Bab 2

1390 Words
Alena Pov Aku merasakan bibir basah mencium pipiku. Aku tahu siapa yang melakuakan ini padaku, selalu saja laki-laki ini membangunkanku dengan cara menggelikannya. Tapi, biar bagaimanapun aku tetap menyukai caranya itu. "Stop, sayang. Bunda udah bangun," ucapku setelah kelopak mataku terbuka. Laki-laki itu tengah menindihku, bibirnya mengerucut kesal. "Ih, Bunda gimana sih? Kayo udah bangun, kenapa dayi tadi Bunda melem teyus!" Gerutunya dengan logat anak kecil yang khas, dan aku sangat menyukainya. Apalagi suaranya yang masih cadel membuatku menahan tawa. Oh ya, apa kalian sempat berpikir buruk? Sayangnya, laki-laki yang aku maksud bukan laki-laki dewasa, melainkan laki-laki kecil dengan segala kelucuannya. Aku melihat wajah tampan putraku, wajahnya mengingatkanku pada laki-laki b***t tak bertanggung jawab yang tega meninggalkanku, di saat aku mengandung benihnya. Andai saja, aku tidak pernah jatuh cinta pada laki-laki itu, hidupku tidak akan seperti ini. Aku tidak perlu pergi mengasingkan diri, demi menjaga nama baik keluargaku. Setidaknya aku masih bisa bersyukur karena Ayah dan Bundaku, tidak membenciku karena perbuatanku yang sangat memalukan. Dan mau menerimaku dalam keadaan hamil tanpa suami. Namun, aku sadar jika apa yang aku lakukan telah membuat keluargaku kecewa. Dengan inisiatifku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Mengasingkan diri, demi nama baik Ayah dan Bunda. Ayah dan Bunda sempat tidak setuju dengan keputusanku, namun pada akhirnya mereka mengizinkanku dengan syarat, kalau biaya hidupku akan dibantu oleh mereka. Aku menyutujuinya, lagipula tidak mungkin aku langsung mendapat pekerjaan. Apalagi, aku hanya seorang perempuan yang baru lulus SMA, dan dengan pengalaman yang begitu minim, belum lagi dengan kehamilanku yang sudah menunjukkan tanda-tanda fisiknya. Sungguh, aku menyesali apa yang aku lakukan di masa lalu. Aku menyesal sudah merelakan tubuhku pada seseorang yang tidak sepantasnya menikmati tubuhku. "Bunda, buatin Rafa sayapan, Rafa udah lapal." Satu keunikan yang dimiliki putraku ini, anehnya saat mengucapkan namanya, yang mengandung huruf 'r', putraku ini tidak cadel. Justru kata yang dia lontarkan sangat fasih. Di usianya yang semuda itu, ia juga sudah cukup fasih mengatakan kata-kata lain, hanya saja dia memiliki kelemahan pada kata yang mengandung huruf 'r' ia tidak bisa menyebutnya dengan fasih. "Iya sayang, kayaknya cacing di perut Rafa udah pada demo, ya?" Aku bertanya sambil menoel pipi gembulnya. "Iya nih, meleka udah pada demo. Sampai-sampai Rafa capek ngedieminnya." Aku tertawa mendengar ucapan polos Rafa, di usianya yang ke lima tahun ini, dia sudah cukup pintar. Bahkan ia bisa mengingat, nama-nama hewan saat aku menunjukan gambar beberapa jenis hewan. Selain pintar, putraku ini senang sekali berbicara. Tidak jarang, ia juga sering memotong ucapanku. Tidak sopan memang, dan aku sudah menasihatinya. Namun nasihatku itu seperti hanya masuk dari lubang kanan, lalu keluar dari lubang kiri bagi Rafa. Rafael Abraham, nama yang kusematkan pada putraku itu. Aku tidak tahu kenapa menamainya dengan nama itu, nama belakangnya memang mengingatkanku dengan seseorang yang melukai hatiku dengan hebatnya. Tapi, entahlah. Aku tidak ingin memikirkannya. "Hm, ya udah deh, Bunda siapin sarapannya. Tapi Bunda mau mandi dulu, ya. Oh ya, Rafa udah mandi belum?" "Udah dong, Rafa udah mandi sendiyi, eh enggak tadi dibantu Mbak Naya, jadi badan Rafa udah besih dan wangi." Aku mencium hidung mungilnya yang mancung. Putraku ini sangat menggemaskan, membuatku tidak tahan untuk menciumi pipi gembulnya itu. Naya yang Rafa maksud, ialah sosok perempuan yang bernasib hampir sama sepertiku. Namun yang membedakannya, keluarga Naya mengucilkan dan mengusir Naya. Aku bertemu dengannya, saat beberapa bulan yang lalu, saat aku memeriksakan kondisi Rafa yang tengah demam. Waktu itu, Naya tampak kacau. Ia masih mengenakan seragam SMA-nya saat itu. Aku mendekatinya dan mencoba menenangkannya yang sedang menangis. Tanpa aku sangka dan kuminta, dia menceritakam semua yang sudah terjadi padanyaㅡmeskipun aku tak yakin apakah ia menceritakan semuanya secara detail, Naya sosok yang sedikit misterius bagiku. Sewaktu di rumah sakit itu, Naya bilang jika ia berniat untuk menggugurkan kandungannya yang katanya masih berusia sekitar satu atau dua bulanan. Miris, aku merasa sangat miris. Di dunia ini banyak laki-laki yang tidak bertanggung jawab berkeliaran, menebarkan benihnya lalu pergi begitu saja, ketika benih itu berbuah. Apa dunia memang tidak adil? Atau karena kita yang tidak bisa menyikapinya dengan benar? Ya, setiap permasalahan pasti ada hikmahnya. Aku tidak menyalahkan Tuhan akan musibah yang menimpaku, mungkin Tuhan telah menguji seberapa kuat kami bertahan. Sekaligus memberi ganjaran terhadap dosa-dosaku yang begitu besar. Kembali pada cerita Naya. Waktu itu, Naya sudah hampir menyerah, ia sudah berniat menggugurkan kandungannya. Beruntungnya Naya dapat kupengharuhi, sehingga aku bisa mencegahnya untuk membunuh darah dagingnya sendiri dan mengajak perempuan itu untuk tinggal bersamaku dan juga putraku. Aku tidak ingin Naya mengalami penyesalan besar akibat yang dilakukannya. Jadi, sebisa mungkin aku terus memberinya kata motivasi agar niat-niat buruk di kepalanya segera hilang. Meskipun kami baru mengenal, tapi aku dapat merasakan bagaimana kepribadian Naya yang baik. Jauh dari kepribadian diriku sendiri. "Kalau gitu, Rafa tunggu Bunda di sini, Bunda mau mandi dulu, oke?" Ucapku pada Rafa. "Oke, bunda!" Setelah itu, aku mengambil buku gambar dan peralatan menggambar yang berada di nakas samping tempat tidurku, lalu memberikannya pada Rafa. "Rafa gambar dulu aja, ya. Selagi Bunda mandi." Kembali aku berucap padanya. "Oke, bun!" Angguknya penuh semangat, aku tersenyum. Kemudian segera beranjak dari dudukku lalu, menuju kamar mandi. **** Waktu sudah menunjukan pukul enam lebih duapuluh menit. Aku dan putraku masih menunggu kedatangan bis trans Jakarta yang mengarah langsung ke play group tempat Rafa mengenyam pendidikan dininya. "Bunda, bunda, kok bisnya belum datang, sih. Nanti Rafa teyat lagi," gerutuan kecil itu keluar dari mulut putraku. Aku tersenyum mendengarnya. "Mungkin bis-nya lagi minum, makanya telat." Aku menjawabnya dengan asal. Aku sudah cukup bosan mendengar pertanyaan putra tampanku ini, dia sering menanyakan satu pertanyaan yang sama. Dan tentu saja aku sudah memiliki satu jawaban yang tentunya sudah aku hapal di luar otak. "Minum? Minum apa Bun?" Tanyanya lagi, sebenarnya ini pertanyaannya yang serupa yang sudah pernah ia tanyakan. Mungkin sudah sebanyak, ehm... Bahkan aku lupa itu pertanyaannya yang ke berapa. Bukankah sudah aku bilang tadi, kalau anak laki-lakiku ini suka mempertanyakan pertanyaan yang sama? "Minum bahan bakar, sayang. Contohnya motor, motor minum bensin, truk minum solar." Aku mengelus kepalanya. "Minumnya pake mulut nggak, bun?" Aku menepuk keningku pelan. Anak kecil suka kepo. Mana ada kendaraan yang minum pakai mulut, tapi salah aku juga sih, yang menggunakan kosa kata 'minum', yang jelasnya tidaklah tepat untuk kugunakan. "Ya enggak lah, mereka itu nggak punya mulut, mereka punya lubang yang ngehubungin tabung bahan bakarnya, kalau mereka butuh bahan bakar, tinggal lewat lubang itu ngasihnya," jelasku yang membuat Rafa mengangguk, entah karena mengerti atau apa, aku tidak tahu. Anak-anak itu sulit ditebak. "Tapi Bun, Tayo sama Poyi, kok punya mulut? Katanya kendayaan nggak punya muyut." Poyi yang putraku itu maksud adalah Poli. Salah satu tokoh animasi dari negeri Ginseng, di mana ia adalah seorang mobil polisi yang bisa berubah menjadi robot. Mungkin sejenis dengan Transformer. Untuk yang kesekian kalinya aku menepuk dahiku. Selalu seperti ini, tidak ada lelahnya anakku ini bertanya. "Mereka kan cuma animasi, sayang. Mereka nggak nyata, itu cuma gambar," ucapku menjelaskan lagi. "Oh gitu, Bun. Tapi Rafa tetep nggak ngeti. Rafa tambah bingung," kata putraku sambil menggaruk-garuk kepalanya, aku tertawa melihat tingkah menggemaskannya ini. Dengan gemas aku mencubit pipinya. "Bunda, sakit." Rafa mengaduh, bibirnya mengerucut kesal. "Habisnya kamu ngegemesin, Bunda nggak tahan pengen nyubit." "Tapi nggak usah kenceng-kenceng juga Bun, sakit." Rafa semakin mengerucutkan bibirnya. "Ih, jangan ngambek dong, tuh bisnya udah dateng." Aku berdiri dan mengulurkan tanganku di depannya. Putraku itu masih diam, sepertinya dia mulai merajuk. "Anak Bunda, kok ngambek? Ayo buruan, keburu bisnya jalan," ucapku membujuknya. Akhirnya ia menerima uluran tanganku, mukanya tampak cemberut. "Udah dong ngambeknya, nanti Bunda beliin es krim deh." Matanya menatapku dengan berbinar. "Benelan Bun?" Aku mengangguk. "Hoyeee!! Akhilna beyi es klim. Ya udah Bun, ayo naik." Ia menarik tanganku ke arah bis, aku tersenyum mengikutinya. Saat di depan pintu bis, Rafa berhenti. Ia dengan tubuh kecilnya itu tidak bisa menjangkau pijakan tangga pintu masuk yang cukup tinggi. Dengan cepat aku menggedong tubuhnya dan membawanya ke dalam bis. Kondisi bis yang masih sepi penumpang membuatku bebas memilih tempat duduk. Akhirnya akupun menjatuhkan pilihan untuk duduk di kursi belakang sang sopir. Tidak lama, bis pun melaju melewati jalur busway khusus untuk fasilitas transportasi bus Trans Jakarta. Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang melanggar lalu lintas, dengan mengendarai kendaraannya di jalur busway. Padahal, pemerintah sudah membuat kebijakan-kebijakannya tersendiri. Hanya tinggal masyarakatnya saja yang sadar diri. Dan mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan. **** Tbc... Maaf kalau cerintanya aneh, dan banyak typonya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD