PART 5 - MAUREN DAN DAVID.

1779 Words
"Uncle Ivan. Buka pintu!" Gedoran keras terdengar di depan pintu kamar yang Ivan tempati. Ivan malas-malasan membuka mata. Ia hanya mengeluh sebentar kemudian melanjutkan kembali tidurnya. "Uncle! Open the door!" Gedoran lebih keras. "Jam berapa sih ini?" Ivan mengucek matanya. "Uncle Ivan!" Suara yang terdengar lebih kencang lagi. Sepertinya si pemilik suara sudah tidak sabar. Tak lama gedoran diikuti gedoran lainnya. Berisik sekali sih! "Mauren, mungkin Uncle Ivan belum bangun tidur." Suara lain terdengar. Ivan tahu ini suara Suci. "Mommy, ini sudah siang. Masa belum bangun sih?" Dan yang ini suara Mauren keponakannya, Telinga Ivan mendengar suara percakapan di luar pintu. Tak lama suara tangisan anak laki-laki. Astaga! Ramainya sudah melebihi pasar! Sepertinya aku salah menginap di rumah ini. Akhirnya Ivan bangkit dan bergerak malas-malasan menuju pintu. Pintu ia buka dengan perlahan, dan matanya menyipit, menangkap tiga sosok yang memiliki tinggi berbeda sedang berdiri di depan kamarnya. "Uncle Ivan baru bangun tidur?" Mauren melotot tak percaya. "Ini sudah siang sekali." Gadis kecil putri Suci itu bertolak pinggang. Sementara si kecil David langsung memeluk sebelah kaki Ivan. "El." David belum bisa menyebut kata Uncle, pasti selalu memanggil dengan El. "Hallo boy." Ivan mengusap puncak kepala anak kedua Suci. Merasa disapa, David merentangkan tangan, meminta di gendong. Dengan senang hati, Ivan meraih David dan langsung menggendongnya. "Oh wangi sekali sih kamu." Ivan mencium pipi David, tak mempedulikan suara kegelian putra Suci itu. "Van kamu lekas mandi, dan bawa anak-anak pergi ke Mall." Suci menggeleng melihat Ivan yang selalu bangun siang jika menginap di sini. Malas sekali! Waktu sarapan bahkan sudah lewat. Jika dinasehati bangun pagi, Ivan pasti menjawab jika setiap hari ia bangun pagi, kecuali jika menginap di rumah ini. Ia ingin sekali bangun siang, tapi tak pernah terlaksana, karena selalu diganggu kedua keponakannya ini. Salah sendiri, kenapa libur memilih tidur di sini! Ivan mengerjap, tanda bingung akan perintah Suci. "Maksudnya?" "Maksudnya, hari ini aku dan Suci mau me-time. Jadi kami titip anak-anak sama kamu." Gavin muncul dan langsung merengkuh pinggang sang istri. Seperti biasa, pasangan suami istri ini selalu saja tampil mesra, tak mempedulikan Ivan yang masih sendiri. "What?" "Ck, ayolah. Kamu kan jarang-jarang di sini. Sekali-kali bawa keponakan kamu jalan-jalan sana. Lagian gak setiap hari ini kan?" Masih saja Gavin memberi opsi yang pastinya tidak bisa Ivan tolak. Gak masalah menghabiskan waktu bersama Mauren dan David seharian, tapi ke Mall? Ivan harus membawa suster atau asisten rumah tangga. Karena ia tidak bisa menangani yang satu ini. "Kalau David pup bagaimana?" "Dia sudah pup barusan. David biasa pup sehari sekali. Jadi kamu aman." Suci menjawab dengan yakin. "Aku gak sama suster?" "Kebetulan suster baru belum ada." Suci yang menjawab. Gak aneh, tidak ada yang betah jika mengurus David yang aktif. Entah menurun dari mana David ini, perasaan Suci mengatakan ketika kecil ia anak yang tidak begitu aktif, Gavin juga sama, begitu juga Mauren. Atau mungkin benar, pepatah mengatakan jika sedang hamil tidak boleh membenci seseorang, karena bayinya bisa mirip dengan yang kita benci. Dan sialnya saat Suci hamil, ia tidak menyukai sekali kehadiran Ivan. Tidak mungkin David mirip dirinya kan? Tapi memang sih, saat kecil Ivan aktif sekali. Ivan menatap pada Mauren dan David. Kedua wajah mungil nan menggemaskan ini mengangguk tanda setuju. Jadilah Ivan gak bisa berbuat apa-apa. "Oke, aku mandi dulu." Ivan berbalik ke arah kamar. Mauren dan David mengikuti. "Kami tunggu sini ya Uncle." "Hmmm." Ivan melangkah ke arah lemari. "Ivan, kami pergi dulu ya. Ingat jangan macam-macam sama anak-anak," pesan Suci sebelum pergi. "Gak macam-macam, paling aku bawa kabur ke luar." Ivan asal bicara. Suci hanya memutar bola matanya. "Hubungi aku kalau David rewel." Kembali Suci berkata. "Iya, kalian bersenang-senanglah." Ivan meraih handuk di dalam lemari. Ia memang meletakkan beberapa barangnya khusus jika menginap di sini. Terkadang Ivan bosen tinggal di apartemen. Ia merindukan suasana keluarga, dan kangen Mauren terutama. Beruntung sejak melahirkan David, Suci sudah boleh lagi memperbolehkan ia masuk ke rumah ini dan hubungan keduanya membaik sebagai kakak dan adik ipar saja. Tidak ada yang lain. Suci tersenyum pada suaminya. Mereka sudah siap berangkat berdua. "Kita jalan sekarang ya." Gavin mengangguk. "Kamu yakin Ivan bisa menjaga anak-anak kita?" Gavin sepertinya tak yakin. Masih melirik kamar Ivan yang terbuka lebar. "Percaya sama Ivan sayang, aku yakin anak-anak aman." Suci merangkul lengan suaminya. "Dia gak akan bawa kabur mereka kan?" Terkekeh geli Suci menggeleng. "Percayalah, Ivan masih waras untuk mau mengurusi anak-anak kita." Benar juga sih! Jihan baru saja menyiapkan sarapan pagi, ketika Om dan Tantenya keluar dari kamar. Pagi ini ia membuat nasi goreng dengan suiran ayam. "Pagi Jihan, wah sarapan nasi goreng ya." Elina yang baru pulang dari joging ikutan duduk di kursi makan. Setiap hari Jihan yang rajin menyiapkan sarapan pagi. Rianti dan suaminya keluar jika semua sudah beres. Sedang Elina biasa hanya membantu cuci piring saja. Rianti memang tak menyediakan asisten rumah tangga. Apalagi Jihan bisa mengerjakan itu semua. "Bagaimana semalam dengan Arga? Ada yang mau kamu sampaikan? Sepertinya Om melihat sesuatu di jari manis kamu." Ucapan Yudis membuat Elina melirik jari manis Jihan. Sementara Rianti menyaksikan raut wajah pucat tampak di wajah putrinya. "Oh ini ya Om." Jihan menatap jari manisnya yang kini terisi cincin pemberian Arga. "Semalam Arga mengajak makan malam untuk memberikan cincin ini. Dan ini hanya simbol. Karena sepertinya tak lama lagi, Arga akan mengajak kedua orang tuanya untuk melamar Jihan." "Uhuk!" Elina tersedak. Dan susah payah ia meraih tisue untuk menyeka wajahnya. "Maaf." Elina tersenyum. "Wah terus kapan rencana Arga melamar?" Yudis antusias sekali. "Nanti dikabari lagi Om." Jihan mulai makan. Anggukan terlihat dari wajah Yudis. "Akhirnya Om bahagia, bisa mengantarkan kamu menuju gerbang kebahagiaan. Selesailah tugas Om mengemban amanat dari alm ibumu." Jihan tersenyum. "Tapi Om. Kalau aku menikah, aku harus pakai wali nikah kan?" Yudis mengerjap. Lalu ia menghela napas. "Maaf, Om gak tahu dimana ayahmu." "Jangan kata tahu dimana, ayahmu siapa saja kami gak tahu Jihan." "Ma!" Yudis membentak. Rianti hanya melengos. Yudis tidak menyukai jika istrinya asal bicara. "Gak apa, gak usah pake wali, kita minta wali nikahnya wali hakim saja." "Memang Ibu aku gak menikah resmi Om?" Sebenarnya Jihan ingin sekali tahu kisah ibunya. Yudis menatap keponakan satu-satunya itu. Sama sekali tidak ada kemiripan dengan wajah sang kakak. "Jihan. Ibu kamu itu wanita yang semangat dalam bekerja. Ia pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, untuk membiayai sekolah Om. Ibumu tidak pernah malu melakukan pekerjaan apapun demi bisa menyambung hidup. Sampai dia sendiri telat menikah. Om gak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba dia pulang bawa kamu yang masih kecil. Mau Om paksa pun dia gak mau cerita siapa ayahmu." "Kami awalnya mengira ibumu diperkosa orang, tapi sepertinya gak deh. Entahlah." Rianti bicara sesuka hati. Seakan tidak takut akan tatapan tajam suaminya, Rianti terus saja bicara. "Kalau dari wajah kamu yang cantik ini, kamu pasti mirip ayahmu. Pastinya ayahmu itu tampan." Yudis berusaha membuat Jihan tidak bersedih. "Tapi percayalah, ibumu mengatakan jika kamu lahir hasil buah cinta dari ayah dan ibu kamu. Kamu lahir setelah ibu kamu menikah. Itu saja yang perlu kamu tahu. Om mengenal ibumu. Om yakin ibumu bukan orang bodoh yang mau menyerahkan segalanya demi lelaki. Walau Om kecewa, ketika ibumu menikah tidak memberitahu Om." Berusaha percaya, itu yang Jihan lakukan. "Hari ini kamu mau keluar?" Elina bertanya sambil menoleh ke arah Jihan. Berusaha mengalihkan rasa sedih yang muncul di wajah sepupunya. "Hari ini aku gak ada kegiatan apa-apa sih mbak." "Kita ke Mall yuk?" ajak Elina. Elina paling tidak mau melihat Jihan sedih. "Mall?" "Hmm, cuci mata. Capek tahu kerja terus, atau kamu ada janji sama Arga?" "Ah gak Mbak. Mas Arga kebetulan ada kerjaan minggu ini. Makanya aku gak kemana-mana. Kalau mbak mau pergi, ayuk kita pergi." Elina tersenyum, begitu juga Yudis. Di rumah ini hanya mereka berdua yang tulus menyayangi Jihan. Seperti seorang lelaki yang tengah membawa dua buah hatinya, itulah Ivan sekarang. Ia menggendong David dan menuntun Mauren. Apalagi ketika anaknya Suci itu tak bisa diam. Sementara Mauren anteng dalam berperilaku. Mungkin karena ia perempuan. Terkadang Mauren membantu Ivan mengejar David yang berlarian entah kemana. "Om Ivan lelah?" tanya Mauren setengah meringis ketika Ivan kembali membawa David yang berlari kencang mengejar kereta yang berjalan di dalam area taman anak-anak. "Ituuuuu." David menunjuk pada kereta yang berbunyi dan menarik perhatian David. "Iya nanti kita naik ya. Sekarang kita makan dulu ya." Tampaknya mengurus David makan pun susahnya minta ampun. Lihatlah sekarang David makan berantakan, padahal Ivan sudah berusaha menyuapi. "David, no! Gak boleh pegang itu." Masih berusaha menahan David yang tak sabaran ingin meraih mangkok sup di atas meja. Sementara tak jauh dari tempat Ivan, tampak dua orang gadis tengah selesai membayar di kasir. "Kita ke toko buku yuk, ada yang mau aku beli." Elina mengajak Jihan. Di tangan keduanya sudah ada bungkusan baju yang sudah mereka beli. "Boleh." Jihan mengangguki. "Kamu bahagia?" Mendapat pertanyaan itu, Jihan menoleh. "Maksudnya?" Jihan tidak mengerti. "Arga melamarmu, apa kamu bahagia?" Elina nekad bertanya, diantara rasa sakit yang berusaha ia pendam sendiri. Kini ia menikmati wajah bersemu dari sepupunya ketika mereka membahas Arga. "Iya mbak. Aku bahagia sekali. Apalagi Mas Arga sudah mempersiapkan rumah jika kami menikah nanti." "Oh." Elina tersenyum. "Aku juga gak enak menjadi beban untuk Om dan Tante terus." "Jihan, jangan berkata begitu. Kamu gak jadi beban kok. Aku serasa memiliki adik bersama kamu. Aku ikut bahagia karena kamu bahagia." Elina tersenyum tulus. Gak apa, biar hatinya saja yang patah, Jihan tidak perlu tahu. Elina rela melepas Arga untuk Jihan. Ivan baru saja hendak pergi ketika mendengar namanya dipanggil. "Ivan!" "Cecil?" Lelaki itu menoleh. Matanya menemukan sesosok gadis yang ia kenal. Cecil. "Siapa mereka? Ah pasti keponakanmu. Ih cantik dan gantengnya." Cecil, sahabat Gladys, yang memberitahu perselingkuhan Gladys semalam. Wanita itu mencium pipi David. Dan kini posisi David digendongan Ivan. Jadilah wajah mereka hampir bersentuhan. "Kamu sedang apa di sini?" Ivan mengalihkan perhatian Cecil dari sikapnya terhadap David. "Aku sedang jalan-jalan saja sih. Oh iya bagaimana dengan Gladys?" Cecil bertanya dengan rasa penasaran. Ditanya seperti itu, Ivan berdehem. "Kami putus." "Oh ya?" Mata Cecil membola. Baguslah. "Seperti yang kamu katakan, Gladys selingkuh dan kami putus semalam." Tak ada raut wajah aneh yang Cecil lihat pada Ivan. "Hmm Ivan, apakah kamu mencintai Gladys?" Pertanyaan yang bodoh sebenarnya. Tapi Ivan tak berkeberatan menjawab. "Aku ingin memiliki istri, dan kurasa awalnya Gladys wanita yang sempurna untuk menjadi pendampingku." "Sayang dia selingkuh," sahut Cecil. Ivan mengangguk, tanda mengamini ucapan Cecil. "Ivan ... apakah kamu masih berencana untuk menikah?" Ivan terkekeh. "Menikah? Calon pun aku belum ada." Mata Cecil berkilat. Ia memang sudah lama menaruh hati pada lelaki tampan ini. Inilah kesempatan yang Cecil tunggu-tunggu. "Hmmm Ivan," bisik Cecil dengan kilat berharap. "Ya." Ivan nyaris menjatuhkan David yang ada di dalam gendongannya, ketika mendengar ucapan Cecil selanjutnya. "Kalau kamu mau, aku bersedia menikah denganmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD