Banyak hal menyakitkan di dunia ini. Orang miskin yang tertindas, patah hati, cacat, bahkan hal terkecil seperti kaki yang terantuk meja. Dari semua hal itu mengapa ia harus melihat bagaimana ayahnya dieksekusi mati dengan status sebagai penghianat kerajaan? Langit yang cerah sama sekali tidak mencerminkan gambaran hatinya.
Lihatlah colosseum itu, para warga kerajaan Shuru bersorak-sorai memaki ayahnya yang sudah dicambuk entah sudah keberapa ratus kali. Ia tidak sanggup melihatnya, lebih baik pergi dari sini.
Tudung jubah cokelatnya dinaikan dan mulai melangkah pergi.
Arden harus meredam perasaannya. Keberadan dirinya tentu akan menarik atensi kerajaan. Kembali ia menoleh, matanya melebar berkaca-kaca. Ayahnya tersenyum dalam keadaan yang mengenaskan, tidak ada guratan kesakitan ataupun penyesalan.
Lelaki berambut gelap itu mengeraskan rahang dan menyentuh kalung taring beruang pemberian ayahnya.
“Barang itu harus kembali!”
Arden melanjutkan langkah. Sebisa mungkin ia menghindar dari pandangan para penjaga yang tersebar. Ayahnya seorang panglima sudah berkorban, ia harus melaksanakan amanahnya agar tidak menjadi pengorbanan yang sia-sia.
Kediaman Arden berada di perumahan para elite kerajaan. Sebelumnya telah digeledah, tapi ayahnya yang cerdik menciptakan lemari yang tidak dapat dijangkau siapapun kecuali Arden. Beruntung tidak ada prajurit kerajaan yang berpatroli jadi ia bisa leluasa berganti pakaian dan berkemas pergi.
“Meow!!”
Arden menoleh. Ada kucing short hair dominan warna jahe bergelung di bawah meja, bernama Robin. Pria itu tersenyum kecil dan mengelus kucing tersebut. Suara dengkuran Robin terdengar yang berarti ia sangat menikmati usapan Arden.
“Lagi!!”
Pria yang sudah berganti pakaian dengan dalaman linen putih tulang serta korset rompi bergaya steampunk dominan warna biru tua, menggeleng ringan. Kedua lengan dibalut sarung tangan armor setipe dengan sepatu armornya yang ringan, terlihat cocok. Arden mengambil beberapa senjata yang ia selipkan pada kantung-kantung kecil di sabuk warrior-nya. Tidak lupa jubah cokelatnya untuk menutupi diri.
“Nanti Robin, kita harus segera pergi.”
“Ah, menyebalkan! MEOW!”
Robin menggeliat. Kucing ajaib yang bisa bicara dan beladiri menjadi salah satu spesies langka di dunia Grill. Beruntung Arden menemukannya saat menjalankan misi dari kerajaan beberapa tahun lalu.
Menghembuskan napas berat, pria itu membuka lemari transparan. Satu-satunya buntalan kain berwarna hijau menjadi fokusnya, disibakanlah kain tersebut. Arden menyentuh benda di dalam gumpalan itu, sebuah pusaka berbentuk bunga lotus yang berkilau. Pusaka yang sangat indah mampu menarik banyak atensi makhluk-makhluk serakah akan kekuasaan juga kekuatan.
Cahaya lotus sangat berkilau, Arden takut orang-orang akan mendatangi tempatnya. Segera benda itu Arden masukan ke dalam tas kulit yang menggantung di bahunya.
“Kita pergi sekarang, Robin!!”
***
Keluar dari perbatasan Kerajaan Shuru tidak terlalu sulit. Para penjaga dan warga memilih mendatangi eksekusi mati ayahnya. Arden menyentuh kalung bertali hitam rajutan kulit hewan, benda ini pemberian ayahnya setelah berhasil memburu seekor beruang dari salah satu pegunungan terkenal di Taurus.
Hanya kalung ini satu-satunya yang tersisa dari ayahnya. Semua barang seakan leyap menjadi barang bukti atas penghianatan ayahnya, walau sebagian besar alasannya dibuat-buat.
Robin bertengger di atas pohon yang menjadi payung Arden. Kucing jahe itu melirik manusia yang kini sedang duduk termenung.
“Robin, kali ini apa yang harus kulakukan?”
“Hah?! Mengapa tanya aku, meow? Kau seorang warrior, segala teknik dan strategi sudah kau pelajari. Bahkan ayahmu seorang panglima perang, meow!”
Mendengar itu Arden terdiam, matanya terfokus pada dua ekor tupai yang melompat dan saling mengejar memperebutkan kacang acorns.
Tidak mendapat tanggapan, Robin kembali melirik. Mungkinkah kata-katanya terlalu menyakitkan? Ia lupa hari ini eksekusi mati Ayah Arden, orangtua berambut putih yang sudah Robin anggap sebagai ayahnya sendiri.
“Maafkan aku, meow....”
“Hm?” Arden mengernyit dan terkekeh. “Tidak, kau benar. Ayah sangat hebat bisa menjadi panglima saat usianya sama seperti usiaku saat ini, dua puluh empat tahun. Walau aku mempelajari banyak strategi berperang atau taktik lainnya untuk hal seperti ini aku tidak bisa berjalan sendiri.”
“Kau...."
Pusaka lotus Arden keluarkan dari tas kulit yang tersampir miring di tubuhnya. Cahayanya semerbak menyinari sela-sela pepohonan di hutan. Beberapa hewan mengintip untuk melihat asal cahaya tersebut, ajaibnya tidak satu pun dari mereka mendekat dan mencurinya.
“Lihat, benda ini sangat dihormati para hewan di sini, tapi mahkluk yang berakal berperang untuk memperebutkannya. Aku tidak mengerti kenapa Ayah memintaku mengembalikan pusaka ini ke Nirvana? Tempat itu bahkan keberadaannya hanya sebatas dongeng.”
Kucing Robin meloncat turun. Arden sosok yang selalu menyimpan perasaannya seorang diri. Ia tahu warrior itu sedang mengalihkan pikirannya perihal ayahnya yang mungkin sudah mati di tangan Raja Kreon.
“Bagaimana cara kerja benda ini? Bukankah bagus jika kau yang memilikinya, meow? Kau tahu benda ini menjadi incaran banyak kaum, ras, bahkan kerajaan besar seperti Shuru.”
“Kau ini bicara apa? Tidakkah kau ingat Ayah bercerita pusaka ini telah dicuri Raja Kreon tujuh belas tahun yang lalu. Kerajaan Shuru menjadi negeri terkuat dan Raja menyalahgunakan kekuasaannya.”
“Ya terus?”
“Kita harus mengembalikannya!”
Robin memutar bolamata malas. “Ada cara singkat untuk membuatmu kuat dan berkuasa wahai warrior bodoh! Dan kau menolaknya? Tidak heran Ayah merelakan lotus ini di tanganmu, meow.”
“Hey, kau mengataiku bodoh? Apa semua kucing sepertimu?”
“Meow! Mana kutahu, bodoh!” Robin mendekati Arden yang terkekeh dan memasukan lotus ke dalam tas kulit. “Selanjutnya apa?”
Lelaki itu menghembuskan napas berat, mengingat kematian ayahnya akan membuat goyah. “Beberapa hari sebelum hari eksekusi Ayah sering membicarakan Tuan Cho si pembuat pedang legendaris.”
“Apa yang Ayah bicarakan, meow?”
“Dia selalu mengungkit Tuan Cho yang telah membuatkan pedang untuk Ayah. Apa aku harus menemuinya?”
“Temui saja, lagipula kau tahu dimana letak Nirvana, meow? Siapa tahu Tuan Cho itu bisa membantu, meo... meow?”
Letak Nirvana ya? Robin benar, tidak seorang pun tahu di mana bersemayamnya Nirvana itu. Teman-teman warrior-nya saja menganggap Nirvana sebuah lelucon. Bahkan saat Ayah bercerita soal lotus ini Arden sempat tergelak seakan mendengar dongeng turun temurun.
“Bisakah kita mempercayainya?”
Robin yang tengah menjilati bulu-bulunya menoleh. “Entah.”
Perjalanan kembali dilanjutkan.
Untuk sampai di tempat Tuan Cho memerlukan waktu tiga hari jika dilalui dengan berkuda. Sebelumnya Tuan Cho tinggal di kerajaan Shuru, tapi setelah menikah ia memutuskan ikut istrinya menetap di Kerajaan Seberang.
Arden dan Robin sesekali beristirahat untuk tidur dan makan. Buah-buahan di sekitar hutan atau ikan di sungai menjadi bekal keduanya.
“Sudah hari ke lima kita berjalan ke Seberang, bukankah aneh pihak Shuru tidak ada tanda-tanda mencarimu, meow?”
Keduanya sedang duduk mengelilingi kayu yang akan dibakar Arden. Sore tadi ia berhasil menangkap beberapa ikan dan malam ini seakan menjadi surga bagi Robin si pecinta ikan.
“Aku pun berpikir sama.”
Arden menyentuh kayu-kayu yang mereka kumpulkan. Dari sana munculah asap dan percikan api. Salah satu keahlian Arden adalah elemen api sama seperti ayahnya si Putra Agni yang berarti titisan Dewa Api.
Mengingat perkataan Robin tadi, belum ada tanda orang-orang Shuru mengejarnya. Sebenarnya Arden sudah curiga sejak keluar dari perbatasan. Kepergiannya seakan mendapat restu pihak kerajaan, bukankah aneh? Semua orang tahu Arden anak dari tersangka penghianat kerajaan, seharusnya dicurigai mengenai pusaka lotus yang menghilang.
“Sudah jangan kau pikirkan meow, lebih baik kau bakar saja ikannya Arden!”
Lelaki berambut gelap itu terkekeh dan mengelus tubuh Robin. “Baiklah Tuan!”
Sebagaimana pemilik kucing lainnya Arden pun akan menjelma sebagai b***k bukan tuan. Belum lagi jika Robin menggunakan jurus ilusinya membuat orang di sekitar jadi gemas atau kasihan padanya, benar-benar jurus yang merepotkan batin dan perasaan siapapun.
“Meow! Andai saja aku punya kekuatan elemen!” Robin menjilati bulu-bulu di kakinya.
Arden yang sedang mengoles ikan dengan bumbu menimpali. “Andai aku memiliki cakar beracun.”
“Punyaku tidak usah pakai bumbu, meow!”
“Iya Tuan!”
“Setengah matang saja, meow.”
“Baik.”
“Meow, memangnya kau tahu dimana letak rumah Tuan Cho?”
Tangannya berhenti bergerak, Arden mengingat-ingat. “Dengan dasar usiaku yang saat itu berumur tujuh tahun sepertinya tidak ingat.”
Robin mendengus. “Dengan usiamu yang kini entah disebut tua atau muda aku yakin wajah Tuan Cho saja tidak kau ingat, meow.. meow.. meow.... ”
“Sebodoh itukah aku?! Jangankan wajah Tuan Cho, wajah anak laki-lakinya yang nakal saja aku mengingatnya.”
SREEK!!
SRAAKK!!
Keduanya tersentak. Serentak menatap sumber suara dengan posisi kuda-kuda. Arden bersiap dengan pisau, sedang Robin berdiri menggunakan tumpuan kedua kaki belakang, keempat kakinya sudah memunculkan cakar beracun.
“Apa ini mata-mata Kreon? Atau orang-orang Kerajaan Seberang, meow?” bisik Robin.
Seseorang muncul dari semak-semak, ternyata laki-laki tua beruban dengan kulit harimau sebagai pakaian dan janggut putihnya panjang menjuntai. Lelaki tua ini terkejut mendapati pemuda dengan seekor kucing akan menyerangnya.
“Para pengembara jangan menyerang Saya!!”
“Mengapa, meow?” tantang Robin.
“Oh, kau bisa bicara?!” Lelaki tua itu menggelengkan kepala. “Pokoknya jangan, Saya tidak ada niat buruk pada siapapun, bahkan seekor kucing.”
Arden menyipitkan mata. Lelaki ini seperti pernah ia temui sebelumnya. Wajah lelaki tua ini mirip seperti teman ayahnya dulu yang sering berkunjung. Sebersit memori berhasil terputar kembali di ingatannya.
“Tuan Cho? Anda Tuan Cho Zein?!”
Ya, tidak salah lagi lelaki tua ini mirip sekali dengan Tuan Cho yang memiliki mata sipit serta tahi lalat di ujung hidungnya. Walau sudah tua ternyata tidak membuat wajahnya berubah.
“Kau mengenalku, Nak?”
Robin menatap dua manusia bergantian. Cakar di tiap kakinya menghilang dan kembali mendengkur di samping perapian. “Manusia memang merepotkan, meow....”
Warrior tersenyum pada lelaki tua dan menghampirinya. “Saya Sha Arden, anak dari panglima Sha Marcus.”
“Oh, Arden putra Marcus? Kau sudah dewasa, Nak!”
“Iya, Paman.”
Tuan Cho terkekeh. Ia menepuk-nepuk bahu Arden yang tertutup armor. Terakhir kali ia melihat pemuda di depannya ini tingginya hanya sebatas pinggang, kini sudah melebihi tingginya dan semakin tampan. Sahabatnya Marcus ternyata telah membesarkan Arden dengan baik.
Keduanya duduk mengelilingi api dengan ikan di atasnya.
“Bagaimana keadaan Marcus?”
Robin mengangkat kepalanya memperhatikan Arden.
“Mungkin sudah mati?” Arden tersenyum kecil.
“Mati? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Arden mulai menceritakan kronologi atas penghianatan yang dilakukan ayahnya. Mulai dari menyembunyikan pusaka lotus dari tangan Raja Kreon, orang-orang yang mulai membenci ayah juga dirinya, sampai hari ayahnya dieksekusi juga amanah mengembalikan pusaka lotus ke Nirvana. Namun Arden tidak menceritakan mengenai kecurigaannya pada pergerakan Kreon yang lambat akan dirinya.
“Saya dan Robin kemari bermaksud menemui Paman di Negeri Seberang untuk meminta bantuan.” Arden menundukan kepalanya pada Tuan Cho. “Saya mohon, Paman bisa membantu kami!”
Tuan Cho menyentuh kedua bahu Arden agar pemuda ini kembali duduk tegak. Ia sudah mengira ada hal darurat sampai Arden jauh-jauh datang ke Seberang. Marcus orang yang hebat dan ia telah berjanji membuatkan pedang terhebatnya, sayang laki-laki itu sudah mati. Kini anak Marcus datang untuk meminta bantuan, bisakah ia menyerahkan pedang buatannya sedang ia ragu akan kemampuan Arden?
Robin yang menyadari arti gerakan dan tatapan Tuan Cho pun mendengus.
“Aku akui manusia bodoh dan payah itu tidak sehebat Ayahnya, tapi kau bisa percaya padanya karena temanmu itu juga mempercayainya, meow!”
Kembali Robin dengan mulut pedasnya, tapi membuat Tuan Cho tergelak. “Oh, kalian terlihat akur.”
Arden melirik tajam Robin. Mungkin jika kesabarannya habis kucing itu bisa menjadi daging panggang, tapi ia selalu kalah saat Robin menggunakan jurus ilusi mata kucingnya yang berkaca-kaca.
“Meow!!”
Tuan Cho menatap Arden. “Baiklah, tapi bisakah aku melihat lotusnya dulu?”
Pemuda warrior itu segera mengeluarkan pusaka lotus dari tas kulitnya dan diserahkan pada Tuan Cho.
Benda ini tidak berubah sedikitpun sejak tujuh belas tahun yang lalu. Tuan Cho tersenyum. “Dulu ayahmulah yang membawa pusaka ini pada Raja Kreon. Dia mencurinya dari Nirvana bersamaku.”
Mendengar itu Arden dan Robin terkejut. “Jadi Ayah yang....”
“Benar, Nak,” Tuan Cho mengembalikan lotus tersebut pada Arden. “Dulu Raja Kreon sangat bijaksana, sejak mengetahui tentang lotus ini dia menjadi serakah.”
Tuan Cho mengingat-ingat masa lalu. “Saat umurmu tujuh tahun tinggal di rumahku bersama istri juga anakku Egan, aku dan ayahmu mengembara menuju Nirvana untuk mencuri lotus ini.”
“Tapi mengapa kalian mencurinya? Aku tahu Ayah bukan orang yang selalu taat pada perintah Raja.”
Siapa sangka Arden ternyata menuruni sifat Mracus yang selalu mengkritisi suatu hal.
“Ayahmu saat itu dalam keadaan kacau, Nak. Selama hidupnya sudah banyak darah dia tumpahkan. Marcus selalu bertanya-tanya kapan hal ini akan berakhir? Dimana kedamaian yang sering orang-orang katakan? Hingga Raja Kreon menangkap kegelisahan itu.”
Robin yang awalnya tidak tertarik terpekur di samping Arden pun mendekati Tuan Cho.
Lelaki tua itu pun tersenyum dan memangku si kucing jahe.
“Meow! Selanjutnya apa?” pinta Robin.
“Yah... seperti yang kalian tahu, Raja Kreon memanfaatkan kegelisahan Marcus. Diperintahkanlah ayahmu untuk mencari lotus dengan alasan akan mendapat jawaban atas kegelisahannya.”
“Dan Ayah tidak mendapatkan jawabannya?”
“Benar, setelah Raja Kreon mendapatkan lotusnya ayahmu pulang dengan kehampaan di hati.”
Arden menghela napas. “Sampai Ayah mati pun hatinya tetap hampa.”
Tuan Cho menggeleng, tangannya tetap sibuk mengelus bulu Robin. “Setidaknya dia tidak akan melihat pertumpahan darah lagi, ayahmu telah mencapai kedamaian seutuhnya, Nak.”
Arden ingat saat ayahnya tersenyum tanpa beban di hari eksekusi. Jadi semua jawaban yang Ayah butuhkan telah terpenuhi.
“Kalau begitu bagaimana jika Paman ikut kami mengembalikan lotus ini, meow?” Robin mendongak pada Tuan Cho.
Pria tua itu tersenyum. “Aku sudah tua, Nak.”
“Lalu bagaimana kami bisa tahu letak Nirvana, meow?”
“Kau harus tahu konsep Nirvana dulu.” Tuan Cho menatap ikan yang sepertinya sudah matang. Lelaki itu menunjuk dengan telunjuk. “Ikannya nanti gosong.”
Robin panik. “Meooowww!! Arden aku sudah bilang setengah matang!!”
“Terlambat, ini sudah matang seutuhnya!!”
“Cihh, dasar manusia seenaknya saja, meow.”
“Kau yang seenaknya saja!!”
Ikan-ikan itu dibagikan sama rata pada Tuan Cho, Arden dan Robin. Ketiganya menyantap sambil meniup-niup daging ikan yang panas.
Lelaki tua melanjutkan ucapnnya selagi menyantap ikan. “Konsep Nirvana adalah ujung dunia.”
“Ujung... dunia?”
“Letaknya ada di barat, kalian hanya perlu melakukan perjalanan ke arah barat sampai menemukan ujung dunia. Beberapa orang mencoba ke sana dengan hasil sia-sia, di antaranya warrior sepertimu bahkan ilmuwan."
Tuan Cho terlihat menghabiskan ikannya dalam sekejap, sepertinya ia kelaparan. "Kalian tahu mengapa Nirvana dianggap dongeng bagi sebagian orang?”
Arden dan Robin menggeleng.
“Karena orang-orang yang gagal itu tidak ingin dianggap pecundang, mereka sepakat mengatakan pada orang-orang bahwa Nirvana hanyalah khayalan.”
“Mengapa Paman dan Ayah bisa mencapai Nirvana sedang orang-orang itu gagal?”
Tuan Cho terkekeh. “Marcus orang yang hebat luar biasa kau tahu? Jika aku seorang diri tentu tidak akan pernah bisa mencapai Nirvana.”
Arden tersenyum, ayahnya memang orang hebat. “Jika Ayah bisa maka aku pun harus bisa. Tolong Paman ceritakan lebih detail apa saja yang akan kami lalui agar mencapai Nirvana?”
“Hm, aku suka semangat muda seperti ini. Kau mengingatkanku pada ayahmu.” Tuan Cho mengambil gulungan kertas dari dalam bajunya dan diserahkan pada Arden. “Buka nanti setelah aku selesai soal Nirvana!”
Arden mengangguk. “Baik Paman.”
“Ketika kalian menuju Nirvana ada beberapa tempat yang bisa kau jadikan patokan. Beberapa di antaranya Hutan Terkutuk, Rawa Hades, Gurun Oscar, Pegunungan Coldi, Desa Taurus, Laut Antarik dan terakhir Hutan Mati.”
“B-banyak sekali! Meow!” Robin terlonjak.
“Nirvana itu ujung dunia, tempat lotus bersemayam adalah wilayah yang sangat suci dan agung. Ingat, jika kalian tidak melalui tempat-tempat yang kusebut tandanya kalian telah melenceng dari jalur.”
Berbeda dengan Robin yang gemetaran mendengar nama-nama tempat yang di antaranya terkenal mematikan itu, Arden terlihat mengepalkan tangannya penuh tekad.
“Lalu gulungan ini untuk apa Paman?”
“Sebentar, kau harus pastikan pusaka lotus dalam keadaan baik. Lotus itu inti dari alam, jika sinarnya redup atau hancur akan berakibat fatal pada Grill. Saat ini lotus tidak menghisap sari alam, sinarnya mungkin akan segera redup. Kau harus bergerak cepat, Nak!”
Tuan Cho menatap Arden dalam. “Dan pedang yang kujanjikan pada ayahmu secara resmi kuberikan padamu, Sha Arden.”
Senyum Arden merekah. “Terimakasih, Paman.”
“Tapi....”
Robin menaikan kumis sisi kanannya. “Tapi apa?”
“Pedang itu tidak ada padaku saat ini.”
“Meow?! Apa maksud Paman?!” Kucing bulu jahe itu meloncat menjauhi Tuan Cho dan berdesis.
“Tenang Robin....” Arden menarik kucingnya.
Lelaki tua terkekeh melihat respon Robin. “Coba kau buka gulungannya, Nak.”
Gulungan yang berada dalam genggaman Arden segera dibuka. Gulungan itu terbuat dari kulit yang tidak akan rusak jika terkena air. Biasanya digunakan untuk dokumen penting atau lembaran pengumuman berjangka lama.
“Orang ini?!” Arden melebarkan matanya menatap isi gulungan.
Robin ikut mengintip dengan cara memanjat tubuh Arden, di sana tergambar sosok pria berambut merah sedang tersenyum miring. Di bawahnya terdapat nama yang sangat besar “Cho Egan, meow?”
"Dia... anak Paman?"
“Ya, anakku Egan dia lebih muda darimu empat tahun.”
“Seorang buronan, meow?” Robin memiringkan kepalanya terlihat imut.
Tuan Cho terkekeh. “Egan bergabung dalam organisasi pemberontak dan sering berbuat ulah pada para elite kerajaan. Jika kalian bisa menyerahkannya pada Balju Kerajaan Seberang kalian akan mendapat imbalan 70.000 RiL.”
Seperti di Kerajaan Shuru, Balju berarti kepala keamanan kerajaan.
“Kenapa kami harus melakukannya?”
Tuan Cho meringis. “Karena pedang kalian ada padanya.”
“HAH?!” Robin tidak terima, tapi berhasil Arden bekap mulutnya. "Mewowemmmwoeoow...."
“Satu lagi informasi yang perlu kalian ketahui.”
“Apa itu Paman?”
Lelaki tua dengan pakaian kulit harimau menatap kedua manik Arden. “Putraku Egan seorang manusia naga.”