat mendengar suara di belakangnya. Hanya orang tuanya dan ada satu orang lagi yang memanggilnya seperti itu. Seorang perempuan separuh baya yang saat ini berdiri di hadapannya memandang Ben dengan mata terbelalak. Keduanya sama-sama terkejut. "Bik Inah ...," ucap Ben dengan suara berbisik. Pengasuhnya yang menjaganya sejak lahir bahkan sampai dia sudah menikah. "Mas Ben... ini benar,Mas Ben, kan?" Bik Inah menatap lekat anak majikannya itu sambil menangis. "Bibik masih mengenalku?" Ben tidak menyangka dengan penampilannya sekarang masih ada yang mengenalnya. "Dari lahir, bibik yang menjagamu, Mas." Pengasuhnya itu semakin terisak. Kita bicara di mobil saja, Bik." "Sebentar Mas ... " ucap wanita itu, lalu menaburkan bunga yang dibawanya ke makam Tania. Setelah selesai menaburkan bunga, keduanya pun menuju mobil yang membawa Ben tadi dan di dalam mobil Bik Inah langsung memeluk pria itu. "Bibik ndak dibolehin ke penjara menjengukmu, Mas. Bibik sama suami bibik diancam juga." Bik Inah mulai bercerita saat mobil bergerak meninggalkan pemakaman itu. "Diancam siapa, Bik?" Ben menatap wanita yang sudah tampak tua itu penasaran. Bik Inah menatap majikannya tersebut. Secara fisik perempuan paruh baya itu awalnya tidak lagi mengenali Ben, tapi saat dia melihat anak yang dijaganya sejak kecil itu dari jauh, dia pun langsung mengenali pria itu dari caranya berjalan. Bik Inah bukan hanya sekedar pengasuh dan pembantu, dia sudah seperti ibu bagi Ben. Dia mengenali setiap jengkal tubuh pria itu dan gerakannya. "Jadi begini, Mas ... " Bik Inah pun menceritakan semua pada Ben sejak pria itu dipenjara dan ancaman-ancaman yang diterima wanita itu. "Bagaimana bisa Mas keluar dari penjara? hukumannya kan seumur hidup Mas?" "Nanti aku ceritakan pada, Bibik. Tidak sekarang." Bik Inah mengangguk mengerti. "Jadi, Bibik, sering ke makam Tania?" "Sering, Mas. Sekalian bibik nyekar ke makamnya, Mamang." "Mamang sudah meninggal?" Ben terkejut mendengar berita tersebut. Mamang yang dimaksud adalah suami Bik Inah. "Ndak lama setelah, Mas, masuk penjara, ada yang nabrak suami, bibik," kata Bik Inah sedih. "Sekarang Bibik, sama siapa? Tinggal di mana?" "Bibik sekarang sendirian, Mas, mengontrak di rumah kecil. Kerja Bibik sekarang nyuci," jawab wanita yang tidak memiliki anak tersebut. "Kenapa tidak pulang ke Semarang, Bik?" Bik Inah menggeleng. "Setelah peristiwa itu, Mas, bibik ikut mamang ke kampungnya di Bandung, tapi kami tidak lama tinggal di sana. Akhirnya bibik sama mamang kembali ke Jakarta. Sempat jualan di pasar. Tapi jualannya sebentar saja, karena mamang sudah meninggal." Ben menatap pengasuhnya itu dengan perasaan sedih. "Bibik, nanti tinggal denganku saja, tapi untuk sementara, Bibik, tinggal di kontrakan Bibik dulu sampai nanti aku jemput." Wajah Bik Inah nampak gembira. "Bik Inah kembali lagi kerja dengan, Mas Ben?" Pria itu mengangguk sambil tersenyum pada Bik Inah. "Tapi, Bibik, harus pura-pura belum mengenalku lama. Karena aku sekarang pakai identitas baru, Bik. Bibik, paham kan?" Bik Inah mengangguk mengerti. "Bibik ndak menyangka bisa bertemu lagi denganmu, Mas?" Ben tersenyum merangkul Bik Inah lalu menurunkannya di dekat rumah kontrakan wanita itu.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD