Bab 1

949 Words
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Namun, hal itu tidak membuat seorang gadis bernama Alena Kasya Laura bergeming dari tempatnya. Gadis itu masih fokus menatap layar ponselnya, beberapa kali gadis itu memainkan jari-jemarinya di atas layar ponsel miliknya itu. Gadis itu, tidak menghiraukan keberadaan seorang laki-laki yang tengah berdiri di samping tempat duduknya. Laki-laki itu diam, tidak berniat menghentikan aktivitas sang gadis yang masih asik bermain dengan ponselnya itu. "Alena Kassya Laura, bisakah kamu ke ruangan saya." Suara bariton yang keluar dari mulut laki-laki itu, membuat sosok gadis yang tengah berkutat dengan ponselnya itu mulai menegakkan badannya, dan menatap pria yang baru saja memanggilnya tersebut. Pria tadi akhirnya memutuskan untuk memanggil gadis yang ada di sampingnya itu, karena gadis itu tak kunjung menyadari kehadirannya. "Kenapa Bapak memanggil saya? Apa saya sudah berbuat salah?" Alena, gadis itu berbicara dengan bahasa santunnya. Kemudian, gadis bernama Alena itu mengerutkan dahinya. Merasa tidak mengerti kenapa ia dipanggil menghadap gurunya itu. Ia merasa sama sekali tidak bersalah. Ya, sebenarnya Alena bukanlah murid baik, bisa juga gadis itu disebut sebagai 'bad girl'. Kemudian, gadis bernama Alena itu segera meletakkan ponselnya ke dalam tas. "Apa saya perlu menjelaskan alasannya di sini?" Bukannya menjawab, pria itu balik bertanya. Alena, gadis itu menyunggingkan senyumnya. "Saya mengerti. Baiklah Pak," ucapnya diiringi senyuman manis. Pria itu mengangguk dengan wajah datarnya, lalu berjalan terlebih dahulu. Alena mengikuti langkah pria yang berstatus sebagai gurunya itu. Mereka berjalan melewati gudang, tempat yang lumayan sepi. Ah tidak, lebih tepatnya tempat yang sepi. "Auh..." Alena mengaduh ketika tubuhnya membentur tubuh keras gurunya itu. Beberapa saat yang lalu, gadis itu sempat melamun, sehingga tidak begitu memperhatikan jalan. "Loh Pak, kenapa berhenti?" Tanya Alena ketika gurunya itu sudah menghadap dirinya. Bukannya menjawab, pria itu menarik Alena ke dalam gudang. Membawa Alena ke tempat yang lebih sepi lagi. Pria itu mengunci rapat pintu gudang. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap pria itu setelah selesai mengunci pintunya, dan tentunya dengan bahasanya yang tidak formal lagi. Alena tersenyum. "Kak Leon mau bicara apa? Bicaralah, dengan senang hati aku akan mendengarnya." Dengan seulas senyum manis Alena membalas ucapan pria bernama Leon itu. Alena Kassya Laura dan Leonard Abraham, dua manusia yang sudah menjalin kasih sejak satu tahun yang lalu. Hubungan kisah kasih di antara mereka, sudah mereka tutup rapat-rapat, tidak satupun orang yang mengetahui tentang hubungan mereka. Bahkan pihak keluarga mereka pun tidak ada yang tahu. Usia mereka saja terpaut hampir sepuluh tahun, tapi itu tidak menghalangi cinta mereka. Mereka tetap menjalin kasih layaknya pasangan yang lain. Malah terkadang mereka melakukan hal yang lebih. Yang seharusnya tidak mereka lakukan sebagai sepasang kekasih. Leon sendiri, tampaknya memiliki alasan tersendiri, mengapa ia memilih muridnya sebagai tempat ia menyerahkan seluruh hatinya. Mata laki-laki itu selalu memancarkan binar aneh ketika melihat Alena, seperti ada rahasia tersembuyi yang tidak bisa ia jabarkan dengan mudah. "Bicaralah, katanya kakak mau bicara. Kenapa malah diam seperti ini? Aku sudah penasaran dengan apa yang akan Kakak bicarakan." Alena tersenyum menatap kekasih yang merangkap sebagai gurunya itu. "Akㅡ" "Kak Leon mau lamar aku ya? Kita mau nikah? Ayah dan Bunda pasti ngizin, lagipula sebentar lagi pengumuman kelulusan sekolahnya bakal diumumin, tinggal nungㅡ" "Bukan itu yang ingin aku bicarakan." "Maksudnya, Kakak mau ngomong tentang masalah apa?" ***** "Sepertinya kita harus berpisah. Aku sudah tidak mencintai kamu lagi, aku sudah tidak memiliki rasa sama kamu. Dan kita, harus benar-benar berpisah." Leon, pria itu berkata dengan raut santainya, tidak memedulikan raut terkejut yang Alena tunjukan. "Hah? Kak Leo? Apa maksud kakak?" Dengan lirih Alena bertanya. Leon menatap tajam Alena, ia menyunggingkan senyum sinisnya. Tapi, dari satu sudut lain, senyum itu malah terlihat seperti senyum sendu. "Aku tidak bermaksud apa-apa, sudah seharusnya kita berpisah. Dan jangan memanggilku, 'Kakak' lagi, aku guru kamu, dan mulailah berbicara formal." Alena mengerjapkan matanya, bagian otak kecilnya berusaha mencerna ucapan Leon. Kemudian beberapa pertanyaan mulai bermunculan di pikirannya. Kenapa dia meminta berpisah? Bukankah dia sudah mendapat semua yang dia inginkan dariku, termasuk kehormatanku? Dan kenapa aku tidak boleh memanggilnya kakak lagi? Kira-kira seperti itulah, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otak Alena. "Tapi, Pak. kita sudahㅡ" "Ya, aku tahu. Tapi tidak ada yang dapat kita sesali lagi, kita berpisah dan semuanya akan selesai. Lagipula aku ini guru kamu, Len. Tidak seharusnya kita bersama." Leon langsung memotong perkataan Alena, dengan kata-katanya yang menyakitkan. "Kak Leon tega! Aku benci Kakak!" Ucap Alena yang sudah tak mampu berkata-kata lagi. Alena memukul brutal d**a bidang Leon, yang hanya diam di tempatnya. "Bukannya aku tega, Alena. Aku juga melakukannya untuk kebaikan kamu," kata Leon dengan raut wajahnya yang tidak terbaca. Terdengar helaan napas dari laki-laki yang sudah menginjak usia 28 tahun itu. "Tapi bagaimana kalau saya hamil? bagaimana?! Apa kamu nggak mau tanggung jawab?" Air mata yang sedari tadi Alena tahan akhirnya luruh juga. "Aku yakin kalau kamu tidak akan hamil, Alena." Terdengar santai suara yang Leon keluarkan untuk menjawab pertanyaan Alena. "Tapi, kitaㅡ" "Kalaupun kamu benar hamil, solusinya hanya satu. Gugurkan bayi itu! Tapi, aku yakin seratus persen kalau kamu nggak akan hamil." "Bagaimana kamu bisa seyakin itu, jika Alena nggak akan hamil?" Di sela isakannya Alena bertanya. "Karena aku tahu. Ah sudahlah, semuanya sudah selesai di sini. Kamu jangan pernah mendekati aku lagi, lebih baik kamu siapkan mental kamu, karena sebentar lagi pengumuman kelulusan kamu. Selamat tinggal." Setelah mengucapkan kalimat panjang itu, Leon berlalu meninggalkan Alena sendirian di dalam gudang yang pengap itu. Isakan tangis Alena semakin menjadi. Ia tidak menyangka jika kisah cintanya akan berakhir seperti ini. "Tapi sayangnya, dia udah hadir di sini Kak Leon, dan aku tidak akan pernah menggugurkannya." Alena mengusap lembut perutnya yang masih datar. "Maafin bunda, sayang. Kalau nanti kamu lahir tanpa adanya Ayah kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD