5. Ampun, Pa!

1328 Words
Bodoh! Arash bergumam dan memaki dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga sikap. Walaupun menurutnya, hal tadi hanya candaan belaka, tapi dia lupa Arsyila jenis perempuan seperti apa. Judes, dan kaku. Dua hal itu yang Arash gambarkan pada sosok atasannya. Kini, wanita itu sudah berjalan jauh dari mobil Arash, tak peduli hujan masih mengguyur walau tidak terlalu deras. Arash mempercepat langkahnya, mengejar Arsyila. Tapi dia kalah cepat karena Arsyila berhasil naik ke dalam taksi yang dihentikannya di pinggir jalan. Abaikan Arsyila sejenak, dia fokus pada tujuannya ke hotel ini. Mencari Abira, adik perempuannya yang akrab disapa Biya. Arash masuk ke dalam hotel, tanpa berpikir panjang, dia menuju ke bar and longue. Tempat di mana adiknya sedang menghadiri pesta temannya semasa sekolah. Arash tak habis pikir, anak jaman sekarang mengadakan pesta di hotel, di sebuah bar pula. Demi menemukan adiknya, dia harus merelakan sedikit waktu dan menurunkan egonya untuk menghubungi dan makan malam dengan Debby. “Hai Mas.” Arash berdiri tepat di pintu bar, dan Debby sudah menantinya di sana, sesuai permintaan Arash. “Di mana Biya?” tanya Arash tanpa basa-basi. Bahkan gadis itu tak segan-segan menggandeng lengan Arash saat mereka masuk ke dalam bar. Arash menepis tangan Debby. “By, jangan gini.” “Biya lagi sama pacarnya, Mas. Biarlah mereka bersenang-senang. Mending kita juga senang-senang.” Debby tidak peduli meski Arash sudah menepis tangannya, dia tetap menggandeng bahkan bersandar manja di pundak lelaki itu. “By, jangan bercanda.” Arash tetap menghindar, sambil matanya mengedar ke setiap sudut, mencari sosok adiknya. Mata Arash membulat, saat pandangannya berhenti di sudut kanan, di mana Biya sedang duduk bermesraan dengan seorang lelaki yang pasti lebih muda darinya. Dan yang membuatnya tercengang adalah lelaki itu sedang memegang pipi dan leher Biya. Wajah mereka sangat berdekatan, membuat darah Arash mendidih. Mengambil langkah cepat dan mengabaikan Debby. “b*****t lo!” teriak Arash. Menarik kerah baju lelaki yang sedikit lagi akan mencium bibir adiknya di bawah cahaya remang-remang. “Kak Arash!” Biya berdiri menarik sang kakak untuk tidak menghajar gebetannya. Ya, lelaki itu masih berstatus gebetan, bukan pacar. Tapi sudah berani berbuat hal-hal yang membahayakan. Untung saja Arash bisa menahan diri untuk tidak membuat keributan di tempat ini, setelah menarik kerah baju lelaki yang lebih muda darinya itu, Arash menghempaskan kembali tubuh lelaki itu ke atas sofa. “Pulang!” titahnya seraya menarik pergelangan tangan Biya secara paksa dan seketika mereka menjadi pusat perhatian karena Biya berteriak meminta tolong pada teman-temannya yang tak bisa berbuat apa-apa. Deru napas Biya masih naik turun saat sudah di mobil kakaknya. Akhirnya Arash berhasil membawa Biya keluar dari tempat itu. “Papa mama bakalan kecewa banget kalau tau tingkah kamu di luar rumah itu kayak apa, Biya.” Arash memukul stir mobilnya, menumpahkan rasa kesalnya. “Papa mama pasti pernah muda, dan aku rasa itu hal biasa. Cuma kakak doang yang kaku! makanya cari pacar biar nggak iri sama orang!” Biya mencebik kesal pada kakaknya. Bahkan saat berbicara, dia tak sudi melihat wajah Arash. “Terserah kamu mau ngatain apa ke Kakak. Yang jelas, sekarang mama lagi panik banget nungguin kamu pulang, apalagi dengan kurang ajarnya kamu matikan hape. Mau bikin papa mama susah, ya?” “Hapeku lowbat, Kak! lupa bawa charger, nggak bawa powerbank juga!” Biya menyangkal tuduhan kakaknya. “Alasan klasik!” balas Arash. “Susah banget punya kakak kaku kayak kamu, nyesal aku jadi anak ke dua!” Usia Biya memang sudah delapan belas tahun. Tapi sikapnya masih belum dewasa, masih belum bisa membedakan hal baik dan buruk, mana yang namanya perhatian, mana yang namanya kasih sayang dari seorang kakak. Dia selalu menganggap Arash musuh karena kerap kali melarangnya ini dan itu. “Semua kakak lakukan demi kebaikanmu, Biya.” “Males aku sama kakak, kaku! payah! pantas aja nggak punya pacar!” Arash mengabaikan u*****n adiknya, dia memilih fokus menyetir walau sebenarnya tidak bisa fokus karena memikirkan Arsyila. * Pagi ini cerah. Arsyila terpaksa pergi lebih awal dari biasanya karena harus menggunakan taksi untuk tiba di kantor. Motornya juga sengaja ditinggal di area parkir gedung perusahaan, karena hujan deras mengguyur semalaman mengakibatkan Arsyila harus terjebak bersama bocah songong yang sudah coba-coba untuk bermain-main dengannya. Dan mengingat hal itu, Arsyila kesal bukan main hingga pagi ini dia awali dengan menggerutu, dan bersumpah untuk melakukan sesuatu pada Arash. Bisakah aku melewati hari ini dengan tenang? Belum apa-apa, Arsyila sudah mengkhawatirkan tentang hari ini. Arsyila tiba di kantor, tapi dia masih enggan masuk ke dalam ruangannya karena ada penghuni lain di sana. Dia tahu Arash sudah tiba, karena melihat mobil milik lelaki itu sudah terparkir rapi di jajaran mobil pegawai perusahaan. “Pagi Bu.” “Pagi Mbak.” Satu persatu anggota tim Arsyila menyapa saat dia tiba di ruangan divisi marketing, tapi tak satupun ada sapaan yang Arsyila balas. Matanya fokus menatap ke dinding kaca yang tembus ke dalam ruangannya. “Kamu nyari siapa?” tanya Rayna. “Arash ya? dia belum datang kok, masih aman,” jelas Rayna tanpa diminta. Arsyila melirik ke arah arloji di tangan kirinya. Sudah hampir setengah delapan, batas akhir waktu para pegawai untuk tiba di kantor agar tidak dikatakan terlambat. Tapi Arash berani-beraninya belum menampakkan diri. “Aku kira dia ada di dalam, soalnya aku lihat mobilnya udah ada di parkiran,” sahut Arsyila dan jawabannya itu membuat Rayna mengernyitkan dahi. “Dari mana kamu tau, mobil anak baru itu yang mana?” tanya Rayna penasaran. “Eh, itu… aku.. cuma nebak aja. Oke aku masuk dulu!” Hampir saja Arsyila terjebak dengan kalimatnya sendiri. Jangan sampai ada yang tahu kalau malam tadi, dia terjebak dengan lelaki itu. Arsyila melangkah cepat menuju ruangannya, untuk kali ini dia mengunci pintu karena ingin melakukan sesuatu dan tidak ingin diganggu oleh siapapun. * Arash memang sudah tiba di kantor, tapi dia tidak masuk ke ruangan divisi marketing, karena harus berhadapan dengan papanya pagi itu. Abi sedang memberi banyak petuah pagi pada putranya. Sudah lebih dari satu jam mereka berdiskusi santai tentang perusahaan. Masih banyak hal yang tidak Arash pahami dan harus dia pelajari secara perlahan. Meski ini murni bukan keinginannya, tapi Arash tetap berusaha melakukan yang terbaik. “Hari pertama kemarin, gimana?” tanya Abi. “Berjalan aman sih Pa. Aku nggak ngelakuin apa-apa, cuma perkenalan dan ya… aku masih harus membaca karakter rekanku satu persatu,” jelas Arash. “Oke, papa suka cara kamu. Ingat ya, jangan sampai ada yang tau kamu ini sebenarnya siapa. Jangan sampai terpancing dengan omongan-omongan mereka, sampai kamu harus mengatakan yang sebenarnya tanpa kamu sadari. Mengerti?” Abi meyakinkan putranya. Sejujurnya dia sudah lelah dengan aktifitasnya selama ini. Ingin benar-benar istirahat dan hanya fokus di rumah bersama Laura, tapi dia belum bisa melepaskan sepenuhnya pada Arash. “Oke Pa, tenang aja.” Tok tok tok “Ada yang datang, lebih baik kamu sembunyi dulu.” pinta Abi. Arash pun mengerti, dia langsung masuk ke dalam ruangan kecil yang ada di dalam ruangan bos besar, alias papanya sendiri. “Permisi, Pak.” “Ada apa sepagi ini?” tanya Abi pada sekretarisnya yang sudah bekerja dengannya sejak sepuluh tahun lalu, ketika Edward memilih mundur dan mencoba memulai usaha sendiri. “Ini Pak… rekomendasi pemecatan karyawan magang yang baru aja masuk kemarin. Berdasarkan yang udah saya baca, dia bersikap tidak sopan pada atasannya. Rekomendasi ini diberi langsung dari kepala Divisi marketing, ke bagian HRD. Untuk selanjutnya, butuh jawaban dan tindak lanjut dari Bapak,” jelas lelaki itu, lalu tersenyum tipis. Karena dia sudah tahu yang sebenarnya. Itu adalah Arash. Hanya saja dia tak mungkin mengatakannya langsung. Abi membaca nama anaknya di sana. Bukan nama lengkap, hanya sebatas Arash. “Oke, nanti saya kabari kamu untuk selanjutnya. Kamu boleh pergi.” “Baik Pak.” “Arash! sini kamu!” Abi berteriak memanggil Arash setelah kepergian sekretarisnya. Arash sudah mendengar percakapan antara papa dan sekretarisnya. Lelaki itu muncul dari pintu, dan menampilkan wajah gugupnya. Dia tahu kalau setelah ini, dia akan mendapatkan masalah baru, atas perbuatan bodohnya kemarin pada Arsyila. “Ampun, Pa!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD