Hantu Beku

2060 Words
Elea jadi penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba-tiba dia seolah melompati portal waktu menjadi tiga tahun ke depan? Tidak mungkin dia koma begitu lama. Sepanjang film yang pernah dia tonton, enam bulan adalah waktu terlama seseorang mengalami koma. Setelah itu kalau tidak sadar, ya mati. Jika benar dugaannya, berarti dia sudah melampaui batas. Elea menduga dirinya bisa mempunyai kekuatan magis. Atau karena urusannya dengan Alika belum selesai maka dari itu jiwanya belum bisa tenang. Elea menekan kedua pipi dengan mata melotot. Ini keren, dia seakan terjebak di pribadi 17 tahun meski sekarang usianya 20 tahunan. “Tante!” teriak Elea dengan mata berlinang. Di tangannya masih ada kalender yang diberikan Vani tadi. Namun jika benar, artinya dia sudah menyiakan waktunya. Banyak sekali yang Elea cita-citakan akan terjadi di usia 18-19, salah satunya adalah lulus denga nilai terbaik. Tapi ternyata dia melewatinya cuma dengan berbaring tidak berdaya. “Ada apa, Lea?” tegur Diah yang khawatir pada gadis itu. “Tan, apa benar sekarang ini udah tahun 2020?” tanyanya tergesa. Elea terlihat gundah. Dia tahu waktu yang berlalu tidak mungkin kembali, dan entah mengapa dia jadi kecewa pada dirinya sendiri. Diah langsung mengangguk. Sebelumnya dokter Rian sudah menceritakan kisah Elea, termasuk tentang orang tuanya yang kabur karena tidak sanggup membayar tagihan rumah sakit yang sudah menunggak hampir setahun lamanya. Ada perasan iba mengetahui gadis semanis ini jadi hidup sebatang kara karena kejadian tak mengenakan. Siapapun tidak ada yang ingin jadi korban bully, apapun masalahnya tindakan kekerasan tidaklah dibenarkan. Apalagi dalam kasus Elea cuma karena berebut seorang pemuda yang belum tentu akan awet berpacaran dengan Elea. Bahkan, Rinaldi sudah pergi entah kemana. Tersisa Elea berjuang sendiri. Namun dia masih beruntung. Tuhan memberikan Elea kesempatan kedua untuk hidup lebih baik. Diah menepuk sofa yang disebelahnya. “Lea, duduk dulu.” Diah mengajak Elea duduk di sebelahnya, kemudian menyodorkan segelas air. “Benar, saat ini memang kita sudah ada di tahun 2020,” jawab Diah lembut. Dia tidak mau menutupi hal yang sebenarnya pada Elea. Diah takut hal itu malah akan berdampak buruk pada psikologis gadis berambut hitam legam tersebut. Lagi pula Elea sudah cukup dewasa. Pasti dia sudah bisa mengambil sikap atas apa yang sudah terjadi padanya. “Bag-bagaimana ... bisa?” gumam Elea. “Bukankah ini masih di tahun 2017?” kekehnya lagi. Elea berusaha menampik meski dia tahu itu tidak berguna. Diah tersenyum seraya mengelus pucuk kepala gadis di hadapan. Ada rasa nglinu yang tiba-tiba menyelusup ke dalam hatinya melihat keadaan Elea yang menyedihkan. Punya orang tua masih hidup tapi dia tinggal di penampungan. Dia tidak ada bedanya dengan anak-anak yang tinggal di sini. Jadi mungkin keputusan dokter Rian membawa Elea ke rumah singgah itu adalah hal yang tepat. “Iya, kamu mengalami koma selama tiga tahun,” jujur Diah. Dia menggenggam tangan Elea untuk menyalurkan kekuatan. Satu tetes meluncur begitu saja dari mata Elea. Kini dalam otaknya seperti tampilan slide yang terus berputar. Satu demi satu ingatan dia kumpulkan “Jadi ... apa papa dan mama Lea memang pergi bekerja? Atau ....” satu yang dia cemaskan adalah keberadaan orangtuanya ketika dia sadar. Mungkinkah Tuhan lebih dulu mengambil orangtuanya? Sungguh dia tidak tahu itu. Jantungnya semakin terpacu rasa takut kehilangan. *** Elea duduk melamun di bawah pohon jambu yang ada di halaman belakang rumah singgah. Di ada tiga kursi panjang yang biasanya digunakan anak-anak untuk menghafal, belajar atau sekedar bermain dan bersantai. Pikirannya masih berkecamuk karena belum menerima kenyataan ada di tahun yang berbeda. Siapa yang tak akan gamang, jika tiba-tiba sudah melewati tahun yang belum diisi dengan apapun. Dan tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dia kehilangan Rinaldi, kehilangan teman-teman, dan juga orang tuanya. Meski Diah tidak mengatakan apa pun tentang Darma dan Lusi, tapi Elea menebak bahwa sepasang suami istri itu memang pergi meninggalkannya karena terlalu lama terbaring koma. Diah hanya bilang kedua orangtuanya baik-baik saja. Dan dia berharap Elea mendoakan orangtuanya. Satu tepukan lembut dari arah belakang membuat Elea meraih lagi kesadaran. “Eh, Dokter,” sapa Elea. Ternyata yang datang adalah dokter Rian. Dia ditelepon oleh Diah tentang apa yang sudah diketahui Elea. Kebetulan hari ini ada sedikit waktu di sela-sela jam kerja. Dokter Rian duduk di bangku yang ada di depan Elea, hingga kini keduanya berhadapan. “Ada apa, Lea?” tanya dokter Rian. Sebenarnya dia tahu apa yang ada di pikiran Elea, tapi setidaknya dia harus memancing agar gadis itu mengungkapkan sendiri apa yang ada dalam hati dan pikirannya. “Dok ....” masih akan memulai kalimat, Elea sudah menitikkan air mata. Terlalu berat seperti semua yang harus dia lalui seorang diri. “Ya.” Dokter Rian berusaha menjadi pendengar yang baik. Bagaimanapun Elea pasti merasa masih berusia tujuh belas tahun. “Berapa lama saya di rumah sakit?” tanyanya lirih dengan menahan linangan air mata. Pria dengan jas putih di hadapan menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya. “Seperti yang udah kamu tahu,” jawab dokter Rian jujur. “T-tiga ... tahun?” Pelan kepala dokter Rian mengangguk. Menandakan apa yang dikatakan Elea benar adanya. Bulir-bulir bening kembali berjatuhan melewati pipi. Elea masih belum bisa menerima semua yang terjadi. Bagaimana bisa dia tidur selama itu? Bukankah seharusnya orang koma itu hanya berbulan-bulan saja, tidak sampai bertahun-tahun? Begitulah pikir Elea. “Alika juga sampai sekarang masih menjalani perawatan,” celetuk sang dokter. Dia juga mencari tahu orang-orang yang terlibat dalam jatuhnya Elea. Hal itu sengaja dia lakukan untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu informasi tersebut dibutuhkan. Dan ternyata saat ini adalah waktunya. Sontak Elea menoleh. “Pe-perawatan? Bukankah Alika baik-baik aja? Dia gak terjatuh kan?!" “Ya, secara fisik Alika memang baik-baik aja. Tapi secara mental nggak. Mungkin itu salah satu pemicu yang buat dia tega mendorong kamu dari atas gedung. Jadi ... dia sekarang masih dalam pantauan psikiater.” Mata Elea berkedip pelan. Tidak tahu harus merespons seperti apa. Cukup lama mereka diam menyelami pikiran masing-masing. “Kalau ... papa mama?” tanya Elea akhirnya. Jika tentang Alika saja dokter Rian tahu, maka sudah barang tentu tentang papa dan mamanya dia juga tahu. Kali ini dokter Rian tersenyum. “Bukankah saya udah bilang, mereka sedang bekerja ....” “Tolong jangan berbohong, Dok,” Potong Elea cepat. Dokter Rian terdiam. Elea adalah gadis pintar yang tidak akan mudah terus dibohongi. Apalagi soal orang tuanya, sudah pasti sangat sensitif. “Apa yang kamu pikirkan tentang mereka?” Dokter Rian balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Elea sebelumnya. Dia yakin bahwa gadis itu sudah mulai bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi. “Lea... kadang, hidup itu nggak bisa selalu seperti yang kita mau. Ada hal-hal yang bisa aja terjadi di luar kendali kita sebagai manusia biasa. Termasuk yang kamu alami saat ini. Pesan saya ... jalani aja semuanya. Suatu saat kamu mungkin akan mengerti kenapa mereka melakukan hal ini,” nasihat dokter Rian. Pria yang memiliki kekasih itu terlihat begitu memperdulikan Elea yang dianggapnya seperti adiknya. Bahu Elea terguncang. Dia tahu bahwa semuanya harus dijalani apa pun yang terjadi. Tapi untuk saat ini rasanya sangat sulit. Dia masih belum bisa menerima tiga tahun yang terlewat begitu saja, ditambah lagi sekarang ditinggalkan oleh orang-orang yang dulu ada di sekitarnya. “Terima ... kasih, Dok. Udah mau menolong saya. Memberi tempat tinggal. Saya janji nggak akan mengecewakan Dokter dan tante Diah.” Dia tahu, tidak layak untuknya merasa kecewa lama-lama. Dokter Rian benar, mungkin yang terjadi bukan apa yang Lea harapkan tapi bukan berarti dia tidak bisa bersyukur. Akhirnya Elea bisa lebih tenang setelah mendapat pencerahan dari dokter. Yang dia harus lakukan ke depannya adalah hidup lebih baik di tempat baru ini. *** Puuus! Puuus! Elea mencoba mendekati dua ekor kucing yang sedang tertidur. Ada sekitar delapan ekor kucing yang ikut tinggal di rumah tampung tersebut. Dan semuanya sudah mulai kenal dengan gadis yang kini akrab disapa Lea itu. Dia tersenyum saat melihat dua kucing itu tertidur pulas di bawah ranjang tempat tidur anak-anak. Sedangkan pada kucing lain sedang bermain. “Kenapa kalian selalu tidur di sini?” Elea mengangkat satu kucing dan memindahkannya ke tempat yang sudah disediakan. Kucing belang itu menggeliat, tetapi kemudian kembali memejamkan mata. Lalu dia berpindah ke kucing satu lagi yang berwarna putih. “Hai, Moci, kamu pindah juga, ya?” Elea mengangkat tubuh kucing gembul yang diberi nama Moci. Tetapi Lea merasa ada yang aneh karena suhu tubuh kucing itu begitu dingin. Tidak hangat seperti kucing normal pada umumnya. Akhirnya Lea membawa Moci ke tempat Diah. Dia memeluk kumpulan bulu halus itu dengan lembut. "Lea, ada apa?” tanya Diah yang melihat kedatangan gadis itu dengan terburu-buru. “Tante. Kok, sepertinya ada yang aneh sama Moci,” ujar Elea dengan wajah resah. “Hah, aneh?” Diah yang sedang mencatat kebutuhan bulanan rumah singgah pun menghentikan aktivitasnya. Kemudian mengambil Moci dari gendongan Elea. Setelah memeriksa beberapa saat, Diah menatap Elea dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. “Moci udah mati, Lea.” “M-mati? Nggak mungkin, Tan. Tadi malam Moci masih bermain sama Sisil, kok.” Elea meraih lagi Moci dalam gendongan. Dia menepuk-nepuk tubuh Moci, menggoyangkan kaki, menggoyangkan telinga, juga mencoba membuka mata kucing itu dengan ibu jari dan telunjuk. Tetapi semua usahanya sia-sia. Hewan lucu berjenis kelamin betina itu memang sudah mati. Diah membelalakkan mata saat melihat air mata jatuh di pipi Elea. ‘Dia menangisi seekor kucing?’ tanya Diah dalam hati. Tapi itu berarti perasaan Lea begitu lembut. Mungkin juga dia merasa Moci mirip dengannya. “Hikss... Ya udah, Tante, Elea izin mau mengubur Moci, ya?” Diah menahan senyum dan mengangguk. Melihat Elea yang sangat manja itu. “Ya udah kalau itu mau kamu.” Akhirnya Elea pergi ke pemakaman umum yang paling dekat dengan rumah singgah. Diah berpikir Elea akan menguburkan Moci di sekitar taman belakang jadi dia mengizinkan. Siapa sangka gadis itu membawa mayat Moci ke TPU layaknya manusia. Dengan berbekal keberanian bertanya pada banyak orang, akhirnya Elea tiba juga ke tempat yang dimaksud. Ternyata sedang ada prosesi pemakaman di sana. Tentu orang akan menganggap dirinya aneh karena menguburkan kucing di makam manusia. Jadi Elea berjalan ke tempat paling ujung agar tidak terlihat dan bisa menguburkan Moci seperti keinginannya. Setelah merasa aman, Elea mulai menggali tanah dengan alat pengarit rumput yang dia bawa dari rumah tampung, pun tanpa sepengetahuan Diah dan penghuni lain yang sedang bersekolah. Elea ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Moci. Ia yang pertama kali 'menyambut' Elea di sini. Semua tingkah pola Moci juga menghibur Lea meski sesaat. Apalagi, dia merasa senasib dengan Moci. Ditinggal sebatang kara. *** Yang Elea lihat sekilas tadi adalah pemakaman jenazah sang aktor terkenal. Prosesinya dikawal ketat oleh petugas keamanan. Kematiannya yang dicurigai akibat pemakaian obat-obatan terlarang membuat polisi harus melakukan itu guna mencari sindikat yang kiranya terlibat. Da artinya barang haram itu sudah masuk keranah anak muda berperestasi seperti Tama. Mereka mengincar orang-orang yang menjadi pengedar barang haram tersebut. Club milik Tama yang menjadi tempat pesta ulang tahun Marcel kemarin juga tak luput dari pemeriksaan. Hanya saja mereka kesulitan mencari pemilik club’ tersebut karena kurangnya data. Tama memang merahasiakan kepemilikan club’ tersebut pada semua orang. Kecuali Irwan, sahabat yang sekaligus merangkap sebagai manajer Tama. Marcel, Brian dan Miko juga ikut terserat dalam kasus tersebut meski status mereka hanya sebagai saksi. “Gue nggak percaya kalau Tama itu pake barang begituan. Tau sendiri, kan, minum aja dia jarang,” ujar Miko yang juga ikut mengantar jenazah Tama. “Hasil pemeriksaan juga sama sekali nggak nemuin itu barang di club’. Tapi kenapa rumah sakit bilang di dalam tubuh Tama ada zat itu? Heran gue,” timpal Brian. “Kita juga nggak bisa berbuat banyak. Toh, polisi nemuin barang bukti di mobil Tama.” Marcel ikut berbicara. Ketiganya diam dengan pikiran masing-masing. Disaat pemakanan sudah disiapkan. Jenazah Tama masih ada di dalam mobil jenazah menunggu bagiannya. Dan dengan tekad juga informasi dari Rike. Akhirnya dia diijinkan melihat proses pemakaman. Rike sempat memeluk tubuh dingin Tama ditambah deraian airmata. Patah hati terdalamnya melihat anak yang dia lahirkan harus pergi lebih dulu ketimbang dia. Rasanya lebih baik dia yang mati daripada harus melihat semua ini. Rike tidak peduli dengan semua spekulasi orang-orang terhadap anaknya itu. Yang dia tahu, adalah Tama anak baik. "Bangun, Sayang. Ini mama. Mama minta maaf sama kamu. Kalau kamu mau Mama berhenti dari club' sekarang juga Mama akan lakuin. Tapi kamu bangun Tama." Dia menggoyangkan tubuh Tama meski semua sia-sia. Tidak ada lagi bait aksara yang akan keluar dari bibir Tama. Dia membatu hingga membekukan perasaan Rike sedingin es.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD