3. Tak Bisa Menolak

1278 Words
Hujan dalam durasi yang cukup lama, benar-benar membuat Arsyila terjebak bersama Arash yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. Padahal, lelaki itu sudah beres-beres sejak satu jam lalu. Tapi nyatanya, dia kembali menyalakan macbook mahalnya. "Apa Ibu mau nginap di sini, kalau hujannya nggak reda juga?" Arash akhirnya bersuara. Sedangkan Arsyila masih menatap langit yang warnanya semakin gelap, bahkan kilat di langit juga bersahut-sahutan, saling menyambut. "Ya enggak, saya nunggu sampai reda," sahut Arsyila, masih dengan nada juteknya. Jika tidak ada Arash di ruangannya saat ini, mungkin Arsyila sudah berselonjor atau bahkan tidur dengan tenang di sofa. "Saya rasa motor Ibu aman kalau ditinggal di sini, karena ada security yang berjaga selama dua puluh empat jam. Jadi, sekali lagi, saya tawarkan, Ibu mau saya antar?" Arash, sepertinya tak sabar dan tidak tahan melihat kegelisahan Arsyila. Dia juga ingin segera pulang. Namun, entah apa yang membuatnya bertahan di sini lebih lama lagi. Dia tahu, bagaimana perasaan wanita itu, juga ingin segera pulang melepas lelahnya hari ini. "Atau Ibu mau terjebak lebih lama di sini bersama saya? Saya nggak akan pulang kalau ibu belum pulang," ucapnya lagi setengah mengancam. "Kamu! Kenapa baru sehari aja udah membuat hidup saya terusik?" Tanya Arsyila ketus. Terusik? Ya jelas. Ketentraman Arsyila mendadak terganggu. Kebebasannya menggunakan ruangan ini juga seakan terenggut begitu saja karena ada penghuni lain, bukan mahram, membuatnya tak bisa bebas bertindak. "Tentukan pilihan ibu sekarang! Terserah ibu mau anggap saya anak baru yang nggak tau diri, ngelunjak, kurang ajar atau atau sejenisnya. Yang jelas, saya cuma mau membantu, supaya ibu bisa sampai di rumah. Ibu mau saya antar, atau terjebak dengan saya lebih lama di sini?" Arash tidak main-main dengan ancamannya. Menurutnya, dia tidak punya hati jika harus meninggalkan Arsyila sendirian di ruangan ini, mengingat hari semakin malam. Memang, Arsyila tidak sepenuhnya sendirian di gedung ini. Tapi, penghuni lantai ini semuanya sudah kembali, dan tinggal mereka berdua. Arsyila menghembuskan napas kasar. Sepertinya bocah ini tidak main-main tentang ancamannya. Itu jelas terlihat saat Arashi malah menyalakan kembali macbooknya, dan kembali duduk dengan santai di kursinya. "Ya udah, saya terima tawaran kamu." Setelah berpikir selama satu menit, Arsyila akhirnya memutuskan. Keputusan itu Arsyila ambil lantaran dia memang ingin segera sampai ke indekosnya, membayangkan cuaca hujan begini, tidur di balik selimut, sambil memeluk guling. Dan yang kedua, jika hujan tidak reda dan dia tetap menanti, Arash, lelaki itu akan terus bersamanya, jadi lebih baik dia terima saja tawaran itu. "Oke," sahut Arash singkat, dia bersiap, begitu juga dengan Arsyila. * Arash meminta Arsyila menunggu di teras gedung perusahaan. Sementara dirinya mengambil mobilnya di parkiran. Setelah sekitar lima menit menunggu, sebuah mobil sport berwarna hitam berhenti tepat di depan lobby. Sebenarnya, Arsyila telah menyudahi rasa kepo dan penasarannya pada lelaki yang baru bergabung dengan timnya hari ini. Arsyila tidak bisa menyangkal, kalau dia sudah dibuat penasaran oleh Arash karena gadget yang dimiliki lelaki itu. Macbook yang harganya melebihi tiga puluh juta. Ponsel, yang harganya juga hampir dua puluh lima juta. Dan sekarang, mobilnya. Kenyataan baru yang berhasil membuat Arsyila menganga adalah kendaraan si bocah tengil, Toyota Lexus yang Arsyila tahu merupakan jenis mobil mewah yang hanya bisa dimiliki orang-orang dengan penghasilan berlebih. Siapa dia sebenarnya? "Silakan, Bu." Lelaki itu membukakan pintu untuk Arsyila. Mereka tidak basah karena area teras gedung terdapat atap yang memang didesain untuk berteduh di saat-saat seperti ini. "Makasih, Arash. Maaf saya ngerepotin kamu." jawab Arsyila dengan nada datar dan senyum tipis, hanya sekadar menghargai kebaikan lelaki ini padanya. Arsyila tidak boleh terkecoh dan terpengaruh dengan mudah, meski Arash bersikap baik, tapi mereka belum saling mengenal. Hanya sekadar mengenal secara nama. "Sama-sama… nggak repotin sama sekali Bu. Saya sadar, saya anak baru di kantor. Sebisa mungkin saya ingin bersikap baik, sekaligus cari teman." Arash tersenyum miring, tanpa Arsyila ketahui. Dia menutup pintu mobil setelah Arsyila masuk. Begini rasanya naik mobil mahal? Eh, apaan sih norak banget, aku. Arsyila bergumam dalam hati. Lalu seketika tersadar kalau sikapnya ini norak. Tapi dia tidak bisa menyangkal kalau ini pertama kalinya dia berada di dalam mobil seharga milyaran. "Rumah ibu di mana?" Arash kembali memulai percakapan sebelum mereka keluar dari gerbang, karena Arash harus memutuskan dia mengambil arah kanan atau kiri. "Kos-kosan saya di daerah Kuningan, Jakarta Selatan," jawab Arsyila. "Nanti udah masuk kawasan itu, saya arahkan lagi." "Ini kebetulan atau gimana ya, Bu. Rumah saya juga di Jaksel," kata Arash apa adanya. Dia juga tertawa kecil. "Oh ya? Di mananya?" "Pokoknya daerah Jaksel juga." Arash tersenyum. Bukan dia ingin main rahasia-rahasiaan. Tapi sebaiknya tidak perlu dia sebutkan kawasan tempat tinggalnya, yang merupakan kawasan perumahan elite. "Ibu mau mampir ke suatu tempat, atau langsung pulang?" Arsyila tidak langsung menjawab. Andai boleh jujur dan Arash bukanlah orang yang baru dikenalnya hari ini, Arsyila ingin mengatakan kalau dia sedang lapar dan ingin makan sesuatu. Tapi sepertinya, itu bukan ide yang baik, untuk kali ini, mengingat mereka baru saling mengenal belum sampai dua belas jam. "Langsung pulang aja," sahut Arsyila pada akhirnya. "Tapi, saya lapar banget Bu. Dari siang belum makan," keluh Arash. Sebenarnya ini juga sejenis trik agar dia bisa memiliki waktu berdua lebih lama dengan Arsyila. Dia penasaran tentang wanita itu, tanpa peduli tentang statusnya. Sudah punya pacar, menikah, janda, atau single. Sejauh ini, Arash memastikan hal itu dengan cara diam-diam memperhatikan jemari Arsyila. Selama tidak ada cincin tanda pengikat di sana, itu artinya aman. "Ya, saya tau. Rasa lapar saya ini, bukan urusan Bu Arsyila. Tapi, kebetulan sekarang udah memasuki jam makan malam, ibu keberatan nggak kalau kita mampir makan sebentar?" Arash kembali bersuara, melihat lawan bicaranya belum merespon. "Boleh, saya juga lapar." Dan akhirnya, Arsyila tidak bisa menolak permintaan Arash untuk ke dua kalinya. Entah mengapa, dia seperti tidak punya pilihan lain, ketika bersama lelaki yang lebih muda darinya ini. Mendengar jawaban Arsyila, bibir Arash berhasil melengkungkan senyum, tanpa diketahui wanita itu. "Mau makan apa, Bu? Ada opsi?" "Terserah kamu," sahut Arsyila. Dia bukan tipe orang yang ribet soal makanan. Apa saja, asalkan masih bisa diterima dengan baik oleh lidah dan perutnya. "Gimana kalau bakso?" Tawar Arsyila, mendadak dia ingin makanan berkuah, dan makanan itu yang ada di pikirannya. "Boleh, saya suka. Di mana? Ibu punya rekom tempat yang enak?" "Ada, kebetulan searah dengan kosan saya." * Mereka tiba di sebuah tempat khusus menjual berbagai jenis bakso. Kebetulan konsepnya, prasmanan. Jadi, mereka bisa menentukan sendiri jenis dan jumlah bakso yang mereka mau. Arash, sebelumnya sudah membayangkan kalau Arsyila akan mengajaknya di warung bakso pinggir jalan yang hanya ditutupi oleh tenda. Pinggir jalan, dan tempat duduknya berdekatan antara satu pengunjung dan pengunjung lain. Tapi ternyata tempat yang ditunjukkan Arsyila, jauh lebih baik dari yang ada dalam pikirannya. "Saya baru tau, ada resto khusus bakso kayak gini," ucap Arash. Oh ya, sebenarnya dia juga bukan penyuka bakso, hanya saja demi menyamakan tujuan dengan Arsyila, dia berpura-pura menyukai itu. "Ya ada, tempatnya dijamin nyaman, dan higienis," sahut Arsyila. "Saya aja yang bayar." Saat mereka sudah membawa pesanan masing-masing di atas nampan, Arsyila buru-buru lebih dulu menuju kasir. Ya, walau dia tahu, Arash mampu membayar makanan mereka, tapi dia hanya merasa perlu tahu diri, sudah diantar pulang, setidaknya Arsyila membayar makanan. Hal ini juga Arsyila lakukan agar dirinya tidak merasa berhutang dengan Arash. "Oke, boleh. Saya jadi berhutang sama Ibu. Lain kali, kita harus makan bareng lagi, gantian saya yang traktir." Lelaki itu tersenyum tipis, belum sempat Arsyila menjawab, dia langsun balik badam meninggalkan Arsyila, memilih tempat duduk untuk mereka. Arsyila tidak mau merasa berhutang, tapi malah Arash yang merasa seperti itu, sampai lelaki itu menegaskan kalau lain kali mereka harus makan bareng lagi. nggak gitu maksudnya, udah cukup ini aku yang bayar. kamu nggak perlu merasa berhutang. Nggak kelar-kelar urusan kita kalau begitu. Gerutu Arsyila sambil menunggu antrian di kasir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD