PART 2 - MENJADI TONTONAN.

1650 Words
Tak perlu mobil mewahnya berhenti dengan pas di lahan parkir, Juan Ivan Collins segera membuka pintu mobilnya dan menutupnya dengan kencang. Rasanya tangannya sudah gatal ingin menghajar lelaki itu. Langkahnya panjang-panjang. Jika bisa terbang, mungkin ia lebih memilih untuk terbang dan langsung sampai dengan cepat. Seiring dengan langkahnya, ia berdecak dalam hati. Bagaimana bisa mereka makan malam di sini? Di tempat biasa Ivan membawa kekasihnya? Bodoh sekali. Sekalipun Cecil tidak memberitahu keberadaan mereka, bisa dipastikan Ivan tahu dari sahabatnya. Adakah yang lebih bodoh dari tunangannya itu? Selingkuh ke tempat yang mudah dilacak orang. Hey, apa kurang dirinya sebagai seorang lelaki? Setampan apa lelaki itu? Sekaya apa dia hingga mampu membuat wanita itu beralih? Bahkan Ivan sudah memberikan apa yang Gladys mau. Tidak bisakah wanita itu setia hingga mereka menikah dan hidup bersama pada akhirnya. Astaga, apa ia harus kembali menjalin kasih dari awal. Sudah berapa wanita yang membuatnya sakit hati. Padahal ia hanya butuh satu wanita yang mau mengerti tentang dirinya. Hanya satu! Dan itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Bahkan Gavin saja yang hanya memiliki kekayaan pas-pasan mampu menaklukkan hati Suci Prameswari. Sedang Arkhan yang sudah berulang kali menyakiti hati Nadya, mampu membuat wanita itu kembali ke pelukannya. Padahal Ia merasa jauh lebih tampan dan kaya dibanding Gavin, tapi lihatlah Suci pun enggan menerima lamarannya dulu. Dan Nadya, wanita baik dan berhati lembut bisa-bisanya kembali ke pelukan Arkhan si brengsekk yang beruntung. Haruskah ia bersikap seperti Arkhan supaya bisa membuat wanita bertekuk lutut padanya? Tidak, Ivan tidak akan mau menjadi seperti si brengsekk Arkhan. Mungkin ia bisa meminta tips pada Gavin dan Arkhan supaya tidak kehilangan kekasihnya lagi. Yah, ini sudah yang tidak terhitung lagi. Berapa kali ia berganti kekasih. Selalu saja berakhir dengan di tinggalkan. Hingga ia mendesak Gladys bertunangan, agar tidak lagi mengalami putus cinta dan kembali memulai dengan wanita yang baru. Demi Tuhan, usianya sudah merangkak tiap tahun, dan tak lucu jika ia masih sendiri saat menghadiri pernikahan Prayoga dengan kekasihnya Ayu nanti. Pelayan restoran yang mengenal Ivan, segera membukakan pintu setelah membungkukkan badan tanda menghormat. Semua mengenal siapa Ivan, salah satu sahabat atasan mereka. Bahkan lelaki ini sering memesan tempat VIP di restoran ini. Tatapan Ivan nyalang menatap ke segala penjuru restoran. Kebetulan malam ini malam minggu. Dimana banyak pasangan yang menyewa tempat ini, terkecuali dirinya yang lebih mendahulukan meeting karena memang mendesak sekali dan semua ia lakukan demi masa depan dirinya dan Gladys. Hingga netranya memindai sosok yang ia cari. Kekasihnya di sana sedang menjalin jemari dengan tatapan bahagia. Ivan jelas semakin meradang. Ketika ia berusaha memberikan yang terbaik untuk sang kekasih, ternyata ia dikhianati. Padahal ia sungguh mencintai kekasihnya. Langkah kakinya ia bawa ke sana. Gladys bahkan tersenyum pada lelaki itu. Demi Tuhan, Ivan biasa menyewa ruangan VIP jika mereka kemari. Tidak bercampur secara umum dengan pengunjung yang lain. Tapi kekasihnya justru lebih terlihat bahagia malam ini, jika ia bandingkan saat mereka bersama di ruang VIP. Jadi saat dirinya sedang sibuk untuk merintis usaha, calon tunangannya ini tengah tersipu malu demi rayuan lelaki yang entah siapa namanya. Yang jelas tangan Ivan semakin gatal, seiring dengan genggaman telapak tangannya yang siap ia daratkan detik itu juga. “Brengsekk!” Tanpa peringatan, Ivan meraih baju yang dikenakan seorang lelaki dari arah belakang. Lelaki yang sedang menikmati makan malam romantis dan tengah tersenyum bahagia itu sontak terkejut. Begitu ia menoleh, sebuah pukulan menerpa rahangnya yang tampan. Tubuhnya terjungkal menerpa meja yang awalnya berisi sajian makanan. Hingga menimbulkan suara berisik. PRANG!! Bunyi gaduh terdengar, ketika tubuh lelaki itu menerpa meja dan membuat hidangan diatas meja yang semula indah menjadi berantakan. Tak berhenti sampai di situ, Ivan kembali melayangkan pukulannya bertubi-tubi. Kali ini lelaki itu menangkis dan membalas. Seakan melupakan dimana mereka sekarang, dua lelaki itu saling memukul satu sama lain. Tentu apa yang terjadi membuat semua mata yang semula sibuk dengan makan malam romantisnya, mendadak berhenti. “Security tolong! Hentikan mereka!” “Ivan! Hentikan!” Suara teriakan seorang wanita membuat Ivan menoleh dan menghentikan gerakannya yang hendak memukul lagi. “Aku gak akan biarkan dia merebut kamu dari aku!” Wajah Ivan sudah memerah menahan emosi. Matanya kian menyalang, juga rahangnya mengeras, hingga menampakkan urat lehernya. “Gak ada yang merebut aku dari kamu Ivan!” “Mulai hari ini kita putus!” Wanita cantik itu menghampiri tubuh yang tersungkur. Ia berusaha membangunkan lelaki yang kini sudah berantakan sekali penampilannya. Terlihat sekali wanita itu lebih peduli pada lelaki yang satunya daripada pada Ivan. Dapat dipastikan wajah kedua lelaki itu babak belur, karena saling membela diri. Sementara beberapa orang pengunjung masih tetap menonton kejadian itu. Sangat jarang ada perkelahian, mengingat ini restoran menengah ke atas. “Kamu pulang bersamaku, Gladys!” perintah Ivan. Apa yang wanitanya lakukan saat ini jelas mempermalukan dirinya di muka umum. Bayangkan, bagaimana bisa tunangannya lebih menghampiri selingkuhannya itu. Bukankah seharusnya ia mendekati Ivan dan meminta maaf atas tingkahnya ini. Ia mendekati wanita yang ia klaim menjadi kekasihnya itu. Enak saja bilang putus! “Ayo kita pulang.” Seakan tak mau mendengar putusan dari sang wanita, Ivan tetap meraih lengan wanitanya untuk ia ajak pulang. Wanita yang bernama Gladys menghempaskan begitu saja tangan Ivan. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu, Ivan!” Napasnya turun naik, wajahnya yang cantik menahan segala rasa. Emosi dan sedih bercampur menjadi satu. Telunjuknya mengarah tepat ke hidung Ivan yang bangir. “Mulai hari ini, jangan ganggu hidupku!” “Kamu tunanganku, Gladys. Ingat itu!” ancam Ivan tidak mempedulikan jika mereka telah menjadi tontongan orang. Gladys tersenyum remeh. “Oh, karena cincin ini?” Ia memperlihatkan jari manisnya dihadapan muka Ivan. Lalu dengan kasar, wanita itu melepaskan cincin berlian yang Ivan sematkan beberapa bulan lalu di jemarinya. Melemparkan cincin itu, hingga cincin itu bergerak menggelinding di lantai, terus saja menggelinding hingga berhenti tepat di kaki seseorang. “Lihatkan! Tangan ku sudah tidak ada cincin lagi. Jadi selamat tinggal Juan Ivander Collins.” Lalu tanpa perasaan Gladys membawa lelaki yang kini ia rangkul di bahunya untuk melangkah keluar, yang sudah terlihat lemas karena pukulan Ivan. Bahkan dari kedua lubang hidungnya terlihat darah segar, begitupun sudut bibirnya. Ivan menghela napas. Menahan segala emosi yang bercampur di dalam d**a. Ia dipermalukan dengan amat sangat malam ini, oleh wanita yang ia gadangkan akan menjadi pendampingnya. Matanya memerah berbarengan dengan napasnya yang menderu. Ia menoleh ke arah cincin yang kini tergeletak di dekat kaki seseorang. Tatapannya mengarah ke sosok yang kini mematung memandangnya. Yang duduk di meja lainnya, dengan raut wajah heran. Mungkin lebih tepatnya shock. Saat itulah Ivan menatap mata itu, mata yang ia yakin pernah melihatnya, tapi lupa di mana. Seumur hidup, Jihan tidak pernah melihat perkelahian. Ia sosok penakut dan selalu menghindari masalah dimanapun ia berada. Tapi malam ini, di depan matanya ia melihat semua itu. Bagaimana sesosok lelaki saling hajar dengan lelaki lainnya. Lelaki yang menjadi pasangan seorang wanita cantik bergaun maroon. Kini ia ingat siapa wanita itu, wanita yang bergaun maroon. Yang hari ini tampil begitu cantik dan terlihat sangat elegan. Ingatannya timbul karena kehadiran sosok lelaki lain yang datang dengan wajah emosi dan tiba-tiba main pukul tak kenal tempat. Tentu Jihan ingat siapa lelaki ini. Lelaki yang kini menatapnya tajam. Dia adalah Juan Ivander Collins, atasannya dimana ia bekerja sebagai receptionist. Yang Jihan heran, ia tak menyangka sosok sang atasan ternyata memiliki sikap arogan. Bukankah selama ini Ivan terkenal pimpinan yang ramah, bijaksana dan arif? Tapi malam ini, apa yang Jihan saksikan jauh dari sosok atasan yang ia kenal. Jihan juga tahu sosok wanita yang bergaun maroon itu adalah tunangan atasannya. Mereka bahkan bertunangan dengan acara mewah sekali. Sayang saat itu terjadi Jihan sedang sakit hingga tak bisa menghadiri acara mereka, di saat semua karyawan datang ke sana. Ia hanya mendengar jika atasanya memiliki tunangan seorang wanita cantik. Dan ia baru mengetahui saat wanita itu datang ke kantor tempatnya bekerja. Ia bingung harus bersikap bagaimana, ketika cincin yang dilepaskan wanita cantik itu kini berhenti tepat di depan sepatunya. Belum lagi tatapan atasannya begitu tajam. Dengan gugup, Jihan meraih cincin yang tanpa permisi berhenti di depan sepatunya. Ia meraih dengan tangannya. Meyakini jika cincin ini pasti mahal sekali. Cincin putih yang memiliki mata, yang pastinya berlian. Tidak mungkin orang sekaya atasannya memberi cincin murah pada wanita yang menjadi tunangannya. Sekalipun begitu, tetap saja Jihan heran, bagaimana bisa wanita bernama Gladys itu memutuskan Ivan, bukankah lelaki itu tampan dan memiliki harta yang berlimpah? Memikirkan segala tingkah laku orang-orang tajir, membuat Jihan terkadang geleng kepala. Masih dengan kegugupan luar biasa, Jihan memberanikan diri mendekati lelaki bernama Ivan yang masih menatapnya tajam. Hey, apakah lelaki itu pikir, ia akan mencuri cincinnya? Enak saja, sekalipun ia miskin, ia bukan seorang pencuri. “Ini cincinnya.” Jemari Jihan terulur dengan gemetar. Padahal ia sudah berusaha agar bisa tenang. Pasalnya baru kali ini ia bertatapan langsung dengan atasannya. Ia hanya pekerja biasa, yang tidak pernah berdekatan dengan atasannya langsung. Karena selama enam bulan bekerja di PT. VERMONT, belum sekalipun ia masuk ke ruangan atasannya. Jihan hanya berharap lelaki ini tidak mengingat wajahnya. Ivan jelas memindai pergerakan wanita yang kini tengah memberikan cincin berlian yang tadi dilempar Gladys tanpa perasaan. Ia mendengkus kesal, sebelum mengambil cincin itu dengan kasar. Jemarinya memasukkan cincin itu ke dalam kantung bajunya. Lalu mengusap sudut bibirnya yang terasa asin. “Terima kasih.” Hanya itu ucapan yang Ivan berikan. Dilihat dari roman wajahnya, Jihan tidak tahu apa lelaki ini tulus mengucapkan terima kasih atau cuma asal. Tapi Jihan memang tak perlu tahu seperti apa hati lelaki yang baru saja diputuskan oleh tunangannya dengan cara keji. Entah apa permasalahan mereka, tapi menurut Jihan apa yang dilakukan wanita bernama Gladys itu memang keji. Kenapa mereka tidak bicara baik-baik jika ingin putus? Bukan justru saling mempermalukan seperti ini. “Maaf Pak Ivan.” Sapaan di belakang tubuh Ivan menyadarkan Ivan dan juga Jihan. Masih menatap wajah Jihan, Ivan berujar. “Aku akan ganti semua kerusakan yang ada, katakan itu pada atasanmu.” Lalu Ivan berbalik pergi, meninggalkan Jihan yang terpaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD