Satu

1174 Words
Dia hanya bisa berdiri kaku di depan tubuh-tubuh yang tergeletak tak berdaya. Mereka adalah orang tua dan saudara-saudaranya. Cairan kental berwarna merah pekat membanjiri lantai marmer. Pandangannya agak kabur. Hatinya bergemuruh. Perlahan, dia runtuh.  Tak ada tangisan histeris. Tiada jeritan atas amarah yang meledak-ledak. Dia hanya diam bertekuk lutut. Lupa bagaimana cara bernapas dengan benar. Lupa bagaimana cara memejamkan mata.  Sorot matanya mengedar ke segala arah dan berhenti pada satu objek. Sebuah kue tart dengan lima belas buah lilin kecil yang telah padam. Hari ini adalah hari istimewa. Bukan hanya untuknya saja, tetapi bagi keluarga Jeon. Hari di mana putra bungsu dari keluarga itu menghirup udara dunia untuk pertama kalinya.  Bukan senyuman serta canda tawa atas suka cita akan datangnya hari ini yang dia dapat. Bukan pula ucapan terima kasih atas kehadirannya selama ini di dalam hidup orang-orang yang dicintainya. Namun sebuah tragedi mengerikan yang kini terpampang di depan matanya.  "Ayah."  Suara lirihnya membangunkan seseorang. Kakak iparnya yang tergeletak di sana sedang meregang nyawa. Kala menyaksikan pergerakan kecil itu, dia segera menghampiri. Tanpa pikir panjang,Jordan Jeon langsung menahan aliran darah yang terus mengucur dari perut kakak iparnya. Perut yang tengah mengandung keponakannya.  "Kakak! Hanna!"  Dengan tangan gemetar dan lemah, wanita yang tengah hamil besar dan sekarat itu menggenggam tangannya lalu berbisik lirih, "La-lari, Jordan. Lari-"  Brakkk!  Pintu depan yang menjadi akses untuknya masuk ke dalam rumah kembali terbuka lebar. Dari sana, masuklah beberapa orang yang membawa berbagai senjata. Mereka berpakaian hitam. Detik berikutnya, orang-orang itu bergerak cepat ketika mendapati putra bungsu Jeon yang menjadi target tersisa.  Tak dapat dihindari, sebuah tembakan dari salah satu pria berpakaian serba hitam mengenai bahunya. Meninggalkan rasa sakit tak terkira.  Jeon muda pun mengerang. Rasa terbakar dan pedih menjalar dari bahu, lalu ke seluruh tubuh. Hanna mengibaskan tangannya dengan sisa tenaga yang ada, menyuruh adik iparnya itu untuk melarikan diri.  Pemuda itu tidak panik. Dia sudah tahu kalau ayah dan keluarga besarnya memang mempunyai kaitan dalam dunia gelap yang tidak lepas dari kriminalitas. Namun, jika mengingat kekuasaan yang digenggam Tuan Jeon, tidak pernah secuil pun terlintas dalam kepalanya bahwa keluarganya akan dibantai habis seperti ini.  Peluru yang bersarang di bahunya sudah memberikan pernyataan bahwa setelah ini dialah yang akan menjadi target mereka selanjutnya. Maka, dengan segenap harapan yang tersisa, dia berlari menuju kamar sang ayah. Mengunci dirinya dari dalam dan menghindari hujaman peluru dari balik pintu.  Dia segera membuka jendela kamar yang terhubung langsung dengan taman belakang. Namun, ada satu hal yang tiba-tiba mengusik pikirannya.  Pintu itu.  Tergopoh, dia mengurungkan niat untuk melompat ke jendela. Pemuda itu justru bergerak cepat ke lemari besar terbuat dari kayu mahagony dan membuka pintu paling tengah. Di sana, dia menemukan sebuah door lock system.  Kemudian, dengan tangan gemetar dia menempelkan tangannya ke layar. Ketika akses dikonfirmasi, sebuah pintu rahasia dibalik gantungan pakaian pun terbuka. Dia segera masuk ke dalam sana dan otomatis pintu lemari kembali tertutup rapat.  Siapa sangka, ternyata apa yang dikatakan ayahnya tempo hari bukanlah sebuah gurauan. Masih segar dalam ingatannya ketika Tuan Jeon berkata dengan senyum khasnya;  "Ini pintu ajaib, Jordan. Kalau ada tamu yang tidak diundang, kamu masuk saja ke sini. Dia pasti akan tahu. Tunggu di sana sampai dia datang."  Dia?  Jeon muda terus berjalan menuruni tangga dalam kegelapan. Siapa yang dapat mengira jika di dalam rumahnya akan ada tempat rahasia seperti ini? Semakin jauh dia melangkah, Jeon melihat sebuah lampu kecil yang memberikan seberkas cahaya di sana. Betapa terkejutnya dia kala menyadari bahwa di dalam ruang bawah tanah itu terdapat ratusan jenis senjata yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.   ¤¤¤¤   "HAH!!"  Mimpi buruk itu lagi. Bukan, kenangan paling mengerikan di sepanjang hidup lebih tepatnya.  Dengan tubuh yang dibanjiri oleh keringat, dia bangun dari posisi rebahannya. Rasa perih dan pedih pun segera menyambut. Tubuhnya bergerak kaku.   Ah, dia hampir lupa. Tadi malam dia telah melaksanakan pekerjaannya dan mendapatkan cinderamata. Dia meringis dan mendesis singkat ketika melihat lengan kirinya yang tergores sebuah timah panas.  Jeon memutuskan untuk bangun dari tempat tidur dan melepaskan jaket serta kaos polos hitamnya. Wajahnya nampak pucat. Pasti karena terlalu banyak kehilangan darah. Rasanya seluruh otot dan tulang yang menggerakkan tubuhnya seperti diremuk-remuk saja. Kepalanya terasa berat, namun dia tetap bersikeras untuk berjalan menuju kulkas dan mengambil air dingin.  Tiba-tiba terdengar bunyi dari panel pengunci pintu. Pintu apartemennya terbuka. Seseorang yang sangat dia kenal sejak lima tahun lalu. Teman setia penyelamatnya, Nathan. Pria bertubuh jangkung itu datang dengan beberapa botol minuman beralkohol.  "Bagaimana, JJ? Beres?" tanya Nathan sembari meletakkan minuman tersebut ke atas meja.  Jeon diam saja. Dia mengambil kapsul suplemen penambah darah yang disimpan di kotak obat, lalu meminumnya. Lelaki itu mengambil sebotol wine yang dibawa Nathan tadi, lalu menyiramkan minuman tersebut ke lengan kirinya.  Tujuan Nathan membawa minuman beralkohol bukan untuk dinikmati bersama. Akan tetapi, untuk merawat luka Jeon. Perih menyengat bekas luka yang untungnya tidak terlalu dalam. Jeon hanya mendesis menahan rasa sakit. Sudah biasa baginya.  "Di mana Tuan August?"  Nathan mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar pria bermarga Jeon itu menanyakan bos mereka. Tumben.  "Di waktu seperti ini? Sleeping, for sure."  Benar juga. Tuan August pasti sedang tidur bersama beberapa perempuan yang tidak sadarkan diri di sampingnya sekarang.  Membayangkan hal itu, Jeon terkekeh sendiri. Entah bagaimana nanti Ryan dan Troy  mengatasi sampah-sampah yang ditinggalkan oleh bosnya.  "Jeon," panggil Nathan.  Pemuda itu menoleh sesaat, tetapi tidak menghentikan kegiatannya untuk mengobati luka-luka pada tubuhnya.  "Masih ada satu tugas malam ini."  Dia mengangguk paham. "Anggap semuanya selesai."  Nathan menyeringai. Dia bangkit berdiri, merapikan jasnya dan membenarkan simpul dasinya.  "Bagaimana proses doktoralmu?"  Kuliah? Ah, yang benar saja!  Jeon terkekeh atas statusnya di mata publik.  Dia memang terdaftar sebagai mahasiswa jurusan bisnis di sebuah universitas terkemuka. Mahasiswa yang jarang menghadiri kelas dan hanya datang saat ujian saja. Meskipun demikian, nilai akademisnya selalu pada peringkat sepuluh besar. Bukan karena dia mempunyai otak jenius, karena semua memang sudah diatur sedemikian rupa.  Uang memang senjata manipulasi paling ampuh dan mutakhir.  "Apakah aku akan menjadi salah satu lulusan terbaik lagi?"  Nathan tertawa lepas. "Memang harus seperti itu agar kamu bisa bergabung dengan MC melalui jalur formal dan punya pekerjaan tetap."  "Pekerjaan tetap?" Kali ini Jeon yang tertawa. "Pekerjaan tetap di siang hari, maksudmu?"  Pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu mengangguk, membenarkan. Kemudian, Nathan merogoh sesuatu dari dalam kantong celana bahannya dan melempar benda itu pada Jeon. Sebuah kunci motor yang belum pernah dia lihat sebelumnya.  "Baru lagi?" tanyanya.  Nathan tidak menggubris pertanyaan yang sudah jelas diketahui jawabannya tersebut. Dia terlihat tergesa-gesa karena terus melirik jam tangan.  "Paket dari Brooklyn, tertahan di Pelabuhan. Ambil sedikit saja, lalu bereskan tikus-tikus di Bronx. Tidak terlalu jauh. Untuk sisanya, biarkan  Troy  yang menyelesaikannya." Mendengar instruksi tersebut, Jeon mengangguk malas dan berjalan gontai menuju dapur. Misi baru selalu membuat perutnya keroncongan.  "Mana makanannya? Aku sudah lembur sepanjang malam. tidak ada rasa cemas dan perhatian sedikit pun?"  Nathan terkekeh, memamerkan lesung pipinya. "Nanti akan ku bawakan Ramen. Jam dua malam. Jangan telat. Makanannya akan dingin."  "Ya, benar. Dan tentu saja aku sudah mati kelaparan."  Gerutuan itu hanya sebagai penutup atas percakapan mereka. Pintu apartemen pun tertutup. Meninggalkan Jeon yang hanya mengulas senyum simpul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD