Dua

1298 Words
Di sana targetnya. Berdiri sekitar lebih dari sepuluh orang yang harus dia bereskan malam ini. Tugasnya hanya memberi pelajaran, bukan untuk membantai habis mereka. Perlu diingat, Jordan Jeon bukanlah pembunuh bayaran atau psikopat sinting yang haus akan nyawa. Tugasnya hanyalah memberikan-sebut saja pengalaman pahit dalam hidup kepada beberapa orang. Jeon sangat menyukai kegiatannya ini. Apabila dia menewaskan target, percayalah, itu tidak disengaja. Terkadang. Walau bagaimana pun dia juga harus bertahan dan membela diri jika lawan menginginkan nyawanya, bukan? Jordan Jeon mempercepat langkah kakinya, menuju sebuah gang kecil yang gelap. Meninggalkan motor barunya di depan toko dua puluh empat jam terdekat. Dia tidak pernah melakukan ini secara sembunyi-sembunyi. Jeon selalu datang dengan terang-terangan. Keberadaan Jordan Jeon merupakan sebuah peringatan dari Triptych.  Kehadirannya sudah menarik perhatian kala dia berada sekitar sepuluh meter dari lokasi target. Jeon dapat melihat dengan jelas bahwa mereka sedang sibuk dengan pestanya.  Pelanggaran kecil. Hanya penyalahgunaan dan penyelewengan barang yang seharusnya dipasarkan.  Sekarang Jeon tahu penyebab tugas barunya malam ini. Mereka memang perlu dibereskan, rupanya.  "SIAPA!?" Teriakan salah satu tikus itu lantas membuat teman-temannya yang ikut berkumpul di sana mengalihkan pandangan ke arah Jeon. Pria muda berumur dua puluh tahun itu diam saja. Dia justru menggerakkan kedua tangan dan lehernya, melakukan perenggangan otot sejenak sebelum menatap wajah semua targetnya dalam gelap.  "Tersesat juga? Haaah! Kenapa malam ini banyak sekali orang yang tersesat?!"  "Hahaha! Baru saja tertangkap kura-kura, sekarang ditambah dengan kelinci."  "Sudahlah, ikat saja keduanya. Yang satu bisa kita gunakan secara bergantian dan yang ini bisa dijadikan samsak."  "Atau kita bisa membuatkan film untuk mereka dengan judul Indahnya Tersesat?"  "Hahaha. Setelah semua yang kau lakukan, memangnya mereka masih sanggup menjadi objek film pornomu?!" Tawa sumbang mereka membuat telinga kiri Jeon gatal. Dia sengaja diam, menunggu mereka datang dan menyerangnya terlebih dulu. Dalam hati, dia mengeluh karena orang-orang ini terlalu banyak bicara. Para lelaki itu mulai mengeluarkan senjatanya. Pisau, hand gun, pemukul baseball. Ah, senjata dasar. Untuk menghadapi mereka, tidak memerlukan apa-apa. Cukup tangan kosong dan sedikit gerakan saja, Jeon tentu dapat menanganinya. Mata nyalangnya mulai menganalisa seluruh objek. Dua belas orang laki-laki, api unggun dengan patahan-patahan kayu sebagai bahan bakarnya. Terdapat enam buah kursi, botol-botol kaca bekas minuman keras, sebuah tas ransel berisi bungkusan bubuk putih yang harus dia bawa pulang dan satu orang yang mereka sebut dengan mainan. Baku hantam pun dimulai ketika dua dari belasan orang itu maju dan menyerangnya. Sebagai lelaki yang menguasai cara bertarung dan pengalaman dalam melaksanakan tugas seperti ini, kurang dari tiga puluh detik, dia sudah mengalahkan enam orang.  Sebagian dari mereka sudah terkapar menahan rasa sakit. Entah karena engsel kakinya yang lepas, tangan patah, lebam serta luka bakar karena pukulan dari balok berbara api atau pingsan karena tinjuan yang tepat mengenai jakun.  Orang-orang itu mulai gentar karena aksi yang Jeon lakukan. Salah satu dari mereka yang duduk di kursi tidak jauh dari tas ransel tersebut menyipitkan mata. Dia mengamati dengan sungguh-sungguh siapa orang yang telah berani dan lancang mengganggu kegiatannya. Tidak tampak jelas. Jeon masih menutupi kepalanya dengan hoodie jaketnya.  Jordan Jeon menghela napas kasar. Betul, dia lupa untuk membuka penutup kepala jaketnya terlebih dahulu agar mereka sadar dan tahu siapa yang telah datang. Ketika dia membuka tudung jaketnya, mata lelaki yang sibuk memperhatikannya tadi pun terbelalak seketika. Tidak salah lagi, dia adalah salah satu dari-  "Triptych!"  Detik itu, orang-orang yang tersisa di hadapannya ikut panik bukan main.  Mereka refleks menodongkan senjata-senjata yang tadinya tersimpan rapi. Pria yang menyebutkan nama organisasi gelap tempat Jordan Jeon berasal itu pun langsung menyambar ransel berisi bungkusan salju yang seharusnya dipasarkan tersebut. Tentu saja kini mereka menyadari bahwa situasi yang sedang di hadapi akan menjadi sangat rumit.  Kedatangan seseorang dari Triptych di dunia kelam New York adalah sebuah petaka. Kehadiran pria muda itu sama saja dengan ajal yang siap menjemput. Sebuah pertanda mereka telah melakukan kesalahan sangat fatal dalam berdirinya penegakan hukum yang dibuat oleh organisasi terkuat dalam lalu lintas pasar malam di kota tersebut.  Akan tetapi, yang menjadi sebuah tanda tanya besar adalah dari mana Triptych tahu keberadaan mereka yang tentunya harus digarisbawahi hanyalah kelompok kecil penyebar bubuk salju rendahan? Sedangkan organisasi tersebut dikenal sebagai pengurus kelompok-kelompok besar dan berpengaruh saja. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana bisa seorang Jordan Jeon dari Triptych berdiri langsung di depannya?  Figuran atau bahkan semut kecil seperti mereka pastinya tidak akan pernah menyangka bahwa Triptych mengetahui pergerakan sekecil ini. Hal tersebut membuktikan bahwa organisasi tersebut tidak main-main. Semua lalu lintas di dunia gelap ini diawasi dengan sangat ketat. Bahkan kelompok kelas teri yang bersarang di pinggiran kota sekali pun.  Ini berbahaya. Mereka semua akan habis malam ini.  "Apa yang kalian lakukan!? Cepat, habisi dia!"  Suara tembakan yang teredam oleh silencer pada tiap pistol mulai terdengar ketika ketua dari kelompok tersebut memerintahkan antek-anteknya untuk menghabisi Jordan Jeon.  Peluru-peluru meluncur begitu saja dan dengan gesit dia menghindari semua tembakan. Sangat mudah baginya karena pengguna senjata-senjata tersebut tidaklah terlatih. Sekali lagi, dengan tangan kosong, dia berhasil melumpuhkan setiap orang yang bersenjata api kurang dari enam puluh detik.  Lelaki berambut hitam kecoklatan itu menepuk-nepuk jaket tipisnya, menyisihkan debu dan pasir yang hinggap mengotori tubuhnya. Di hadapannya, tersisa tiga orang. Dua di antaranya menodongkan shotgun.  Jordan Jeon menguap lebar. Dia mulai mengantuk.  "Jam berapa sekarang?" tanyanya santai. Tidak ada yang menjawab. Mereka tetap mengarahkan senjata pada Jeon dengan tangan gemetar. Lelaki itu menghela napas. Dia harus pulang sebelum jam dua malam. Nanti makanan yang dibawakan oleh Nathan akan dingin. Ck! Hal itu membuat Jeon tak sabar. Tanpa basa-basi, dia segera menyerang dua orang yang memegang senjata pemburu tersebut dengan meraih dua botol kaca kosong dan memecahkannya tepat di puncak kepala. Dengan kecepatan dan ketepatan, tanpa ragu menancapkan pecahan dari ujung botol tersebut persis ke jantung salah satunya. Ulahnya menghasilkan dua orang tidak sadarkan diri dan satu tewas seketika. Tersisa ketua kelompok yang kini gemetar ketakutan memeluk tas ransel. Jeon berjalan mendekat. Orang itu langsung melempar tas tersebut ke arahnya.  "Ambil! Ambil saja semuanya! Jangan bunuh saya! Saya mohon. Ampuni saya!"  Dari belakang punggungnya, terdengar beberapa orang yang mencoba kabur. Tanpa ragu, Jeon mengambil sebuah pisau yang tergeletak di tanah dan dengan cekatan melempar pisau tersebut tepat mengenai tengkuk targetnya.  Ambruk. Mati seketika. "Siapa yang menyuruh kalian lari, huh?" gumam Jeon. Semua orang yang masih siuman langsung kaku tak bergerak sedikit pun dari tempat. Kemudian Jeon kembali memusatkan perhatian pada si ketua, lalu merampas ransel tersebut. Setelah mendapatkan apa yang harus dia bawa pulang, lelaki itu pun berbalik. Namun, ketika dia hendak melangkah meninggalkan tempat tersebut, dia mendengar sebuah pekikan yang teredam. "Emmh!" Jeon segera menggeser tubuhnya ke kiri. Dalam satu kedipan, dia merebut sebuah pisau yang tadinya hampir menancap tepat di punggungnya. Refleks, dia menggoreskan permukaan tajam pisau tersebut tepat di leher si ketua secara horizontal. "Ah, b******k!" maki Jeon karena sebagian wajahnya terciprat oleh darah. Dia memungut kembali tas ransel yang terjatuh ke tanah dan bersiap untuk menjauh dari tempat itu. Tugasnya sudah selesai. Saatnya makan malam. "Emmmmhh!!!" Jeon pun menoleh ke sumber suara. Pandangannya menjadi lebih tajam ketika melihat seorang gadis terikat erat di tanah.  Oh, ya, sedari tadi memang ada saksi mata yang disekap di sana. Pria muda itu pun memutuskan untuk berjalan mendekati gadis tersebut, berlutut di hadapannya, lalu melepas lakban yang membungkam mulutnya. Gadis itu menangis tersedu-sedu ketika Jeon melepaskan ikatan yang melilit lengan, kaki, serta tubuhnya. Rasanya waktu berhenti seketika saat Jeon merasakan sesuatu yang lembut menyentuh permukaan bibirnya dalam sekejap. Gadis itu menghadiahinya sebuah kecupan singkat lalu menghilang melarikan diri dari sudut gang di mana dia diikat seperti binatang dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Seperti hampir saja diperkosa jika saja Jeon datang terlambat. Meninggalkan Jordan Jeon yang masih berlutut kaku pada tempatnya. Jordan Jeon baru saja melepaskan seorang sandera dan mendapatkan sebuah hadiah tak terlupakan. Akan terus membekas di hatinya. Di sepanjang hayatnya. Ciuman pertama yang terasa sangat halus dan lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD