Tertangkap Basah

1436 Words
"Lo ngapain repot-repot sih bawain Kia baju sebanyak ini? Udah kaya banget ya?" Agatha memperhatikan satu persatu baju di dalam tas belanjaan yang dibawakan Jinny. Semuanya terlihat lucu dan menggemaskan dengan baju-baju berbagai warna dan mode. Bisa dibayangkan betapa menggemaskannya anaknya yang baru berusia enam bulan itu nantinya memakai semua pakaian pemberian Jinny ini. "Enggak sih. Cuma ya biar ntar kalau gue punya anak lo juga ngasihnya yang banyak. Jadi ingat-ingat ya," canda Jinny yang membuat Agatha mencibir. Ia sudah hafal betul bagaimana sifat sahabatnya itu. "Kalau tau lo balik ke Jakarta secepat ini, gak bakal gue nangis-nangis kayak waktu itu pas pisah sama lo." "Oh jadi sama air mata aja perhitungan nih." Jinny melempar salah satu baju yang sedang ia lihat di tangannya membuat Agatha terkekeh geli. Masih terekam jelas diingat keduanya bagaimana harunya perpisaan mereka saat itu. Bersahabat sejak hari pertama masuk kuliah hingga dulu bekerja di perusahaan yang sama membuat keduanya begitu terbiasa bersama. Jinny yang tiba-tiba saat itu harus pindah kerja ke Singapura tentu saja membuat Agatha merasa sedih. Disaat ia sedang ingin berbagi kebahagian dengan melihat tumbuh kembang anaknya, sahabatnya itu tidak ada disisinya. Tapi ternyata takdir terlihat enggan memisahkan mereka, sahabatnya itu kembali lagi ke Jakarta setelah belum genap setahun bekerja di luar negri. "Tapi seriusan deh, kenapa lo bisa balik?" Tanya Agatha penasaran. Jinny belum sempat bercerita banyak padanya dan memang sudah menjanjikan untuk menceritakan saat mereka bertemu lagi. Maklum saja, bergosip secara langsung seperti ini nuansanya akan berbeda jika melalui telfon. "Ya gara-gara mbak Ira. Tiba-tiba dia setuju buat dipindahin. Tergiur mungkin gajinya lebih gede. Diakan saudaranya pak Erik, jadi ya wajar dia yang lebih dipilih." Agatha mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Persaingan dalam dunia kerja memang sudah sangat biasa. "Eh lo tau gak, ternyata perusahaan itu bukan punya pak Erik," cerita Jinny semakin bersemangat saat ia baru menyadari bahwa ia juga belum menceritakan tentang yang satu ini. "Masa sih? Bukannya punya dia ya?" "Bukan, itu tu punya kakaknya pak Erik. Sekarang yang mimpin anak yang punya, namanya pak Yuda." "Lah galak-galak ternyata bukan punya dia?" Jinny mengangguk cepat. "Dan lo harus tau, pak Yuda itu ganteng banget..." "Oh ya? Gantengan mana sama Lee Min Ho?" "Ya jangan bandingin sama itu dong, dia kan lokal. Pokoknya ganteng deh." "Ya udah sikat." "Lo kata WC disikat-sikat. Lagian galaknya 11 12 sama pak Erik, sama aja." Jinny bergidik sendiri mengingat bagaimana pertemuan pertama kali dirinya dengan atasan barunya tadi. Benar-benar kesan pertama yang buruk. "Tapi gak papa sih, sepaling tidak ada yang bikin mata segar di kantor," Jinny terkikik diujung kalimatnya. Meskipun Yuda ketus namun bisa tertutupi oleh ketampanannya. "Loh Jinny udah balik ke Jakarta," obrolan keduanya terpotong saat tiba-tiba Andra datang, tampaknya ia baru pulang dari kantor. Bos besar itu pasti sedang banyak pekerjaan hingga pulang malam seperti ini. "Gak usah pura-pura heran gitu deh," balas Jinny membuat Andra terkekeh. Tentu saja ia juga tahu tentang kembalinya Jinny. Ia hanya sengaja menggodanya saja. Andra menghampiri mereka untuk sekedar menyapa kemudian memberikan kecupan hangat pada dahi istri tercintanya itu seperti biasanya. "Tolong hargai yang masih jomblo ini," kata Jinny tak kuat melihat keromantisan itu. "Mau dicariin yang baru?" Tanya Andra. "Gak usah, makasih. Gue gak percaya lagi sama pilihan lo," ucap Jinny mengundang tawa Agatha dan Andra. Tampaknya ia masih tidak bisa menerima kandasnya hubungannya yang bahkan belum dimulai dengan Bimo, sahabat Andra. Entah bagaimana kabarnya kini, tapi Jinny benar-benar tidak ingin tahu. "Kia mana Sayang?" Tanya Andra. "Tadi sih lagi tidur." "Iya anak lo mana ni? Gue kan kesini mau lihat Kia. Biasanya lihat di HP doang." "Ya udah gue lihat dulu ya, kayaknya udah bangun deh. Suster gak mau ganggu gue kayaknya." Agatha bangkit dari duduknya. Sudah cukup lama putrinya itu tertidur dan dijaga oleh pengasuh yang memang membantu-bantu Agatha selama ini. Ia berlalu ke kamarnya diikuti Andra yang ingin segera mandi, badannya sudah terasa sangat lengket. Sembari menunggu Agatha kembali dengan putrinya yang menggemaskan itu, Jinny memutuskan untuk memainkan ponselnya melihat-lihat sosial media. Ah disaat sahabatnya sudah sibuk mengurus anak dan tampak bahagia bersama suaminya, ia masih hidup begini-begini saja. Entah kapan ia bisa menyusul Jinny pun tidak tahu. Anehnya setiap Jinny tidak pernah menyukai pria yang menyukainya. Bukannya tidak ada yang berusaha mendekati, tapi Jinnynya saja yang merasa tidak cocok. Sepertinya harus Jinny lah yang suka, baru hubungan itu bisa dimulai. Ah ia bahkan bingung dengan dirinya yang masih bisa-bisanya pemilih di usianya yang sudah matang. *** Jinny bergelut dengan pikirannya dalam diam. Inginnya fokus hanya melihat presentasi untuk proyek kedepannya perusahaan mereka yang terpilih untuk menjadi salah satu yang meliput penuh sebuah acara tahunan bisnis yang cukup besar, namun matanya seolah tidak ingin bekerja sama. Yuda yang tengah duduk di kursi utama yang terlihat fokus dalam rapat ini entah mengapa lebih menarik perhatiannya. Bagaimana bisa dalam waktu satu minggu, setiap harinya pria itu terlihat semakin tampan saja di mata Jinny. Apa ini karena spesies pria tampan sangat minim di perusahaan ini sehingga jiwa mengagumi Jinny menjadi bergejolak seperti ini? Jinny terkesiap saat tanpa diduga matanya dan mata Yuda bertemu. Tampaknya Yuda sadar bahwa dirinya sedari tadi diperhatikan. Jinny langsung mengalihkan pandangannya pura-pura tidak terjadi apapun meskipun ia sudah tertangkap basah. Dalam hati Jinny merutuki dirinya, lagi-lagi ia membuat dirinya tampak buruk di hadapan atasannya itu. Jinny mulai kembali fokus mendengarkan. Tampaknya sebulan ke depan pekerjaannya akan sangat padat. Sebenarnya Jinny berniat mengambil cuti sebab ia belum sempat menemui orang tuanya di Lombok usai kembali ke Jakarta. Sepertinya ia harus mengurungkan niatnya itu hingga project ini selesai terlebih dahulu. "Semua boleh keluar kecuali Jinny." Jinny yang tengah membereskan barang-barangnya karena beberapa menit yang lalu rapat sudah ditutup langsung menghentikan aktivitasnya saat mendengar intrupsi dari sang atasan. Semuanya langsung menoleh pada Jinny ikut terkejut mengapa nama gadis itu disebut. Namun hanya sepersekian detik sebelum akhirnya satu persatu keluar dari ruangan sesuai perintah. "Ada apa ya Pak?" Tanya Jinny sembari duduk dengan tidak nyaman. Yuda tetap duduk di tempatnya sembari menatap Jinny dengan tatapan yang sulit diartikan. Jinny baru mengenal Yuda seminggu, itupun bukan kenal dekat. Jadi wajar saja jika ia tidak bisa mengartikan tatapannya. "Apa ada yang salah dengan penampilan saya hari ini?" "Ma.. maksudnya Pak?" "Apa wajah saya terlihat seperti layar infocus?" "Enggak Pak." "Dari 100 persen persentase rapat tadi, mungkin 80 persennya hanya kamu gunakan untuk memperhatikan saya." Jinny tidak menyangka pria itu sudah sadar sejak lama bahwa ia diperhatikan. Apakah ia punya mata lain selain dua mata indah yang ada padanya sekarang? "Hmmm itu Pak... jadi gini..." Jinny tergagap-gagap tidak tahu harus mengelak, posisinya sudah terlanjur terpojok jika begini. Yuda menaikkan sebelah alisnya siap menunggu lanjutan dari ucapan Jinny. "Bapak mirip banget sama ayah saya, iya Pak. Kayak ayah saya waktu muda, iya benar. Makanya saya lihat bapak karena saya lagi kangen ayah saya," jawab Jinny luar biasa asalnya. Entah mengapa alasan tidak masuk akal itu yang terlintas dalam pikirannya. "Lain kali sebelum rapat hubungi dulu orang tua mu. Saya tidak suka ada pekerja saya yang dibayar hanya untuk melamun di ruang rapat." Setelah mengucapkan itu Yuda berlalu pergi keluar ruang rapat membuat Jinny akhirnya bisa bernafas lega. Jinny terkikik saat sadar bahwa alasan bodohnya malah diterima begitu saja. Entahlah benar-benar diterima atau atasannya itu sedang tidak ingin mendengar alasan lainnya. *** Jinny berjalan menyusuri lorong-lorong mini market untuk mencari apa lagi kira-kira yang ia butuhkan untuk memenuhi kebutannya sebulan kedepan di kosnya. Tentu saja yang paling terpenting adalah menyiapkan bahan makanan. Ia adalah tipe orang yang mudah sekali lapar di malam hari. Terkadang saat laporan sedang menumpuk, ia akan mengunyah sepanjang malam. "Jinny?" Merasa namanya disebut membuat Jinny langsung menoleh ke asal suara. Pupilnya membesar melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini. "Mbak Sarah?" "Astaga, aku gak nyangka bisa ketemu kamu disini." Wanita itu tampak memasang wajah tidak percayanya sama seperti Jinny. "Mbak apa kabar?" "Baik, kamu kapan balik ke Jakarta? Bukannya kerja di Singapura?" "Baru aja Mbak. Biasa, ikut apa kata bos aja mau ditugasin dimana aja," balas Jinny diiringi kekehannya membuat wanita itu mengangguk paham. "Mampir ke rumah aku yuk biar bisa ngobrol banyak," ucap wanita bernama Sarah itu saat sadar mereka tengah berada di mini market yang cukup ramai saat ini dan beberapa orang tengah berlalu lalang. Jinny tampak berpikir sejenak, ia hanya memakai baju tidur yang di lapisi dengan cardigan seadanya. "Ayuk, sekalian makan malam bareng," desak Sarah lagi. "Yaudah deh Mbak, lagian aku kangen sama Sisi," jawab Jinny akhirnya membuat Sarah tersenyum lebar. Akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan berbelanja keperluan masing-masing kemudian pergi ke rumah Sarah seperti yang ia minta. Jinny tidak tahu apakah bisa bertemu dengan Sarah lagi atau tidak nantinya, jadi ia tidak enak jika harus menolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD