[ RIYO - 02 ]

1179 Words
Mobil hitam yang masih melaju dengan kecepatan penuh itu kini memasuki gerbang yang menjulang tinggi, jauh dari keramaian. tempatnya benar-benar tidak tersentuh oleh siapapun, hanya pepohonan yang terlihat disisi kanan maupun kiri jalan. sedangkan Riyo yang ada di sampingnya tertidur dengan menghisap ibu jarinya sendiri. menggemaskan! Letak gerbang utama sampai pintu mansion memakan waktu lima belas menit lamanya, begitu mobil sudah terparkir di pelataran mansion. pemuda itu berjalan keluar dengan menggendong tubuh kecil Riyo. Dua pengawal yang ada di depan pintu menunduk hormat melihat kedatangan tuan mereka. keduanya dengan sigap membukakan pintu yang menjulang tinggi tersebut, pintu terbuka lebar mempersilahkan agar pemuda tadi bisa masuk ke dalam. ”Sa?” kedatangan Reksa disambut dengan panggilan Renal yang berdiri dengan memegang gelas kecil yang berisi alkohol. Reksa, pemuda yang masih menggendong tubuh kecil Riyo hanya menatap Renal dengan alis terangkat. kakinya melangkah ke arah ruang tengah tempat ketiga sahabatnya duduk, tubuh kecil Riyo dia baringkan di sofa panjang. Hanya dia dan keempat sahabatnya yang tinggal di mansion ini, orang tua mereka masing-masing berada di luar negeri. mereka memang bukan asli Indonesia, namun saat usia mereka tiga belas tahun mereka memilih menjauh dari keluarga dan hidup bersama. Reksa sendiri merupakan anak tunggal, tidak memiliki kakak maupun adik. namun dia tidak mempermasalahkan hal itu, dia sudah nyaman dengan kehidupan sekarang. Reksa si anak tunggal yang memiliki wajah tampan serta cool itu tidak pernah bersikap lembut kepada orang asing, apalagi sampai melakukan kontak fisik. kulitnya langsung bereaksi bentol-bentol sampai memar, bahkan dia pernah dirawat di rumah sakit akibat melakukan kontak fisik dengan musuhnya. kecuali dengan keluarga besar maupun sahabatnya, kulitnya tidak akan bereaksi apapun karena sudah terbiasa bersentuhan dengan mereka. ”Anak siapa, Sa?” tanya Roy, cowok petakilan yang selalu membuat suasana terasa ramai. sikapnya lumayan friendly untuk seukuran bertegur sapa dengan orang asing. ”Kulit lo nggak papa?” tanya Ray, cowok cool yang lumayan friendly, Ray dan Roy memiliki ikatan darah. keduanya merupakan saudara kembar, bahkan kepribadian keduanya tidak berbeda jauh. ”Nggak tahu,” balas Reksa cuek yang kemudian mendudukkan dirinya di sofa single. Tangan Reksa dicek langsung oleh Reza dengan menelitinya dari jarak dekat, Reza--cowok yang dinginnya sebelas tiga belas dengan Reksa ini memiliki tingkat kepekaan yang tinggi. kepekaan serta ketersediaannya sangat dibutuhkan, bahkan untuk menganalisa sesuatu dia cepat tanggap. ”Nggak kenapa-napa 'kan, Za?” tanya Renal setelah Reza cukup lama memeriksa tangan Reksa. ”Nggak papa, sedikitpun nggak pa-pa.” jawab Reza. sedikit tidak percaya karena setahunya kulit Reksa akan langsung bereaksi merah-merah jika bersentuhan dengan orang asing. ”Kok bisa?” tanya Roy terkejut, sejauh ini memang Reksa selalu menghindari kontak fisik dengan orang asing. ”Gue bilang nggak tahu, ya!” Reksa membalas pertanyaan Roy dengan kesal. dia sudah sangat kelelahan hari ini, dan Roy malah mempertanyakan hal yang dia juga tidak ketahui. Roy yang akan kembali bicara menjadi urung setelah mendengar lenguhan dari bibir Riyo yang sudah terbangun. Tangan kecil Riyo terangkat untuk mengucek kedua matanya, namun pergerakannya terhenti karena tangan Renal menghentikan pergerakannya. ”Jangan dikucek, nanti merah.” ujar cowok itu. Riyo menatapnya tanpa berkedip, lalu menunduk setelah mengingat bahwa dia tidak berada di rumahnya saat ini. Tatapan mereka tertuju sepenuhnya kepada Riyo yang menunduk dengan meremas baju yang dia kenakan. ”Nama kamu siapa? alamat di mana? kok bisa jam segini masih di luar? korban penculikan? atau, kabur dari rumah? tersesat? lupa jalan pulang? diusir orangtua? nakal?” ”Lo nanya apa introgasi, sih?” ucap Ray jengkel. Riyo hanya diam, tidak membuka suara sedikitpun. sedikit bimbang harus menjawab apa, dia tidak akan berasalan untuk menarik simpati mereka. karena selama ini, kedua orangtuanya tidak pernah mengajarkannya untuk berbohong. ”Gue yang nabrak,” kata Reksa yang membuat atensi keempat sahabatnya itu langsung menoleh ke arahnya. Reza langsung bangkit begitu mendengar penuturan Reksa, Riyo yang duduk di sofa dipaksa berdiri oleh Reza untuk mengecek tubuh kecil Riyo. sungguh kesigapan Reza dalam bertindak sangat cepat, tidak perduli itu siapa. ”Nggak ada luka, untungnya.” Reza berujar lega membuat mereka ikut merasa lega. berbeda lagi dengan Reksa yang terlihat biasa-biasa saja. ”Maaf, sebenarnya Iyo yang sengaja lari ke tengah biar kesannya Iyo ditabrak.” ungkapan jujur Riyo langsung membuat emosi Reksa memuncak. ”b******k!” Teriak Reksa menggelegar. kakinya menendang meja yang ada di tengah hingga sedikit bergeser, rahangnya mengeras dengan kedua tangan yang mengepal kuat Riyo yang tadi mengangkat kepalanya kembali menunduk. air matanya menetes begitu saja, rasanya menyakitkan mendengar teriakkan kasar yang tertuju untuknya. dia tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini dari kedua orangtuanya, bahkan kedua orangtuanya tidak pernah membentaknya sekalipun. Ray yang melihat punggung Riyo bergetar dengan segera memeluknya erat, tangannya mengusap-usap punggung Riyo dengan lembut. ”Sa, tenang dulu. nggak mungkin ’dia’ ngelakuinnya tanpa alasan.” Bela Ray. ”Lo bela dia? cih!” Reksa memandang tak percaya dengan apa yang Ray katakan. Ray menggeleng, ”Enggak. gue nggak bela siapapun, tapi lo mikir deh, Sa. anak sekecil ’dia’ nggak mungkin lakuin itu tanpa alasan!” Kekeuh Ray membela Riyo. menurutnya, tidak mungkin anak sekecil Riyo melakukan hal seperti itu tanpa alasan yang kuat. Reza menepuk bahu Reksa dengan pelan, ”Tenangin diri lo.” ujarnya. Riyo yang masih berada di pelukan Ray sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata penenang yang diucapkan Ray maupun Roy. keduanya memiliki sisi hangat yang membuat Riyo merasa lebih tenang di dekap seperti itu. ”Udah, ya, nanti beliin cokelat, mau?” Bujuk Ray. sedikit tidak tega melihat Riyo yang terus-terusan sesegukan. Riyo menggeleng, tangannya kembali meremas baju kaos yang dikenakan Ray dengan kuat. ”Reksa nggak marah, cuma kaget aja, iya 'kan, Sa?” ujar Roy. tatapan matanya seolah memperingatkan Reksa untuk mengangguk, namun Reksa tidak merespon apapun. Reksa hanya diam, tidak merespon apa-apa. Roy berdecak kesal melihat Reksa yang hanya diam saja. ”Mau cerita? kita nggak marah kok, cerita, ya?” Renal ikut membujuk. sepertinya, ada yang perlu diluruskan di sini. ”Nggak papa, ayo cerita.” kata Ray, tangan kecil Riyo yang melingkar erat di perutnya dia lepas dengan pelan. kedua tangannya menangkup kedua pipi Riyo, mengelus permukaan kulit Riyo yang lembut seperti p****t bayi. Riyo mengangguk, dia bersedia untuk bercerita setelah mereka menatapnya dengan anggukan mantap, kecuali Reksa. Riyo menarik napas pelan sebelum mulai bercerita, dia memberanikan dirinya untuk menatap netra tajam Reksa. mereka mendengarnya dengan seksama, tidak ada yang menyela cerita Riyo dari awal sampai akhir. ”Gila! nggak nyangka sih, ada cewek yang kek gitu.” Komentar Roy setelah Riyo menyelesaikan ceritanya. ”Dengar, Sa? dia punya alasan sendiri buat ngelakuin itu, kalo gue jadi dia sih bakal ngelakuin hal yang sama.” Komentar Renal, membenarkan perlakuan Riyo. ”Darah gue mendidih pengen silaturahmi sama tu pengasuh!” Desis Ray emosi. ”Memarnya aku obatin, ya?” kata Reza meminta persetujuan Riyo. Riyo menggeleng kecil, menolak Reza yang akan mengobati memarnya. ”Maaf, seharusnya Iyo nggak ngelakuin itu.” cicit Riyo pelan. dia merasa bersalah kepada Reksa, wajar Reksa marah. ”Gimana, Sa? Riyo biar tinggal sama kita aja.” Pinta Ray takut-takut. ”Tidur lagi, besok gue anterin pulang!” ”SA!” ______
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD