“Hahahaha!! Ini menyenangkan!!” teriakan penuh kegembiraan terdengar nyaring di sekitaran aliran sungai menuju Rawa Hades.
Letak lokasi selanjutnya tidak begitu jauh dari kawasa. Goldenmoon Pack. Para pengembara memutuskan beristirahat. Sungai ini terdapat batu-batu besar dan terbing curam, ditutupi beberapa tumbuhan hijau yang rimbun. Tempat ini begitu nyaman dan sejuk.
Naga Egan terbang kesana-kemari dengan Nara duduk menungganginya. Gadis dengan surai hitamnya itu terlihat tertawa terbahak dan sesekali menjerit saat Egan menunjukan keahliannya beratraksi dalam terbang.
Emily yang statusnya kini sebagai tahanan para pengembara duduk bersandar di bebatuan. Ia terus mengamati orang-orang ini. Entah di Bumi atau Grill, semuanya terlihat mirip dari segi fisik maupun sifat. Munkinkah Grill sebenarnya adalah dunia paralel? Entahlah, Emily tidak ingin ambil pusing.
Tatapannya beralih pada Arden yang telah menghabiskan seekor ikan bakar dari sungai dan kini tertidur di bawah pohon. Sedangkan sosok kecil berjubah putih? Emily tersenyum.
“Ikan?”
Assassin menoleh dan tersenyum menerima ikan bakar dari penyihir putih. “Terimakasih.”
“Aku masih penasaran, mengapa kau tidak memiliki sihir?” tanya Lucy.
“Aku bahkan tidak begitu paham sihir itu apa?”
“Huh? Sungguh?”
Emily mengangguk dan mengulurkan tangannya mengelus kepala Lucy yang super imut. Penyihir itu mengernyit menatap tangan Emily dan tersenyum senang.
“Aku punya satu rahasia tentangku, ingin mendengarnya?”
“Ya aku akan mendengarnya!!!” Lucy begitu antusias.
Emily menaruh ikannya yang terbalut daun di atas batu. Ia memberikan atensi penuh pada Lucy dan berbisik. “Aku sebenarnya bukan makhluk Grill, asalku dari Bumi. Itu kenapa tidak ada sihir dalam diriku.”
“Wow ....” Penyihir putih terperangah. “Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Tapi kau menceritakan rahasiamu padaku? Mengapa?”
Emily tersenyum, “Karena kau spesial.”
“Apa yang sedang kalian bicarakan? Kau tidak sedang menghasut penyihir Lucy ‘kan Assassin?” Robin tiba dengan tatapan penuh kecurigaan.
Sebenarnya untuk Robin, kucing itu mirip dengan peliharaan tetangganya. Awalnya ia takjub jika Robin bisa berbicara, dunia ini benar-benar gila.
“Tidak, aku tidak.” Emily mengambil miliknya dan mulai makan. Terlihat Robin terus memperhatikannya. Perempuan itu sengaja menambahkan ekspresi benar-benar menikmati ikan tersebut. “Oh, kau mau Robin?”
Robin terperangah. “Bagaimana kau tahu namaku?!”
“Jadi namamu benar Robin?”
“Ck!” Robin menelan salivanya, ikan itu benar-benar terlihat enak. Walau ia sudah menghabiskan tiga ekor ikan, sepertinya milik orang lain lebih menggoda. “Ikan itu sebesar lengan orang dewasa, kau pasti tidak akan menghabiskannya.”
“Kau benar, ah aku sudah kenyang....” Emily menaruh kembali ikannya di atas batu. “Biarkan hewan-hewan liar yang memakannya.”
“Jangan, berikan padaku!!”
“Huh?” Emily tersenyum pada Robin yang memalingkan wajahnya. “Ambil saja Robin, jika kau masih lapar.”
“Apa boleh?”
Emily mengangguk. Tentu saja, selama di Bumi kucing Robin selalu menandatangi rumahnya, alhasil Emily sering berbagi makanan dengan makhluk menggemaskan tersebut.
Setelahnya, Robin loncat dan mendarat di atas batu dekat dengan keberadaan Emily dan Lucy. Si penyihir putih tertawa melihat tingkah Robin dan mengelus tubuhnya diikuti Emily yang menatap Lucy dalam diam.
“Bisakah kita berangkat sekarang?” Sha Arden tiba di samping ketiganya dengan muka kusut bangun khas bangun tidur.
Melihat itu Emily harus meredam detak jantungnya yang selalu berdebar di dekat warrior ini.
Ayolah Emily sadar, orang ini bukan suamiku, Samuel. Laki-laki itu tidak kembali setelah dua tahun menghilang atau mungkin telah mati? Tidak seorang pun tahu keberadaan Samuel, hingga Emily putus asa mencarinya. Namun, di Grill ia bertemu Samuel dalam wujud Arden. Permainan Tuhan macam apa ini?
Lucy menatap langit yang masih terik dan menatap Cho Egan yang masih asik berterbangan. “Lebih baik memang di siang hari memasukinya. Rawa itu lebih berbahaya dari pada Hutan Terkutuk yang pernah kalian lalui.”
“Baiklah, aku mengerti.”
Arden sedikit melirik Emily yang sedari memperhatikannya terus. Ia memilih membiarkan saja dan melangkah menuju aliran sungai untuk mencuci muka dan memanggil jelmaan dua pusaka yang sedang bermain.
***
“Apa yang membuat kalian ke Nirvana?” Emily berjalan di tengah-tengah para pengembara.
“Bukan urusanmu ya tahanan!” Egan menimpali dengan kesal. Kecurigaan akan tahanannya soal mata-mata sepertinya benar.
“Aku hanya bertanya, memangnya tidak boleh?”
“Tidak boleh! Tahanan harusnya diam saja!”
Emily berdecak. Egan ini benar-benar semenyebalkan Naga, teman kantornya. Sangat kebetulan Egan ternyata sosok naga, jika Naga temannya itu ia ceritakan pasti sangat antusias.
“Penyihir Lucy, kira-kira seperti apa Rawa Hades itu?” tanya Arden penasaran, ia tidak mempedulikan percekcokan antara Egan dan Emily.
Namun Egan mendengar pertanyaannya dan tertawa. “Jadi kau belum pernah ke sana? Warrior macam apa kau? Hanya besar di nama saja!”
Arden membuang napas. Perkataan Egan memang benar, terakhir kali tempat yang ia kunjungi bukan daerah barat, paling-paling hanya Hutan Terkutuk untuk mencari keberadaan tahanan yang kabur ke sana
Lucy tersenyum pada keduanya. Beberapa meter lagi mereka akan memasuki kawasan Rawa.
“Seperti julukannya Warrior Arden. Rawa Hades adalah tempat Dewa Hades untuk menenangkan dir, karena dia tidak ingin diganggu oleh siapapun. Tempat ini dia ciptakan seseram dan seaneh mungkin. Jika kau pernah mendengar cerita di masyarakat, beberapa orang mungkin bercerita di Rawa Hades banyak tumbuhan hidup dan monster di dalamnya.”
“Jadi semua itu benar?” Arden menghalau serangga yang terbang di depan wajahnya. “Bagaimana dengan para penyihir hitam?”
Emily menoleh pada Arden. Ia jadi teringat dengan penyihir Lim, hingga kini ia belum tahu keberadaan dua pusaka, walau statusnya telah menjadi tahanan dan ikut bersama pengembara.
“Setelah masa menenangkan diri, Dewa Hades meninggalkan tempat tersebut. Kala itu penyihir hitam mengalami penolakan oleh banyak kaum karena dipandang negatif dan mereka membutuhkan persembunyian. Jadilah Rawa Hades sebagai solusi tempat tinggal mereka.”
Lucy begitu rinci menjelaskan, entah kenapa membuat Emily merasa bangga. Emily ersenyum memperhatikan bagaimana Arden terus berbincang seru dengan Lucy tanpa mempedulikan yang lain. Terkadang juga tertawa bersama. Walau bukan di Bumi setidaknya rasa rindu sedikit terobati.
Kawasan Rawa Hades sudah di depan mata. Lucy menghentikan langkah para pengembara dan merapalkan sebuah mantra. Tangannya ia ulurkan dan cahaya berkilau seperti berlian beterbangan di antara pengembara dan Emily.
Lucy menambahkan. “Aku telah membuat pelindung. Setidaknya kalian akan lebih peka jika ada bahaya yang akan datang. Jangan menyentuh tanaman atau hewan apapun sampai kita berhasil keluar dari sini. Ingat, mereka semua hidup dan berbahaya.”
“Baiklah, baiklah ... aku sudah pernah kemari, jadi kau tidak perlu banyak bicara penyihir putih!” Egan kembali dengan sifat menyebalkannya.
Egan bersiul memasuki Rawa Hades dengan tangan terus menggenggam Nara. Entah bagaimana keduanya semakin akrab dan lengket, mungkin karena mereka sama-sama sosok jelmaan.