“Nama lu sapa?” Cindy bertanya pada Farfalla ketika Carla sudah berlalu dari hadapannya.
“Farfalla, Kak.”
“Lu bener adiknya Carla? Kalau gue perhatiin, lu sama Carla gak ada miripnya,” ujar Cindy dengan tatapan menelisik.
Farfalla hanya tersenyum kecil, ia tidak mau menjawab apa-apa.
“Atau ... lu hanya sepupu atau sodara jauh?” tanya Carla lagi.
Kali ini Farfalla mengangguk.
“Owh, pantes! Gak ada miripnya.” Cindy mengambil kain lap dan membersihkan meja kerjanya.
“Lu mau cocktail?” ujar Cindy kemudian.
“Ha?!”
“Lu gak tau cocktail?” Kening Cindy berkerut. Farfalla menggeleng.
“Gue sajikan mocktail aja deh buat Lu. Gak usah khawatir, ini bonus dari gue untuk tamu yang baru pertama kali datang ke sini.”
Cindy menunjukkan aksinya di depan Farfalla saat menyiapkan minuman. Farfalla sampai melongo melihat atraksi Cindy, tanpa sadar ia tersenyum dan bertepuk tangan ketika satu gelas minuman tersaji di depannya.
“Hahaha, lu pasti gak pernah masuk bar,” ujar Cindy sambil berlalu dari hadapan Farfalla.
“Bar? Ini bukannya cafe kak?”
“Terserah lu aja deh,” jawab Cindy sambil menggaruk kepala.
Farfalla meneguk minuman yang di berikan Cindy, baru mencoba beberapa tegukan, Carla datang menghampiri.
“Dapat minuman darimana, La?”
“Dari gue!” Cindy yang menjawab pertanyaan Carla.
“Lu gak kasih yang macam-macam kan?” tanya Carla cemas.
“Lu tanya aja, adek lu kan udah minum beberapa tegukan,” jawab Cindy santai.
Carla melihat Farfalla yang biasa saja setelah meminum beberapa tegukan, ia kemudian mengambil gelas tersebut dari tangan Farfalla dan mencium aroma dari minuman itu. Kemudian ia bernafas lega, menoleh kembali pada Cindy.
“Thanks ya, Cin,” ujar Carla.
Cindy hanya mencebik, ia kemudian melanjutkan pekerjaannya menyusun beberapa gelas di meja yang mengitari tubuhnya.
“Aku mau ke ruang ganti dulu, mau ganti pakaian dengan seragam kerja?” ucap Carla.
Farfalla langsung saja mengekori Carla tanpa diminta, mereka berdua kemudian masuk ke ruang ganti bersamaan. Sudah ada beberapa orang juga di dalam sana yang sedang berganti pakaian. Mereka melirik pada Farfalla dan tersenyum kecil sebagai bentuk sapaan.
“Tadi si Bos bilang mau rekrut kamu jadi waitress, mereka taunya kamu sudah lulus SMA.” ujar Carla memeberi tahu sembari melirik pada Farfalla.
“Aku sih, terserah kamu saja. Kamu kan sudah lihat tempat kerja aku seperti apa. Cuma aku sarankan ... cari kerja di tempat lain aja deh, jangan di sini,” lanjut Carla.
“Kenapa? Aku suka di sini. Mereka semua ramah.”
Carla membuang nafasnya mendengar ucapan Farfalla. Gadis yang ada di depannya itu memang terlihat sangat polos, dan Carla tidak mau dia ikut terseret di lingkungan tempat ia bekerja.
“La ... disini bukan tempat kamu, ini terlalu berat untuk mu. Jika kamu masih mau mendengarkan saran aku ... aku lebih suka kamu pulang dan melanjutkan sekolah. Minimal nanti kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada bekerja di sini menggunakan ijazah SMA kamu.”
Carla menarik nafasnya sebentar.
“Kamu bisa jadi buruh pabrik, bisa jadi SPG di Mall. Pokoknya lebih baik daripada kerja di sini.” Carla melanjutkan.
“Aku gak mau pulang, Kak! Sungguh aku tidak mau bertemu mereka lagi!” Mata Farfalla berkaca-kaca ketika mengucapkannya. Ia sudah merasa bahagia dengan tempat yang menerima keberadaannya tanpa memandang dia anak siapa.
“La ... ini bukan kafe, tapi bar, dan sebenarnya tempat ini tidak boleh dimasuki anak di bawah umur seperti kamu, makanya sebelum membawa kamu masuk ke dalam sini, aku tadi bilang sama bos jika kamu sudah tamat SMA,” ungkap Carla.
Farfalle tidak peduli, ia mengacuhkan ucapan Carla. Baginya bisa bekerja di sana sudah sangat baik, tidak penting ini bar ataupun café.
“Kamu tau bar, ‘kan, La?” tanya Lusy dengan suara yang di pelankan, ia khawatir orang di dalam sana mendengar pertengkaran mereka.
“Kamu tau bar, ‘kan, La?” ulang Carla.
“Aku tau, Kak! Kakak sudah benar telah membohongi usia ku. Aku sudah bisa masuk ke sini, kenapa aku harus keluar lagi?” Farfalla berkata dengan wajah yang berbinar-binar.
Carla mendengkus, ia sungguh tidak mengerti dengan pemikiran Farfalla. Apa sebegitu polosnya gadis ini hingga Carla sudah memberi tahu jika tempat ini adalah sebuah bar dia tetap ngotot untuk berada di dalam sini?
“Di sini bahaya untuk anak yang belum cukup umur, La!” ucap Carla lagi.
“Selagi aku bersama Kakak, aku merasa aman. Tolong jangan minta aku untuk kembali, Kak! Aku mohon!” Sekali lagi Farfalla memohon, gadis itu memegang kedua tangan Carla untuk meyakinkan Carla jika ia sungguh-sungguh.
“Terserah kamu saja.” Carla berkata dengan pasrah. Kelihatan sekali jika Farfalla sangat keras kepala, padahal yang disampikan Carla untuk kebaikan dirinya juga.
“Terima kasih banyak, Kak!” Farfalla tersenyum lebar, ia senang bisa meyakinkan Carla jika ia akan baik-baik saja jika terus berada di samping gadis itu.
Entah kenapa, Farfalla sudah jatuh hati dengan kebaikan Carla hingga ia tidak mau jauh lagi dari gadis yang sudah membantunya keluar dari masalah yang sedang dihadapinya. Farfalla merasa aman dan nyaman berada di samping Carla.
Carla sudah selesai dan sekarang ia sudah memakai seragam kerjanya, baju yang Carla gunakan sekarang mirip dengan seragam yang digunakan Cindy serta dua orang karyawan yang tadi Farfalla lihat di ruang ganti. Bajunya tampak ketat dan sexy, Carla terlihat cantik karena ia juga sudah menggunakan make up di wajahnya.
“kakak cantik,” gumam Farfalla.
Carla tidak menggubris, siapapun jika sudah menggunakan make up akan tampil lebih cantik.
“Ayo ikut denganku,” ajak Carla. “Bos mau bertemu dengan mu.”
“Hah?! Benarkah?”
“Iya, kan tadi aku sudah bilang kalau si bos mau menawarkan kamu jadi waitress.”
Farfalla mengangguk, dalam hati ia mengucapkan syukur telah bertemu dengan Carla dan bersikeras untuk tidak pulang dan mengikuti Carla ke tempat kerjanya.
Carla mengetuk pintu kaca yang di lapisi dengan sticker kaca, setelah terdengar suara dari dalam yang menyuruh masuk, Carla kemudian membuka pintu kaca tersebut dan melangkahkan kaki ke dalam ruangan yang ber AC itu.
“Permisi, Pak!” ujar Carla sopan.
“Hmmm.” Rudolf, pria yang sedang duduk di kursi kerjanya langsung berdiri ketika Carla dan Farfalla sudah berada di ruangannya.
“Silahkan duduk,” ujarnya kemudian.
Carla dan Farfalla duduk di tempat yang di tunjuk Rudolf, mereka duduk bersisian dan Rudolf duduk di depan mereka.
“Bagaimana?” tanya Rudolf.
Carla melirik sebentar pada Farfalla, lalu ia kembali menatap Rudolf.
“Adik saya bersedia, Pak!” ujar Carla.
Rudolf tersenyum, ia mengusap kedua tangannya ke paha. Sementara Carla menggigit bibir bawahnya, ada rasa khawatir yang menyelimuti hatinya jika Farfalla bekerja di tempat itu. Tapi Farfalla juga keras kepala dan sudah tidak mau pulang ke rumah.
“Kalau begitu, aku akan menelpon Nita untuk mempersiapkan kontrak kerja. Kamu bisa bawa ... siapa namanya?”
“Farfalla,” ucap Farfalla semangat.
“Ya, Farfalla. Nama yang cantik. Silahkan menemui Nita bersama kakakmu, Carla. Kamu bisa masuk kerja mulai hari ini. Minta juga seragam kerja pada Nita,” perintah Rudolf.
Pria itu kemudian berdiri dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Carla dan Farfalla juga ikut berdiri, kedua gadis itu kemudian pamit dan keluar dari ruangan Rudolf.
Rudolf mengusap dagu dengan tangan kanannya, satu sudut bibirnya terangkat ke atas menyaksikan ke dua punggung gadis tersebut keluar dari ruangannya. Kemudian ia beranjak dan meraih telepon yang terletak di meja kerja. Ia lalu menelepon Nita dan menyuruh asistennya itu untuk menyiapkan kontrak kerja serta seragam yang akan di pakai Farfalla.
Farfalla menatap dirinya di cermin. Senyum bahagia terukir di wajahnya ketika melihat pantulan dirinya yang memakai seragam kerja. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Carla memandang Farfalla dengan tatapan iba.
Entahlah, ia masih merasa sangsi membawa gadis lugu itu ke sana. Ia khawatir Farfalla tidak bisa menjaga dirinya dan masuk ke pergaulan yang tidak baik. Karena memang seperti itulah lingkungan tempat kerjanya.
Dulu, Carla bertahan untuk tidak terbawa ke pergaulan yang tidak baik. Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Karena keadaan, Carla terpaksa bertahan bekerja di sana. Dan saat ini, gadis itu khawatir jika Farfalla akan seperti dirinya, seorang waitress plus plus yang bisa di bawa kemana saja untuk mendapatkan penghasilan tambahan supaya bisa bertahan di ibu kota.
“Sudah, La! Sebentar lagi kita akan meeting sebentar sebelum kerja,” ucap Carla.
“Haa? Meeting?” tanya Farfalla. Kata itu masih terasa asing di telinga gadis itu.
“Iya! Kak Lusy nanti akan menjelaskan apa yang harus kita lakukan hari ini.”
“Aku sangat bersemangat, Kak!” ujar Farfalla. Senyum tidak lepas dari wajahnya sejak keluar dari ruangan Bos Rudolf.
Carla tersenyum kecil merespon ucapan Farfalla. Ia kemudian merangkul bahu gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri, lalu berdua mereka keluar dari ruang ganti setelah Farfalla mengunci lokernya.
**
“Hilang bagaimana?” tanya Alamanda. Wanita tersebut reflek berdiri ketika Arinee mengatakan kalau Farfalla hilang.
“Aku juga gak tau, Nda! Aku pulang menjelang subuh dan langsung memasak untuk sarapan. Tapi setelah jam 6 ia tak juga keluar kamar, aku pikir ia kesiangan, namun setelah aku menyusulnya ke kamar ....” Arinee menghentikan ucapannya, ia kembali terisak.
“D-dia tidak ada, Farfalla tidak ada di kamarnya, Nda.” Arinee berkata dengan suara tertahan. Nampak jelas ia berusaha menahan tangis.
“Kamu yakin, dia pergi? Sudah tanya sama teman-temannya belum?” Alamanda mengingatkan.
“A-aku ... aku tidak tau siapa temannya. Akhir-akhir ini, Farfalla menutup diri. Ia jarang bercerita tentang temannya. Aku tidak tahu sama siapa dia bergaul.” Nada penyesalan terdengar keluar dari mulut Arinee.
Ia sadar jika ia selama ini ia telah abai dan kurang perhatian pada Farfalla. Arinee sadar jika beberapa tahun terakhir ini ia hanya memikirkan pendapatannya yang kian menurun karena usianya sudah tidak muda lagi. Hanya itu yang ada dalam pikiran Arinee, Arine tidak sadar jika Farfalla membutuhkan dirinya untuk menjelaskan semuanya. Kenapa ia bisa terjatuh dalam lingkaran hitam pergaulan.
Sementara itu, di sebuah kamar.
Seorang pria dewasa menghembuskan nafas kasar setelah meletakkan handphone di nakas samping ranjang. Ia memperbaiki posisi duduk dan menyandar dengan benar di kepala ranjang. Matanya menatap lurus ke depan, mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari wanita yang berbaring di sampingnya.
“Mas masih mengurusnya?” tanya Tari. Istri pria tersebut.
“Dia hilang,” ujarnya pelan. Lalu ia membuang lagi nafasnya dengan pelan.
“Farfalla hilang, pantas saja tadi dia tidak masuk sekolah,” lanjutnya.