Chapter 2

4246 Words
Iqbal pikir gadis bernama Agnes itu akan tertidur di mobilnya karena kelelahan tadi memasak dengan Angel. Tapi tebakan lelaki itu salah. Bukannya tidur, Agnes justru sibuk merekcoki Iqbal yang tengah fokus dengan menyetir walaupun tak merespon Agnes sedikitpun. "Kak Iqbal! Heloooooo! Masih idup nggak sih ni yang nyetiirr? kak iqbaaaaaaaall!!" "Berisik!!" bentak Iqbal. Bukannya takut Agnes justru tersenyum. "Ngomong juga ternyata..." "Lo berisik...!" gerutu Iqbal. "Calon imam jangan begitu..." "Siapa yang Lo sebut calon Imam? " "Ya kakak Lah. Siapa lagi..? Ada cowok lain apa di sini.. ?" "Ngimpi Lo. !" "Ih, Calon imam nggak tahu ya, Bermimpi itu boleh, asal orang yang dimimpikan ada di depan mata, kayak kita heheheh. Untung akunya nggak ngimpiin Suga BTS buat jadi calon Imam? Kalau iya kan berabe. Karena itu mending mimpiin kak Iqbal. Hehehe" Iqbal seketika mendelikkan matanya jengah. 'Habis makan apa sih ni cewek gila..' gerutu Iqbal dalam hati. Iqbal lagi-lagi diam. Berbagai cara di pakai Agnes untuk Membuat Iqbal mau bicara dengannya, tapi tak berhasil. Agnes kini sudah diam di tempatnya. Sesekali gadis itu melirik ke arah samping, menatap wajah tampan Iqbal yang semakin terlihat tampan jika sedang serius. Agnes melirik ponsel yang ada ditangannya, sebelum ide gila itu muncul di otak pintarnya. "Kak, ponselnya mana?” minta Agnes membuat Iqbal menatap sinis gadis itu. "Mau apa Lo sama ponsel Gue?" "Siniin aja ih, susah amat." Iqbal tak merespon sama sekali sampai gadis itu melepas seatbelt nya dan mengacak jaket Iqbal membuat lelaki yang sedari tadi menahan emosinya akhirnya meledakkan tanpa ampun. Iqbal mengerem mendadak mobil yang tengah melaju kencang itu, membuat Agnes yang tak ada keseimbangan langsung terjengkang ke depan. "Aawww," Agnes merasakan kepalanya terbentur bagian runcing pinggiran AC mobil. "Kak Iqbal apa-apaan sih ngerem mendadak!" bentak Agnes pada Iqbal. Gadis itu masih memegangi kepalanya yang tadi terbentur. "Lo yang apa apaan! Jadi cewek jangan gatel." balas Iqbal tak kalah sinis. "Sakit tahu!" "Bodo.." Plaaakk!! Agnes menepok jidat Iqbal cukup kuat membuat lelaki itu terkejut. Gila ni cewek.. Belum ada yang berani nepok jidat gue selama ini kecuali gadis gila ini. Mana nepoknya keras lagi. "Apa-apaan Lo?" "Sakit kan? Sama. Ini kepala bukan batok kelapa. Main rem mendadak aja. benjol ni...!" tunjuk Agnes pada keningnya. "Turun Lo!" perintah Iqbal tegas. Mendengar perintah tak terbantahkan dari mulut Iqbal, seketika membuat Agnes bergidik ngeri. "Kakak gak becanda kan?" "Turun!" "Kak Iqbaaaal..." "Turun!" "Tapi...." "TURUN!!" Agnes terlonjak kaget mendengar teiakan keras Iqbal. Agnes melirik keluar jendela.  Ini gelap banget gila, Agnes kudu ottokke! Agnes mencoba melirik tepat di mata Iqbal sekali lagi guna mencari pengampunan. "Gelap kak..." ucap Agnes dengan WaTaDos. "Gak peduli gue..turun!" "Nanti kalau Agnes diculik gimana?" "Bodo" "Kak..." “Turun...!!" "Agnes pura-pura mati aja deh!" Agnes langsung menyandarkan dirinya di sandaran kursi dan memejamkan mata. Iqbal menatap Agnes cengo. Apa lagi sekarang yang dilakukan ni cewek? Batin Iqbal merutuk. "Jalan Kak Iqbal! Mumpung mode pura-pura mati Aqnes masih aktif ni. Nanti kalau udah gak aktif jangan salahin Agnes ya kalau Agnes ribut lagi." perintah gadis itu dengan mata masih terpejam. Iqbal seketika berubah menjadi orang cengo dalam waktu beberapa detik. Jujur seumur hidupnya, hanya Agnes yang pernah membuatnya seperti ini. Iqbal mencoba kembali melajukan mobilnya. Kalian tahu, Agnes benar-benar tersiksa saat ini. Agnes bukan tipe gadis yang bisa duduk tenang. Dia akan sangat amat kesusahan dan galau jika sudah di suruh duduk diam tanpa suara. ***** Angel dan Amanda tengah duduk di sebuah kursi panjang di taman kampusnya. Tapi bukan itunya yang jadi topik sekarang, melainkan tatapan Angel yang tak menunjukkan tanda-tanda persahabatan pada wanita yang berdiri tak jauh darinya. "Kenapa sih Lo? Udah kayak kepingin makan orang aja Lo tiap liat si Nami." ucap Amanda heran. Bukannya menjawab, Angel malah geleng-geleng kepala "Heran gue Nda sama tu cewek. Cantiknya dimana sih?" Amanda seketika mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan konyol dari Angel. "Maksud Lo?" "Lo nggak denger kabar tentang kelakuan si Nami?" "Kelakuan? Kelakuan apa?" "Parah tahu nggak. Tampang pas pasan, cantik juga kagak tapi malah dengan pedenya bilang cewek lain sok kecakepan. Gue pernah mergok tu cewek lagi bully si Dian di toilet Sastra yang lantai satu." Amanda melongo saat mendengar perkataan sahabatnya itu. Baginya, bagaimana mungkin Nami melakukan hal jahat tersebut, sedangkan Nami di mata orang-orang sangat baik dan ramah. "Ha? Serius Lo? Salah liat Lo kali. Cewek baik-baik gitu..." "Baik mata Lo picek! Waahh, berarti si tokek juga ketipu dong sama wajah sok polos dia." "Mata Lo yang picek! Lo perhatiin lagi noh, orang murah senyum gitu..." "Makanya gue bilang tadi si tokek ketipu dan Lo juga ketipu.." Amanda sedikit terdiam mencerna semua pernyataan dari sahabatnya itu. "Masa sih Ngel? tapi Lo ngapain di Sastra?" "Tokek kan di sana Mandaaaa. Lagian kak Daniel juga di sana kan. Asal lo tahu aja ni ya, walaupun gue di Manajemen, gue ini salah satu primadona para cowok sastra." puji Angel membanggakan dirinya sendiri. "Kampret Lo! Nyesel gue nanya lo ngapain di sastra. Udah ah, gue ada kuliah lagi. Lo udah selesai kan?" "Udah kok. Ya udah masuk gih sana! gue ada janji ketemu Agnes." "He? Agnes? Adeknya Daniel?" "Iya, siapa lagi yang kita tahu bernama Agnes.." "Ngapain?" "hehehe, curhat dia! Dia naksir sama si Tokek." pengakuan Angel sukses buat Manda terkejut. Pasalnya sifat Iqbal dan Agnes itu bertolak belakang, nggak mungkin bisa nyatu. "Wuiidihh. Siap-siap si Iqbal di rekcokin, hahahaha" "Nggak siap siap lagi, udah di rekcokin. Udah ah, cabut Lo! Ntar telat." "Ya udah gue kuliah dulu." Sepeninggalan Amanda, Angelpun juga bergegas berjalan menuju parkiran. Tapi langkahnya terhenti saat mata Angel membaca sebuah spanduk pengumuman seminar tentang kesehatan. Bukan itu fokus Angel sekarang, tapi si pemberi materi. Seorang dokter muda yang bernama Mike Steven Gerald. Angel mengusap dagunya sembari sedikit menyipitkan mata. "Muda banget wajahnya, Nggak yakin gue dia berpengalaman dalam bidang kesehatan. Apalagi di situ tertulis Ahli bedah. Yakin dia Ahli bedah?" ucap Angel. Bahkan gadis itu tak tahu jika orang-orang yang ada di sekitaran sana sudah meliriknya dengan tatapan aneh. Angel menggidikkan bahunya tak peduli. "Au ah. Sebodo amat. Mending gue pergi.!" Gadis itu seketika berlari sedikit melompat lompat menuju mobil kesayangannya terparkir. Lah, dia yang ngomen sendiri malah dia yang bilang sebodo amat. Kan aneh? *****   Kak Danieeell...!Pliiiissss, Ya Pliiisss...! boleh Agnes ikut ya.!?" Sudah seharian ini Agnes benar-benar membuat Daniel sang kakak frustasi. Pasalnya adiknya itu masih SMA, dan acara yang jurusannya adakan bukan ajang liburan melainkan acara pelantikan anggota baru untuk Generasi BEM lanjutan. "Agnes, Ini bukan acara main-main." "Agnes tahu kak. Tapi Agnes pengen ikuuutt. boleh yaaa!" bujuk gadis itu sembari menggerlingkan matanya pada lelaki tampan tersebut. "Hati-hati tu mata kebalik.." "Iiiiiiii Kak Daniel, Becanda terus.. Agnes serius.." "Kakak juga serius agnes. Lagian acaranya itu masih bulan besoknya lagi kok. Kamu malah ngerengeknya sekarang." ucap Daniel. Agnes langsung terdiam mendengar perkataan kakaknya itu? Eh? Bulan besoknya lagi? Satu setengah bulan lagi dong? Bukannya seminggu lagi? "Maksud kakak? Satu setengah bulan lagi? Bukannya seminggu lagi?" "Ha? Satu setengah bulan lagi coeeeng..! Makanya kalau mau ngerengek itu cari informasi dulu..!" geram Daniel sembari menoyor kepala Agnes kebelakang. "Isshh! Tapi kemaren Agnes denger kakak ngomong sama kak Iqbal tu seminggu lagi." Agnes belum bisa percaya. Pasalnya kakak tertampannya ini sering menipunya jika dia ada acara kampus seperti menginap. Agnes sering ditinggalin sendirian di rumah. "Seminggu lagi tu rapat penentuan tempat sama dana. Makanya kalau mau nguping itu jangan setengah setengah." lagi-lagi Daniel menoel kepala Agnes kebelakang. Lelaki itu sungguh gemas dengan adiknya yang kelewat polos. Kadang ya, polos sama bego tu beda tipis. "Issshh, bilang kek dari tadi! Kan Agnes nggak harus turunin gengsinya sekarang." sungut Agnes lalu pergi menuju kamarnya meninggalkan Daniel dengan tampang yang bisa dikatakan oon nggak bloon juga nggak. "Ckck.. Sebenernya yang harus kesel tu gue apa dia sih..." Setelah melakukan persiapan selama satu setengah bulan ini,  akhirnya acara kemah yang diadakan fakultas sastra dilaksanakan. Pagi ini banyak mahasiswa yang sudah berkumpul di depan jurusan dengan berbagai aktivitas mereka. ada yang sibuk berbicara bersama teman-temannya, ada juga yang sibuk dengan ponselnya, bahkan ada juga yang sedang mengecek ulang barang bawaan mereka. tapi berapapun banyak barang yang akan dibawa, mereka tak perlu khawatir. karena Setidaknya ada dua bus besar yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.  Iqbal minus Daniel kini tengah memasukkan barang bawaannya ke dalam Bus. Kenapa Daniel tak ada? Karena Daniel pergi dengan mobil pribadinya. Katanya sih harus ke suatu tempat dulu. "Baiklah! Untuk sekarang saya yang akan handel semuanya. Beberapa Panitia yang lain sudah ada di sana dari semalam. Sebelum berangkat, kita berdoa dulu menurut agama dan kepercayaan masing masing. Berdoa dimulai.!" sesuai intruksi yang Iqbal sampaikan, para peserta mulai menundukkan kepala mereka untuk melafalkan doa keselamatan. "Berdoa selesai! Sekarang silahkan masuk ke dalam bus. Sebentar lagi kita akan berangkat.!" setelah mengakhiri perintahnya, Iqbal berbalik arah menuju Nami yang tengah berdiri bersama beberapa rekan lainnya. Sedikit informasi, Nami juga merupakan anggota BEM, hanya saja tak memegang jabatan inti. Sementara itu, setelah rengekan panjang dan kembali menurunkan gengsinya, Daniel pun dengan pasrah mengiyakan permintaan Agnes. Kini gadis itu tengah bernyanyi ria di dalam mobil kakaknya.  Dia sungguh tak sabar untuk bertemu Calon imamnya. Sudah sebulan ini Agnes tak bisa bertemu Iqbal. Pasalnya setiap kerumah Iqbal, cowok itu pasti tak ada. Entah kemana Iqbal menghilang. "Ingat, sampe sana jangan heboh.!"Pesan Daniel lagi. Kalau di hitung, Daniel yang memperingati Agnes dengan kalimat itu sudah mencapai empat puluh lima kali. Agnes sampai bosan dibuatnya. "Iya kakaaak. Tenang ajaa. Agnes anaknya alim dan jaim kok. Jangan takut.!" Lelaki itu serasa ingin muntah mendengar penuturan adiknya kesayangannya ini. Kita lihat saja nanti...... Satu jam waktu yang Daniel pakai untuk sampai di tempat tujuan. Bus rombongan Iqbal belum tiba di lokasi saat Daniel sampai.   Agnes tampak celingak-celinguk mencari keberadaan Iqbal. Karena saat berangkat tadi kakaknya bilang kalau Iqbal sudah sampai dari semalam dan kampus di urus oleh panitia lain.  “Katanya udah sampai dari semalam, Tapi kenapa nggak keliatan.” Batin Agnes bertanya. Tak lama berselang, netra Agnes menangkap sebuah bus masuk ke dalam dan diikuti oleh satu bus lagi dibelakangnya. Agnes memicingkan matanya tajam dan penuh curiga saat melihat Daniel yang tengah berlari menuju bus tersebut. Jangan-jangan kakaknya itu menipunya lagi!? Jangan bilang kalau Iqbal ada di bus itu?. Tepat sekali.! Setelah Agnes mengungkapkan tebakannya, Iqbal tiba-tiba turun dari bus membuat Agnes cengo seperti orang bodoh. Jadi apa maksud Daniel yang mengatakan kalau Iqbal sudah pergi dari semalam? Sepertinya dia harus membuat perhitungan dengan lelaki tertampan baginya sesudah Papinya. Iqbal tengah menghampiri teman-temannya saat matanya melihat sosok Agnes sedang berdiri di ujung jalan. "Agnes?" panggilnya pelan. Iqbal seketika melirik Daniel yang kini tengah menunjukkan tampang tak berdosa pada lelaki yang kini sudah menatapnya tajam. "Dia minta ikut dan ngerengek sama gue. Ya udah, gue bawa aja." jawab Daniel santai membuat Iqbal mendelikkan matanya malas. Daniel yang ditatap Agnes dan Iqbal sekaligus, langsung mengangkat bahunya acuh dan pergi meninggalkan lokasi menuju tempat pendirian tenda. Disusul dengan Iqbal yang mengekori Daniel. Langkah lelaki itu terhenti seketika saat Nami memanggilnya dan itu tepat  di depan mata Agnes. "Kak Iqbal!" teriak Agnes tak terima. Harusnya dia yang ada di sana. Iqbal melirik sekilas ke belakang, tapi hanya sekilas karena lelaki itu langsung berjalan kembali menuju tenda bersama Nami. Ada rasa sedikit kecewa yang terpancar di mata gadis itu dan itu juga  menjadi perhatian oleh Daniel yang sedari tadi menatap adiknya. "Kapan sih Nes kamu nyerahnya."-Batin Daniel berharap. Dengan tak bersemangatnya, Agnes berjalan menuju arah dimana Daniel dan Iqbal berlalu. Dia hanya ingin mendirikan tendanya sekarang. Sesampainya di sana, Agnes kembali disugukan pemandangan yang bisa membuat hatinya kembali menangis. Iqbal, Lelaki yang sudah di cap nya sebagai calon imam itu kini tengah tertawa bercanda bersama gadis yang tadi Agnes lihat jalan dengan Iqbal. Mereka tengah mendirikan tenda bersama. Tidak, tampaknya Iqbal yang tengah membantu Nami mendirikan tenda gadis tersebut. Apa ini maksud kak Daniel yang memintaku untuk menyerah... Seketika Agnes teringat moment saat dia datang ke pernikahan Angel. Flash back On "Agneees...masih lama ya? Mau dandan berapa jam sih?" teriak Daniel yang sudah kesal menunggu di bawah. Begini ni kalau nungguin mak-mak dandan, ampe lumutan juga nggak bakalan bisa cepat. "Iya bentar ah! Gak sabaran amat." Dengan keluar dress putih selututnya ditambah sedikit renda dibagian leher membuat gadis itu tampak anggun. Apalagi sepatu high heel nya yang berwarna serupa menjadikan kesan langsing ditubuhnya semakin terlihat. “Gimana?  Udah kayak Tinkerbell belum?” tanya Agnes sembari berputar putar di hadapan Daniel. “Gak! Biasa aja! Buruan.!” Agnes menatap Daniel dengan tatapan mematikannya. “Issshh, pantesan kakak JoNes, cantik gini malah dibilang biasa aja.” sungut gadis itu sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal. “Buruan...” teriak Daniel lagi. “IYA JONES!” Sesampainya di mobil, Agnes kembali mematut dirinya di cermin kecil yang dia bawa. “Kak, kira-kira kak Iqbal suka gak ya sama penampilan Agnes?” tanya gadis itu tanpa melihat Daniel. Daniel menatap Adiknya itu dengan lamat.  Apa dia harus memberitahukan ke Agnes kalau Iqbal punya gebetan. Dia ingin bilang tapi ada rasa di hatinya yang membuat dia enggan untuk menceritakan pada sang adik. Dengan sedikit ragu, Danielpun akhirnya buka suara. “Nes..!?” “Hm?” “Dengerin kakak.!” Agnes melihat mata Daniel saat lelaki itu berbicara dengan nada seriusnya. Tak pernah sebelumnya dia melihat Daniel yang berbicara seserius itu padanya. “Kamu serius suka sama Iqbal?” Agnes menajamkan matanya menatap Daniel. “Maksud kakak?” tanya Agnes keheranan. “Maksud kakak,  apa nggak sebaiknya kamu nyerah aja!? Iqbal itu....” “Nyerah? Maksud kakak? Kakak kan tahu Agnes cinta sama kak Iqbal.” “jangan dibiasain nyelonong orang ngomong!” geramnya. “habisnya Kakak ngomongnya aneh. Kenapa malah bilang kayak gitu?” “Karena Iqbal nggak suka anak SMA. Iqbal nggak tertarik menjalin hubungan dengan anak SMA Nes! Kakak tahu dia. Lagian Iqbal udah punya calonnya sendiri. Dia satu jurusan sama kakak dan Iqbal. Hanya saja beda angkatan. Jadi kakak minta, jangan seperti ini lagi. Kamu akan terluka..” akhirnya, akhirnya Daniel berhasil mengungkapkan semua. Dia berharap Agnes akan menyerah setelah ini. Agnes tercenung saat Daniel mengatakan kalimat tersebut.  Kak Iqbal punya gebetan? “Ka..kakak nggak bohong kan?” tanya Agnes tak percaya. Mungkin lebih ke arah ingin membohongi keadaan. “Um. Dia punya gadis yang dia suka Nes. Kakak kenal gadis itu.” “Siapa kak? Siapa gadis itu?” Daniel sudah melihat ada cairan bening yang hendak keluar di mata adiknya. “Nes... “ “Mereka belum pacaran kan?” Tanya Agnes lagi dan dijawab dengan gelengan dari Daniel. Agnes sedikit bernafas lega. Setidaknya dia masih punya kesempatan. FLASHBACK OFF IQBAL POV Setelah disibukkan dengan mendirikan tenda, aku dan yang lainnya kini sudah berkumpul di sebuah ruangan aula. Hari ini adalah hari pembukaan acara dan sekarang  tengah diisi oleh Dekan yang sedang berpidato di depan. Dari sekian banyak orang yang ada di ruangan itu, Posisi Agnes cukup mengganggu pandanganku. Gadis itu sedari tadi sibuk memperhatikanku sambil sesekali melambaikan tangan. Saat istirahat pengerjaan tenda tadi, aku sempat bertanya pada Daniel tujuan Agnes datang ke tempat ini, tapi seolah sudah bersekongkol dengan sang adik, Daniel hanya mengangkat bahunya menjawab pertanyaanku. “Dasar gadis gila!” ucapku pelan, tapi ternyata tak cukup pelan bagi Nami gadis pujaanku yang kini duduk di sebelahku. Bicara tentang Nami. Dia adalah gadis keturunan Jepang-Indonesia. Walaupun hidupnya banyak dihabiskan di Jepang, tapi gadis ini cukup mampu menguasai semua kehidupan yang ada di Indonesia termasuk keadaan cuaca. Aku menyukai Nami? Mungkin iya mungkin juga tidak. Entahlah, aku belum bisa menentukan sejenis apa perasaanku dengan Nami ini. apa bisa dikatakan suka? “eh? Siapa yang gila?” tanya Nami yang langsung membuatku gugup. “Hahaha..ng..nggak siapa siapa kok. Ada seseorang.” jawabku sekenanya. Aku melirik ke arah Nami yang kini sudah kembali fokus dengan pidato Dekan di depan kami. Saat Nami dan aku sibuk dengan pikiran kita masing, kurasakan ponselku berdenting singkat tanda ada yang mengirimiku pesan. Kuraih ponsel tersebut dan kuusap layarnya guna melihat si pengirim pesan. Melihat kata-kata yang ada di pesan tersebut aku tahu siapa pengirimnya. Karena hanya gadis gila itulah yang berani memanggilku calon imam. Kulirik gadis itu dan ternyata memang benar dia. Cewek petakilan itu justru sedang sibuk melambaikan tangannya padaku. Ku sleepkan kembali ponselku dan memasukkannya lagi ke dalam jaket tanpa mau menyibuk-nyibukkan diri membalas pesan konyol tersebut. Tapi tak berapa lama ponsel itu kembali berdenting masih dengan pengirim yang sama. “Apa sih maunya ni cewek.” geramku sedikit keras. tak peduli jika Nami akan mendengarnya lagi. Kusimpan kembali ponsel pintar itu dan mencoba menghilangkan rasa kesalku pada gadis yang sudah merusak Moodnya dengan berbicara pada Nami sampai tiba-tiba indra pendengaranku mendengar suara dentuman yang cukup keras. Bahkan membuat Dekan yang tadi berpidato langsung terdiam. Semua mata juga tertuju pada objek suara tersebut. ternyata gadis petakilan itu yang tengah terjatuh. Aku cukup kaget saat melihatnya seperti itu, ada rasa aneh yang muncul begitu saja dihatiku. Tapi mungkin itu hanya rasa kasihan. Mungkin dengan mencoba mengabaikannya, rasa aneh itu akan lenyap begitu saja. Seperti acara perkemahan lainnya dengan tema uji nyali dan tantangan, acara kemah yang diadakan oleh jurusan Iqbal pun melakukan hal serupa yaitu membentuk tim regu dan meminta mereka untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya bendera yang sudah panitia sembunyikan di berbagai titik. Dalam acara kali ini, ada empat orang panitia yang juga akan ikut bermain bersama peserta dan mereka akan menjadi ketua tim dalam regu masing-masing. Iqbal menjadi salah satu panitia yang tak tahu letak keberadaan bendera. Sebenarnya bukannya tak ingin tahu, hanya saja dari kesepakatan panitia lainnya, Iqbal harus ikut dalam acara, jadilah Iqbal tak diberitahu dimana posisi bendera. "Baiklah! Ada empat kelompok yang akan bermain di sini. Masing-masing kelompok akan diketuai oleh panitia. Kalian jangan banyak berharap dengan panitia yang ikut bermain karena mereka juga tak mengetahui dimana posisi benderanya. Jadi gunakan kerja sama tim kalian untuk mencari tanda itu sebanyak mungkin." seketika terdengar suara seruan dari beberapa peserta. "Jangan banyak protes! toh jika panitia itu tahu dimana letaknya, kalian tetap tak akan mereka beri tahu.! sekarang saya akan membagi kertas gulung ini dan kalian harus ambil satu orang satu kertas. Jangan ada yang curang karena kertas semuanya pas. jadi kalau ada yang curang akan ketahuan." Daniel tak ikut andil bermain karena dia menjadi salah satu panitia yang menyembunyikan bendera.  Alhasil lelaki itu hanya berdiri di sebelah Agnes yang sudah gatal ingin masuk bergabung. Peserta diminta satu persatu untuk maju ke depan dan mengambil kertas tersebut. "Bagi kalian yang mendapat nomor 1, ketua tim kalian adalah Kak Anissa. Kalian yang  dapat nomor 2 ketua tim kalian adalah Kak Iqbal." saat nama Iqbal disebut, peserta yang mendapat nomor 2 langsung berteriak heboh dan segera berlari ke arah Iqbal berdiri. Iqbal termasuk salah satu senior yang digilai banyak junior cewek. Jadi tak bisa dipungkiri mereka yang dapat ketua timnya Iqbal akan berteriak kegirangan. "Bagi kalian yang mendapat nomor 3 ketua tim kalian Kak Ridwan dan bagi kalian yang dapat nomor 4 ketua tim kalian Kak Laras. Kalian sudah paham semuanya?" "Sudah kaaaak..!" "Baiklah, sekarang baris rapi sesuai tim kalian.!" Acara kembali dilanjutkan saat semua peserta sudah paham dan mereka sudah berkumpul bersama ketua Tim mereka masing-masing yang tadi sudah ditentukan. Daniel kini tengah berdiri menatap adiknya, gadis itu tampak menatap Iqbal cukup lama. Dimata Daniel sekarang, ada dua hal yang dia tangkap dari ekspresi adiknya saat ini. Pertama, Kesal karena Iqbal yang selalu mencuekkannya, yang kedua kepengen ikut bermain karena tak mau Iqbal bersama para peserta yang hampir semua isinya perempuan. Kakinya hendak ingin berlari untuk ikut serta dalam rombongan Iqbal, tapi dia bukanlah peserta kemah jadi alhasil Aqnes hanya bisa gigit jari. "Mau ikut?" tanya Daniel yang paham kegelisahan adiknya. "Eh? Emang boleh kak?" "Boleh kok. Sebenarnya setiap ketua tim harus di temani oleh panitia yang lain. Tapi syaratnya mereka tak boleh mendekat pada kelompok yang mereka ikuti. Hanya memantau dari belakang." Aqnes manggut-manggut mendengar penjelasan Daniel. Seketika binar rona terpancar jelas dimata Agnes.  Gadis itu langsung menatap ke arah Iqbal yang tengah sibuk berbicara dengan anggota regunya. Asik berbicara, Iqbal merasa ada yang memperhatikannya dari samping. Cowok itu pun seketika melirik ke arah sampingnya dan benar saja kalau saat itu Aqnes sedang menatap ke arahnya. Gadis itu langsung berlari ke arah Iqbal saat lelaki itu masih menatapnya lekat.  Tapi saat tubuhnya hendah mencapai posisi Iqbal, langkah Aqnes terhenti seketika saat netranya menangkap keberadaan Nami yang juga mendekat ke arah sang calon imam. Aqnes yang melihat itu langsung geram dan seketika berlari ke tempat Iqbal dan menabrakkan tubuhnya dengan sengaja ke tubuh Nami membuat gadis itu limbung. Untung Iqbal menangkapnya cepat, jika tidak Nami pasti sudah tersungkur dengan posisi yang sama sekali tak cantik. "Aqnes!!" bentak Iqbal keras yang membuat semua perhatian tertuju pada mereka berdua. Termasuk Daniel. "Apa-apaan sih Lo!!!" lanjutnya geram. Aqnes menggigit bibir bawahnya takut. Selama dia kenal Iqbal, tak pernah dia melihat tatapan penuh kebencian itu terpancar dari mata Iqbal untuknya. Seketika hati gadis itu terasa seperti diremas. "Aqnes nggak suka kak Iqbal dekat dekat sama cewek ini.!" teriak Aqnes tanpa bisa di kontrol. "Apa hak Lo?" geramnya. Daniel belum ingin mendekat.  Dia ingin melihat dan memantau dulu. Daniel bukan tipe kakak yang akan tetap membela adiknya saat tahu adiknya salah. Karena itu dia hanya memantau keadaan. "Kak Iqbal itu calon imamnya Aqnes.!" Suasana seketika hening saat perkataan Aqnes terlontar begitu saja dari bibirnya. Tak berapa lama terdengar bisik-bisik yang cukup jelas Agnes dengar. Sedangkan Daniel menepok jidatnya sendiri karena gemas dengan sang adik. “apa katanya? Calon imam? Ngigo ya ni cewek?” “pede banget tu cewek...” “diletakin dimana malunya tu orang..” “murahan banget jadi cewek..” Agnes melihat ke sekelilingnya. Menatap orang-orang yang tengah berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya sampai perkataan Iqbal membuatnya jatuh terhempas. "Gila Lo...!” dan itu terdengar cukup kuat di telinga Agnes. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Entah apa yang hatinya rasakan saat ini, yang jelas dadanya terasa sangat sesak. "Kamu nggak apa-apa Nami?"  Tanpa mempedulikan Aqnes, Iqbal justru terlihat begitu khawatir pada Nami. Aqnes terdiam melihat cara Iqbal memperlakukan gadis di hadapannya ini, cara mata Iqbal menatap gadis yang tadi dipanggilnya Nami itu. Semuanya berbeda, tak sama dengan cara melihatnya pada Agnes. 'Apa ini gadis yang disukai kak Iqbal? Apa ini gadis yang dibicarakan kak Daniel tempo lalu?' sesak gadis itu dalam hatinya. Dia terluka, hati gadis itu terluka. Hatinya serasa diperas. Parunya seolah tak bisa menghirup udara lebih banyak sehingga membuatnya sesak. Aqnes masih terdiam saat Iqbal yang tiba-tiba beranjak dari tempatnya berdiri menuju Daniel  setelah sebelumnya membantu Nami. Iqbal menarik sahabatnya itu untuk mengikutinya. Sedangkan Nami hanya menatap kepergian mereka dengan perasaan campur aduk. Iqbal membawa Daniel agak menjauh dari tenda. "Lepasin Gue!!" geram Daniel. Lelaki itu menghempaskan tangan Iqbal cukup kuat. "Gue tau Aqnes adek Lo Dan, dan gue hargai dia sebagai adek Lo. tapi sekali aja gue minta sama Lo, bilang sama dia jangan ganggu gue.! Lo pikir gue nggak malu dia bicara seperti itu tadi. Apalagi di depan Nami. Dia dorong Nami hanya karna hal sepele!" "Bagi Lo itu hal sepele.! Tapi bagi Agnes nggak! Lo pikir dia nggak terluka. Gue abangnya, gue tahu gimana Agnes. Dia nggak bakalan kayak gitu kalau nggak ada tujuannya. Coba Lo balik posisi Lo jadi Agnes.! Gimana rasa hati Lo?!" "lagian gue udah bilang sama Aqnes buat jangan ganggu Lo. Tapi Lo tahu Aqnes kan, anaknya bebal. Dia nggak suka dibilangin apalagi itu menyangkut yang dia suka. dan itu..." "Tapi gue nggak suka sama adek Lo!” Daniel terdiam seketika saat Iqbal membentaknya. “Gue nggak pernah tertarik sama anak SMA yang masih bocah ingusan. Dan Lo juga tahu kalau gue suka sama Nami!" lanjutnya. Anehnya, perkataan yang Iqbal ucapkan barusan, ditentang oleh hati kecilnya sendiri. Ada bagian di hatinya tak menerima kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya itu. Daniel menahan emosinya untuk tak mengahajar Iqbal yang sudah mengatai adiknya bocah ingusan. "Agnes bukan bocah ingusan seperti yang Lo bilang..." "Gue nggak bilang Agnes, tapi gue mengatakan anak SMA.." "TAPI LO SEKALIGUS NYINDIR AGNES b******k!" teriak Daniel penuh emosi membuat Iqbal terdiam. Tanpa mereka sadari ada telinga seorang gadis yang mendengar itu semua. Siapa lagi kalau bukan Aqnes, gadis itu mengikuti Iqbal dan kakaknya tanpa sepengetahuan mereka. Agnes bersembunyi di balik pohon pinus yang bisa menyembunyikan tubuh mungilnya. "tolong bilang sama adek Lo Dan! gue nggak mau liat Aqnes sampai nyakitin Nami seperti tadi lagi. Bilang sama dia, awasi adek Lo, gue mohon sama Lo. Gue cuma nggak mau kasar sama adek Lo dan nyakitin perasaan dia. Gue sayang sama Nami." Tes... Air mata itupun jatuh. Aqnes menutup mulutnya saat Iqbal selesai mengucapkan kalimat itu. Airmatanya jatuh tanpa komando, dadanya sungguh sesak dan hatinya nyeri sangat hebat. Kebingungan seketika melanda dirinya.  Hatinya terluka dan pikirannya kacau. Dia bahkan tak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini. Ingin menjauh pergi tapi dia tak bisa. Ingin menghilang tapi dia tak mampu. Apa yang bisa dia lakukan sekarang. "Gue tahu. Gue bakal bilang sama Aqnes. Gue juga gak mau dia terluka." itu suara Daniel. Akhirnya Daniel pergi meninggalkan tempat itu terlebih dahulu disusul Iqbal setelahnya untuk kembali berkumpul di barisan. Walaupun terasa sangat canggung, tapi acara tetap harus dilanjutkan. Satu hal yang Iqbal dan Daniel sadari saat mereka tiba di perkumpulan. Agnes tidak ada di sana. Setelah mereka berdua pergi, Aqnespun meluruh terduduk di tanah dengan bersandarkan batang pohon. Gadis itu menangis sejadi-jadinya, meratapi nasib percintaannya yang hancur sebelum memulai. Rasa sesaknya sulit dia hilangkan, walaupun tangannya sudah bertugas sedari tadi memukul dadanya kuat tapi sesak dan nyeri itu tetap tak mau pergi. "Apa begitu susah buat kakak liat keberadaan Agnes? Apa agnes terlalu buruk dimata kakak? Agnes sayang sama kak Iqbal. Hiikks hikkss." Agnes menangis tergugu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD