Hantu Shock

1929 Words
Dari jauh Bianca melihat itu dengan geram. Dia harus mendapatkan Tama kembali bagaimanapun caranya. Pertama yang harus dia lakukan mengetahui kemana Tama akan dibawa. Nyatanya Tama dilarikan ke rumah sakit besar. Sesaat pacuan jantungnya terhenti, semua karena asab tebal hingga masuk ke paru-paru dan traumatis kecelakaan yang membuat organ vital Tama terkecoh. Para dokter berusaha keras. Sayangnya Tama tidak menunjukkan reaksi berarti dan akhirnya tim dokter mengkonfirmasi jika mereka gagal menyelamatkan nyawa Tama. Hari ini seluruh negeri digemparkan dengan kabar kematian seorang aktor terkenal yang sedang berada di puncak popularitas. Seluruh surat kabar, majalah dan portal berita di televisi maupun sosial media yang terbit hari ini pasti memberitakan tentang kecelakaan yang dialami Tantama buana hingga menyebabkan hilangnya nyawa. Semua pihak menyayangkan. Mencari penyebab kematian Tama selain kecelakaan tersebut. Mereka seperti cenayang bahkan ada yang menduga Tama sengaja mengakhiri hidupnya karena ada tekanan dalam pekerjaan. Irwan, sebagai manajernya jadi bulan-bulanan pencari berita. Tetapi lelaki itu saja tidak tahu apa yang terjadi pada artisnya. Dia baru saja melek mata ketika melihat berita kecelakaan disiarkan televisi dan betapa kagetnya saat tahu kecelakaan itu melibatkan Tama. Kematian yang begitu mendadak sangat disayangkan. Hampir seluruh fansnya menangis histeris lalu berbondong-bondong ke rumah sakit. Tempat terakhir Tama dibawa. Sayangnya kelihaian para pencari berita juga tidak bisa dielakkan. Entah mereka tahu dari mana hasil pemeriksaan kepolisian yang mengatakan menemukan dua kantong kecil yang diduga obatan terlarang dimobil Tama. Hasil pemeriksaan juga mengatakan Tama dalam pengaruh barang haram ketika dia menyetir. Semua menjadi berita hangat. Semakin digodok dan dikait-kaitkan dengan gerakkan Tama selama ini. Ada yang bilang pantas saja, dia terlihat tidak cepat lelah. Alasannya karena dia punya dopping yang menjadikan badannya bisa lebih fit lama meski kurang istirahat. Suasana semakin keruh. Para fans yang tadinya membela sekarang tidak bisa menyangkal karena polisi sudah menemukan barang bukti di dalam mobil Tama. Juga tidak ada saksi yang bisa membelanya. Semua fans yang merasa kecewa jadi berbalik menyalahkan Tama. Bahkan dengan tega mengatakan apa yang Tama tuai sepadan dengan kelakuannya. Meski andaipun benar, Tama kan hanya menyakiti tubuhnya sendiri. Dan tidak perlulah mereka mengutuk Tama. Apa para fans itu lupa, jika Tama selalu rutin olahraga dan minum vitamin karena itulah dia punya tubuh yang bugar dan fit. Hari itu menjadi hari duka cita nasional bagi seluruh fans dari gadis muda sampai ibu-ibu. Kecuali satu perempuan... “Ha ha ha. Bagaimana rasanya, Tama? Apa kamu sudah menyadari kesalahanmu? Kamu terlalu bodoh, Tama. Kamu lebih memilih mati ketimbang menjadi priaku.” Dengan senyum smirk perempuan yang tidak lain adalah Bianca itu tertawa girang saat melihat berita yang trending nomor satu di televisi. Rike tertegun, matanya memanas saat menatap ponsel di tangan. Putranya yang pergi dari rumah dengan kemarahan tiga tahun lalu, dan kini dia mendapat kabar dari media bahwa putranya itu meninggal karena kecelakaan. Airmata dengan cepat jatuh. Baru semala dia begitu bangga dengan pencapaian Tama. Pantas sejak semalam dia tidak bisa tidur. Rike fikir, karena dia sangat merindukan Tama. Rasanya ingin memeluk anak itu dan mengatakan selamat secara langsung. Rike tahu, Tama kesepian sebab itu dia rasakan. Dia tidak melihat dari mata, namun batin mereka menyatu. Kesedihan yang berusaha Tama tutupi terbaca jelas oleh Rike. “Tidak! Tidak mungkin Tama meninggal. Mereka pasti salah orang, ya, mereka salah. Tama belum memaafkan aku, jadi mana mungkin dia meninggalkan ibunya ini sendirian!” Rike berteriak keras hingga membuat beberapa orang yang ada di dekatnya terkejut. Sebagian orang yang sudah tahu tentang Tama tentu merasa prihatin pada Rike. Tetapi bagi yang tidak tau mungkin mengira wanita itu gila. Sayangnya Rike tidak peduli dengan pandangan orang terhadapnya. Dia sudah terbiasa dicap negatif. Dan saat ini yang terpenting mengetahui kabar Tama. Selama tiga tahun, Rike tidak berpangku tangan. Dia mencari tahu semua tentang anaknya termasuk studio tempat Tama sering latihan. “Aku harus pergi ke studionya,” ujar Rike seraya meraih tas dan melenggang pergi. Dengan menaiki taksi Rike mendatangi rumah produksi musik yang menaungi Tama selama ini. Meski dia sudah tahu lama, tetapi baru kali ini dia berani datang. Rike takut jika Tama akan semakin membencinya. Tapi kali ini dia menepis semua dugaan itu, dia harus tahu kabar Tama yang sebenarnya. Langkahnya dihalangi oleh para satpam yag jadi jauh lebih banyak, lagi-lagi karena berita tentang Tama. Pihak production house harus mengamankan kantor dari pihak luar. “Maaf, Bu. Tapi ibu tidak di ijinkan untuk masuk!" Rike menggeram. Dia akhirnya terpaksa mengakui siapa dirinya. "Saya ibunya Tama. Saya ibu kandungnya. Saya butuh tahu keadaannya." Suaranya gemetar dan panik. Awalnya satpam itu tidak percaya. Tapi Rike juga tidak terlihat berbohong. Dengan berat hati dia mengijinkan Rike masuk lebih dalam menemui seorang staf wanita. Staf itu menyambut Rike. "Saya mau tahu, apa yang terjadi pada Tama. "Ini semua di luar dugaan semua orang. Kami pun tidak menginginkan hal ini terjadi,” terang salah satu staf rumah produksi itu. Pemiliknya sedang mendampingi jenazah Tama di rumah sakit. Begitulah kabar yang orang tersebut dengar. Ketika ditanyai apa nama rumah sakitnya. Staf itu bilang tidak tahu. Rike berjalan gontai di sepanjang jalanan kota. Dia masih belum percaya bahwa putra tunggalnya itu sudah pergi. Bahkan tidak mengatakan apa pun padanya sebelumnya. “Kenapa kamu pergi, Tama? Kenapa kamu ninggalin Mama?” teriaknya seperti orang gila di jalan. Dia tidak peduli anggapan orang-orang tentangnya. Kini dia naik ojek untuk sampai ke rumah sakit kepolisian. Dia harus memastikan bahwa anaknya masih hidup. Rike mengikuti naluri. Tangannya tidak berhenti mencari berita tentang Tama. “Maaf Ibu siapa?” tanya seorang polisi saat dia tiba di rumah sakit. “Saya mamanya Tantama Buana. Aktor yang menjadi korban kecelakaan tunggal,” jelas Rike mengungkapkan siapa dirinya. “Maaf, Bu. Mayat Tantama Buana sedang ditindak lanjuti karena dia juga terindikasi memakai obat-obatan terlarang.” “Nggak, nggak mungkin anak saya pemakai. Dia anak yang baik. Kalian pasti salah!” pekik Rike dengan berurai air mata. Dia tidak terima anaknya dikatakan sebagai pecandu. Meski sedikit tertutup, tapi Tama itu anak yang baik sejak kecil. Dia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi mana mungkin dia menceburkan dirinya dalam kubangan barang-barang haram. “Sekali lagi maaf, Bu. Polisi tidak mungkin salah dalam mengidentifikasi. Dalam tubuh saudara Tama memang terdapat barang terlarang. Selain itu di mobilnya dia juga menyimpan barang itu jadi tidak ada yang bisa menangkal. Silakan Ibu datang ke pemakaman saudara Tantama Buana besok pagi.” Tubuh Rike langsung luruh ke lantai. Begitu sakit saat mendengar sang anak akan dimakamkan esok hari. Padahal dia masih berhutang banyak penjelasan tentang asal usul putranya itu. Perlahan matanya tertutup dan tak sadarkan diri. *** Elea menolak tinggal di rumah dokter bernama Rian itu yang kini menjadi walinya. Selain sungkan, rumah itu juga terlalu jauh dari rumah orang tuanya. Elea masih berharap pulang dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Dokter Rian berpikir sejenak, lalu berkata, “Saya punya satu tempat lagi yang mungkin bisa kamu tinggali. Tapi saya tidak tahu kamu mau atau tidak tinggal sementara di sana.” “Memangnya di mana, Dok?” tanya Elea. “Emh ... rumah singgah milik orang tua saya.” Sebenarnya dokter Rian tidak enak hati menyuruh Elea tinggal di tempat penampungan. Tetapi untuk saat ini dia tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin Elea tinggal sendirian di rumah kontrakan orang tuanya, sedang orangtuanya sudah pergi. “Tidak apa-apa, Dok. Saya tinggal di penampungan saja. Sekalian saya bisa bantu-bantu di sana nanti.” Dokter Rian tidak menyangka kalau Elea tidak menolak tinggal di rumah singgah. Bahkan dia terlihat begitu antusias. Sekitar lima belas menit mengendarai mobil, mereka tiba di rumah singgah yang dimaksud. “Lea, ini Tante Diah. Adik mama saya yang mengurus rumah singgah ini,” ucap Rian memperkenalkan seorang wanita dengan gamis panjang dan jilbab senada warna hijau muda. Wajahnya begitu bersahaja. “Tante, ini Elea. Pasien yang Rian ceritakan kemarin sama Tante.” “Hai, Lea, Selamat datang di pasti ini. Ayo masuk,” ajak Diah ramah. “Tan, Lea. Aku harus kembali ke rumah sakit,” pamit dokter Rian yang langsung diangguki oleh Diah dan Elea secara bersamaan. “Tante harap kamu betah tinggal di sini, ya? Sampai kapan pun kamu mau tinggal, tidak masalah.” Elea jadi meneteskan air mata. Dia merasa Diah itu seperti sosok pengganti ibunya yang dikirim Tuhan untuk menyayangi dan menjaganya. “Terima kasih, Tante. Lea nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada dokter Rian dan Tante Diah,” respons Elea sedih. “Kalau begitu mari Tante kenalkan dengan anak-anak penghuni rumah ini.” Elea terlihat begitu bersemangat. Dia tidak akan merasa sedih lagi di rumah singgah yang ramai ini. Mungkin bisa sedikit menghibur pikirannya tentang Darma dan Lusi yang Lea duga sedang bekerja di tempat yang jauh. Ada sekitar dua puluh anak-anak usia SD. Lima usia SMP, dan dua usia SMA. Selebihnya sudah diadopsi oleh beberapa keluarga dengan prosedur ketat dan perjanjian yang sudah disepakati kedua belah pihak. Selain itu, ada beberapa ekor kucing yang berkeliaran bebas di panti asuhan tersebut. Elea sangat menyukai kucing, tentu dia akan merasa senang dengan hewan lucu tersebut. Salah satu kucing mendekati Elea, berusaha bersikap manja pada Elea. Nampaknya dia menandai Elea sebagai majikan baru. "Lea, ini kamar kamu.” Diah menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh Elea selama tinggal di sana. Ada dua ranjang tingkat dan empat lemari kecil. “Yang ini ditempati Mia dan Vani. Kamu terserah mau tidur di mana,” imbuh Diah. Dia menunjuk ranjang tingkat yang sudah diisi oleh dua orang usia SMA di ranjang atas dan bawah. Berarti ada satu ranjang tingkat—dengan dua kasur—yang kosong. “El, di bawah aja, Tante. Takut kalau naik ke atas,” ujar Elea. “Baiklah, terserah kamu aja yang penting nyaman. Kalau begitu Tante tinggal dulu, ya?” Elea mengangguk. Dia juga ingin istirahat. Walau bagaimana pun dia baru bangun dari koma panjang. Jadi tubuhnya masih butuh banyak waktu beristirahat. Gadis dengan mata cerah itu berbaring di kasur, perlahan matanya terpejam dengan damai. Dia terbangun saat mendengar suara. Matanya mengerjap sampai benar-benar terbuka sempurna. Ada dua orang gadis dengan seragam SMA tersenyum ke arahnya. ‘Ini pasti Mia dan Vani,' batin Elea. “Hai, Kak. Aku Mia,” sapa salah satu sembari mengulurkan tangan. “Kalau aku Vani,” sambung yang satunya lagi. “El,” sahut Elea menyambut uluran tangan keduanya. Elea merasa senang mendapat teman baru yang sebaya. “Nggak udah panggil Kakak, kita seumuran, kok,” pungkas Elea. Mia dan Vani mengernyit heran. Padahal Diah mengatakan bahwa yang menjadi teman satu kamar mereka berusia dua puluh tahun. Tapi kenapa gadis itu mengatakan bahwa mereka seumuran. “Loh, tapi kami masih SMA. Sedangkan Kakak, kan, udah dua puluh tahun.” Kali ini giliran Elea yang menautkan kedua alis. Dia masih merasa bahwa saat ini dia berusia tujuh belas tahun. Dokter Rian belum menjelaskan bahwa dia koma selama tiga tahun. Melihat ekspresi wajah Elea, Mia dan Vani saling bertukar pandang. Diah belum sempat menceritakan kondisi Elea yang baru keluar dari rumah sakit. Vani berjalan menuju meja satu-satunya yang ada di kamar tersebut. Dia membuka laci dan mengeluarkan kalender yang ada di salah satu sampul buku. Kemudian menyerahkan kalender itu pada Elea. “2020 ....” Elea bergumam melihat tahun yang tertera. Seingatnya, kejadian Alika hang hampir membunuhnya itu di tahun 2017. Kenapa sekarang sudah 2020? Elea menatap kosong ke depan. Dia mulai mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi. Sejak dia siuman tiga hari yang lalu, tidak ada satu orang pun yang menjenguknya. Baik itu Rinaldi, Putri, Rury dan Ayu. Bahkan Darma dan Lusi selaku orang tuanya pun tidak ada. “Apa jangan-jangan ....” Elea tidak melanjutkan kalimatnya. Dia malah berlari keluar. Tujuannya adalah menemui bu Diah dan menanyakan tentang semua ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD