4. Kurang Ajar!

1109 Words
Setelah melakukan transaksi di kasir, Arsyila mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan di restoran bakso itu. Dia tidak mendapati sosok Arash dimanapun, hingga Arsyila menggerutu karena merasa dipermainkan. Di tangannya masih memegang nampan berisi pesanannya, lalu mata Arsyila tertuju tempat paling pojok, karena menurutnya tempat itu yang paling aman. "Ayo ke sebelah sini aja, Bu. Saya udah pilih tempat di sana." Arash tiba-tiba muncul di sebelah Arsyila. Lelaki itu terlihat sedikit tergesa sambil menyimpan ponselnya dalam saku. "Saya pikir, kamu udah pergi." Wanita itu menggerutu seraya mengikuti langkah Arash. "Atau mungkin kamu nggak mau makan semeja dengan saya." "Ibu khawatir dan kecewa, kalau saya tinggalkan?" Arash tersenyum sambil menarik kursi untuk Arsyila. "Bukan soal khawatir atau kecewa. Kamu beneran nggak sopan kalau sampai melakukan itu," balas Arsyila, lalu dia menghela napas berat. "Maaf Bu. Saya keluar sebentar, buat nerima telepon, karena di sini lumayan berisik, ternyata di luar sama aja. Saya juga saya harus mengalahkan suara hujan yang makin deras," jelas lelaki itu. "Hujannya makin deras?" Arsyila menaikkan alisnya. "Iya begitulah, mungkin udah masuk musimnya." Arash duduk tepat di hadapan Arsyila dan makanan lelaki itu juga sudah tersedia di meja. Sejujurnya, Arash ingin memanfaatkan waktu lebih lama agar bisa bersama Arsyila. Alasannya cukup penting, dia ingin mengenal lebih jauh tentang wanita yang hari ini resmi menjadi atasannya itu. Arash juga harus mempelajari sifat dan watak rekan, serta atasannya satu persatu. Apalagi papanya berpesan, jika ada hal yang menurutnya tidak wajar, Arash harus menjadi mata-mata diantara mereka. Akan tetapi, sepertinya niat Arash untuk bisa lebih lama dengan bosnya ini, harus tertunda. Karena sang mama baru saja menghubunginya, dengan kepanikan maksimal karena adik Arash satu-satunya, Abira tidak bisa dihubungi sejak setengah jam yang lalu dan gadis itu pamit pergi ke acara pesta ulang tahun temannya yang diadakan di sebuah hotel berbintang. Mereka berdua makan dalam diam, tanpa ada yang berbicara. Arsyila sedang berupaya 'makan dengan cantik' dalam artian tidak belepotan. Ya, walau dia menganggap Arash anak kecil dan bukan tipenya sama sekali, tetapi dia tetap harus menjaga imagenya sebagai atasan dan sebagai wanita yang menyandang salah satu predikat wanita tercantik segedung perusahaan. Apalagi ditambah gelar masih single. Tentu Arsyila harus menjaga citranya atas gelar semua itu. Sementara Arsyila makan dengan tenang, Arash justru terlihat sebaliknya. Dia tergesa-gesa karena dikejar waktu, ingat kalimat mamanya yang panik setengah mati karena sang adik tak berkabar. "Kamu buru-buru banget, makannya." Arsyila baru bersuara ketika dia menyadari Arash sudah selesai, sementara makanan Arsyila masih setengah porsi. "Saya lapar," sahut Arash asal. Dia tidak mungkin mengatakan sedang terburu-buru karena tidak mau membuat Arsyila jadi tergesa. Atau bisa-bisa nanti Arsyila malah menolak semobil dengannya dan memilih naik taksi. Arash menunggu Arsyila sampai selesai, sambil memainkan ponselnya, mengirim chat pada beberapa orang yang dianggapnya penting untuk bisa memberinya informasi tentang adiknya. "Udah selesai, ayo kita pulang." Arsyila berdiri setelah menyeka bibirnya dengan tisu, begitu dia selesai makan. Dia juga tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama, karena ingin segera beristirahat. "Oke." Begitu juga dengan Arash, tangannya langsung meraih remote mobil dari atas meja, dan bergerak selangkah lebih cepat dari Arsyila. Selama di dalam perjalanan, Arash tak banyak bicara. Dia diam dengan pikirannya yang berkecamuk. Bukan hanya Laura saja yang khawatir, tentang Abira. Tapi juga Arash. Kini, lelaki itu sedang menempelkan ponselnya di telinga. Sementara Arsyila hanya melirik sekilas, diapun menyadari kegelisahan lelaki itu. Arash sedang mencoba menghubungi dua orang teman Abira yang dikenalnya. Dia sengaja menyimpan nomor mereka, demi hal-hal seperti ini. Tapi tidak satupun ada yang menjawab telponnya, dua gadis-gadis yang sedang dihubunginya itu pasti bersekongkol untuk menyembunyikan keberadaan Abira. Mau makan malam bareng, Mas Arash? Terpaksa Arash menggunakan satu cara yang mugkin akan membuat Debby, salah satu teman dekat adiknya itu terpancing dengan rayuannya. Debby naksir Arash, tapi lelaki itu tidak menggubris dan hanya menanggapi sekadarnya saja. Mungkin, dengan cara seperti ini, dia bisa menemukan di mana keberadaan adiknya sekarang. Arsyila tidak bisa duduk dengan tenang, di sebelahnya ada lelaki yang sedang menyetir sembari memegang ponsel dengan sebelah tangan. Sungguh Arsyil tidak menyukai hal demikian. Ingin menegur, tapi sadar bahwa dia hanya menumpang. "Kamu fokus nyetir dulu, jangan pegang hape. Saya khawatir." Kalimat peringatan itu terbit dari Arsyila setelah berpikir beberapa detik, demi keselamatan bersama. "Iya Bu, maaf." Arash meletakkan kembali ponselnya di dashboard tepat di hadapannya. Namun, belum sampai satu menit notifikasi kembali berbunyi. Tangan Arash kembali meraih ponselnya, membuat Arsyila geram. Anak jaman sekarang, kalau pacaran nggak bisa direm, dan nggak ada jeda. Arsyila menggerutu dalam hatinya melihat tingkah Arash. "Mendingan kamu berhenti dulu kalau mau chatingan sama pacar, daripada membahayakan kita berdua," ucap Arsyila penuh penekanan. Arash menepikan mobilnya. Membaca chat dari Debby. "Maaf ya Bu, ini penting banget." Mau banget. Akhirnya perasaanku berbalas. Kapan, Mas? Arash geleng kepala, dia meringis. Melihat Debby yang langsung tergoda oleh ajakannya. Sebenarnya bukan hal aneh lagi jika seorang wanita terang-terangan menyatakan perasaan dan menunjukkan ketertarikan, tapi Arash justru sangat menghindari perempuan yang dianggapnya terlalu mudah. Arash lebih suka sesuatu yang menantang. Karena menurutnya, yang didapatkan tanpa ada perjuangan itu akan kurang berharga. Kamu atur waktunya. Besok malam gimana? Boleh banget. Tapi, di mana Biya sekarang? Arash to the point saja tentang maksud dan tujuannya. Tidak lama kemudian, dia langsung tersenyum mendapatkan jawaban dari Debby. * Arsyila rasa, perjalanannya hari ini cukup panjang. Untuk segera bisa tiba di kamar kosnya saja, dia butuh waktu yang lumayan lama, dan perjalanannya terasa berliku-liku. Tapi dia bisa sedikit tenang, saat sudah memasuki kawasan Jaksel. Namun, Arsyila langsung membulatkan mata saat Arash dengan santainya membelokkan stir mobil ke area sebuah hotel berbintang yang cukup ternama. "Ini, kita mau ke mana, ya?" Arsyila langsung menegakkan tubuhnya. Menoleh ke kiri dan kanan, sekaligus menatap wajah Arash yang kala itu sedang tersenyum tipis. "Ikut saya sebentar, ya Bu–" "Tapi, ngapain harus ke sini?" Arsyila masih bertahan di tempatnya, sedangkan Arash sudah membuka seat belt dan bersiap untuk keluar setelah mobilnya berhenti dan terparkir sempurna. "Menurut Bu Arsyila, biasanya orang yang singgah ke hotel, itu ngapain? Ya pasti mau mencari kesenangan." Senyum iseng di bibir Arash belum juga memudar, Arsyila bergidik, tak menyangka dia akan terjebak sedemikian rupa oleh lelaki lebih muda yang baru dikenalnya ini. Pada akhirnya pipi kiri Arash mendapat tamparan dengan suara yang lumayan nyaring, hingga si pemilik pipi kaget, sekaligus meringis sambil memegangi pipinya. "Kamu pikir, saya perempuan seperti apa? Mulai besok, saya akan rekomendasikan pemecatan dan pembatalan kamu sebagai karyawan intership." Ancam Arsyila, tanpa berpikir panjang, dia turun dari mobil Arash. Arsyila menyesal telah menerima ajakan lelaki kurang ajar ini. "Bu, maaf. Saya bercanda." Arash berupaya mengejar Arsyila yang sudah berjalan cepat untuk keluar dari area parkir. Bercanda katanya? Di mana letak lucunya? Kupastikan besok kamu lenyap dari perusahaan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD