PART 6 - TANTE BAIK HATI.

1878 Words
Ivan memang ingin segera menikah. Ingin merasakan membangun rumah tangga dengan wanita yang ia cintai dan mencintainya. Sebuah keinginan yang sangat sederhana. Sayang cintanya terpaut pada sang kakak ipar yang kini tengah hidup bahagia dengan suaminya yang baru. Mereka kini hidup bahagia karena telah dikarunai seorang bocah lelaki yang kini tampak aktif berlari ke sana-ke mari. Walau begitu, Ivan berusaha mengenyahkan cinta terlarangnya dengan menjalin hubungan dengan wanita lain. Tak terhitung berapa wanita yang ia dekati, tapi tak juga membuatnya jatuh cinta seperti pada kakak iparnya dulu. Hingga kenekadannya melamar seorang gadis bernama Gladys. Seorang gadis yang awalnya ia pikir mampu mendampinginya nanti hingga mereka menikah dan hidup bahagia dengan anak-anak mereka nantinya. Tapi lagi-lagi ia kecewa, ketika wanita itu berselingkuh dengan lelaki lain. Masih ingat ketika Gladys protes. "Kamu itu tahu gak sih, kalau pacaran itu minimal seminggu sekali kita keluar?" Ivan memang pernah absen gak datang malam mingguan karena meeting. "Aku kirim pesan, kamu gak pernah balas. Kenapa?" Ivan lupa ponselnya lowbat. "Mama mau undang kamu makan siang besok di rumah." Dan lagi-lagi Ivan harus ke luar kota. Demi mengurus kontrak kerjanya yang baru. Ia sedang membangun pabrik baru di bagian barat negeri ini. "Aku merasa kamu lebih mementingkan pekerjaan kamu dari pada aku?" Ivan hanya terdiam, karena menurutnya apapun yang ia lakukan demi masa depan mereka. Tapi lihatlah? Alasan klise merasa diabaikan yang membuat mereka pisah. Sungguhkah? Atau itu hanya sebuah alasan untuk menutupi kesalahan semata? Ivan menerima jika ia kembali ditinggalkan. Tapi untuk memulai dengan wanita yang baru, sepertinya ia harus bersabar dulu. Apalagi dengan wanita yang jelas-jelas sahabat mantan kekasih. Jelas ia heran ketika ada wanita yang berani melamarnya. Oh, Ivan lupa, jika ini sudah emansipasi wanita. Wanita bebas untuk melayangkan lamaran terlebih dahulu. Seperti Cecil ini tepatnya. "Oh, soal itu. Aku belum kepikiran." Ivan menggaruk kepalanya. Penolakan secara halus. Seharusnya seorang wanita akan merasa malu ditolak, tapi tidak dengan Cecil. Kapan lagi ia punya kesempatan mendekati lelaki tampan nan berlimpah materi ini. Gladys sungguh gadis bodoh! Lelaki seperti Ivan kok dibuang! Kenapa dia gak kasih sama aku aja sih! Ketika Ivan merayakan pesta pertunangan dengan Gladys, Cecil sudah mengagumi lelaki ini. Dan ia bersorak ketika Gladys justru menjalin kasih dengan lelaki lain, karena Ivan sama sekali tidak perhatian! Padahal jelas lelaki ini memang sibuk sekali. Kesibukannya karena ia seorang pebisnis, dan Gladys membuangnya begitu saja! Terlalu! "Kamu masih cinta sama Gladys?" tanya Cecil lagi penasaran. Kening Ivan melipat. Cinta? Dia saja tak yakin perasaannya dengan Gladys itu cinta atau bukan. Mungkin dia terlalu kaku dan terlalu sibuk dalam pekerjaan, hingga tak bisa membedakan harus seperti apa interaksi dengan sang kekasih. Menurutnya selama mereka tidak ada masalah semua aman-aman saja, tapi ternyata tidak! Ivan mengabaikan protesan Gladys yang sering merasa hubungan mereka hambar. Hambar? Memang harus seperti apa? Ya kali mereka harus kaya suami istri gitu serumah? Mereka kan belum menikah, dan akan menikah tiga bulan lagi andai tidak ada tragedy perselingkuhan. Mungkin ia harus belajar dari Gavin, atau Arkhan. Agar hubungannya dengan sang kekasih baik-baik saja seperti Gavin dan Arkhan. Sungguh, Ivan iri pada keduanya. Ia memang bukan lelaki seromantis Gavin yang sering mengumbar kemesraan dengan sang istri tak kenal tempat, atau seperti Arkhan yang over protectif pada sang istri, yang mudah cemburu ketika Nadya dekat dengan lelaki manapun. Ivan memberi kepercayaan pada kekasihnya, tapi tetap disalah artikan. Dimana ia harus mencari wanita yang tulus mendampinginya tanpa banyak perhitungan dan banyak protesan? "Aku gak maksa, tapi kamu bisa pertimbangkan ajakan aku kalau kamu berminat." Oke, Ivan cukup salut dengan keberanian Cecil. Gadis ini cukup cantik, walau lebih cantik Gladys. Tapi jika Ivan nekad menjalin kasih lagi dengan wanita yang masih ada hubungan dengan mantan tunangannya ini, bukannya dia akan tertimpa skandal? Bisa jadi kesalahan dilimpahkan padanya, dan orang akan berpikir jika hubungannya dengan Gladys bubar karena dirinya yang selingkuh dengan sahabat Gladys. Ivan menjauhi yang namanya skandal. Image lelaki baik yang setia pada satu wanita, itu yang ia harapkan. Tidak ada di dalam keluarganya yang mempemainkan hati wanita. Semoga keributan di restoran tidak tersebar luas di kalangan kantor. "Terima kasih atas tawaranmu, aku pasti akan mempertimbangkannya." Walau menolak, tapi Ivan masih menggunakan bahasa halus. Sungguh, kejadian Gladys itu benar-benar memalukan. Padahal ia sudah yakin akan hubungan mereka. Memang sih aneh, Ivan tidak merasakan getaran apapun pada semua wanita, kecuali pada kakak iparnya. Ia pikir ia bukan lagi anak abege yang harus berdebar jika bersama lawan jenis. Pernikahan baginya sebuah proses untuk mendewasakan diri dan memiliki keturunan. Jadi yang ia cari adalah wanita yang memiliki tubuh ideal dan seperti Gladys, cantik! Dengan rambut yang tergerai panjang, dan selalu merawat kecantikan. Hingga kemanapun mereka pergi semua bilang mereka pasangan yang serasi. Ivan memilih Gladys dari sekian banyak wanita, penuh pertimbangan juga. Ia ingin keturunannya tidak terlalu buruk. Bagaimana pun bibit bebet bobot itu harus utama bukan? Tapi nyatanya saat diselingkuhi tetap saja sakitnya sama. Menyebalkan! "Uncle, aku mau pipis." Mauren berbisik. Tapi jelas terdengar oleh Ivan. "Oh begitu. Oke, kita ke toilet dulu." Ivan menoleh ke arah Cecil. "Aku permisi antar Mauren dulu." Cecil merasa niatnya sudah tersampaikan. "Ok, kalau begitu aku juga permisi. Next time kita ketemu lagi." Begitu cepat dan tak bisa Ivan prediksi, bibir Cecil mengecup pipi Ivan. Ivan mengerjap. Dia dicium. Memang jika ia ada di luar Indonesia, itu hal yang biasa. Tapi ini negeri Indonesia, yang memandang sentuhan fisik jika memiliki hubungan khusus. Sementara dia dan Cecil? Mereka bukan teman, sahabat ataupun sepasang kekasih. Gadis ini hanya sahabat mantan tunangannya yang baru saja memberitahu niatnya, yang sayangnya Ivan tolak dengan sangat halus sekali. Ah, sudahlah. Dia hanya menghela napas. "Uncle, Mauren gak suka sama dia." Mauren menengok ke belakang lagi dan memasang wajah angker ketika melihat Cecil melambaikan tangan padanya. "Hah, siapa?" tanya Ivan bingung. "Itu Tante yang tadi. Kok dia cium-cium uncle sih?" Ivan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu tandanya sayang," sahut Ivan mencari alasan. Ya, apalagi yang bisa Ivan katakan selain itu. Mauren masih terlalu kecil untuk mengerti. Jihan menggigiti kuku tangannya. Mencari buku sudah, belanja sudah, makan pun sudah. Jihan tiba-tiba ingin ke toilet. "Mbak, aku mau ke toilet sebentar ya." Jihan merasakan kandung kemihnya penuh. "Oke, mbak antar deh." Mereka berdua pun berjalan ke arah toilet. "Antri gak di dalam?" tanya Elina ketika Jihan membuka pintu toilet. "Gak gitu sih, mbak gak mau sekalian ke toilet?" tawar Jihan. "Boleh deh, mbak duluan ya. Kok tiba-tiba mau buang air kecil." Jihan terkekeh. "Ya sudah mbak duluan deh." Ketika Elina sudah selesai, gantian Jihan yang ke dalam. "Han, mbak tunggu di depan ya." "Iya mbak." Elina keluar toilet dan menunggu di depan toilet. "Mauren bisa ke dalam sendiri kan? Uncle tunggu di depan." Ivan masih dengan menggendong David yang tak bisa diam. "Bisa uncle." Elina menatap ke arah Ivan yang terlihat kerepotan. Ini orang ribet amat sih? Bawa anak tapi gak bawa istri. Batin Elina sambil mengeluarkan ponsel dan mulai berselancar ke dunia maya. Hingga ia membuka chatt dan iseng melihat status Arga. Semoga dilancarkan, amin. Ada gambar cincin yang Elina ingat, ini adalah cincin yang kini dipakai di jari manis Jihan. Akhirnya, aku memang harus kehilangan kamu ya Ga. Sejak lama aku pendam cintaku, kamu justru akan jadi ipar aku. Elina mendesah dalam hati dan berusaha menumbuhkan perasaan ikhlas. Cinta memang gak harus memiliki ya Ga. Anggap aku udah bahagia melihat kamu bahagia sama Jihan. Jihan keluar dari kamar toilet dan menemukan seorang perempuan tengah kesulitan membuka seleting celana panjangnya. "Kamu gak bisa buka?" tanyanya ramah. Merasa ditanya, gadis kecil yang tak lain Mauren, mengangkat wajah. "Iya Tante, macet seletingnya." Sejak tadi ia kesulitan membuka seleting celana panjangnya. "Sini tante bantu." Jihan jongkok dan membantu Mauren. "Kamu gak sama Mama kamu?" "Mommy lagi pergi sama Papa." "Oh. Terus kamu sama siapa ke sini?" "Sama Uncle." Pantes. Jihan tersenyum. "Sudah." Akhirnya seleting macet itu terbuka. "Terima kasih Tante." Mauren tersenyum. "Sama-sama sayang." Sepertinya aku menunggu anak itu saja di sini, kasihan juga. Pamannya mana bisa masuk ke sini. Jihan membuka kosmetiknya dan mulai membetulkan riasan di wajah. "Aku duluan ya Tante." Mauren ternyata sudah selesai buang air kecil. "Iya sayang." "Sampai ketemu lagi Tante baik hati." Jihan tersenyum. Tante baik hati? Ada-ada saja. Mauren membuka pintu toilet. "Uncle aku sudah." Ivan menoleh, lalu menurunkan David yang semakin memberontak untuk turun. "Mauren, Uncle mau ke kamar mandi dulu. Kamu jaga David sebentar. Ingat jangan sampai lepas ya." "Siap Uncle." Mauren langsung memegang lengan adiknya. Ivan bergegas ke toilet. Tiba-tiba ada kereta lewat depan lorong dan itu membuat David tertarik. "Taaaa." Ia berusaha melepaskan cekalan kakaknya, dan berhasil. David berlari ke arah kereta. "David!" Mauren teriak. Jihan yang baru saja keluar dari toilet tersentak. "Lho adik kecil, kamu kenapa?" "Han, adiknya lari ke sana," unjuk Elina yang sejak tadi melihat interaksi Mauren sambil menunggu Jihan keluar dari toilet. "Tante baik hati, tolong adik aku lari. Aku masih harus menunggu Uncle di toilet." "Ya ampun, mbak ayo kita kejar." Jihan segera berlari bersama Elina. Padahal ia tak tahu seperti apa adik anak itu. "Itu dia Han," unjuk Elina pada anak yang terus saja berlari cepat. "Astaga, cepat sekali itu anak berlari." Jihan sudah bisa mengenali warna baju yang dipakai anak itu. Mereka berdua bergegas menyusul. "Siapa nama anak itu mbak?" tanya Jihan sambil tak melepaskan pandangan ke arah depan. "Namanya David." Jihan dan Elina berhasil menyusul, dan David terlihat menangis karena tak bisa menyusul kereta yang berjalan kian jauh. Mungkin anak itu baru sadar jika ia tak mengenal orang di sekelilingnya. "Eh David sini sayang." Jihan segera menggendong anak itu, karena beberapa orang sudah mulai mengerumuni anak itu. "Oh itu ada Mamanya, ternyata!" "Aduh mbak, punya anak kok dibiarkan berlari sendiri sih, hilang aja berabe." Beberapa pengunjung menyudutkan Jihan yang hanya bisa meringis dalam hati. Elina terkikik geli. Beruntung David langsung mau digendong. Hadeh ini anak bahaya, mudah dibawa siapa saja. Repot dong kalau gini, mudah diculik! "Astaga, kamu disangka ibunya, Han." Elina menutup mulutnya agar tidak terus tertawa. "Ih emangnya aku udah pantas apa?" Jihan menatap wajah anak yang kini dalam dekapannya. Tampan sekali anak ini. Ivan melipat kening ketika melihat Mauren berdiri di ujung lorong dan tanpa David. Jangan bilang kalau David, astaga! Ivan mengerang dan mendadak khawatir. "Mauren!" panggilnya. "Uncle. David lari." "What?" Hampir copot jantung Ivan. "Lari kemana? Tadikan Uncle sudah bilang untuk kamu jaga baik-baik, bagaimana sih?" "Aku sudah pegang, tapi David lepas. Tapi aku sudah minta tolong sama Tante baik hati." "Apa? Tante baik hati?" Siapa lagi itu? "Iya, Tante yang bantu aku di toilet." "Oke, kalau begitu kita cari David." Belum Ivan melangkah, ponselnya berbunyi. Ya Tuhan, Suci! Ivan mengerang dalam hati. Ponsel itu terus saja berdering. Ini kenapa dia telepon sih? Ngomong apa coba aku, David saja belum diketemukan! Ivan menggulir ponsel. "Hallo Suci," sapanya sambil menjaga suaranya agar tak terdengar kalut. "Ivan, anak-anak baik-baik saja kan?" Jangan bilang Suci dapat firasat. "Ivan?" Suci kembali bertanya. "Hmm ya Suci." "Kamu gak jawab pertanyaan aku, David ada kan? Aku mau bicara sama dia." Ivan meringis. "A-aku sedang mencarinya." "Apa?" Suci histeris di ujung sana. Ivan menjauhkan ponsel dari dekat telinga. Pekikan Suci hampir membuat gendang telinganya pecah. "Maaf Suci, tapi ... ketika aku ke toilet, David berlari dan aku sedang berusaha-" "Cari anakku sampai ketemu, kalau tidak, Aku tak segan-segan mengulitimu, Juan Ivander Collins!" Ivan yakin kali ini ancaman Suci tidak main-main.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD