OBROLAN MALAM

1070 Words
Tak butuh waktu lama, kabar kedatangan Luisa sampai ke telinga Duke Montpensier. Pria paruh baya yang masih memancarkan pesona ketampanan khas aristokrat itu terdiam, merasakan ada yang janggal. Ia menarik napas panjang, lalu memutuskan duduk diam sejenak. Dalam hatinya, ada begitu banyak pertanyaan yang mengendap. Bukankah pernikahan tinggal menghitung hari? Lantas, mengapa putrinya datang jauh-jauh menyusul ke Linion? Kekhawatiran merambat dalam benaknya, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Pikiran pertama yang terlintas: apakah Putra Mahkota membatalkan pernikahan? Dan jika ya, tentu saja itu karena Luisa bukanlah perempuan yang dicintai oleh calon suaminya. Amarah menyelinap. Jika itu benar, maka dia tak akan tinggal diam. Dia akan lakukan segala cara demi membela putrinya—gadis lembut yang serupa peri musim semi. "Hah …" Helaan napas berat lolos dari bibirnya, seperti beban yang selama ini tertahan di d**a perlahan mulai menuntut perhatian. Tangan kanannya mengusap pelipis, kepala tertunduk, sementara pikirannya dihantam berbagai kemungkinan. Spekulasi demi spekulasi, semuanya berputar tanpa arah dan ujung. Tak lama, suara ketukan terdengar dari arah pintu. Mungkin Luisa, atau mungkin pelayan. "Ayah, ini aku." Suara bariton itu langsung meredakan sebagian kecamuk. Leonite. Dengan langkah cepat, sang Duke bangkit, membuka pintu, dan menatap putranya dengan sorot mata yang belum sepenuhnya tenang. "Masuklah, Leonite." Tanpa berkata-kata, Leonite melangkah masuk dan duduk di sofa. Napasnya terhembus berat, seperti menyimpan kegelisahan yang sama. "Jadi? Apa Luisa benar-benar di sini?" tanya Duke, masih berdiri di ambang pintu, tubuhnya kaku menahan ketegangan. "Ya," jawab Leonite. "Tapi aku menyarankan kita bicara dengannya besok pagi." Sang Duke tidak puas dengan jawaban itu. Guratan tegang langsung muncul di wajahnya, seperti retakan-retakan pada kaca yang nyaris pecah. "Ayah," tegur Leonite pelan. Namun keputusan telah diambil. "Kita akan bicara malam ini. Panggil adikmu, aku akan menunggu di ruang kerja." Duke Montpensier melangkah keluar kamar, membiarkan malam Linion yang tenang menjadi saksi dari badai kecil yang bergemuruh dalam dadanya. Suasana vila yang sunyi seakan tak mampu meredam denyut amarah dan was-was yang berputar dalam pikirannya. Praduga negatif menjelma pengikat akal sehat. Semuanya terasa asing dan salah, tapi dia tahu, tak ada gunanya berspekulasi tanpa tahu kebenaran. Leonite memang benar. Seharusnya ini dibahas besok pagi. Di waktu yang lebih tenang, dalam keadaan tubuh yang tak letih. Tapi bila Luisa sampai nekat menempuh perjalanan dari Ibu Kota ke Linion, itu bukanlah masalah sepele yang bisa ditunda. Langkahnya terhenti di depan pintu ruang kerja. Pintu itu, yang selama ini menjadi tempatnya memikirkan banyak strategi politik, malam ini terasa seperti gerbang menuju interogasi. Apa dia siap? Entahlah. Itu hanya akan diketahui jika percakapan benar-benar dimulai. Tanpa ingin larut lebih jauh dalam pikirannya sendiri, ia mendorong pintu dan masuk. Langkahnya panjang, cepat, dan mantap. Tak butuh waktu lama, ia sudah duduk di kursi di balik meja kayu yang kokoh, mata tertuju penuh pada pintu. Menanti. Dalam diam yang rapat, dengan harap yang disembunyikan dalam d**a yang sesak. ‘Apa sebaiknya dibatalkan saja pembicaraan malam ini?’ Pikiran itu muncul. Dan langsung ditepis keras-keras olehnya. ‘Bagaimana jika itu benar-benar kabar buruk, dan Luisa tidak siap berbicara?’ Tidak. Jika ditunda, semuanya akan membusuk. Lebih baik diselesaikan malam ini, meski berarti harus melukai perasaan putri tercinta yang mungkin sudah letih luar biasa. Ketika rasa cemas terus bergulir, ketukan lembut menghancurkan keheningan. “Masuk,” ucapnya tegas. Pintu terbuka, dan dua sosok yang dikenalnya dengan sangat baik muncul: Leonite dan Luisa. "Silakan duduk," katanya, berusaha menjaga ketenangan walau hatinya tak henti berdebar. "Jadi, Luisa," ucapnya, suara berat menggema di ruangan yang hening, "apa alasanmu datang ke Linion?" Nada suaranya tenang, tapi setiap katanya seperti membawa beban. Ada tuntutan untuk jujur, tidak ada ruang bagi jawaban yang setengah hati. "Ayah, aku ingin membatalkan pernikahan politik dengan pihak Kaisar." Diam. Sunyi seketika. Seolah semua suara di luar sana juga ikut menahan napas. Duke dan Leonite saling menatap, seakan ingin memastikan bahwa mereka tidak salah dengar. "Aku serius. Aku ingin membatalkan pernikahan ini, dan aku tidak ingin Ayah menarik dukungan kepada Putra Mahkota." "Apa?" Seruan serempak memecah keheningan. "Apa Putra Mahkota memaksamu bicara begini? Membatalkan pernikahan? Jangan main-main!" Leonite berseru, nadanya naik satu oktaf lebih tinggi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. "Tidak, Leonite. Ini keinginanku sendiri." "Tidak mungkin! Kau yang paling menginginkan pernikahan ini, Luisa. Bagaimana bisa kau tiba-tiba berubah pikiran, padahal hari pernikahan tinggal tiga hari lagi?" "Aku sudah memikirkannya. Tidak pantas memaksa seseorang menikahiku jika dia tidak mencintaiku. Putra Mahkota tidak mencintaiku, dan aku tahu itu sejak lama." Leonite menatap Luisa dengan sorot mata tak percaya. Tak kalah dari kakaknya, sang Duke pun masih terdiam, mencoba meresapi setiap kata. Hening beberapa detik. Lalu, suara sang Duke memecah kesunyian. "Kau yakin tidak akan menyesal, Putriku? Luisa Montpensier?" Suara itu tenang, namun di dalamnya ada gemuruh yang tak terlihat. Luisa mengangguk mantap. "Aku sangat yakin, Ayah. Mohon bantu untuk membatalkan pernikahan ini." Duke terdiam, lalu bertanya, "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" "Aku akan pergi berlibur ke beberapa tempat menarik. Menjauh dari kehidupan di Ibu Kota untuk sementara waktu." Napas panjang kembali keluar dari d**a sang ayah. Meski tak mudah, dia tahu pilihan ini bukan sesuatu yang bisa ia tolak. Dari awal, dia menyerahkan semua keputusan soal pernikahan pada Luisa. Enam bulan lalu, ketika Luisa sendiri yang ingin menikah dengan Putra Mahkota, dia tak kuasa menolak. Semua ia lakukan demi kebahagiaan putrinya. "Kau ingin pergi sendiri?" "Ya, Ayah. Tolong izinkan aku. Aku ingin menikmati kebebasanku, tanpa pengawalan, tanpa pengawasan." "Ayah, jangan izinkan dia pergi sendiri," sela Leonite cepat. "Bagaimanapun juga, dia seorang Lady. Seorang Putri Duke. Dia harus dijaga lebih dari permata di mahkota Kaisar." Duke mengangguk kecil, menyetujui pendapat putra sulungnya. "Luisa, kau akan pergi dengan beberapa orang kepercayaanku. Mereka akan menjagamu, tanpa mengganggu kebebasanmu. Ini mutlak." "Tapi Ay—" "Terima, atau Ayah tidak akan memberikan izin." Nada suaranya berat, penuh ketegasan. Tak ada ruang untuk perdebatan. Ia tak akan membiarkan putrinya yang lembut dan berharga itu terluka. Bagi sang Duke, Luisa adalah warisan terakhir dari wanita yang ia cintai, dan tak akan pernah ia abaikan begitu saja. "Baiklah," jawab Luisa akhirnya, dengan nada pasrah. Keputusan pun ditetapkan. "Pergilah lusa. Persiapkan semuanya dengan baik. Leonite, kau tetap di sini menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ayah akan segera berangkat ke Ibu Kota malam ini." Tak seorang pun membantah. Percakapan malam itu berakhir di situ, dengan kesepakatan yang jelas dan hati yang sedikit lebih tenang. Sementara itu, Duke Montpensier bersiap menempuh perjalanan panjang kembali ke Ibu Kota Kekaisaran—ditemani satu ksatria dan seekor kuda gagah, di bawah langit malam Linion yang mulai merunduk dalam sunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD